Anda di halaman 1dari 141

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI APOTEK RINI Jl. BALAI PUSTAKA TIMUR NO. 11
RAWAMANGUN, JAKARTA TIMUR
PERIODE 2 APRIL – 26 MEI 2014

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

FRANSISKA LILIANI NUGROHO, S. FARM.


1306343605

ANGKATAN LXXVIII

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2014

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI APOTEK RINI Jl. BALAI PUSTAKA TIMUR NO. 11
RAWAMANGUN, JAKARTA TIMUR
PERIODE 2 APRIL – 26 MEI 2014

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker

FRANSISKA LILIANI NUGROHO, S. FARM.


1306343605

ANGKATAN LXXVIII

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2014
ii

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan


bahwa laporan praktek kerja profesi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya


akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.

Depok, 21 Juni 2014

Fransiska Liliani Nugroho

iii

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Laporan praktek kerja profesi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua baik yang
dikutip atau dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Fransiska Liliani Nugroho

NPM : 1306343605

Tanda Tangan :

Tanggal : 21 Juni 2014

iv

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :

Nama : Fransiska Liliani Nugroho


NPM : 1306343605
Fakultas : Farmasi
Jenis Karya : Laporan kerja praktek profesi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di di Apotek Rini Jl. Balai Pustaka Timur
No.11 Rawamangun, Jakarta Timur Periode 2 April – 26 Mei 2014

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 21 Juni 2014

Yang menyatakan

(Fransiska Liliani Nugroho)

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


vi

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan segala rahmat dan kemudahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diselenggarakan
selama 2 April hingga 26 Mei 2014 di Apotek Rini Jalan Balai Pustaka Timur
No.11 Rawamangun, Jakarta Timur. Kegiatan PKPA merupakan bagian dari
kegiatan perkuliahan program pendidikan profesi Apoteker dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan mahasiswa. Laporan
PKPA ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
Dalam pelaksanaan kegiatan dan penyusunan laporan Praktik Kerja Profesi
Apoteker ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, dan saran-saran dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh ketulusan dan
kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Murdiana Baskoro, selaku pemilik sarana Apotek Rini yang telah
memberikan kesempatan PKPA di Apotek Rini.
2. Drs. Umar Mansur, M.Sc., selaku Apoteker Pengelola Apotek Rini yang telah
memberikan kesempatan PKPA di Apotek Rini.
3. Meta Pramana, S.Si., Apt., selaku wakil pimpinan Apotek Rini dan sekaligus
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan selama
pelaksanaan dan penyusunan laporan PKPA di Apotek Rini.
4. Dr. Iskandarsyah, M.Si., Apt. selaku pembimbing II PKPA di Apotek Rini
yang yang telah memberikan kesempatan, arahan, dan bimbingan kepada
penulis selama pelaksanaan dan penyusunan laporan PKPA di Apotek Rini.
5. Dr. Hayun, M.S., Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi UI.
6. Dr. Mahdi Jufri, M. Si. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI.
7. Seluruh dosen pengajar, staf, dan karyawan, khususnya Program Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi UI.
8. Seluruh staf karyawan di Apotek Rini Jakarta.
9. Papa, Mama, Koko Yudhi, dan Koko Mario, serta teman-teman dan keluarga
tercinta yang selalu mendukung serta mendoakan penulis.
vii

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


10. Teman-teman seperjuangan PKPA di Apotek Rini Jakarta (Aini, Dzikrin,
Inez, Komang, dan Nopiana) atas kerjasama selama pelaksanaan PKPA.
11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan
kepada penulis selama penulisan laporan PKPA ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam laporan


PKPA ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
kesempurnaan laporan PKPA ini. Semoga pengetahuan dan pengalaman yang
didapatkan penulis selama mengikuti PKPA dapat memberi manfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Penulis

2014

viii

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


ABSTRAK

Nama : Fransiska Liliani Nugroho, S. Farm


NPM : 1306343605
Program Studi : Profesi Apoteker
Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Rini Jl. Balai
Pustaka Timur No.11 Rawamangun, Jakarta Timur Periode 2
April – 26 Mei 2014

Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Rini Rawamangun bertujuan untuk


memahami serta menerapkan peran dan tugas apoteker di apotek, dan juga
memahami kegiatan pengelolaan apotek baik secara teknis kefarmasian maupun
non-teknis kefarmasian. Tugas khusus yang diberikan berupa kegiatan mengkaji
peresepan laksatif selama bulan Maret 2014 di Apotek Rini. Beberapa hal yang
dianalisis, antara lain total jumlah obat laksatif yang paling sering diresepkan
untuk pasien dewasa maupun pediatri, kemudian dianalisis tingkat keamanan dan
kerasionalan obat-obat laksatif yang sering diresepkan untuk pasien pediatri
tersebut, ditinjau dari regimen dosis, cara pakai, dan efek samping.

Kata kunci : Apotek Rini Rawamangun, pengelolaan apotek, laksatif pediatri


bayi dan anak
Tugas umum : xiv + 74 halaman; 6 gambar; 14 lampiran
Tugas khusus : vi + 40 halaman; 1 gambar; 1 tabel; 2 lampiran
Daftar Acuan Tugas Umum : 16 (1978-2010)
Daftar Acuan Tugas Khusus : 26 (1996-2013)

ix

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


ABSTRACT

Name : Fransiska Liliani Nugroho, S.Farm


NPM : 1306343605
Program Study: Apothecary profession
Title : Report of Apotechary Professional Internship Program at Apotek
Rini Jl. Balai Pustaka Timur No.11 Rawamangun, East Jakarta
Period 2nd April– 26th May 2014

Apothecary Professional Practice in Apotek Rini Rawamangun is intended for


apothecary students to understand and apply the roles and duties of pharmacists in
pharmacies and have insight of pharmacies management in both technical and
non-technical pharmaceutical activities. Specific assignment is given in the form
of reviewing laxative prescriptions during the month of March 2014 at Apotek
Rini. Several things that need to be reviewed are the total amount of commonly
prescribed laxative drugs for adult and pediatric patients. Furthermore, the level of
safety and rationalization of laxative drugs which are often prescribed for the
pediatric patients are analyzed, in terms of dosage regiment, administration route,
and side effects.

Keywords : Rini Rawamangun Pharmacy, pharmacy management,


laxative for pediatric patients (infant and children)
General Assignment : xiv + 74 pages; 6 pictures; 14 appendices
Specific Assignment : vi + 40 pages; 1 pictures; 1 tables; 2 appendices
Bibliography of General Assignment: 16 (1978-2010)
Bibliography of Specific Assignment: 26 (1996-2013)

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i


HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................... iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... v
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................... x
DAFTAR ISI................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1


1. 1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1. 2 Tujuan ..................................................................................... 2

BAB 2. TINJAUAN UMUM ........................................................................ 3


2. 1 Pengertian Apotek ................................................................... 3
2. 2 Landasan Hukum Apotek ............................................................. 3
2. 3 Tugas dan Fungsi Apotek ............................................................. 4
2. 4 Persyaratan Apotek ........................................................................ 4
2. 5 Tata Cara Perijinan Apotek............................................................ 6
2. 6 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek (APA) .......................... 8
2. 7 Pelayanan Apotek ........................................................................... 8
2. 8 Pelayanan Kefarmasian di Apotek ................................................ 10
2. 9 Pengelolaan Apotek........................................................................ 12
2. 10 Personalia Apotek .................................................................... 13
2. 11 Pencabutan Surat Izin Apotek .................................................. 15
2. 12 Sediaan Farmasi ....................................................................... 16
2. 13 Obat Generik ............................................................................ 19
2. 14 Obat Wajib Apotek .................................................................. 19
2. 15 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan ....... 21
2. 16 Pengelolaan Narkotika ............................................................. 21
2. 17 Pengelolaan Psikotropika ......................................................... 25

BAB 3. TINJAUAN KHUSUS APOTEK .................................................... 28


3. 1 Lokasi ....................................................................................... 28
3. 2 Bangunan dan Tata Ruang............................................................ 28

xi

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


3. 3 Struktur Oganisasi .................................................................... 32
3. 4 Kegiatan-Kegiatan di Apotek................................................... 32
3. 5 Pengelolaan Narkotika ............................................................. 36
3. 6 Pengelolaan Psikotropika ......................................................... 37

BAB 4. PEMBAHASAN ................................................................................ 39

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 48


5. 1 Kesimpulan .............................................................................. 48
5. 2 Saran ....................................................................................... 48

DAFTAR ACUAN ......................................................................................... 49

xii

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Penandaan Obat Bebas ............................................................... 16


Gambar 2.2. Penandaan Obat Bebas Terbatas ................................................ 18
Gambar 2.3. Penandaan Peringatan pada Obat Bebas Terbatas ..................... 18
Gambar 2.4. Penandaan Obat Keras ............................................................... 19
Gambar 2.5. Penandaan Obat Golongan Narkotika ........................................ 19
Gambar 4.1. Halaman dan bangunan Apotik Rini tampak dari depan ............ 40
Gambar 4.2. Papan nama Apotek Rini yang dapat dilihat dari
kedua arah jalan ............................................................................ 41

xiii

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Obat Wajib Apoteker No. 1............................................. 51


Lampiran 2. Daftar Perubahan Obat Wajib Apotek No. 1 ............................... 55
Lampiran 3. Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 ................................................ 57
Lampiran 4. Daftar Obat Wajib Apotek No. 3 ................................................ 59
Lampiran 5. Obat yang Dikeluarkan dari Obat Wajib Apotek ........................ 62
Lampiran 6. Lokasi Apotek Rini .................................................................... 64
Lampiran 7. Denah Ruangan Apotek Rini ....................................................... 65
Lampiran 8. Salinan Resep .............................................................................. 66
Lampiran 9. Contoh Etiket ............................................................................... 67
Lampiran 10. Contoh Kuitansi ......................................................................... 68
Lampiran 11. Struktur Organisasi Apotek Rini .............................................. 69
Lampiran 12. Contoh Surat Pesanan ................................................................ 70
Lampiran 13. Faktur Barang ............................................................................ 71
Lampiran 14. Contoh Tanda Terima Tukar Faktur .......................................... 72
Lampiran 15. Contoh Surat Pesanan Narkotik................................................. 73
Lampiran 16. Contoh Pelaporan Narkotik ....................................................... 74
Lampiran 17. Laporan Penggunaan Narkotik .................................................. 75
Lampiran 18. Contoh Surat Pesanan Psikotropika .......................................... 76
Lampiran 19. Alur Penjualan Resep Tunai ...................................................... 77
Lampiran 20. Alur Penjualan Resep Kredit ..................................................... 78
Lampiran 21. Alur Penjualan OTC .................................................................. 79

xiv

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk
keberhasilan pembangunan bangsa, oleh karena itu diselenggarakan pembangunan
kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara sosial dan ekonomi (Presiden Republik Indonesia, 2009).
Perkembangan tingkat ekonomi dan kemudahan mendapatkan informasi
menjadikan masyarakat belakangan ini semakin kritis dalam menjaga kesehatan
dirinya. Untuk itu, apotek sebagai sarana yang bergerak dibidang jasa pelayanan
kesehatan harus mampu memberikan pelayanan kefarmasian secara tepat dan
bermutu sesuai dengan PP No. 51 Tahun 2009 mengenai Pekerjaan Kefarmasian.
Pada dasarnya pelayanan kefarmasian terfokus pada kesejahteraan, pemeliharaan,
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, dan kepedulian masyarakat dalam
pengobatan terhadap penyakit yang diderita (swamedikasi). Selain itu, pelayanan
kefarmasian tidak lagi hanya memfokuskan diri terhadap pengelolaan obat secara
komoditas (product oriented), namun juga harus mengedepankan pelayanan yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (patient oriented).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1332/Menkes/SK/X/2002, apotek merupakan tempat dilakukannya pekerjaan
kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Pekerjaan
kefarmasian di apotek tidak hanya meliputi pembuatan, pengolahan, peracikan,
dan pencampuran, tetapi juga termasuk pengendalian mutu dan pengadaan sediaan
farmasi, penyimpanan dan pendistribusian obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional. Keterampilan seorang apoteker dalam mengendalikan siklus
pengelolaan sediaan farmasi akan menentukan keberhasilan suatu apotek dalam
menjalankan fungsinya bagi masyarakat (Presiden Republik Indonesia, 2009).

1
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
2

Berdasarkan hal tersebut, Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi


Universitas Indonesia mengadakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di
apotek bagi para calon Apoteker sebagai salah satunya upaya untuk menyiapkan
para calon apoteker agar memiliki bekal pengetahuan dan pemahaman mengenai
apotek yaitu dalam hal pelaksanaan pelayanan kefarmasian dan pengelolaan
apotek. Salah satu apotek yang menjadi tempat pelaksanaan PKPA tersebut ialah
Apotek Rini Jakarta. Melalui PKPA di Apotek Rini Jakarta yang dilaksanakan
mulai tanggal 3 April hingga 27 Mei 2014, diharapkan calon apoteker dapat
meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan dalam melakukan
pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan pasien di apotek.

1.2. Tujuan
Tujuan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diselenggarakan
di Apotek Rini, yaitu :
a. Mengetahui, memahami, dan menerapkan fungsi dan peran Apoteker di
apotek.
b. Mengetahui dan memahami kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan apotek.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Apotek


Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan
kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya
kepada masyarakat. Perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli
Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia (bahan obat tradisional),
alat kesehatan dan kosmetika (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang
diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Pekerjaan kefarmasian yang disebutkan di atas didefinisikan sebagai
perbuatan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Presiden Republik
Indonesia, 2009).

2.2. Landasan Hukum Apotek


Apotek merupakan salah satu fasilitas pelayanan kefarmasian yang diatur
dalam :
a. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti Apoteker dan
Izin Kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 184/Menkes/Per/II/1995.
b. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan dan Tambahan atas
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek.
c. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/2002 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/
1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
d. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
e. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

3 Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


4

2.3. Tugas dan Fungsi Apotek


Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 25 tahun 1980 pasal 2, tugas dan
fungsi apotek adalah (Presiden Republik Indonesia, 1980) :
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat
yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
d. Sebagai sarana tempat pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi
kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.

2.4. Persyaratan Apotek


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/1993
pasal 6, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin suatu
apotek adalah sebagai berikut :
a. Untuk mendapatkan izin apotek, Apoteker atau Apoteker yang bekerja
sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap
dengan tempat dan perlengkapan yang merupakan milik sendiri atau pihak
lain.
b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan
komoditi lain di luar sediaan farmasi.
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lain di luar sediaan
farmasi.
Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah
apotek adalah (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006) :
a. Lokasi dan Tempat
Persyaratan jarak antara apotek tidak lagi dipermasalahkan tetapi tetap
mempertimbangkan segi pemerataan dan pelayanan kesehatan, jumlah
penduduk, dokter praktek dan sarana pelayanan kesehatan lain.
b. Bangunan dan Kelengkapan

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


5

Bangunan apotek harus memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat


menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek serta
memelihara mutu perbekalan farmasi. Apotek harus mempunyai papan
nama yang terbuat dari bahan yang memadai dan memuat nama apotek,
nama Apoteker Pengelola Apotek (APA), nomor Surat Izin Apotek (SIA)
dan alamat apotek. Luas bangunan apotek tidak dipermasalahkan.
Bangunan apotek harus dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi
syarat kesehatan, penerangan yang cukup, alat pemadam kebakaran yang
berfungsi dengan baik, ventilasi dan sistem sanitasi yang baik. Bangunan
apotek terdiri dari :
1. Ruang tunggu
Ruang tunggu seharusnya dibuat senyaman mungkin, bersih, segar,
terang, tidak terdapat nyamuk atau serangga sehingga pasien atau
konsumen merasa betah dan nyaman menunggu. Beberapa apotek
bahkan menyediakan majalah, minuman mineral/dispenser dan majalah
kesehatan ilmiah. Bagian penerimaan resep haruslah dibuat sebaik
mungkin karena berhubungan langsung dengan konsumen.
2. Ruang peracikan
Ruang peracikan sebaiknya diatur agar persediaan dapat dijangkau
dengan mudah pada saat persiapan, peracikan dan pengemasan.
3. Bagian penyerahan obat
Untuk pelayanan profesional di apotek, seharusnya apotek menyediakan
ruang atau tempat khusus untuk menyerahkan obat dan dapat juga
digabung dengan ruang konsultasi atau pemberian informasi. Jika tidak
dapat dibuat ruang terpisah dapat juga dilakukan pembatasan dengan
menggunakan dinding penyekat sehingga dapat memberikan atau
menyediakan kesempatan berbicara secara pribadi antara Apoteker
dengan konsumen atau pasien.
4. Ruang administrasi
Merupakan ruang yang terpisah dari ruang pelayanan ataupun ruang
lainnya. Walaupun tidak terlalu besar, namun disesuaikan dengan
kebutuhan kegiatan manajerial. Ruangan ini juga digunakan untuk
menerima tamu dari pemasok atau industri/pabrik farmasi.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


6

c. Perlengkapan Apotek
Perlengkapan apotek adalah semua peralatan yang dipergunakan untuk
melaksanakan pengelolaan apotek. Perlengkapan yang harus tersedia di
apotek adalah :
1. Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan, seperti timbangan, mortir
dan gelas ukur.
2. Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi, seperti lemari
obat dan lemari pendingin.
3. Wadah pengemas dan pembungkus, seperti etiket dan plastik
pengemas.
4. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan
beracun.
5. Alat dan perlengkapan laboratorium untuk pengujian sederhana,
seperti erlenmeyer dan gelas ukur.
6. Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kuitansi dan
salinan resep.
7. Buku standar yang diwajibkan, seperti Farmakope Indonesia edisi
terbaru.

2.5. Tata Cara Perizinan Apotek


Surat Izin Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan RI
kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek
(PSA) untuk membuka apotek di tempat tertentu. Izin apotek diberikan oleh
Menteri yang melimpahkan wewenangnya kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin dan
pencabutan izin dilaporkan setahun sekali oleh Kepala Dinas Kesehatan kepada
Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/Menkes/SK/X/2002 pasal 7 dan 9 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 1992/Menkes/Per/X/1993 mengenai Tata Cara Pemberian Izin
Apotek adalah sebagai berikut :
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh formulir APT-1.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


7

b. Dengan menggunakan formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota selambat-lambatnya enam hari kerja setelah menerima
permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM
untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek melakukan
kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-
lambatnya enam hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dan Kepala
Dinas Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan
menggunakan contoh formulir APT-3.
d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (b) dan (c)
tidak dilaksanakan, Apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan
siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan
menggunakan contoh formulir APT-4.
e. Dalam jangka waktu 12 hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud ayat (c) atau (d), Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan SIA dengan menggunakan
contoh formulir APT-5.
f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau
Kepala Balai POM dimaksud ayat (c) masih belum memenuhi syarat,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 hari
mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh formulir
APT-6.
g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (f),
Apoteker diberikan kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum
dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal
Surat Penundaan.
h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi
persyaratan APA dan/atau persyaratan apotek atau lokasi apotek tidak
sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari
kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasannya
dengan menggunakan formulir APT-7.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


8

2.6. Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek (APA)


Sebelum melaksanan kegiatannya, Apoteker Pengelola Apotek (APA)
wajib memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yang berlaku untuk seterusnya selama
apotek masih aktif melakukan kegiatan dan APA dapat melakukan pekerjaannya
serta masih memenuhi persyaratan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 1332/Menkes/SK/2002, APA harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Ijazahnya telah terdaftar pada Kementerian Kesehatan.
b. Telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker
c. Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dari Menteri Kesehatan
d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan
tugasnya sebagai Apoteker.
e. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di
apotek lain.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian, setiap Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian
di Indonesia wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).

2.7. Pelayanan Apotek


Peraturan yang mengatur tentang Pelayanan Apotek adalah Peraturan
Menteri Kesehatan No. 922/Menkes/Per/X/1993 Bab VII Tentang Pelayanan,
yang meliputi :
a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan
dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab
Apoteker Pengelola Apotek.
b. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan
keahlian profesinya yang dilandasi padda kepentingan masyarakat.
c. Apoteker tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep
dengan obat bermerek dagang. Namun resep dengan obat bermerek
dagang atau obat paten boleh diganti dengan obat generik.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


9

d. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker
wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat
yang lebih tepat.
e. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan
obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.
f. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau
penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada
dokter penulis resep.
g. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada
pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau
membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.
h. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.
i. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun.
j. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis
resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas
kesehatan, atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-
undangan yang berlaku.
k. Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping atau Apoteker
Pengganti diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan
sebagai Daftar Obat Wajib Apotek, yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
l. Apoteker Pengelola Apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti
di dalam pengelolaan Apotek. Apoteker Pendamping bertanggung jawab
atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan
bertugas menggantikan Apoteker Pengelola Apotek.
m. Dalam pelaksanakan pengelolaan apotek, APA dapat dibantu oleh Asisten
Apoteker (AA). AA melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek di bawah
pengawasan Apoteker.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


10

2.8. Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian, pelayanan kefarmasian di Apotek hanya dapat dilakukan oleh
apoteker yang memiliki STRA dan SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker). Dalam
melaksanakan tugas tersebut, apoteker dapat dibantu oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK (Surat Tanda Registrasi Tenaga
Teknis Kefarmasian). Pelayanan kefarmasian di Apotek menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/2004 meliputi :

2.8.1. Pelayanan Resep


a. Skrining resep
Apoteker melakukan skrining resep meliputi:
1. Persyaratan administratif, seperti : nama, SIP, dan alamat dokter;
tanggal penulisan, resep, nama, alamat, umut, jenis kelamin, dan berat
badan pasien; nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta, cara
pemakaian serta informasi lainnya.
2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan
terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep
dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
b. Penyiapan Obat
1. Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan
peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan
memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket
yang benar.
2. Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca
3. Kemasan Obat yang Diserahkan

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


11

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok


sehingga terjaga kualitasnya.
4. Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat
dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan
konseling kepada pasien.
5. Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi
obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat,
cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta
makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
6. Konseling
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,
pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar
dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk
penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes,
TBC,asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan
konseling secara berkelanjutan.
7. Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

2.8.2. Promosi dan Edukasi


Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan
edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk
penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu
diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster,
penyuluhan, dan lain lainnya.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


12

2.8.3. Pelayanan Residensial (Home Care)


Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia
dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas
iniapoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication
record).

2.9. Pengelolaan Apotek


Pengelolaan Apotek adalah seluruh upaya dan kegiatan Apoteker untuk
melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan apotek. Pengelolaan apotek oleh APA
ada dua bentuk yaitu pelayanan teknis kefarmasian dan pelayanan non teknis
kefarmasian.

2.9.1. Pengelolaan Teknis Kefarmasian


Pengelolaan apotek berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.922/Menkes/Per/X/1993 pasal 10 meliputi :
1. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,
penyimpanan, dan penyerahan obat atau bahan obat.
2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, penyerahan perbekalan farmasi
lainnya.
3. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi
pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi lainnya yang diberikan
baik kepada dokter, tenaga kesehatan lainnya, maupun kepada masyarakat
serta pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan
atau mutu obat serta perbekalan farmasi lainnya.

2.9.2. Pengelolaan Non Teknis Kefarmasian


Pengelolaan non teknis kefarmasian meliputi semua kegiatan administrasi,
keuangan, personalia, pelayanan komoditi selain perbekalan farmasi dan bidang
lainnya yang berhubungan dengan fungsi apotek. Agar dapat mengelola apotek
dengan baik dan benar, seorang APA dituntut untuk memiliki pengetahuan dan
keterampilan memadai yang tidak hanya dalam bidang farmasi tetapi juga dalam

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


13

bidang lain seperti manajemen. Prinsip dasar manajemen yang perlu diketahui
oleh seorang APA dalam mengelola apoteknya adalah (Daris, Azwar, 2011) :
a. Perencanaan, yaitu pemilihan dan penghubungan fakta serta penggunaan
asumsi untuk masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan
merumuskan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
b. Pengorganisasian, yaitu menyusun atau mengatur bagian-bagian yang
berhubungan satu dengan lainnya, dimana tiap bagian mempunyai suatu
tugas khusus dan berhubungan secara keseluruhan.
c. Kepemimpinan, yaitu kegiatan untuk mempengaruhi dan memotivasi
pegawainya agar berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
d. Pengawasan, yaitu tindakan untuk mengetahui hasil pelaksanaan untuk
kemudian dilakukan perbaikan dalam pelaksanaan kerja agar segala
kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sehingga tujuan
yang diinginkan dapat tercapai.

2.10. Personalia Apotek


Apoteker adalah tenaga profesi yang memiliki dasar pendidikan serta
keterampilan dibidang farmasi dan diberi wewenang serta tanggung jawab untuk
melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah
apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 pasal 19 disebutkan mengenai
ketentuan beberapa pelimpahan tanggung jawab pengelola apotek :
a. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek,
APA harus menunjuk Apoteker pendamping. Apoteker pendamping
adalah Apoteker yang telah bekerja di apotek di samping APA dan/atau
menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
b. Apabila APA dan Apoteker pendamping karena hal-hal tertentu
berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjukkan Apoteker pengganti.
Apoteker pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama
APA tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus
menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak
sebagai APA di apotek lain.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


14

c. Penunjukan tersebut harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi setempat dengan menggunakan formulir APT-9.
d. Apoteker pendamping dan Apoteker pengganti wajib memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
e. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara
terus-menerus, Surat Izin Apotek atas nama Apoteker yang bersangkutan
dapat dicabut.

Untuk mendukung kegiatan di apotek, apabila apotek yang dikelola cukup


besar dan padat, diperlukan tenaga kerja lain, seperti Asisten Apoteker (AA) yaitu
mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berhak melakukan
pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker di bawah pengawasan Apoteker;
juru resep yaitu petugas yang membantu pekerjaan Asisten Apoteker serta
personel lain yang dapat melakukan fungsi keuangan dan administrasi.
Selanjutnya, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
922/Menkes/Per/X/ 1992 pasal 20 sampai 23 dijelaskan bahwa Apoteker
Pengelola Apotek (APA) bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang
dilakukan oleh Apoteker pendamping maupun Apoteker pengganti, dalam
pengelolaan apotek. Apoteker pendamping bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas mengganti APA.
Pada setiap pengalihan tanggung jawab kefarmasian yang disebabkan karena
penggantian APA oleh Apoteker pengganti, harus diikuti dengan serah terima
resep, narkotika dan perbekalan farrmasi lainnya, serta kunci-kunci tempat
penyimpanan narkotika dan psikotropika. Serah terima ini harus diikuti dengan
pembuatan berita acara.
Pada pasal 24, dijelaskan bahwa apabila APA meninggal dunia, maka ahli
waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut dalam waktu 2x24 jam kepada
Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat
Apoteker pendamping, maka laporan wajib disertai penyerahan resep, narkotika,
psikotropika, obat keras serta kunci tempat penyimpanan narkotika dan
psikotropika. Penyerahan dibuat berita acara serah terima sebagaimana dimaksud

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


15

pasal 23 ayat (2) kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan menggunakan


formulir APT-11 dengan tembusan kepada Kepala Balai POM setempat.

2.11. Pencabutan Surat Izin Apotek


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/
2002 pasal 25 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila:
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Apoteker
Pengelola Apotek, dan/atau
b. Apoteker tidak memenuhi kewajibannya dalam menyediakan, menyimpan
dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan
keabsahannya terjamin dan melakukan penggantian obat generik dalam
resep dengan obat paten, dan/atau
c. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus
menerus, dan/atau
d. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang Obat Keras No. St. 1937
No. 541, Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-
undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-undang No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika, serta ketentuan peraturan perundang-
undangan, dan/atau
e. Surat Izin Kerja APA dicabut dan/atau
f. Pemilik Sarana Apotek (PSA) terbukti terlibat dalam pelanggaran
perundangundangan di bidang obat, dan/atau
g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan


harus berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan pencabutan
Surat Izin Apotek dilakukan setelah dikeluarkan peringatan secara tertulis kepada
Apoteker Pengelola Apotek sebanyak tiga kali beturut-turut dengan tenggang
waktu masing-masing dua bulan dengan menggunakan contoh formulir APT-12.
Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya enam bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek dengan menggunakan
contoh formulir APT-13. Pembekuan SIA dapat dicairkan kembali apabila

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


16

Apoteker telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan


ketentuan dalam peraturan.
APA atau Apoteker pengganti wajib mengamankan perbekalan
farmasinya. Pengamanan dilakukan yaitu dengan cara dilakukaninventarisasi
terhadap seluruh persediaan narkotik, obat keras tertentu dan obat lainnya serta
seluruh resep yang tersedia di apotek. Narkotika, psikotropika dan resep harus
dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci. Apoteker Pengelola Apotek
wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/Kota,
tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud di atas.

2.12. Sediaan Farmasi


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Presiden
Republik Indonesia, 2009). Obat-obat yang beredar di Indonesia berdasarkan
keamanan dan pengamanannya digolongkan mejadi empat kelompok obat, yaitu
obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan obat narkotika.. Penggolongan ini
dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran dan pemakaian
obat-obat tersebut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.12.1. Obat Bebas


Obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter merupakan Obat Bebas. Pada
kemasan ditandai dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan berwarna hijau
yang dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 2.1. Dalam kemasan obat
disertakan brosur yang berisi nama obat, nama dan isi zat berkhasiat, indikasi,
dosis, aturan pakai, efek samping , nomor batch, nomor registrasi, nama dan
alamat pabrik, serta cara penyimpanannya (Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan
Bebas Terbatas, 2006). Contohnya adalah Panadol®.

Gambar 2.1. Penandaan Obat Bebas


Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


17

2.12.2. Obat Bebas Terbatas


Obat yang digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang dapat
dikenali oleh penderita sendiri merupakan Obat Bebas Terbatas. Obat bebas
terbatas termasuk obat keras dimana pada setiap takaran yang digunakan diberi
batas dan pada kemasan ditandai dengan lingkaran hitam mengelilingi bulatan
berwarna biru serta, disertai tanda peringatan P. No.1 sampai P. No. 6 dan harus
ditandai dengan etiket atau brosur yang menyebutkan nama obat yang
bersangkutan, daftar bahan berkhasiat serta jumlah yang digunakan, nomor bets,
tanggal kadaluarsa, nomor registrasi, nama dan alamat produsen, petunjuk
penggunaan, indikasi, cara pemakaian, peringatan serta kontra indikasi (Pedoman
Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, 2006). Peringatan pada obat bebas
terbatas yaitu :
1. Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya. Contohnya adalah ce te
em® dan antimo ®.
2. Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Contohnya adalah
listrin® dan abotil®.
3. Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan. Contohnya adalah
betadine®.
4. Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar. Jenis obat bebas terbatas dengan
peringatan ini tidak dipakai lagi.
5. Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan. Contohnya adalah suppositoria
dulcolax®.
6. Awas! Obat Keras. Obat wasir jangan ditelan. Contohnya adalah
suppositoria tramal®.
Penandaan terhadap obat bebas terbatas beserta Penandaan peringatan
dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.

Gambar 2.2. Penandaan Obat Bebas Terbatas.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


18

Gambar 2.3. Penandaan Peringatan pada Obat Bebas Terbatas.

2.12.3. Obat Keras


Obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter adalah Obat Keras.
Pada bungkus luarnya, obat ini diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam
dengan dasar merah yang didalamnya terdapat huruf “K” yang menyentuh garis
tepi (Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, 2006). Tanda dapat
dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Penandaan Obat Keras.

Obat yang masuk ke dalam golongan obat keras ini adalah obat yang
dibungkus sedemikian rupa yang digunakan secara parenteral, baik dengan cara
suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan merobek jaringan, obat
baru yang belum tercantum dalam kompendial/farmakope terbaru yang berlaku di
Indonesia serta obat-obat yang ditetapkan sebagai obat keras melalui keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Contoh obat keras adalah antibiotik oral
dan hormon.
Psikotropika digolongkan sebagai obat keras yang memerlukan
pengawasan khusus. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
tahun 1997 tentang Psikotropika, Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


19

maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh


selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Contoh psikotropika adalah alprazolam dan
diazepam.

2.12.4. Obat Golongan Narkotika


Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dalam
Bab I pasal 1 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan (Presiden Republik Indonesia, 1978). Contoh narkotika adalah
morfin dan kodein.

Gambar 2.5. Penandaan Obat Golongan Narkotika.

2.13. Obat Generik


Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalam
Farmakope Indonesia dan International Non Proprietary Name (INN) WHO
untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Selain itu obat generik dapat juga
merupakan obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh
semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Obat Generik Berlogo
adalah obat generik yang menyandang logo yang diciptakan pemerintah, sebagai
lambang yang menyatakan bahwa obat generic tersebut di produksi pabrik obat
yang sudah menerapkan Sertifikat Cara Produksi Yang Baik (CPOB). Kewajiban
menuliskan resep dan atau menggunakan obat generik pada fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.

2.14. Obat Wajib Apotek


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.919/Menkes/Per/X/1993, obat
wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan pada pasien tanpa resep
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


20

dokter dengan mengikuti peraturan dari Menteri Kesehatan. Obat yang dapat
diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria :
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit..
c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.924/Menkes/Per/X/1993


Tentang Daftar Perubahan Golongan Obat No.1 ,yang termasuk dalam Obat
Wajib Apotek Golongan 1 antara lain Aminofilin, Benzokonium, Benzokain,
Bromheksin, Centrimid, Difenhidramin, Ibuprofen, Lidokain, Mebendazol,
Oksimetazolin, Teofilin, Tolnaftat, dan Triprolidin. Dalam permenkes tersebut,
beberapa obat yang berdasarkan Permenkes No. 347 Tahun 1990 merupakan
OWA berubah menjadi obat bebas terbatas atau obat bebas serta disertai
keterangan pembatasannya.
Tambahan terhadap daftar Obat Wajib Apotek Golongan 1 tercantum
dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.924/Menkes/Per/X/1993 Tentang
Daftar Obat Wajib No.2 dan Keputusan Menteri Kesehatan
No.1176/Menkes/SK/X/1999 Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No. 3 . Obat
Wajib Apotek Golongan 2 antara lain Albendazol, Basitrasin, Klindamisin,
Deksametason, Natrium Diklofenak, Flumetason, Ibuprofen, Ketokonazol,
Metilprednisolon, dan lain-lain.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No.1176/Menkes/SK/X/1999 Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No. 3 Obat
Wajib Apotek No. 3 diantaranya Famotidin dan Ranitidin (Pemberian hanya atas
dasar pengobatan ulangan dari dokter), Asam fusidat, Tretinoin, Obat
Antituberkulosis, Alopurinol, Natrium Diklofenak, Kloramfenikol dan yang

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


21

lainnya yang termasuk dalam daftar yang telah diatur. Daftar DOWA terlampir
pada lampiran 1-5.

2.15. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/IX/
2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pengelolaan persediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan
perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan
pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO
(first expire first out).
a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu
diperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat, budaya masyarakat.
b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan
farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c. Penyimpanan
Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang
jelas pada wadah baru, wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat,
nomor batch dan tanggalkadaluarsa. Semua bahan obat harus disimpan
pada kondisi yang sesuai, layak, dan menjamin kestabilan bahan
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.16. Pengelolaan Narkotika


Menurut Undang-undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
narkotika dibagi menjadi tiga golongan, yang terdiri dari narkotika golongan I,
golongan II dan golongan III. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan, contohnya heroin, meskalin dan MDMA. Narkotika golongan II

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


22

adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir


dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan,
contohnya morfin, metadon dan petidin. Narkotika golongan III adalah narkotika
yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan, contohnya kodein, propiran dan buprenorfin.
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
dan seksama. Oleh karena itu, pengaturan narkotika harus benar-benar terkontrol,
baik dalam hal mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,
mengedarkan dan menggunakan narkotika harus dikendalikan dan diawasi dengan
ketat. Tujuan pengaturan narkotika tersebut adalah menjamin ketersediaan
narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, mencegah tejadinya penyalahgunaan narkotika dan memberantas
peredaran obat gelap.
Di Indonesia, pengendalian dan pengawasan narkotika merupakan
wewenang Badan POM. Untuk mempermudah pengendalian dan pengawasan
narkotika maka pemerintah Indonesia hanya memberikan izin kepada PT. Kimia
Farma (Persero), Tbk., untuk mengimpor bahan baku, memproduksi sediaan dan
mendistribusikan narkotika di seluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan
mengingat narkotika adalah bahan berbahaya yang penggunaannya dapat
isalahgunakan. Secara garis besar pengelolaan narkotika meliputi pemesanan,
penyimpanan, pelayanan, pelaporan dan pemusnahan.

2.16.1. Pemesanan Narkotika


Berdasarkan Undang-undang No. 35 tahun 2009, apotek hanya dapat
memesan narkotika melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) tertentu yang telah
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Untuk memudahkan pengawasan maka
apotek hanya dapat memesan narkotika ke PBF PT. Kimia Farma, Tbk., dengan
menggunakan Surat Pesanan (SP) yang ditandatangani oleh APA serta dilengkapi

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


23

dengan nama jelas, nomor SIK, nomor SIA dan stempel apotek. Satu SP hanya
boleh memesan satu jenis narkotika. Surat Pesanan terdiri dari empat rangkap,
tiga rangkap termasuk aslinya diserahkan ke pihak distributor (Kimia Farma)
sementara sisanya disimpan oleh pihak apotek sebagai arsip.

2.16.2. Penerimaan dan Penyimpanan Narkotika


Penerimaan narkotika dilakukan oleh APA yang dapat diwakilkan oleh
AA yang mempunyai SIK dengan menandatangani faktur, mencantumkan nama
jelas, nomor Surat Izin Apotek dan stempel apotek. Segala zat atau bahan yang
termasuk narkotika di apotek wajib disimpan khusus sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan pasal 14 ayat (1) UU no. 35 tahun 2009.
Tata cara penyimpanan narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.
28/Menkes/Per/V/1978. Dalam Peraturan tersebut dinyatakan bahwa apotek harus
mempunyai tempat khusus untuk menyimpan narkotika. Tempat penyimpanan
narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
b. Harus mempunyai kunci yang kuat.
c. Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan. Bagian pertama
digunakan untuk penyimpanan morfin, petidin dan garam-garamnya serta
persediaan narkotika. Bagian kedua digunakan untuk menyimpan
narkotika yang digunakan sehari-hari.
d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari dengan ukuran kurang dari
40 x 80 x 100 cm maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau
lantai.
e. Lemari khusus tidak dipergunakan untuk menyimpan bahan lain selain
narkotika, kecuali ditentukan lain oleh Menteri Kesehatan.
f. Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh pegawai yang diberi kuasa.
g. Lemari khusus harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak boleh
terlihat oleh umum.

2.16.3. Pelayanan Resep yang Mengandung Narkotika


Ketentuan-ketentuan peresepan obat narkotika :
a. Hanya dapat diserahkan dengan resep dokter.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


24

b. Resep tidak boleh diulang, tiap kali harus ada resep baru.
c. Resep yang mengandung narkotika diberi garis merah.
d. Nama dan alamat pasien dicatat di belakang resep.
e. Penyimpanan resep dipisahkan dari resep-resep yang lain.

Selain itu, berdasarkan atas Surat Edaran Direktorat Jenderal POM


(sekarang Badan POM) No. 336/E/SE/1997 disebutkan :
a. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama
sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut
hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep asli.
b. Salinan resep dan resep narkotika dengan iter tidak boleh dilayani sama
sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada
resep-resep yang mengandung narkotika.

2.16.4. Pelaporan Narkotika


Dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat (2) disebutkan
bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan dan menyimpan
laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada
dalam penguasaannya. Laporan narkotika diberikan kepada Suku Dinas Pelayanan
Kesehatan setempat selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya, dengan
tembusan kepada Balai Besar POM. Apotek berkewajiban menyusun dan
mengirim laporan bulanan yang ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek.

2.16.5. Pemusnahan Narkotika


Apoteker Pengelola Apotek yang memusnahkan narkotika harus membuat
Berita Acara Pemusnahan Narkotika, yang sekurang-kurangnya memuat :
a. Hari tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan.
b. Nama APA
c. Nama seorang saksi dari Pemerintah dan seorang saksi lain dari pihak
apotek
d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


25

e. Cara pemusnahan (dibakar, dihancurkan, dipendam)


f. Tanda Tangan APA
Berita acara kemudian dikirimkan ke Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan dan Dinas Kesehatan Dati II/Kodya/Propinsi dan menyimpan
sebagai arsip.

2.17. Pengelolaan Psikotropika


Pengertian psikotropika dalam UU No. 5 tahun 1997 adalah zat atau obat,
baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku. Ruang lingkup pengaturan psikotropika dalam
UU No. 5 tahun 1997 adalah segala hal yang berhubungan dengan psikotropika
yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Tujuan pengaturan psikotropika sama
dengan narkotika, yaitu menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan
pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan
psikotropika dan memberantas peredaran gelap psikotropika.
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa
Psikotropika golongan I dan II telah dipindahkan menjadi Narkotika golongan I
sehingga lampiran mengenai Psikotropika golongan I dan II pada UU No. 5 tahun
1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga, obat-obat yang tergolong
psikotropik saat ini adalah psikotropik golongan 3 dan 4 dalam lampiran UU No.
tahun 1997 tentang psikotropika. Secara garis besar pengolahan psikotropika
meliputi pemesanan, penyimpanan, pelaporan dan pemusnahan.

2.17.1. Pemesanan Psikotropika


Pemesanan Psikotropika memerlukan SP, dimana satu SP bisa digunakan
untuk beberapa jenis obat. Penyaluran psikotropika tersebut diatur dalam UU No.
5 tahun 1997 pasal 12 ayat (2). Dalam pasal 14 ayat (2) dinyatakan bahwa
penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek
lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pasien dengan
resep dokter. Tata cara pemesanan dengan menggunakan SP yang ditandatangani
oleh APA. Surat pesanan terdiri dari dua rangkap, aslinya diserahkan ke pihak
distributor sementara salinannya disimpan oleh pihak apotek sebagai arsip. Satu

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


26

SP dapat digunakan untuk pemesananbeberapa jenis psikotropika.

2.17.2. Penyimpanan Psikotropika


Penyimpanan psikotropika sampai saat ini belum diatur oleh
perundangundangan. Namun mengingat obat-obat tersebut cenderung
disalahgunakan maka disarankan agar penyimpanan obat-obat golongan
psikotropika diletakkan tersendiri dalam suatu rak atau lemari khusus (Presiden
Republik Indonesia, 2009).

2.17.3. Pelaporan Psikotropika


Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan yang berhubungan dengan
psikotropika dan dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara berkala sesuai
dengan UU No. 5 tahun 1997 pasal 33 ayat 1 dan pasal 34 tentang pelaporan
psikotropika. Laporan dikirim setahun sekali ke Suku Dinas Pelayanan Kesehatan
setempat selambat-lambatnya tanggal 10 tahun berikutnya dengan tembusan
kepada Balai Besar POM (Presiden Republik Indonesia, 2009).

2.17.4. Pemusnahan Psikotropika


Pemusnahan psikotropika berdasarkan pasal 53 UU No. 5 tahun 1997
tentang psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana,
diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak
dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika, kadaluarsa atau tidak
memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita
acara dalam waktu tujuh hari setelah mendapat kepastian.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


BAB 3
TINJAUAN KHUSUS APOTEK RINI

Apotek Rini didirikan pada tanggal 14 Desember 1968. Pendirinya adalah


kakak beradik Ny. Murdiana Baskoro, H. Slamet Effendi (Alm) dan Ny. Murdiati
Purnomohadi (Alm). Nama apotek ini diambil dari nama adik terkecil mereka yaitu
Rini. Apotek Rini memiliki tiga orang Apoteker, terdiri dari satu Apoteker Pengelola
Apotek (APA) yaitu Drs. Umar Mansur, MSc. yang bergabung dengan apotek Rini
sejak tahun 1979 dan dua orang Apoteker pendamping yaitu DR. Maksum Radji, M.
Biomed. yang bergabung dengan apotek Rini sejak tahun 1982 dan Meta Pramana,
S.Si, Apt. yang juga menjadi salah satu pimpinan di apotek Rini.

3.1 Lokasi
Apotek Rini berada di Jalan Balai Pustaka Timur No. 11, Rawamangun,
Jakarta Timur. Lokasinya yang strategis, terletak di daerah yang ramai dan padat
penduduk, dekat dengan beberapa Rumah Sakit antara lain Rumah Sakit Persahabatan
dan Rumah Sakit Dharma Nugraha, selain itu dekat dengan tempat praktek dokter
yang berlokasi di sebelah apotek, serta dekat dengan pusat perbelanjaan Tip Top.
Apotek Rini berada di pinggir jalan dua arah yang dilalui oleh kendaraan umum,
sehingga mudah dijangkau oleh pasien. Apotek Rini memiliki halaman parker yang
cukup luas, sehingga memudahkan pasien yang membawa kendaraan pribadi untuk
parkir di depan apotek. Lokasi apotek Rini dapat dilihat pada lampiran 6.

3.2 Bangunan dan Tata Ruang


Bangunan apotek Rini terdiri dari ruang tunggu, ruang pelayanan, ruang
peracikan, ruang administrasi dan keuangan, ruang pimpinan gudang, ruang sholat,
toilet dan dapur. Denah apotek Rini selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7.

27 Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


28

3.2.1 Ruang Tunggu


Bagian depan Apotek Rini terdapat ruang tunggu yang cukup luas, dilengkapi
dengan fasilitas yang membuat konsumen nyaman selama menunggu waktu
penyelesaian resep, seperti fasilitas televisi yang diletakkan di sudut kanan ruang
tunggu agar pasien tidak merasa jenuh ketika menunggu, bangku panjang yang cukup
banyak di sekeliling pinggir ruang tunggu, dan pendingin ruangan. Selain itu, terdapat
juga fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di sebelah ruang tunggu yang
mempermudah pasien untuk mengambil uang.

3.2.2 Bagian Penerimaan Resep, Pembayaran dan Penyerahan Obat


Bagian depan Apotek Rini juga terdapat bagian penerimaan resep,
pembayaran dan penyerahan obat terletak di depan ruang tunggu yang dibatasi
dengan etalase dan rak-rak yang ada di display produk OTC (Over The Counter) dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), seperti kosmetika, perlengkapan bayi
dan perlengkapan sehari-hari (sabun, sampo, dll) yang dikelompokkan berdasarkan
jenisnya. Bagian penerimaan resep juga menerima pembelian obat bebas dan PKRT
(Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga). Pada bagian pembayaran terdapat tiga kasir
yang saling terhubung dengan suatu system jaringan komputer on-line. Semua produk
yang telah dibayar dan telah selesai disiapkan akan dicap dan diserahkan ke bagian
penyerahan obat.

3.2.3 Ruang Peracikan


Di bagian dalam Apotek Rini terdapat ruang peracikan yang terpisah dari
ruang tunggu, sehingga terhindar dari pandangan langsung konsumen. Antara ruang
peracikan dan bagian penerimaan resep terdapat loket untuk meletakkan resep yang
sudah diinput transaksinya dalam computer kemudian ditulis nomor transaksi dan
diberi harga. Ruang ini cukup luas dan dilengkapi dengan pendingin ruangan yang
berfungsi untuk menjaga suhu ruangan agar tetap sejuk selama obat tersimpan dalam
rak obat di Apotek Rini.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


29

Di ruang peracikan terdapat dua buah komputer yang terhubung dengan


komputer bagian pemberian harga, bagian pembelian, kasir, gudang, ruang pimpinan
dan satu buah mesin fax untuk melayani resep yang diantar untuk daerah
Rawamangun dan sekitarnya.
Pada ruang peracikan, penyimpanan obat disusun secara abjad dan
berdasarkan jenis sediaan (tablet, sirup, krim/salep, obat tetes, obat suntik dan infus)
di rak dan etalase untuk memudahkan pencarian dan pengambilan obat. Obat-obat
yang harganya relatif mahal diletakkan secara terpisah pada lemari tersendiri dekat
meja pemberian etiket. Penyimpanan narkotika dilakukan pada lemari kayu yang
menempel di dinding dan dikunci, sedangkan sediaan psikotropika dipisahkan
penyimpanannya pada suatu rak tersendiri. Sediaan yang harus disimpan pada suhu
dingin, seperti supositoria, insulin, vaksin dan sebagian obat-obat suntik diletakkan di
lemari pendingin yang terpisah.
Pada ruangan ini terdapat meja untuk melakukan kegiatan peracikan dan meja
untuk melakukan pemeriksaan obat serta penulisan salinan resep. Di dekat meja
peracikan juga terdapat timbangan. Meja untuk menangani resep racikan terdiri dari
meja untuk menghitung, menyalin resep, menyiapkan dan meracik puyer dan kapsul.
Pengerjaan sediaan setengah padat dan melarutkan sirup kering dilakukan di meja
terpisah yang terletak di belakang ruang peracikan. Meja pemeriksaan obat dan
penulisan salinan resep berdekatan dengan bagian penyerahan obat. Meja ini
digunakan untuk pemberian etiket obat paten, penulisan salinan resep dan pembuatan
kwitansi. Contoh salinan resep, etiket dan kuitansi dapat dilihat pada lampiran 8, 9
dan 10.

3.2.4 Ruang Administrasi dan Pembelian


Pada bagian samping apotek terdapat ruang administrasi dan pembelian yang
dilengkapi seperangkat komputer. Semua urusan kepegawaian dan administrasi
perusahaan dilakukan di ruangan ini. Ruang pembelian terdapat di sebelah ruang
administrasi dilengkapi dengan komputer yang digunakan untuk mengecek kembali
persediaan obat apabila meragukan sehingga pemesanan obat sesuai dengan yang
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


30

dibutuhkan. Selain itu juga terdapat meja untuk melaksanakan transaksi pemesanan
obat dan penukaran faktur, serta penyerahan giro saat waktu pembayaran tiba. Di
ruangan ini pun terdapat meja untuk APA melakukan kegiatan administrasi.

3.2.5 Ruang Pimpinan


Di dekat gudang baru yang dulu merupakan tempat sholat wanita terdapat
ruang pimpinan. Ruang ini dilengkapi dengan ruang untuk menerima tamu, meja
kerja pimpinan dan seperangkat komputer.

3.2.6 Gudang
Obat-obatan di simpan di dalam gudang dengan penyimpanan yang bersekat-
sekat dimana obat disusun berdasarkan bentuk sediaan dan secara abjad dengan
menggunakan sistem FIFO (First In First Out). Ruangan ini juga dilengkapi dengan
komputer untuk memasukkan persediaan barang barang.

3.2.7 Ruang Makan


Bagian belakang Apotek Rini terdapat ruang makan yang digunakan untuk
tempat makan dan istirahat para karyawan, serta tempat penyimpanan resep dalam
jangka waktu setahun. Selain itu ruang makan juga digunakan sebagai tempat
penyimpanan dan pembuatan sediaan-sediaan standar (anmaak), seperi Obat Batuk
Hitam (OBH), gargarisma khan, rivanol, alkohol 70%, bedak salisiat, salep ichtyol,
spiritus bakar dan sebagainya.

3.2.8 Ruang Sholat


Di dekat ruang makan terdapat ruang sholat. Sebelumnya ruang sholat
dipisahkan antara karyawan pria dan wanita, namun saat ini ruang sholat digabung
menjadi satu.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


31

3.3 Struktur Organisasi


Apotek Rini dikepalai oleh seorang pimpinan sekaligus sebagai Pemilik
Sarana Apotek (PSA) yang memimpin apotek secara keseluruhan. Salah satu
pimpinan apotek Rini juga seorang Apoteker, dengan demikian Apotek Rini
mempunyai tiga orang Apoteker yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan di
apotek, yaitu Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker pendamping dan wakil
pimpinan. Kegiatan teknis kefarmasian dibantu oleh Asisten Apoteker, juru resep dan
kasir, sedangkan untuk kegiatan non kefarmasian, seperti pembelian, piutang dagang,
hutang dagang, pajak dan laporan keuangan dilakukan oleh bagian administrasi.
Apotek Rini juga memiliki satpam untuk menjaga keamanan di sekitar apotek dan
bila diperlukan dapat diperbantukan untuk mengantarkan resep. Adapun rincian
karyawan yang ada di apotek Rini adalah satu orang APA, dua orang Apoteker
pendamping, tiga orang Asisten Apoteker kepala yang dibagi menjadi tiga shift, 31
orang Asisten Apoteker (AA) yang dibagi menjadi tiga shift, 21 orang juru resep yang
dibagi menjadi tiga shift, dua orang administrasi, lima orang kasir dan tujuh orang
satpam yang dibagi menjadi tiga shift. Jumlah total karyawan di apotek Rini adalah
74 orang. Struktur organisasi apotek Rini dapat dilihat pada lampiran 11.

3.4 Kegiatan-Kegiatan di Apotek


Kegiatan di apotek Rini dikelompokkan menjadi dua, yaitu kegiatan dibidang
teknis kefarmasian dan non teknis kefarmasian.

3.4.1 Kegiatan Teknis Kefarmasian


Kegiatan pengadaan/pembelian perbekalan farmasi, penyimpanan barang,
pembuatan obat racikan,penjualan, dan pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan
teknis kefarmasian.

3.4.1.1 Pengadaan/Pembelian Perbekalan Farmasi


Pengadaan perbekalan farmasi dilakukan oleh petugas dari bagian pembelian
(Asisten Apoteker) dengan menggunakan surat pesanan yang telah ditandatangani
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


32

oleh APA. Pengadaan perbekalan farmasi ini dilaksanakan melalui pembelian secara
tunai maupun kredit.
Dari hasil print out pengeluaran barang-barang dalam satu hari, petugas
bagian pembelian melakukan pencatatan barang-barang yang akan dibeli, yaitu
barang-barang yang jumlahnya sudah di bawah atau mendekati stok minimum serta
barang-barang yang bersifat fast moving walaupun belum mencapai stok minimum.
Stok minimum ditetapkan berdasarkan hasil penjualan pada bulan sebelumnya atau
trend penjualan. Bagian pembelian ini mengelompokkan obat atau barang yang
dipesan sesuai dengan nama distributor. Surat Pesanan (SP) yang dibuat
ditandatangani oleh APA dan SP ini akan diambil langsung oleh salesman pada pagi
hari. Untuk pemesanan cito disampaikan melalui telepon, dimana SP menyusul ketika
barang diantar. Pada hari yang sama di sore harinya, barang-barang yang dipesan
diantarkan disertai dengan faktur sebagai tanda bukti penyerahan barang. Petugas
bagian penerimaan barang memeriksa keadaan fisik barang, tanggal kadaluarsa, jenis
dan jumlah barang sesuai dengan faktur. Petugas akan menandatangani dan
memberikan stempel apotek pada faktur asli dan salinan faktur apabila barang yang
diterima sesuai dengan pesanan. Faktur asli dikembalikan kepada distributor dan dua
lembar salinannya diberikan masingmasing pada Asisten Apoteker yang bertugas di
bagian gudang dan bagian input data. Contoh surat pesanan dan faktur dapat dilihat
pada lampiran 12 dan 13.

3.4.1.2 Penyimpanan dan Pengeluaran Barang


Barang-barang yang telah selesai didata oleh bagian gudang, kemudian akan
disusun berdasarkan bentuk sediaan secara alfabetis dan dengan sistem FIFO (First In
First Out). Obat bebas dan obat bebas terbatas disimpan langsung di ruang pelayanan,
sedangkan untuk obat keras dan obat generik diletakkan di ruang peracikan.

3.4.1.3 Pembuatan Sediaan Standar (Anmaak)


Sediaan standar (anmaak) adalah obat yang dibuat sendiri oleh apotek
berdasarkan resep standar dari buku resmi untuk dijual bebas ataupun berdasarkan
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


33

resep dokter. Acuan yang dipakai untuk formula standar ini adalah Farmakope
Belanda. Beberapa obat racikan yang dibuat di apotek Rini, antara lain OBH, Boor
Zalf, AAV Zaff I, Liquor Faberi, rivanol 1%, alkohol 70%, gargarisma khan, Lotio
Calamine, bedak salisilat. Pembuatan sediaan anmaak ini berdasarkan nilai stok
minimum yang ada.

3.4.1.4 Penjualan
Kegiatan penjualan pada apotek Rini, antara lain melayani penjualan resep
tunai, resep kredit, penjualan OTC, kosmetik, dan lainya.
a. Penjualan Resep Tunai
Penjualan obat berdasarkan resep dokter kepada pasien dengan pembayaran
tunai, debit atau kartu kredit disebut penjualan resep tunai. Alur pemesanan
tunai dapat dilihat pada Gambar 3.1.
b. Penjualan Resep Kredit
Penjualan yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama yang disepakati
antara perusahaan/instansi (baik pemerintah maupun swasta) dengan apotek
Rini disebut penjualan resep kredit. Pembayaran dilakukan dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan perjanjian sebelumnya, biasanya penagihan
dilakukan pada akhir bulan. Perusahaan/instansi dan rumah sakit yang bekerja
sama dengan apotek Rini antara lain IAI, Tarakanita, Dino Indria, PT.
Triyasa, RS. Mitra Kemayoran, RS. Mitra Kelapa Gading, dan RS.
Rawamangun. Alur pengerjaan pelayanan resep kredit tidak berbeda dengan
resep tunai, tetapi resep kredit memiliki penomoran tersendiri yang berbeda
untuk tiap perusahaan/instansi. Alur penjualan resep kredit dapat dilihat pada
Gambar 3.2.
c. Penjualan Over The Counter (OTC)
Kegiatan penjualan bebas meliputi penjualan obat bebas, obat bebas terbatas,
sediaan anmaak, obat tradisional, kosmetika, perlengkapan bayi, susu dan alat
kesehatan. Alur pelayanan OTC dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


34

3.4.2 Kegiatan Teknis Non Kefarmasian


Di Apotek Rini kegiatan teknis non kefarmasian meliputi kegiatan
administrasi pembelian, piutang, penjualan, administrasi pajak, personalia/umum dan
laporan keuangan.

3.4.2.1 Administrasi Pembelian


Kegiatan administrasi pembelian disebut juga dengan administrasi utang
dagang. Kegiatan ini meliputi :
a. Transaksi pembelian dimasukkan ke dalam komputer oleh Asisten Apoteker
berdasaran faktur dan kemudian diprint.
b. Transaksi kemudian diposting, dimana jumlah barang akan tercatat ke dalam
kartu stok dan jumlah uang akan tercatat pada transaksi hutang di komputer.
c. Penukaran faktur dilakukan setiap hari rabu. Distributor menyerahkan faktur
asli penjualan selama satu minggu dan tanda terima faktur beserta total harga
yang harus dibayar oleh apotek. Petugas yang bersangkutan akan membuat
tanda terima faktur dan tanggal pengambilan giro. Giro ini akan diambil
langsung oleh distributor pada waktu yang telah disetujui oleh kedua belah
pihak. Selanjutnya petugas akan memisahkan faktur pajak dan mencocokkan
faktur tersebut dengan data jumlah dan harga obat yang telah dimasukkan ke
komputer. Contoh tanda terima faktur dapat dilihat pada Lampiran 14.
d. Kemudian dilakukan posting pembayaran hutang ke dalam komputer.
e. Laporan pembayaran dapat dibuat setiap bulan dan dilaporkan kepada
pimpinan apotek.

3.4.2.2 Administrasi Piutang


Kegiatan administrasi piutang meliputi :
a. Petugas adminisrasi bertugas memasukkan semua transaksi piutang
berdasarkan kuitansi penagihan ke dalam arsip daftar piutang.
b. Pencatatan jumlah tagihan dilakukan setiap bulan atau setiap minggu
berdasarkan nama debitor dan kuitansinya.
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


35

c. Penagihan dilakukan dengan mendatangi langsung ke perusahaan/instansi


yang berpiutang.

3.4.2.3 Administrasi Penjualan


Pemberian harga resep, OTC dan DOWA dilakukan melalui komputer bagian
kasir di apotek Rini. Pada saat petugas memasukkan daftar barang yang dibeli dan
telah dibayar maka secara otomatis stok barang akan berkurang sesuai dengan
transaksi yang telah dilaksanakan. Ketika pergantian shift, masing-masing kasir
menyerahkan laporan perincian penjualan yang telah diprint. Setiap hari pada pukul
24.00 WIB dilakukan posting transaksi penjualan, baik dari penerimaan resep
maupun penjualan bebas oleh kasir yang bertugas pada malam hari. Hasilnya akan
digunakan sebagai dasar dalam pemesanan barang keesokan harinya.

3.4.2.4 Administrasi Pajak


Bagian pajak bertanggung jawab dalam menghitung serta mencatat jumlah
pajak yang harus dibayarkan oleh apotek.

3.4.2.5 Administrasi Personalia


Mencatat semua hal yang menyangkut urusan kepentingan pegawai, seperti
gaji dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kepegawaian yang sudah
mendapatkan persetujuan Direktur.

3.4.2.6 Laporan Keuangan


Laporan keuangan yang ada di Apotek Rini ditangani langsung oleh wakil
pimpinan yang juga merupakan Apoteker pendamping dengan dibantu oleh bagian
personalia.

3.5 Pengelolaan Narkotika


Pengelolaan narkotika di apotek Rini meliputi pengadaan, penyimpanan,
penjualan dan pelaporan narkotika.
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


36

3.5.1 Pengadaan Narkotika


Kegiatan pembelian narkotik yang dilakukan di Apotek Rini telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Pembelian narkotik dilakukan dengan memesan
narkotika ke PBF Kimia Farma. Contoh Surat Pesanan Narkotika dapat dilihat pada
lampiran 15.

3.5.2 Penyimpanan Narkotika


Pesanan narkotika diterima oleh petugas penerima barang (Asisten Apoteker)
dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, tanda tangan dan stempel apotek
dimana pembayaran dilakukan secara tunai. Obat-obatan golongan narkotika
disimpan dalam lemari kayu yang dibagi dua, masing-masing dilengkapi dengan
kunci dan menempel di dinding. Bagian pertama menyimpan morfin, petidin dan
garam-garamnya dan bagian kedua menyimpan narkotika yang digunakan sehari-hari.

3.5.3 Penjualan Narkotika


Apotek Rini melayani resep asli yang mengandung narkotika atau salinan
resep yang berasal dari apotek Rini dengan mencantumkan nama dan alamat pasien
yang jelas.

3.5.4 Pelaporan Narkotika


Kegiatan pelaporan narkotik Apotek Rini dilakukan kepada instansi yang
berwenang, yaitu Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur dengan
tembusan Kepala Balai Besar POM DKI Jakarta. Contoh pelaporan narkotika dapat
dilihat pada lampiran 16 dan 17.

3.6 Pengelolaan Psikotropika


Pengelolaan psikotropik di apotek Rini meliputi pengadaan, penyimpanan,
penjualan dan pelaporan.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


37

3.6.1 Pengadaan Psikotropika


Kegiatan pembelian psikotropik yang dilakukan di Apotek Rini telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Contoh Surat Pesanan Psikotropika dapat dilihat
pada lampiran 18.

3.6.2 Penyimpanan Psikotropika


Kegiatan penyimpanan psikotropik di Apotek Rini, yaitu ditempatkan pada
lemari khusus yang terpisah dari obat golongan lainnya.

3.6.3 Penjualan Narkotika


Apotek Rini melayani resep asli yang mengandung psikotropik dengan
mencantumkan nama dan alamat pasien yang jelas.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


BAB 4
PEMBAHASAN

Tersedianya sarana pelayanan kefarmasian yang baik adalah salah satu


faktor penunjang untuk dapat terwujudnya derajat kesehatan yang layak. Apotek
merupakan salah satu sarana pelayanan kefarmasian yang dapat mewujudkan
pelayanan kefarmasian yang memadai, dan menjadi tempat dilakukannya praktek
kefarmasian oleh apoteker serta tempat penyaluran sediaan farmasi, perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat. Praktek kefarmasian meliputi pembuatan,
pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan, dan
penyerahan obat atau bahan obat. Untuk dapat melaksanakan pelayanan
kefarmasian dengan baik, suatu apotek harus memiliki faktor-faktor pendukung
seperti lokasi, bangunan, persediaan produk farmasi, sumber daya manusia, dan
sistem manajemen yang baik. Selain itu, sebuah apotek memerlukan apoteker
yang profesional, kompeten dan berdedikasi pada perannya baik sebagai pelaku
profesi apoteker maupun sebagai pelaku wirausaha.
Pada kesempatan kali ini, penulis diberikan kesempatan untuk melakukan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Rini yang berlokasi di di Jalan
Balai Pustaka Timur No. 11 Rawamangun Jakarta Timur selama periode 2 April
sampai dengan 26 Mei 2014. Dari segi lokasi, Apotek Rini dapat dikatakan
terletak pada lokasi yang strategis. Apotek Rini berlokasi tepat di sisi jalan dua
arah yang banyak dilalui kendaraan baik kendaraan pribadi maupun kendaraan
umum, sehingga akses transportasi mudah dijangkau oleh masyarakat. Selain itu,
lingkungan sekitar Apotek Rini juga cukup ramai karena terletak dekat dengan
pemukiman padat penduduk dan juga terdapat beberapa sarana kesehatan lainnya
seperti tempat praktek dokter, rumah sakit (RS Umum Persahabatan, RS Dharma
Nugraha, RS Rawamangun), dan pelayanan kesehatan gereja. Adanya pusat
perbelanjaan Tip Top yang cukup ramai dikunjungi oleh pembeli serta lokasi
Apotik Rini yang berada di area pertokoan dan perkantoran juga merupakan salah
satu faktor pendukung lokasi yang strategis. Selain itu, persis di sebelah Apotek
Rini didirikan mesin ATM dari berbagai bank terkemuka sehingga memudahkan

39 Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


40

pasien untuk melakukan penarikan tunai ketika dibutuhkan. Denah lokasi Apotek
Rini dapat dilihat pada Lampiran 6.
Bangunan dan fasilitas yang baik juga merupakan faktor yang cukup
penting guna mencapai pelayanan kefarmasian yang baik. Apotek Rini memiliki
bangunan dengan kondisi dan tata letak yang baik, juga fasilitas yang cukup
memadai. Pada bagian depan halaman Apotek Rini terdapat papan nama Apotek
Rini dan penambahan slogan “Siap Melayani Anda, Kapanpun Anda Perlu”
dengan tulisan berwarna merah dan hitam dengan latar putih yang menghadap
kedua arah jalan, sehingga dapat terlihat dari kedua arah. Pada bagian depan
gedung apotek juga terpasang papan nama “Apotik Rini” dengan tulisan putih
yang kontras dengan nuansa cat bangunan yang kehijauan, dan dilengkapi dengan
lampu penerangan yang dinyalakan saat hari mulai gelap. Komposisi warna, besar
papan, besar huruf, penerangan dan juga letak papan nama sudah sangat baik
sehingga masyarakat dapat segera mengetahui dan tertarik akan keberadaan
Apotek Rini. Selain itu, disain sisi depan gedung Apotek Rini terbuat dari kaca
tembus pandang sehingga pasien dari luar dapat melihat bagian dalam apotek juga
merupakan faktor penting untuk menarik pelanggan. Pada halaman depan Apotek
Rini juga terdapat lahan parkir yang cukup untuk 8 - 10 mobil dan 30 – 40 sepeda
motor, sehingga memudahkan pasien yang membawa kendaraan pribadi untuk
parkir di lokasi apotek, bahkan diberikan penutup pada jok motor pasien agar jok
motor tidak terlalu panas ketika parkir di siang hari.

Gambar 4.1. Halaman dan bangunan Apotik Rini tampak dari depan.

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


41

Gambar 4.2. Papan nama Apotek Rini yang dapat dilihat dari kedua arah jalan.

Untuk tata ruang, Apotek Rini terbagi menjadi 3 ruang, yaitu ruang depan,
ruang dalam, dan ruang samping. Tata ruang ini dapat dilihat pada lampiran 7.
Ruang administrasi dan keuangan serta ruang pimpinan terdapat di bagian
samping apotek. Sementara itu, ruang depan apotek berfungsi sebagai tempat
penerimaan resep, penyerahan obat, etalase penyimpanan dan pelayanan obat
bebas, kasir dan ruang tunggu. Jumlah kursi di ruang tunggu sudah dirasa cukup
jika dilihat dari jumlah pelanggan yang datang setiap harinya dan ditunjang juga
dengan waktu pelayanan baik obat bebas maupun resep yang dibutuhkan tidak
terlalu lama sehingga pengunjung yang menunggu tidak akan menumpuk untuk
dilayani pun dan dapat bergantian. Ruang tunggu selalu terjaga bersih dan
dilengkapi pendingin ruangan sehingga pengunjung merasa sejuk dan nyaman
selama menunggu obat disiapkan. Fasilitas televisi juga diberikan untuk pasien di
ruang tunggu sehingga pelanggan tidak merasa jenuh ketika menunggu antrian
obat. Ruang tunggu dirancang menghadap ke etalase obat bebas memudahkan dan
menarik pengunjung untuk melihat barang yang dipajang di dalamnya.
Kemudahan pengunjung untuk melihat dan memilih obat bebas yang diperlukan
ini memiliki efek positif terhadap apotik karena dapat meningkatkan penjualan.
Ruang dalam Apotek Rini berfungsi sebagai ruang kerja, ruang
penyimpanan obat, ruang peracikan baik untuk sediaan solid (puyer, kapsul)
maupun semi solid atau cair. Dari segi luas, ruang dalam Apotek Rini dapat
dikatakan cukup memadai untuk menunjang kenyamanan dan efektifitas fungsi
serta aktivitas yang ada. Ruang dalam juga dilengkapi pendingin ruangan untuk

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


42

menjaga temperatur ruangan tetap pada temperatur stabilitas obat selama


penyimpanan dan memberikan kenyamanan bagi personel apotek dalam
melakukan pekerjaannya di ruangan dalam. Pada bagian tengah ruang dalam
terdapat meja racik yang dilengkapi peralatan dan perlengkapan dalam meracik,
seperti mortar, lumping, timbangan, cangkang kapsul, mesin pembungkus puyer,
dsb. Di sebelah meja racik terdapat meja kerja khusus untuk mengerjakan resep
yang mengandung sediaan racikan serta meja kerja yang disediakan untuk
mengerjakan resep non-racikan dan aktivitas pengecekan akhir sediaan sesuai
resep oleh asisten apoteker senior, atau biasa dipanggil dengan sebutan “posus”.
Kedua meja kerja tersebut masing-masing dilengkapi dengan komputer untuk
mengakses kesediaan obat serta data tiap transaksi harian berupa rincian item obat
beserta harganya. Hal ini untuk membantu pengambilan obat sesuai transaksi serta
mempermudah pengecekan akhir. Selain itu, juga tersedia buku referensi seperti
ISO, MIMS, dsb untuk membantu pekerjaan kefarmasian.
Penataan susunan obat pada rak dilakukan berdasarkan abjad juga
berdasarkan jenis dan bentuk sediaan. Penyusunan tersebut diperinci sebagai
berikut :
a. Obat dengan nama dagang dan generik disusun dalam lemari terpisah.
b. Sediaan cair oral juga disimpan dalam lemari tersendiri, penyimpanannya
tidak digabung dengan sediaan solid. Begitu pula dengan sediaan cair
parenteral dan sediaan semisolid yang disimpan pada lemari masing-
masing.
c. Sediaan injeksi juga disimpan dalam lemari secara terpisah dengan obat-
obat lain.
d. Obat dengan harga mahal dan psikotropika disimpan dalam lemari terpisah
untuk mempermudah pengawasan pengambilan obat-obatan tersebut.
e. Obat golongan narkotik disimpan secara khusus dalam lemari berkunci
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
f. Untuk sediaan suppositoria, ovula, vaksin, injeksi, insulin, dan produk
lainnya yang termolabil disimpan dalam lemari pendingin karena
penyimpanannya dilakukan pada suhu khusus.

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


43

g. Alat kesehatan, seperti syringe, pipet, kit pengukur kadar gula darah, dsb
juga disimpan pada lemari khusus.
h. Sebagian besar obat OTC, terutama yang bersifat fast-moving, biasanya
diletakkan di rak obat pada ruang luar.

Rak penyimpanan obat tersebut diletakkan di sepanjang dinding dan


bagian tengah ruang dalam sehingga memudahkan pegawai untuk melakukan
kegiatan pengambilan obat. Ruang dalam ini juga tersambung dengan gudang stok
obat dan juga ruang peracikan sediaan cair – semisolid - solid seperti bedak, obat
batuk hitam, lotio kummerfeldi, dll. Tidak hanya itu, pada bagian belakang apotek
terdapat ruang makan, toilet, dan mushola untuk pegawai. Kebersihan masing-
masing ruang di apotek berusaha dijaga dengan adanya giliran piket kebersihan
bagi tiap pegawai.
Sistem manajemen obat jelas menjadi salah satu faktor yang mendukung
kelancaran pekerjaan kefarmasian di Apotek Rini. Aktivitas pengadaan obat dan
perbekalan farmasi lainnya di Apotek Rini dilakukan setiap hari, dan dilakukan
oleh pegawai di ruang adminitrasi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
pengawasan persediaan obat serta pertimbangan efisiensi tempat penyimpanan
obat di gudang yang terbatas karena pemesanan barang atau obat dengan jumlah
yang tidak sedikit. Proses pembelian obat ke pabrik dilakukan ketika data stok
obat yang tersisa sudah mendekati stok minimum. Jumlah stok minimum masing-
masing obat berbeda-beda ditentukan berdasarkan pada trend penjualan di apotek
selama satu bulan dan sistemnya sudah terkomputerisasi. Selain itu perputaran
obat atau barang di apotek juga menjadi pertimbangan dalam prioritas pembelian
barang. Obat fast moving stok minimum selama sebulan akan lebih besar dari
pada obat slow moving. Oleh karena jumlah permintaan obat fast moving yang
tinggi sehingga stok yang harus tersedia di apotek pun harus lebih besar daripada
obat slow moving. Sementara itu, jumlah stok minimum obat slow moving kecil
bahkan tidak ditentukan jumlah stok minimumnya sehingga pembelian obat slow
moving dilakukan ketika jumlah stok obat di Apotek sudah habis. Hal ini
dilakukan untuk menghindari waktu penyimpanan obat yang terlalu lama di
apotek.

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


44

Pemesanan barang dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan (SP)


yang diserahkan kepada PBF pada pagi hari dan pesanan akan diantarkan oleh
PBF pada hari yang sama. Umumnya pemesanan obat psikotropika, narkotik, dan
obat lain dilakukan dengan prosedur yang sama hanya berbeda pada SP-nya,
untuk obat psikotropik menggunakan SP psikotropik, begitu juga pada obat
golongan narkotik dan lainnya. Barang pesanan yang datang kemudian diterima
oleh pegawai apotek yang kemudian dilakukan pemeriksaan fisik barang, tanggal
kadaluarsa, jenis dan jumlah barang disesuaikan dengan faktur. Faktur yang
dibawa oleh PBF terdiri dari beberapa rangkap dimana faktur asli dikembalikan ke
distributor, sedangkan salinannya disimpan oleh pegawai apotek yang kemudian
diinput ke komputer dan untuk pengecekan barang. Pembayaran kepada pihak
distributor dapat diakukan secara tunai maupun kredit, namun untuk pembelian
obat narkotik, pembayaran harus dilakukan secara tunai.
Keuntungan dari sistem komputerisasi yang diterapkan di Apotek Rini
adalah dapat dengan mudah menghitung jumlah sisa stok yang ada di gudang
karena setelah dilakukan transaksi maka secara otomatis stok obat yang keluar
akan dikurangi dengan stok obat yang ada sehingga dapat dengan mudah
diketahui jumlah stok yang tersisa di apotek. Dengan adanya sistem komputerisasi
tesebut maka sistem manajemen dan administrasi di Apotek Rini menjadi lebih
teratur dan efisien. Selain itu, laporan penjualan harian dapat langsung dicetak
agar selanjutnya dapat dijadikan data analisis trend obat dan juga mengetahui obat
mana yang termasuk slow moving atau fast moving yang akan sangat berguna
sebagai pertimbangan utama untuk sistem pengadaan obat.
Sistem pengadaan obat yang baik inilah menjadi keunggulan utama
Apotek Rini dibandingkan apotek pesaingnya, seperti Apotek K24, Century,
Family, dan lain lain. Obat-obatan dan perbekalan kesehatan di Apotek Rini
terbilang lengkap disertai dengan upaya apotek untuk memenuhi semua
permintaan obat dari pasien dengan mengusahakan agar tidak ada penolakan resep
seperti membeli di apotek lain saat stok kosong ataupun dengan memesan
langsung ke PBF. Tak hanya berusaha memuaskan pasien, Apotek Rini pun
senantiasa menjaga hubungan baik dengan pelanggan, antara lain dokter yang
praktik di klinik, RS, puskemas, ataupun sarana kesehatan lainnya yang

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


45

berwenang merujuk pasien serta PBF dan apotek lain yang dapat membantu
Apotek Rini apabila membutuhkan obat dengan segera saat stok kosong.
Faktor lain yang menunjang keberhasilan Apotek Rini selain lokasi yang
strategis dan persediaan yang terbilang lengkap ialah adanya layanan 24 jam dan
layanan antar (delivery service). Untuk pelanggan yang tidak dapat datang ke
apotek untuk membeli obat ataupun alat kesehatan dapat melakukan pemesanan
barang dengan mudah melalui fax yang kemudian barang akan di antar ke rumah
pasien. Selain itu, harga yang ditetapkan cukup bersaing sehingga terjangkau oleh
masyarakat.
Sistem pengambilan obat dilakukan secara FIFO (First In First Out) yaitu
dengan menempatkan obat yang baru datang di atasnya, kemudian pegawai yang
akan mengambil barang dari gudang hendaknya mengambil barang yang terletak
paling bawah. Namun, karena resep yang masuk ke Apotek Rini tidak sedikit
terkadang pegawai mengambil obat yang terletak di atas tanpa memperhatikan
sistem FIFO, hal tersebut dilakukan untuk mempercepat pelayanan obat.
Meskipun sistem pengambilan obat tidak dilakukan secara FEFO (First Expired
First Out), pegawai apotek tetap memerhatikan kadaluarsa obat. Barang atau obat
yang sudah mendekati masa kadaluwarsa, dapat dikembalikan ke PBF sesuai
dengan kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya. Setiap harinya, resep yang
masuk dibagi menjadi empat bagian yaitu resep malam, pagi, sore, dan narkotik.
Resep narkotik adalah resep yang mengandung obat golongan narkotik dan
psikotropik seperti diazepam, kodein, dan lain lain. Resep disimpan di apotek
selama tiga tahun kemudian selanjutnya akan dimusnahkan. Karena resep yang
masuk ke apotek sangat banyak maka resep yang disimpan di apotek hanya resep
setahun terakhir sedangkan resep dua tahun sebelumnya disimpan di dalam
gudang.
Kegiatan pelayanan resep dilakukan mulai dari bagian penerimaan resep
dari pasien yang memeriksa kelengkapan resep serta ketersediaan obatnya melalui
komputer. Jika obat tidak tersedia, pihak apotek bertanya kepada pasien apakah
ingin diganti dengan obat dagang dengan pabrik lain atau ingin menunggu obat
hingga datang atau tidak. Setelah itu, pasien membayar resep dan mendapatkan
struk pembayaran yang disertai dengan nomor antrian resep. Resep yang sudah di-

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


46

input ke komputer tersebut kemudian ditulis nomor transaksi dan jumlah harga
yang dibayar oleh pasien pada lembar HTKP (Harga, Timbang, Kemas, dan
Penyerahan) dan resep disatukan dengan lembar tersebut. Setelah itu lembaran
resep dimasukkan ke ruang peracikan, diberikan cap tanggal dan segera
diambilkan obatnya oleh orang yang berbeda dan diproses jika memerlukan
peracikan. Karyawan lain selanjutnya memberikan etiket pada obat, membuat
copy resep dan kuitansi jika diperlukan. Kemudian diserahkan ke bagian
pengecekan akhir (posus) untuk dicek lebih lanjut apakah obat yang diambil telah
sesuai dengan yang tertera dalam resep yang dikerjakan oleh pegawai yang
berbeda pula. Tiap tahap dalam proses pelayanan resep tersebut dilakukan oleh
orang yang berbeda dengan tujuan memperkecil resiko terjadinya kesalahan serta
meningkatkan kerjasama antar pegawai. Pegawai yang terlibat dalam tiap tahap
pelayanan resep wajib mencantumkan namanya dalam lembar HTKP, sehingga
mempermudah penelusuran apabila ada kesalahan pemberian harga, peracikan,
pemberian etiket atau komplain lain dari pelanggan. Tidak hanya itu, dilakukan
juga rotasi pegawai yang menangani tiap tahap tersebut agar memperkaya
pengalaman kerja masing-masing pegawai.
Semua aktivitas apotek, baik kegiatan pelayanan kefarmasian, administrasi
dan pemeliharaan sarana dan prasarana apotek tidak akan terlaksana dengan baik
tanpa adanya sumber daya manusia yang kompeten, profesional, terampil, dan
dapat dipercaya. APA yang bekerja di Apotek Rini dalam menjalankan kegiatan
tersebut dibantu oleh beberapa orang pegawai yang terdiri dari satu orang
Apoteker Pendamping, satu orang Asisten Apoteker, serta kurang lebih 70 tenaga
teknis kefarmasian yang terbagi dalam bagian administrasi dan keuangan, kasir,
kurir, juru resep, skrining resep yang diterima untuk mengetahui ketersediaan obat
dan pemberian harga serta pelayanan informasi obat, pemeriksaan akhir (polisi
khusus), peracikan, pemberian etiket dan pengemasan. Jam kerja dibagi menjadi
tiga shift, yaitu shift pagi (pukul 08.00-15.00), shift sore (pukul 15.00 – 21.00),
dan shift malam (pukul 21.00 - 08.00 keesokan hari). Jumlah pegawai lebih
banyak dipusatkan pada shift pagi dan sore di mana merupakan jam ramai apotek,
dibandingkan shift malam.

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


47

Pelayanan yang diberikan oleh personel Apotek Rini, baik pelayanan


penjualan obat bebas maupun resep, sudah cukup baik. Pelayanan tersebut
berjalan dengan cepat dan baik sehingga pasien atau pembeli tidak perlu
menunggu terlalu lama untuk memperoleh obat yang dibutuhkan, kecuali obat
racikan dengan jumlah besar atau yang membutuhkan teknik peracikan khusus.
Regimen dosis (besar dosis, frekuensi, lama penggunaan obat), terutama obat
racikan bagi pasien pediatri, juga selalu diverifikasi oleh pegawai. Selain itu,
dengan adanya pengecekan akhir sediaan dan resep sangat membantu dalam
menghindari timbulnya keluhan dari pasien berkaitan dengan kesalahan peracikan,
pemberian etiket, dan sebagainya. Pemberian informasi obat juga terlaksana
dengan baik di Apotek Rini. Informasi obat tidak hanya diberikan saat pemberian
obat dengan resep namun juga saat pemberian pembelian obat bebas. Pemberian
informasi obat diberikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh
pembeli atau pasien. Swamedikasi pun juga berlangsung dengan baik, didukung
dengan keahlian tenaga teknis kefarmasian yang melayani pasien yang
sebelumnya telah dipastikan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
mumpuni terkait gejala penyakit, tingkat efikasi beberapa obat dalam golongan
yang sama, efek samping beberapa obat yang umum dibeli atau diresepkan, dan
sebagainya.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian obat yang rasional kepada pasien
belum menjadi fokus utama Apotek Rini, di mana masih banyak diterima resep
yang mencantumkan lebih dari lima obat per resepnya dan beberapa obat dalam
resep tersebut bahkan berasal dari golongan atau memiliki khasiat yang sama
(polifarmasi, duplikasi, obat yang tidak sesuai dengan diagnosis/tidak diperlukan
pasien). Ada baiknya hal ini dipertimbangkan dalam sistem pelayanan
kefarmasian di Apotek Rini, agar mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan
meningkat serta meminimalisir drug-related problems.

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker yang dilaksanakan pada tanggal
2 April hingga 26 Mei 2014 di Apotek Rini, dapat diambil kesimpulan
bahwa :
a. Apoteker berperan dalam melaksanakan kebijakan pengawasan dan
pengendalian kegiatan di Apotek serta menjamin penggunaan obat yang
rasional.
b. Apoteker memegang peranan yang sangat penting dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan apotek, baik teknis
(mengatur perencanaan, pengadaan, pendistribusian, dan penyimpanan)
dan non-teknis (pengelolaan modal dan sarana, administrasi dan
keuangan, serta sumber daya manusia) kefarmasian.

5.2 Saran
a. Desain interior dan eksterior dari Apotek Rini perlu diperbaharui dan
diperindah agar memberikan kesan apotek yang lebih bersih dan
menambah kenyamanan dari konsumen itu sendiri.
b. Diperlukannya peningkatan kedisiplinan pada karyawan dalam
meletakkan obat-obatan kembali ke tempat semula agar dapat
memudahkan dan mempercepat kerja karyawan itu sendiri dalam
pencarian obat.
c. Efisiensi dan efektivitas kerja karyawan harus selalu dipertahankan agar
dapat mempertahankan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek Rini
dan meningkatkan kepercayaan di mata masyarakat.

61

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


62

DAFTAR ACUAN

Daris, Azwar. (2011). Pengantar Hukum dan Etika Farmasi. Duwo Okta
Tangerang Umar. (2009). Manajemen Apotek Praktis. Wira Putra
Kencana.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Standar Pelayanan


Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Penggunaan Obat


Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1322/Menkes/Sk/X/2002 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
Izin Apotek. Jakarta: Ikatan Apoteker Indonesia.

Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan. (2005). Pedoman


Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta :
Departemen Kesehatan.

Presiden Republik Indonesia. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan


No.347/Menkes/Per/VII/1990 Tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 1.
Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (1993). Keputusan Menteri Kesehatan


No.924/Menkes/Per/X/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2.
Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (1993). Keputusan Menteri Kesehatan No.


1176/Menkes/SK/X/1999 Tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3.
Jakarta: Ikatan Apoteker Indonesia. Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun


2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun


1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun
1965 Tentang Apotek. Jakarta: Presiden RI.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


63

Presiden Republik Indonesia. (1978). Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 28/Menkes/Per/1978 Tentang Penyimpanan Narkotika.
Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (2004). Peraturan Menteri Kesehatan RI No.


1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan RI No.


HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat
Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta: Presiden
RI.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Presiden RI.

Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Jakarta: Presiden RI.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


LAMPIRAN

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


65

Lampiran 1. Daftar Obat Wajib Apoteker No. 1

NO KELAS NAMA OBAT INDIKASI JUMLAH TIAP CATATAN


TERAPI JENIS OBAT
PER PASIEN
I Oral Tunggal
Kontrasepsi Linestrenol Kontrasepsi 1 siklus  Untuk siklus
pertama harus
dengan resep
dokter
 Akseptor
dianjurkan
kontrol ke
dokter tiap 6
bln

Kombinasi Kontrasepsi 1 siklus  Akseptor


Etinodiol diasetat – mestranol dianjurkan
Norgestrel – etinil estradiol kontrol ke
Linestrenol – etinil estradiol dokter tiap 6
Levonorgestrel – etinil estradiol bulan
Norethindrone – mestranol  Untuk
Desogestrel – etinil estradiol akseptor
tingkatan baru
wajib
menunjukkan
kartu
II Obat Saluran A. Antacid + Sedativ / Spasmodik
Cerna  Al. Hidroksida, Mg. Hipreasiditas Maksimal 20
trisilikat + Papaverin HCl, lambung, tablet
Klordiazepoksida gastritis
 Mg. trisilikat, Al. yang
Hidroksida + Papaverin disertai
HCl, Klordiazepoksida + dengan
diazepam + sodium ketegangan
bikarbonat
 Mg. tisilikat, Al. hidroksida
+ Papaverin HCl, diazepam
 Mg. Al. silikat + beladona
+ Klordiazepoksid +
diazepam
 Al. oksida, Mg. oksida + Hipermotilitas
hiosiamin HBr, atropine dan kejang Maksimal 20
SO4, hiosin HBr sa luran tablet
 Mg. trisilikat, Al. cerna akibat
hidroksida + Papaverin HCl hiperasiditas
 Mg. trisilikat, Al.hidroksida lambung
+ papaverin HCl, gastritis
Klordiazep oksida +
beladona
 Mg. Karbonat, Mg. oksida,
Al. hidroksida + Papaverin
 Mg. oksida, Bi. Subnitrat +
beladona, papaverin,
 klordiazepoksida
Mg. oksida, Bi. Subnitrat +
 beladona, klordiazepoksida
Mg. trisilikat, alukol +
papaverin HCl, beladona,
klordiazepoksida

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


66

NO KELAS NAMA OBAT INDIKASI JUMLAH TIAP CATATAN


TERAPI JENIS OBAT
PER PASIEN

B. Anti Spasmodik
Papaverin/Hiosin butil-bromide/ Kejang Maksimal 20
Altropin SO4/ekstrak beladon saluran cerna tablet

C. Anti Spasmodik – analgesik


 Metamizole, Fenpiverinium Kejang Maksimal 20
bromide saluran cerna tablet
 Hyoscine N-butilbromide, yang disertai
dipyrone nyeri hebat
 Methampyrone, beladona,
papaverin HCl
 Methampyrone, hyoscine
butilbromide, diazepam
 Pramiverin, metarnizole
 Tremonium metil sulfat,
sodium noramidopyrin
methane sulphonate
 Prifinium bromide, sulpyrin

 Anti mual
Metoklopramid HCl Mual, muntah Maksimal 20 Bila mual
tablet muntah
berkepanjangan,
pasien dian-
jurkan agar
kontrol ke
dokter

 Laksan
Bisakodil Supp. Konstipasi Maksimal 3
supp.

III Obat Mulut A. Hexetidine Sariawan, Maksimal 1


dan radang botol
Tenggorokan tenggorokan

B. Triamcinolone acetonide Sariawan Maksimal 1


berat tube

IV Obat Saluran A. Obat Asma


Nafas 1. Aminofilin supp Asma Maksimal 3 supp  Pemberian
2. Ketotifen Asma Maksimal 10 tablet obat-obat
Sirup 1 botol asma hanya
3. Terbutalin SO4 Asma Maksimal 20 tablet atas dasar
Sirup 1 botol pengobatan
ulangan dari
dokter
Asma inhaler 1 tabung
4. Sabutamol
maksimal 20 tablet
sirup 1 botol
B. Sekretolitik, Mukolitik
1. Bromheksin Mukolitik Maksimal 20 tablet
2. Karbosistein Mukolitik Sirup 1 botol
3. Asetilsistein Mukolitik Maksimal 20 tablet
Sirup 1 botol
4. Oksalamin sitrat Mukolitik Maksimal 20 dus
Maksimal
Sirup 1 botol

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


67

O KELAS NAMA OBAT INDIKASI JUMLAH TIAP CATATAN


TERAPI JENIS OBAT
PER PASIEN
Sirup 1 botol
V Obat yang A. Analgetik, Antipiretik
mempengaruhi 1. Metampiron Sakit kepala, Masimal 20 tablet
sistem pusing, Sirup 1 botol
Neuromuscular panas/
demam, nyeri
haid
2. Asam mefenamat Sakit kepala/ Maksimal 20 tablet
gigi Sirup 1 botol

3. Glafenin Sakit kepala/ Maksimal 20 tablet


gigi
4. Metampiron + Klordizep Sakit kepala Maksimal 20 tablet
oksida/diazepam yang disertai
ketegangan

B. Antihistamin
1. Mebhidrolin Antihistamin/ Maksimal 20 tablet
alergi
2. Pheniramin hydrogen Antihistamin/ Maksimal 20 tablet
maleat alergi Biasa 3 tablet lps.
lambat.
3. Dimethinden maleat Antihistamin/
alergi
4. Astemizol Antihistamin/
alergi
5. Oxomenazin Antihistamin/
alergi
6. Homochloryclizin HCl Antihistamin/
alergi
7. Dexchlorpheniramine Atihistamin/
alergi
VI Antiparasit Obat Cacing
1. Mebendazol Cacing kremi, Maksimal 6
tambang, tablet
gelang, Sirup 1 botol
cambuk
V Obat kulit A. Antibiotik
tropikal 1. Tetrasiklin/Oksitetrasiklin Infeksi Maksimal 1
bakteri pd. tube
kulit (lokal)
2. Kloramfenikol Infeksi Maksimal 1
bakteri pd. tube
kulit (lokal)
3. Framisetina SO4 Infeksi Maksimal 2
bakteri pd. lembar
kulit (lokal)
Infeksi
4. Neomisin SO4 bakteri pd. Maksimal 1
kulit (lokal) tube
5. Gentamisin SO4 Infeksi Maksimal 1
bakteri pd.
kulit (lokal) tube
6. Eritromisin Acne
Vulgaris Maksimal 1
botol
Kortikosteroid
B. Alergi dan
1. Hidrokortison peradangan Maksimal 1
local tube

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


68

NO KELAS NAMA OBAT INDIKASI JUMLAH TIAP CATATAN


TERAPI JENIS OBAT
PER PASIEN

2. Flupredniliden Alergi dan Maksimal 1


peradagangan tube
lokal
3. Triamsinolon Alergi dan Maksimal 1
peradagangan tube
lokal
4. Betametason Alergi dan Maksimal 1
peradagangan tube
lokal
5. Fluokortolon/ Alergi dan Maksimal 1
Duflukortolon peradagangan tube
kkulit
6. Desoksimetason Alergi dan Maksimal 1
peradagangan tube
kulit

C. Antiseptik lokal
Heksaklorofene Desinfeksi Maksimal 1
kulit botol

D. Anti fungi
1. Mikonazol nitrat Infeksi jamur Maksimal 1
lokal tube
2. Nistatin Infeksi jamur Maksimal 1
lokal tube
3. Tolnaftat Infeksi jamur Maksimal 1
lokal tube
4. Ekonazol Infeksi jamur Maksimal 1
lokal tube

E. Anestesi lokal
1. Lidokain HCl Anestetikum Maksimal 1
lokal tube

F. Enzim antiradang topikal


Kombinasi
1. Heparinoid/Heparin Na Memar Maksimal 1
dgn. Hialuronidase ester tube
nikotinat

G. Pemucat kulit
1. Hidroquinon Hiperpigmen- Maksimal 1
tasi kulit tube
2. Hidroquinon dgn. PABA Hiperpigmen- Maksimal 1
tasi kulit\ tube

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


69

Lampiran 2. Daftar Peubahan Obat Wajib Apotek No. 1

NAMA GENERIK
NO. GOLONGAN SEMULA GOLONGAN BARU PEMBATASAN
OBAT
1. Aminophylline Obat keras dalam substansi/ Obat bebas Terbatas
Obat
Wajib Apotik
(suppositoria)
2. Benzoxonium Obat keras Obat bebas Terbatas Sebagai obat luar untuk mulut dan

tenggorokan (Kadar < 0.05%).


3. Benzocain Obat keras Obat bebas Terbatas Anestetik mulut dan tenggorokan

4. Bromhexin Obat keras/ Obat Apotik Obat bebas Terbatas


Wajib
5. Cetrimide Obat keras Obat bebas Terbatas

6. Chlorhexidin Obat keras Obat bebas Terbatas Sebagai obat luar untuk antiseptik

kulit (kadar < 0.12%)


7. Choline Obat keras Obat bebas Terbatas
Theophyllinate
8. Dexbrompheniram Obat keras Obat bebas Terbatas
ine maleat
9. Diphenhyramine Obat keras Terbatas dengan Obat bebas Terbatas
Batasan
10. Docusate Sodium Obat keras Obat bebas

11. Hexetidine Obat keras/Obat Wajib Apotik Obat Bebas Terbatas Sebagai obat luar untuk mulut dan
12. tenggorokan (Kadar < 0.1%).
Ibuprofen Obat Keras Obat Bebas Terbatas Tablet 200 mg, kemasan tidak
lebih dari 10 tablet

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


70

13. Lidocain Obat Keras Obat Bebas Terbatas Anestetik mulut dan tenggorokan
14. Mebendazol Obat Keras/Obat Apotik Obat Bebas Terbatas Semua materi untuk promosi
Wajib harus
mengemukakan resiko bahaya
obat.
Obat semprot hidung

15. Oxymetalozine Obat Keras Obat Bebas Terbatas (Kadar<0.05%)


16. Theophylline Obat Keras dalam substansi Obat Bebas Terbatas Sebagai obat luar untuk infeksi

17. Tolnaftate Obat Keras/Obat Apotik Obat Bebas jamur lokal (Kadar < 1%)
Wajib
18. Triprolidine Obat Keras Obat Bebas Terbatas

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


71

Lampiran 3. Daftar Obat Wajib Apoteker No.2

Nama Generik Jumlah Maksimal


No Tiap Jenis Obat Per Pembatasan
Obat Pasien
1. Albendazol Tab 200 mg, 6 tab
Tab 400 mg, 3 tab
Sebagai obat luar untuk infeksi
2. Bacitracin 1 tube bakteri pada kulit

Benorilate 10 tablet

4. Bismuth subcitrate 10 tablet

5. Carbinoxamin 10 tablet

6. Clindamicin 1 tube Sebagai obat luar untuk obat acne

7. Dexametason 1 tube Sebagai obat luar untuk inflamasi

8. Dexpanthenol 1 tube Sebagai obat luar untuk kulit

9. Diclofenac 1 tube Sebagai obat luar untuk inflamasi

10. Diponium 10 tablet

11. Fenoterol 1 tabung Inhalasi

12. Flumetason 1 tube Sebagai obat luar untuk inflamasi


Hydrocortison
13. butyrat 1 tube Sebagai obat luar untuk inflamasi
14. Ibuprofen Tab 400 mg, 10 tab
Tab 600 mg, 10 tab
Sebagai obat luar untuk infeksi
15. Isoconazol 1 tube jamur lokal
16. Ketokonazole Kadar ≤ 2% Sebagai obat luar untuk infeksi
jamur lokal
Krim 1 tube
Scalp sol 1 btl
17. Levamizole Tab 50 mg, 3 tab Sebagai obat luar untuk infeksi
jamur lokal
18. Methylprednisolon 1 tube Sebagai obat luar untuk inflamasi

19. Niclosamide Tab 500 mg, 3 tab


20. Noretisteron 1 siklus
21. Omeprazole 7 tablet
Sebagai obat luar untuk infeksi
22. Oxiconazole Kadar < 2%, 1 tube jamur lokal
23. Pipazetate Sirup 1 botol

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


72

Piratiasin
24. kloroteofilin 10 tablet

25. Piroxicam 1 tube Sebagai obat luar untuk inflamasi


Sebagai obat luar untuk infeksi
26. Polymixin B Sulfate 1 tube jamur lokal

27. Prednisolon 1 tube Sebagai obat luar untuk inflamasi

28. Scopolamine 10 tablet


Sebagai obat luar untuk infeksi
29. Silver Sulfadiazin 1 tube bakteri pada kulit

30. Sucralfare 20 tablet

31. Sulfasalazine 20 tablet


Sebagai obat luar untuk infeksi
32. Tioconazole 1 tube jamur lokal
33. Urea 1 tube Sebagai obat luar untuk hiperkeratose

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


73

Lampiran 4. Daftar Obat Wajib Apotek No 3

JUMLAH MAKSIMAL
NO KELAS TERAPI NAMA GENERIK OBAT INDIKASI TIAP JENIS OBAT PER CATATAN
PASIEN
1 Saluran pencernaan 1. Famotidin Antiulkus Maksimal 10 tablet 20 mg/40 Pemberian obat hanya atas dasar
dan metabolisme Peptik mg pengobatan ulangan dari dokter

2. Ranitidin Pemberian obat hanya atas dasar


Antiulkus Maksimal 10 tablet 150 mg pengobatan ulangan dari dokter
Peptik
2 Obat kulit 1. Asam Azeleat Antiakne Maksimal 1 tube 5 g

2. Asam fusidat Antimikroba Maksimal 1 tube 5 g

3. Motretinida Antiakne Maksimal 1 tube 5 g

4. Tolsiklat Antifungi Maksimal 1 tube 5 g

5. Tretinoin Antiakne Maksimal 1 tube 5 g

3 Antiinfeksi Umum 1. Kategori (2HRZE/4H3R3) Antituberkulosa Satu paket Kategori I :


Kombipak II - Penderita baru BTA positif
- Isoniazid 300 mg - Penderita baru BTA negatif
- Rifampisin 450 mg dan rontgen positif yang sakit

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


74

- Pirazinamid 1500 mg berat


- Etambutol 750 mg - Penderita ekstra paru berat
Kombipak III
Fase lanjutan Sebelum fase lanjutan, penderita
- Isoniazid 600 mg harus kembali ke dokter
- Rifampisin 450 mg

2. Kategori II Satu paket Kategori II :


(2HRZES/HRZE/5H3R3E3) - Penderita kambuh (relaps)
Kombipak II BTA positif
Fase awal - Penderita gagal pengobatan
- Isoniazid 300 mg BTA positif
- Rifampisin 450 mg
- Pirazinamid 1500 mg
- Etambutol 750 mg
- Streptomisin 0,75 mg

Kombiak IV
Fase lanjutan Sebelum fase lanjutan, penderita
- Isoniazid 600 mg harus kembali ke dokter
- Rifampisin 450 mg
- Etambutol 1250 mg

3. Kategori III (2HRZ/4H3R3) Satu paket Kategori III


Kombipak I - Penderita baru BTA
Fase awal negtif/rontgent positif
- Isoniazid 300 mg - Penderita ekstra paru ringan
- Rifampisin 450 mg
- Pirazinamid 1500 mg
Kombipak III
Sebelum fase lanjut , penderita
Fase lanjutan

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


75

JUMLAH MAKSIMAL
NO KELAS TERAPI NAMA GENERIK OBAT INDIKASI TIAP JENIS OBAT PER CATATAN
PASIEN
- Isoniazid 600 mg harus kembali ke dokter
- Rifampisin 450 mg

4 Sistem 1. Alopunnol Antigout Maksimal 10 tablet 100 mg Pemberian obat hanya atas dasar
Muskuloskeletal pengobatan ulangan dari dokter

2. Diklofenak natrium Antiinflamasi Maksimal 10 tablet 25 mg Pemberian obat hanya atas dasar
dan antirematik pengobatan ulangan dari dokter

3. Kloramfenikol Obat mata Maksimal 1 tube 5 gr atau Pemberian obat hanya atas dasar
botol 5 ml pengobatan ulangan dari dokter

4. Kloramfenikol Obat telinga Maksimal 1 botol 5 ml Pemberian obat hanya atas dasar
pengobatan ulangan dari dokter

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


76

Lampiran 5. Obat yang Dikeluarkan Dari Obat Wajib Apotek

JUMLAH TIAP
NO KELAS TERAPI NAMA GENERIK OBAT INDIKASI JENIS OBAT PER CATATAN
PASIEN
I Obat Saluran Cerna A. Antasida + sedatif/ spasmodic
1. Al. oksida, Mg. trisilikat + Hiperasiditas lambung, Maksimal 20 tablet
Papaverin HCl, gastritis yang disertai
Klorfiazepoksid dengan ketegangan
2. Mg. trisilikat, Al. oksida +
Papaverin HCl +
Klordiazepoksid +
Diazepam + Sodium
Bikarbonat
3. Mg. trisilikat, Al.
hidroksida + Papaverin
HCl, Diazepam
4. Mg. Al. silikat +
Beladona + Klordiaze-
poksid + Diazepam
5. Al. oksida, Mg. oksida + Hipermotilitas dan kejang Maksimal 20 tabel
Hiosiamin HBr, Atropin saluran cerna akibat
SO4, Hiosin HBr hiperasiditas lambung
6. Mg. trisilikat, Al. dengan gastritis
Hidroksida + Papaverin

HCl
7. Mg. trisilikat, Al. hidroksida
+ Papaverin HCl,
kiordiazepoksid + Beladona
8. Mg. karbonat, Mg. oksida,
Al. hidroksida +
Papaverin HCl, Beladona
9. Mg. oksida, Bi. Subnitrat
+ Beladona, Papaverin,
Klordiazepoksid
10. Mg. oksida, Bi. Subnitrat

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


77

+ Beladona,
Klordiazepoksid

JUMLAH TIAP
NO KELAS TERAPI NAMA GENERIK OBAT INDIKASI JENIS OBAT PER CATATAN
PASIEN
11. Mg. trisilikat, akukol +
Papaverin HCl, Beladona,
Klordiazepoksid

B. Antispasmodic +Analgesik
Metampiron, Hiosine
butilbromid, Diazepam
II Obat mulut dan Heksitidin Sariawan, radang Maksimal 1 botol
tenggorokan tenggorokan
III Obat saluran nafas A. Obat Asma
Aminofilin supositoria Asma Maksimal 3 Pemberian obat asma hanya atas dasar
supositoria pengobatan ulangan dari dokter
B. Sekretolitik, Mukolitik
Bromheksin Mukolitik Maksimal 20 tablet
Sirup 1 botol
IV Obat yang A. Analgetik Antipiretik
mempengaruhi
sistem
neuromuskular 1. Glafenin Sakit kepala/gigi Maksimal 20 tablet

2. Metampiron + Sakit kepala yang disertai Maksimal 20 tablet


Ketegangan
V Antiparasit Obat Cacing
Mebendazol Cacing kremi, tambang, Maksimal 6 tablet,
telang, cambuk sirup 1 botol
VI Obat kulit tropical Anti fungi
Tolnaftat Infeksi jamur lokal Maksimal 1 tube

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


78

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


79

Lampiran 6. Lokasi Apotek Rini

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


80

Lampiran 7. Denah Ruangan Apotek Rini

Lampiran 3. Salinan Resep

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


81

Lampiran 8. Salinan Resep

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


82

Lampiran 9. Contoh Etiket

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


Lampiran 10. Contoh Kuitansi

Kwitansi

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
Lampiran 11. Struktur Organisasi Apotek Rini

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
Lampiran 12. Contoh Surat Pesanan

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
86

Lampiran 13. Faktur Barang

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
87

Lampiran 14. Contoh Tanda Terima Tukar Faktur

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
88

Lampiran 15. Contoh Surat Pesanan Narkotika

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
89

Lampiran 16. Contoh Pelaporan Narkotika

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
90

Lampiran 17. Laporan Penggunaan Narkotika

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
91

Lampiran 18. Contoh Surat Pesanan Psikotropika

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
92

Lampiran 19. Alur Penjualan Resep Tunai

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
93

Lampiran 20. Alur Penjualan Resep Kredit.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
94

Lampiran 21. Alur Penjualan OTC.

Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA

KAJIAN PERESEPAN LAKSATIF


PERIODE BULAN MARET 2014 DI APOTIK RINI

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

FRANSISKA LILIANI NUGROHO, S.Farm.


1306343605

ANGKATAN LXXVIII

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2014

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

KAJIAN PERESEPAN LAKSATIF


PERIODE BULAN MARET 2014 DI APOTIK RINI

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker

FRANSISKA LILIANI NUGROHO, S.Farm.


1306343605

ANGKATAN LXXVIII

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2014
ii

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Tujuan ............................................................................................... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4


2.1. Pengertian, gejala, dan penyebab konstipasi ..................................... 4
2.2. Penanganan Konstipasi .................................................................... 5
2.2.1. Terapi Non-Farmakologis ...................................................... 5
2.2.2. Terapi Farmakologis .............................................................. 7
2.3. Konstipasi pada Anak dan Bayi ...................................................... 16
2.3.1. Penyebab Konstipasi pada Anak dan Bayi .......................... 16
2.3.2. Penanganan Konstipasi pada Anak dan Bayi ....................... 17

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 20


3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan ..................................................... 20
3.2. Metode Pelaksanaan ...................................................................... 20
3.2.1. Pengambilan Data ................................................................ 20
3.2.2. Pengolahan Data .................................................................. 20

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 21


4.1. Hasil Perolehan Resep ................................................................... 21
4.1.1. Jumlah resep yang mengandung obat laksatif .................... 21
4.1.2. Resep yang mengandung obat laksatif ............................... 21
4.2. Analisis Resep dan Pembahasan.................................................... 23

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 31


5.1 Kesimpulan .................................................................................... 31
5.2 Saran .............................................................................................. 31

DAFTAR ACUAN .............................................................................................. 33

iii

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Jumlah resep dari tiap senyawa obat laksatif yang
diresepkan, baik bagi pasien pediatri maupun
pasien dewasa, selama periode bulan Maret 2014 ....................... 23

iv

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Regimen dosis dari senyawa laksatif yang sering


diresepkan bagi pasien pediatri di Apotik Rini ............................... 25

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rincian resep yang mencantumkan obat laksatif selama


periode bulan Maret 2014 ........................................................... 36
Lampiran 2. Perhitungan jumlah resep dan regimen dosis dari tiap
obat laksatif yang diresepkan selama periode bulan
Maret 2014 .................................................................................. 39

vi

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Konstipasi, atau juga dikenal dengan istilah sembelit, adalah suatu gejala
defekasi yang tidak memuaskan yang ditandai dengan BAB kurang dari tiga kali
dalam seminggu atau kesulitan evakuasi feses akibat feses yang keras. Sekitar
80% manusia pernah mengalami konstipasi dalam hidupnya (Perkumpulan
Gastroentrologi Indonesia, 2006). Meskipun bukan merupakan penyakit,
konstipasi tidak dapat disepelekan karena jika tidak ditangani dengan baik,
konstipasi dapat berkomplikasi menjadi hemoroid, fisura ani, prolaps rektal, ulkus
sterkoral, melanosis koli dan beberapa gangguan lainnya yang jelas dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari (Bellini, et al., 2014). Menurut International
Interview Survey pada tahun 2001, sekitar 45% penduduk dunia mengeluh
menderita konstipasi, terutama pada anak-anak, ibu hamil, dan orang yang berusia
di atas 65 tahun. Di Amerika Serikat, konstipasi mengakibatkan kunjungan ke
dokter sebanyak 10,25 juta kali dalam setahun dan menghabiskan dana sekitar
lebih dari 1 miliar dolar untuk obat-obat laksatif.
Secara umum penanganan konstipasi harus disesuaikan dengan kondisi
masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi,
faktor-faktor kontribusi yang potensial, usia pasien, dan harapan hidup.
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007, sebagian besar
penduduk Indonesia masih kurang mengonsumsi serat dari sayur dan buah dan
lebih banyak makan makanan yang mengandung pengawet, serta kurang olah
raga. Oleh sebab itu, terapi inisial yang digunakan biasanya berupa diet dengan
penekanan pada peningkatan asupan serat makanan (dietary fiber), asupan cairan
yang cukup dan olahraga teratur. Hal yang sama juga berlaku pada penanganan
pertama kontipasi pada anak, yaitu diet tinggi serat dan meningkatkan asupan
cairan. Selain itu, perlu dihindari mengonsumsi susu secara berlebihan dan
makanan yang berpotensi menimbulkan konstipasi (Tabbers, Boluyt, Berger,
Benninga, 2011).

1 Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


2

Namun, terapi non-farmakologi tersebut memang membutuhkan beberapa


hari bahkan mingguan agar proses defekasi kembali normal. Sementara itu, anak
akan tetap rewel akibat rasa sakit atau begah pada perut (Loening-Baucke, 1993).
Lebih lanjut, diagnosis dan deteksi gejala konstipasi pada anak sebagian besar
terlambat karena pasien pediatri tidak dapat mengutarakan keluhan atau
mendeskripsikan gejala sakitnya dengan jelas, khususnya pada bayi. Selain itu,
aktivitas buang air besar pada anak dan bayi belum berlangsung secara rutin
(frekuensi defekasi dalam seminggu belum tetap), maka kadang frekuensi
defekasi pada beberapa anak yang kurang dari 3 kali seminggu dianggap normal
dan merasa anak tidak perlu diperiksakan ke dokter. Deteksi gejala konstipasi
yang terlambat dapat membuat konstipasi pada anak bersifat kronik. Konstipasi
kronik ini dapat menyebabkan terjadinya megarectum dan impaksi feses, yang
jelas tidak cukup diatasi dengan terapi non-farmakologis (Mason, Tobias, &
Lutkenhoff, 2004).
Oleh sebab itu, ahli medis tidak hanya bergantung pada terapi diet dan
gaya hidup, namun juga dapat mengandalkan terapi farmakologis, khususnya
laksatif. Obat laksatif sendiri dibagi menjadi empat jenis berdasarkan mekanisme
kerjanya, antara lain : laksatif pembentuk massa, laksatif stimulant, laksatif
pelunak feses, dan laksatif osmotik (Singh & Rao, 2010). Sayangnya, penelitian
mengenai obat laksatif yang paling aman dan efektif untuk digunakan pada anak-
anak tidak sebanyak pasien dewasa, ibu hamil, dan geriatri. Padahal dibutuhkan
laksatif yang aman digunakan pasien anak dan bayi dalam jangka panjang untuk
mencegah konstipasi kambuh kembali dan memiliki efek samping yang minimum.
Karena tidak semua laksatif aman digunakan dalam waktu jangka panjang, maka
pemilihan laksatif yang tepat bagi pasien pediatri harus sangat diperhatikan.

1.2. Tujuan
1. Mencatat dan mengetahui jumlah resep yang mengandung obat laksatif
yang masuk ke Apotek Rini selama periode bulan Maret 2014 dan
presentasenya dibandingkan total resep keseluruhan selama periode bulan
Maret 2014.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


3

2. Mengetahui obat laksatif yang paling sering diresepkan untuk pasien


pediatri.
3. Menganalisis keamanan dan kerasionalan obat-obat yang diresepkan untuk
pasien pediatri tersebut, ditinjau dari regimen dosis, cara pakai, dan efek
samping.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian, gejala, dan penyebab konstipasi


Konstipasi, atau juga dikenal dengan istilah sembelit, adalah suatu gejala
defekasi yang tidak memuaskan yang ditandai dengan BAB kurang dari tiga kali
dalam seminggu atau kesulitan evakuasi feses akibat feses yang keras
(Perkumpulan Gastroentrologi Indonesia, 2006). Lebih lanjut, berdasarkan Rome
III Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal Disorders (2006),
seseorang dikatakan mengalami konstipasi apabila mengalami paling tidak 2
keluhan di antara beberapa gejala berikut ini :
a. defekasi kurang dari 3 kali per minggu,
b. mengejan saat defekasi,
c. feses yang keras,
d. perasaan tidak lampias setelah defekasi,
e. perasaan adanya hambatan atau obstruksi saat defekasi,
f. adanya evakuasi manual untuk mengeluarkan feses, misalnya dengan
jari.
Konstipasi umumnya merupakan gejala dari gangguan saluran pencernaan,
terutama berasal dari kolon dan rektum. Abnormalitas dari kolon dan rektum yang
dapat menyebabkan konstipasi antara lain adanya sumbatan atau obstruksi kolon
(neoplasma, volvulus, striktur), motilitas atau pergerakan kolon yang lambat
akibat penyalahgunaan laksatif atau obat pencahar dan penyakit Hirschsprung
pada anak-anak. Penyakit di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan
gejala konstipasi antara lain hipercalsemia, hiperparatiroidisme, hipokalemia,
kehamilan, dan diabetes mellitus. Penyakit dengan kelainan neurologis seperti
stroke, Parkinson, multiple sklerosis dan lesi tulang belakang pun dinilai mampu
menimbulkan gejala konstipasi dalam perkembangannya. Bahkan kondisi
psikologis juga dapat memicu timbulnya konstipasi, seperti cemas, stress, dan
sebagainya. Penyebab lain meliputi diet yang buruk dan obat-obatan. Golongan
obat-obatan yang dapat berperan antara lain antidepresi, antikolinergik, opioid,
obat-obatan psikotropika, dan antasida (Rasquin, et al, 2006).

4 Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


5

Berdasarkan penyebabnya di atas, konstipasi dibedakan menjadi konstipasi


primer dan sekunder. Konstipasi primer meliputi konstipasi yang terjadi karena
adanya kelainan dari sistem kolon-rektum. Konstipasi sekunder terutama terjadi
akibat stress, konsumsi obat-obatan, dan diet yang buruk seperti kurangnya makan
makanan berserat, kurangnya konsumsi cairan, konsumsi teh atau kopi berlebihan,
konsumsi alkohol. Perubahan pola makan secara mendadak juga dapat
menyebabkan timbulnya konstipasi sekunder (Bellini, et al., 2014).

2.2. Penanganan Konstipasi


Penatalaksanaan konstipasi sangat bersifat individual, bersifat
simptomatik, dan diagnosis harus ditegakkan terlebih dahulu sebelum memilih
pengobatan. Jika konstipasi terjadi karena suatu keadaan medis maka kelainan
primer harus diobati terlebih dahulu. Obat-obatan yang dapat menyebabkan
kostipasi juga harus dihentikan (Mason, Tobias, & Lutkenhoff, 2004).
Penatalaksanaan dilakukan secara bertahap, dimulai dari perubahan gaya
hidup dan diet. Jika langkah di atas tidak berhasil mengatasi konstipasi, maka
dapat digunakan obat laksatif, dengan pilihan laksatif pembentuk massa dan
laksatif osmotik yang relatif cukup aman. Bila menunjukkan hasil yang kurang
memuaskan, maka dapat digunakan laksatif dalam bentuk enema atau laksatif
stimulant, atau ditambah dengan fisioterapi pelvic floor jika memungkinkan. Jika
langkah tersebut gagal, operasi hanya dilakukan ketika seluruh terapi konservatif
gagal dilakukan atau ketika terdapat risiko terjadi perforasi caecum (Beck, 2008).

2.2.1 Terapi Non-Farmakologis


1. Pengaturan diet atau asupan makanan secara sehat
Terapi inisial yang dilakukan untuk mengatasi konstipasi ialah dengan
banyak makan makanan berserat. Suplementasi serat dapat meningkatkan berat
tinja serta frekuensi defekasi dan menurunkan waktu transit gastrointestinal.
Contoh makanan yang banyak mengandung serat, baik yang mudah larut maupun
yang sulit larut, ialah buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian. Serat makanan
meliputi pati, polisakarida, oligosakarida, lignin dan bagian tanaman lainnya.
Serat umumnya yang tidak dapat dicerna dan diabsorbsi oleh tubuh. Serat yang

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


6

mudah larut air akan cepat melarut dalam cairan saluran cerna dan membentuk
bahan gel yang mengembang dalam usus. Sebaliknya makanan berserat yang tidak
larut air akan melewati usus tanpa mengalami perubahan. Serat yang berbentuk
besar (bulk) akibat mengembang tersebut bersifat lunak karena meningkatkan
retensi air. Hal ini akan mencegah terjadinya tinja yang keras dan kering yang
lebih sulit melewati usus. Ukuran besar dari tinja juga merangsang gerakan
motilitas usus dan perenggangan rektum. Serat juga berhubungan erat dengan
proliferasi bakteri kolon yang memproduksi gas di dalam tinja (Tabbers, Boluyt,
Berger, & Benninga, 2011).
Baik anak-anak maupun orang dewasa sekarang ini terlalu banyak
mengonsumsi makanan yang sudah dibersihkan dan diproses, di mana serat
alamiahnya sudah dibuang. Sebagai contoh, rata-rata orang Amerika makan 5 – 10
gram makanan berserat setiap harinya. Padahal dalam sehari dibutuhkan 20 – 35
gram yang dianjurkan oleh the American Dietetic Association. Dengan diet yang
tinggi serat hingga mencapai jumlah antara 20-30 gram/hari, banyak pasien
dengan konstipasi memperlihatkan respon yang positif dengan proses dan
frekuensi defekasi cenderung normal. Perlu diingat bahwa suplementasi serat
bukan terapi yang tepat bagi pasien dengan lesi obstruktif traktus gastrointestinal
atau bagi pasien penyakit megakolon atau megarektum (Slavin, 2013).

2. Pengaturan gaya hidup


Kebiasaan jarang atau kurangnya minum air dapat membuat feses menjadi
keras dan volumenya tidak cukup besar untuk merangsang motilitas usus. Cairan,
seperti air dan jus, dapat menambah jumlah air yang masuk ke dalam kolon dan
memperbesar bentuk feses, dan membuat gerakan usus menjadi lebih perlahan-
lahan dan lebih mudah. Penderita yang mengalami masalah konstipasi sebaiknya
minum cukup air setiap harinya, kurang lebih 2 liter pe rhari. Cairan lain seperti
kopi dan soft drinks yang mengandung kafein mempunyai efek dehidrasi sehingga
perlu dikurangi konsumsinya.
Selain itu, faktor gaya hidup lain yang dapat mempengaruhi lancarnya
defekasi ialah frekuensi olahraga. Kurang olah raga dapat menimbulkan
konstipasi, walau korelasi secara langsung masih belum diketahui. Sebagai

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


7

contoh, konstipasi sering terjadi pada penderita setelah mengalami kecelakaan


atau pada saat penderita diharuskan tirah baring (bedrest) dalam waktu yang lama
karena penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan olahraga teratur minimal 30
menit setiap harinya (Tabbers, Boluyt, Berger, & Benninga, 2011).
.
2.2.2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada penderita konstipasi ialah
obat laksatif. Penggunaan laksatif juga harus diperhatikan dalam berbagai kondisi
khusus, misalnya pada lansia, anak-anak, wanita hamil, dan penderita DM.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, laksatif digolongkan menjadi empat jenis,
antara lain :
1. Laksatif Pembentuk Massa
Pembentuk masa, atau sering disebut dengan istilah bulk-forming
agents atau bulking agents, merupakan bahan-bahan organik atau semisintetik
yang bisa menambahkan serat pada feses. Senyawa bulking agents, seperti
gandum, psilium, kalsium polikarbofil dan metilselulosa, umumnya merupakan
polisakarida atau derivat selulosa yang dapat menyerap air ke dalam lumen
kolon dan meningkatkan massa feses dengan menarik air dan membentuk suatu
hidrogel sehingga terjadi peregangan dinding saluran cerna dan. Hal tersebut
akan merangsang gerak peristaltik, serta menstimulasi motilitas dan mengurangi
waktu transit feses di kolon (Daniels, et al., 2013).
Bulking agent digunakan bila diet tinggi serat tidak berhasil menangani
konstipasi (Slavin, 2013). Bulking agents bekerja perlahan dan merupakan obat
yang paling aman digunakan dalam jangka panjang untuk merangsang buang air
besar yang teratur. Pada mulanya diberikan dalam jumlah kecil, kemudian
dosisnya ditingkatkan secara bertahap, sampai dicapai keteraturan dalam buang
air besar. Rasa kembung dan frekuensi flatus mungkin meningkat. Pada
penggunaan laksatif ini, asupan cairan yang adekuat sangat diperlukan, jika tidak
akan dapat menimbulkan dehidrasi. Pada pasien yang tidak bereaksi terhadap
terapi tunggal bulk laxatives, pilihan selanjutnya adalah dengan menambahkan
laksatif jenis lain (Singh & Rao, 2010).
Berikut akan dijelaskan mengenai macam-macam senyawa aktif
yang berkhasiat sebagai laksatif pembentuk massa :
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


8

a. Derivat selulosa
Obat ini diberikan secara oral, tidak diabsorbsi melalui saluran cerna
sehingga tidak menimbulkan efek sistemik. Dalam cairan usus, metilselulosa
akan mengembang membentuk gel emolien atau larutan kental, yang dapat
melunakkan tinja. Residu yang tidak dicerna juga akan merangsang peristaltik
usus secara refleks. Efek pencahar diperoleh 12-24 jam setelah adminstrasi, dan
efek maksimal setelah beberapa hari pengobatan. Pada beberapa pasien bisa
terjadi obstruksi usus atau esofagus, oleh karena itu metilselulosa tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan mengunyah. Metilselulosa digunakan
untuk melembekkan feses pada pasien yang tidak boleh mengejan, misalnya
pasien dengan hemoroid (Daniels, et al., 2013). Sediaan adalam bentuk bubuk
atau granula 500 mg, tablet atau kapsul 500 mg. Dosis anak 3-4 kali 500 mg /
hari, sedangkan dosis dewasa 2-4 kali 1,5 g / hari. Dapat pula mengonsumsi
yoghurt yang mengandung metilselulosa serta bakteri asam laktat Lactobacillus
bulgarius dan Streptococcus thermophillus (Slavin, 2013).
Derivat selulosa lainnya ialah natrium karboksimetilselulosa (CMC Na).
Senyawa ini memiliki sifat-sifat yang sama dengan metilselulosa, hanya saja
tidak larut dalam cairan lambung dan bisa digunakan sebagai antasid. Sediaan
dalam bentuk tablet 0,5 g dan 1 g, atau kapsul 650 mg. Dosis dewasa adalah 3-6
g.

b. Psilium
Psilium, berasal dari Plantago ovata, merupakan substansi hidrofilik
yang membentuk gelatin bila bercampur dengan air. Psilium sekarang telah
digantikan dengan preparat yang lebih murni dan ditambahkan musiloid. Pada
penggunaan kronik, psilium dikatakan dapat menurunkan kadar kolesterol darah
karena mengganggu absorbsi asam empedu (Daniels, et al., 2013).
Dosis yang dianjurkan 1-3 kali sehari 3-3,6 gram dalam 250 ml air atau
sari buah. Contoh produknya ialah Mulax® yang mengandung 7 gram Pysillium
hydropolic muciloid. Sediaan berupa serbuk sachet 11 gram. Selain itu, ada
Mucofalk® yang mengandung 5 gram Isphagula husk (ekstraksi dari Plantago
isphagula). Sediaan berupa 1 serbuk sachet 20 gram. Ada pula Vegeta® yang

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


9

mengandung 5,52 gram Psyllium Husk dan 2,88 gram Inulin Chicory. Sediaan
berupa serbuk 8,4 gram dalam sachet.

c. Agar-agar
Merupakan koloid hidrofil, kaya akan hemiselulosa yang tidak dicerna
dan tidak diabsorbsi. Agar-agar yang biasa dibuat merupakan pencahar
pembentuk massa yang mudah diperoleh (Daniels, et al., 2013).. Dosis yang
dianjurkan ialah 4-16 g per hari untuk dewasa. Contoh produknya ialah agar-
agar Swallow® yang mengandung karagenan (diekstraksi dari rumput laut).
Sediaan berupa kemasan tepung agar-agar 7 gram. Ada pula Nutrijell® yang
mengandung konyaku dan karagenan. Sediaan berupa kemasan tepung agar-
agar 10 gram, 15 gram.

d. Polikarbofil dan kalsium polikarbofil


Merupakan poliakrilik resin hidrofilik yang tidak diabsorbsi, lebih
banyak mengikat air dari pencahar pembentuk massa lainnya. 8 Polikarbofil
dapat mengikat air 60-100 kali dari beratnya sehingga memperbanyak massa
tinja. Preparat ini mengandung natrium dalam jumlah kecil. Dalam saluran cerna
kalsium polikarbofil dilepaskan ion Ca2+, sehingga tidak boleh diberikan pada
pasien yang asupan kalium perlu dibatasi (Daniels, et al., 2013). Dosis dewasa 1-
2 kali 1000 mg / hari, maksimum 6 g / hari, disertai air minum 250 ml.

2. Laksatif Pelunak Feses


Laksatif pelunak feses sebagian besar merupakan laksatif emolien,
yang umumnya berupa minyak mineral. Minyak mineral sering digunakan
sebagai adjuvant dari laksatif pembentuk masa atau stimulant. Minyak
mineral seperti paraffin cair, mampu melunakkan feses dan
memudahkannya keluar dari tubuh, tanpa merangsang peristaltik usus.
Feses akan menjadi lunak karena berkurangnya reabsorbsi air dari feses di
usus besar. Parafin cair dapat ditoleransi tubuh dengan baik, tidak dicerna
di dalam usus dan hanya sedikit yang diabsorbsi. Namun apabila
seseorang yang dalam kondisi daya tahan tubuh lemah menghirup minyak
mineral secara tidak sengaja, bisa terjadi iritasi yang serius pada jaringan
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


10

paru-paru (Beck, 2008). Bahan ini juga akan menurunkan penyerapan dari
zat yang larut dalam lemak, seperti vitamin A dan D. Contoh produk
komersial yang beredar di Indonesia ialah Kompolax® yang mengandung
Liquidum parafin 1,5 gram, fenolftalein 75 mg, dan gliserin 1 gram.
Sediaan berupa emulsi 60 mL, 115 mL. Dosis yang dianjurkan untuk
dewasa adalah 10 ml per hari.
Selain minyak mineral, golongan ini juga mencakup senyawa
surfaktan yang juga dapat berperan dalam melunakkan feses. Surfaktan
bekerja dengan menurunkan tegangan pada permukaan feses, sehingga
memudahkan penetrasi air ke dalam feses agar menjadikan feses lebih
lunak. Feses akan menjadi lunak 24-48 jam setelah administrasi. Tak
hanya air, surfaktan juga dapat meningkatkan dispersi serat tidak larut air
dalam feses sehingga jumlah serat yang meningkat akan merangsang
reaksi alamiah dari usus besar untuk membantu melunakkan feses agar
lebih mudah dikeluarkan oleh tubuh (Singh & Rao, 2010). Surfaktan yang
digunakan sebagai pelunak feses ialah golongan dukosat yang dapat
menambahkan jumlah air yang mampu diserap oleh feses. Contoh produk
komersialnya ialah Laxatab® yang mengandung 50 mg Natrium
dioktilsulfosuksinat (Na-dokusat), sediaan berupa 1 strip 6 tablet.

3. Laksatif Stimulan
Laksatif stimulan, seperti, turunan dari difenilmetan seperti
fenolftalein dan bisakodil, derivat antrakinon (senna, kaskara,
dihidroksiantrakinon), dan minyak kastor (minyak jarak), bekerja dengan
cara merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos intestinal,
sehingga meningkatkan peristaltis dan sekresi lendir usus (Emmanuel,
2011). Lebih lanjut, laksatif stimulan membantu sintesis prostaglandin dan
siklik AMP, di mana hal ini akan meningkatkan sekresi elektrolit.
Penghambatan sintesis prostaglandin dengan indometasin menurunkan
efek obat golongan ini terhadap sekresi air. Pencahar jenis ini juga sering
dipakai untuk menggosongkan usus besar sebelum proses diagnostik dan
untuk mencegah atau mengobati konstipasi yang disebabkan karena obat

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


11

yang memperlambat kontraksi usus besar, misalnya opioid atau narkotik


(Gordon, Naidoo, Akobeng & Thomas, 2013). Penggunaan dalam jangka
panjang bisa menyebabkan kerusakan pada usus besar karena laksatif
golongan ini berisiko mengiritasi saluran cerna dan juga dapat
menyebabkan ketergantungan sehingga usus menjadi malas berkontraksi
(lazy bowel syndromes) (Mayo Clinic Health, 2013).
Laksatif stimulan umumnya bekerja 6-8 jam setelah administrasi
dan menghasilkan feses setengah padat, tapi sering mengakibatkan kram
perut. Bila dalam bentuk supositoria (dimasukkan melalui lubang dubur),
laksatif stimulan bekerja setelah 15-60 menit. Masa laten 6-8 jam sebelum
timbul efek pencahar tersebut karena laksatif golongan ini kebanyakan
kerjanya terbatas hanya pada usus besar, seperti derivat difenilmetan dan
antrakinon. Sedangkan minyak jarak hanya bekerja pada usus halus
memiliki masa laten 3 jam (Gordon, Naidoo, Akobeng & Thomas, 2013).
Berikut merupakan senyawa aktif berkhasiat yang termasuk dalam
golongan laksatif stimulant :
a. Minyak jarak
Minyak jarak berasal dari biji Ricinus communis, yang selanjutnya
dihidrolisis menjadi gliserol dan asam risinoleat oleh enzim lipase di
dalam usus halus. Asam risinoleat merupakan senyawa aktif berkhasiat.
Selain itu, minyak jarak juga bersifat emolien. Dosis untuk dewasa adalah
15-60 mL, sedangkan untuk anak-anak adalah 5-15 mL. Efek samping dari
minyak jarak antara lain kolik, dehidrasi dengan gangguan elektrolit,
denyut nadi tidak teratur, kram otot, rash kulit, dan kelelahan. Minyak
jarak dianjurkan diberikan pagi hari waktu perut kosong. Jika dosisnya
ditambah, tidak akan menambah efek pencahar, dan efek pencahar akan
terlihat setelah 3 jam. Sebagai pencahar, obat ini tidak banyak lagi
digunakan karena banyak obat lain yang lebih aman (Daniels, et al., 2013).

b. Derivat Difenilmetan

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


12

Derivat difenilmetan yang sering digunakan adalah bisakodil dan


fenolftalein. Efek fenolftalein dapat bertahan lama karena mengalami
sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar fenolftalein diekskresi melalui
tinja, sebagian lagi diekskresikan di ginjal dalam bentuk metabolitnya. Jika
diberikan dalam dosis besar, akan ditemukan dalam bentuk utuh dalam
urin, dan pada suasana alkali akan menyebabkan urin dan tinja berwarna
merah. Ekskresi melalui ASI sangat kecil sehingga tidak akan
mempengaruhi bayi yang sedang disusui. Fenolftalein relatif tidak toksik
untuk pengobatan jangka pendek, tetapi dosis yang berlebihan akan
meningkatkan kehilangan elektrolit dan bisa menyebabkan reaksi alergi
(Gordon, Naidoo, Akobeng & Thomas, 2013)..
Penggunaan fenolftalein sekarang kurang direkomendasikan karena
bersifat karsinogen (Dunnick & Hailey, 1996). Pada produk laksatif
komersial yang beredar di Indonesia, fenoftalein lebih banyak
dikombinasikan dengan laksatif pelunak feses dan osmotik, contohnya saja
Kompolax®. Ada pula Laxadine® yang memiliki kombinasi bahan aktif
yang hampir sama dengan Kompolax®, dengan komposisi liquidum
parafin 1,2 gram, phenolphthalein 55 mg, gliserin 378 mg, dan jeli 9,4 mg
tiap 5 ml emulsi. Sediaan berupa emulsi 30 ml, 60 ml, 110 ml.
Sementara itu, bisakodil menjadi pilihan yang populer digunakan
sebagai perangsang kerja usus besar dalam mengekresikan feses. Bisakodil
mampu dihidrolisis menjadi senyawa difenol di usus halus. Difenol yang
diabsorbsi mengalami konjugasi di hati dan dinding usus. Metabolit akan
diekskresi melalui empedu, dan selanjutnya mengalami rehidrolisis
menjadi difenol yang akan merangsang motilitas usus besar. Efek samping
berupa kolik usus dan perasaan terbakar pada penggunaan rectal
(Emmanuel, 2011). Beberapa sediaan yang beredar di Indonesia berupa
tablet salut enterik 5 mg (Dulcolax®, Laxana®, Laxamex®, Melaxan®)
serta supositoria 10 mg untuk dewasa dan 5 mg untuk anak (Dulcolax®
supp, Stolax® supp). Dosis per hari untuk dewasa 10-15 mg dan untuk
anak 5-10 mg, dan direkomendasikan untuk diberikan malam hari sebelum
tidur.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


13

c. Derivat Antrakinon
Efek pencahar golongan ini bergantung pada antrakinon yang
dilepaskan dari ikatan glikosidanya. Setelah pemberian oral, sebagian
glikosida akan diabsorbsi, sedangkan sisanya akan dihidrolisis oleh enzim
dan flora usus menjadi bentuk antrakinon bebas dan bekerja sebagai
pencahar di kolon. Efek antrakinon yang tidak diinginkan adalah efek
pencahar yang berlebihan. Zat aktif bisa ditemukan pada ASI sehingga
bisa mempengaruhi bayi yang disusui. Melanosis kolon bisa terjadi,
namun bisa menghilang dengan penghentian pemakaian obat selama 4-12
bulan (Emmanuel, 2011).
Senyawa laksatif komersial yang beredar di pasaran ialah
dihidroksi antrakinon, yang dijual dengan merek dagang Danthron®.
Danthron® mengandung lebih banyak antrakinon bebas daripada bentuk
glikosidanya. Sediaan dalam tablet 75 mg, dosis harian 75-150 mg, dann
dijual dalam bentuk kaleng berisi 1000 tablet. Senyawa lainnya yang
tergolong dalam laksatif jenis ini ialah kaskara sagrada, yang berasal dari
kulit pohon Rhamnus purshiana. Efek samping adalah pigmentasi mukosa
kolon. Zat aktif bisa ditemukan pada ASI. Dosis harian 100-300 mg.
Sediaan dalam bentuk sirup, eliksir, tablet 125 mg.
Selain itu, ada senna yang berasal dari daun atau buah Cassia
acutifolia atau Cassia angustifolia dengan bentuk glikosida senosida A
dan B. Efek samping pada penggunaan lama akan menyebabkan kerusakan
neuron mesenterik (Bellini, et al., 2014). Dosis harian yang
direkomendasikan ialah 0,5 - 2 gram. Beberapa produk yang mengandung
senna ialah Laxing® tea yang mengandung ekstrak daun senna 1600 mg,
lidah buaya 100 mg, daun teh 300 mg (sediaan berupa 1 dus berisi 15 teh
celup x 2 gram) dan Eucarbon® yang mengandung senna dan karbon
(adsorben) dan dijual dalam bentuk 1 strip 6 tablet.

d. Natrium pikosulfat
Natrium pikosulfat bekerja sebagai laksatif stimulan ringan
(Hinkel, Schuijt, & Erckenbrech, 2008). Efek pencaharnya baru muncul 6-

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


14

12 jam setelah administrasi. Efek penggunaan jangka panjang atau


berlebihan ialah ketidakseimbangan cairan atau garam dan dapat
menurunkan level kalium dalam darah (National Health Service England,
diakses pada 27 Mei 2014). Contoh produknya ialah Laxoberon® yang
mengandung 7,5 mg Na-pikosulfat per 5 ml dengan sediaan berupa oral
drops 10 ml.

4. Laksatif Osmotik
Laksatif osmotik bekerja dengan cara mempertahankan sejumlah
besar air tetap berada dalam usus besar, sehingga feses menjadi lunak dan
mudah dilepaskan. Cairan yang berlebihan juga akan meregangkan
dinding usus besar dan merangsang kontraksi. Senyawa yang memiliki
sifat laksatif osmotik ini antara lain ialah garam-garam anorganik (fosfat,
sulfat dan magnesium) dan alkohol organik atau gula
(polietilenglikol/PEG, laktulosa, sorbitol). Laksatif jenis ini adalah
preparat yang sangat lambat diserap bahkan tidak diserap, sehingga terjadi
sekresi air ke dalam intestinum untuk mempertahankan isotonisitas yang
sama dengan plasma. Beberapa pilihan laksatif salin adalah garam-garam
seperti magnesium hidroksida, magnesium sulfat, magnesium sitrat,
sodium fosfat, dan sodium sulfat (Horn, Mantione, Johanson, 2003).
Pencahar ini pada umumnya lebih baik digunakan sebagai
pengobatan daripada untuk pencegahan. Bahan ini juga dipakai untuk
mengosongkan usus sebelum pemeriksaan rontgen pada saluran
pencernaan dan sebelum kolonoskopi. Beberapa bahan osmotik yang
memiliki kandungan natrium atau magnesium dapat berisiko menyebabkan
retensi (penahan) cairan pada penderita penyakit ginjal atau gagal jantung,
terutama jika diberikan dalam jumlah besar. Sedangkan sebagian dari
bahan osmotik yang memiliki kandungan magnesium dan fosfat dapat
diserap ke dalam aliran darah dan berbahaya untuk penderita gagal ginjal
(Gordon, Naidoo, Akobeng & Thomas, 2013).
Beberapa jenis senyawa laksatif osmotik, antara lain :
a. Garam magnesium (MgSO4 atau garam inggris)

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


15

Walaupun garam magnesium bekerja secara lokal di traktus


gastrointestinal, efek farmakologisnya pun mungkin disebabkan oleh
pelepasan hormon seperti kolesistokinin yang merangsang pergerakan usus
besar dan sekresi cairan.atau pengaktifan sintesis nitrit oksida. Senyawa ini
dapat diminum ataupun diberikan secara rektal. Garam magnesium tidak
boleh diberikan pada pasien gagal ginjal (Singh & Rao, 2010). Sediaan
yang ada misalnya adalah magnesium sulfat dalam bubuk, dosis dewasa
15-30 g gram. Efek pencahar terlihat setelah 3-6 jam.

b. Garam Natrium
Ion natrium dapat mengikat air sehingga dapat mempertahankan air
tetap berada di kolon. Sam seperti garam magnesium, preparat ini tidak
boleh diberikan pada pasien gagal ginjal (Singh & Rao, 2010). Sediaan
yang ada contohnya ialah Fleet® yang mengandung Na-fosfat monobasa
dan Na-fosfat dibasa dengan komposisi yang berbeda pada bentuk sediaan
enema/supositoria (19 gram; 7 gram) dan bentuk larutan oral Fleet®
Phosposoda (2,4 gram; 0,9 gram). Dosis hariannya ialah 20-45 ml.
Sedangkan merk lainnya ialah Fosen® enema dengan kandungan jumlah
zat aktif yang sama dengan Fleet® enema.

c. Laktulosa
Laktulosa adalah disakarida semisintetik yang tidak dipecah oleh
enzim usus (fruktosidase) dan tidak diabsorbsi di usus halus. Karbohidrat
yang tidak terserap tersebut menjadi substrat bagi proses fermentasi
bakteri kolon yang akan diubah menjadi hidrogen, metana, karbon
dioksida, air, asam dan asam lemak rantai pendek. Selain sebagai agen
osmotik, produk-produk ini juga menstimulasi motilitas dan sekresi
intestinum. Sayangnya, proses tersebut juga akan mengakibatkan rasa
kembung dan tidak nyaman di perut serta flatus, yang menjadi efek
samping yang sering dikeluhkan oleh pasien saat menggunakan laksatif
jenis ini (Rogers, 2003).

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


16

Laktulosa umumnya tersedia dalam bentuk sirup dan perlu


diminum bersama sari buah atau air dalam jumlah cukup banyak. Dosis
pemeliharaan harian untuk mengatasi konstipasi sangatlah bervariasi,
biasanya 7-10 gram dosis tunggal maupun terbagi. Kadang-kadang
dibutuhkan dosis awal yang lebih besar, misalnya 20 gram dan efek
maksimum laktulosa mungkin terlihat setelah beberapa hari. Laktulosa
juga dapat diberikan per rektal (Rogers, 2003; Mason, Tobias, Lutkenhoff,
2004).
Contoh dari produk laksatif yang mengandung laktulosa ialah :
1. Lantulos® (3, 430 gram laktulosa per 5 mL) : sediaan berupa sirup 60
mL.
2. Duphalac® (3, 335 gram laktulosa per 5 mL) : sediaan berupa sirup
120 mL.
3. Lactulax® (3, 335 gram laktulosa per 5 mL) : sediaan berupa sirup 60
mL rasa vanila, sirup 120 mL, dan sirup 200 mL.
4. Opilax® (3, 335 gram laktulosa per 5 mL): sediaan berupa sirup 60
mL, 120 mL.
5. Pralax® (3, 335 gram laktulosa per 5 mL): sediaan berupa sirup 100
mL.
6. Solac® (3, 335 gram laktulosa per 5 mL): sediaan berupa sirup 120
mL.

Ada pula sediaan yang mengombinasikan garam natrium, gula, dan


alkohol organik, yaitu Microlax® yang mengandung Natrium lauril
sulfoasetat 45 mg, Natrium sitrat 450 mg, Asam sorbat 5 mg, PEG 400
625 mg, Sorbitol 4465 mg. Sediaan berupa enema 5 mL.

2.3. Konstipasi pada Anak dan Bayi


2.3.1. Penyebab Konstipasi pada Anak dan Bayi
Sebagian besar konstipasi pada anak umumnya disebabkan oleh pola
makan yang kurang air dan serat. Air dan serat berfungsi untuk membantu
pergerakan usus. Anak-anak yang sering makan makanan cepat saji, seperti
burger, kentang goreng, milkshake, permen, kue, atau minuman ringan manis
Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


17

biasanya lebih sering mengalami konstipasi. Sementara pada bayi, konstipasi


dapat terjadi akibat transisi dari ASI ke susu formula bayi, atau dari makanan bayi
ke makanan padat. Perlu diingat bahwa beberapa anak menahan pergi ke kamar
mandi karena tidak ingin meninggalkan keasyikan mereka bermain, menggunakan
toilet yang jauh dari rumah atau harus meminta ijin orang dewasa untuk pergi ke
toilet. Bila hal ini berlanjut maka tinja akan makin mengeras dan terjadilah
konstipasi (Loening-Baucke, 1993).
Stres juga dapat menyebabkan konstipasi. Anak-anak bisa konstipasi
ketika mereka sedang cemas tentang sesuatu, seperti memulai di sekolah baru atau
adanya masalah di rumah. Penelitian telah menunjukkan bahwa gangguan
emosional atau faktor psikis dapat mempengaruhi fungsi usus sehingga
menyebabkan konstipasi ataupun diare pada anak (Rasquin, et al. 2006)..
Beberapa anak bisa konstipasi karena kondisi yang disebut sindrom iritasi
usus (Irritable Bowel Syndrome / IBS) yang dapat terjadi ketika mereka sedang
stres atau makan makanan pemicu IBS misalnya makanan yang berlemak atau
pedas. Seorang anak dengan IBS bisa konstipasi atau diare dan disertai sakit perut
atau banyak gas. Dalam kasus yang jarang, konstipasi merupakan tanda penyakit
medis lainnya. Hal tersebut ditandai dengan konstipasi yang terjadi terus menerus
atau berlangsung selama 2 - 3 minggu. Oleh sebab itu, penanganan dini konstipasi
pada anak sangat penting karena konstipasi kronik pada anak dapat menyebabkan
terjadinya megarectum dan impaksi feses (Mason, Tobias, & Lutkenhoff, 2004).

2.3.2. Penanganan Konstipasi pada Anak dan Bayi


Penatalaksanaan konstipasi bergantung pada berat ringannya keadaan.
Pada konstipasi ringan yang tidak berhasil dengan terapi non-farmakologis
(pengaturan diet dan gaya hidup) dapat diberikan laksatif osmotik yang ringan
seperti suspensi garam magnesium, mulai dengan dosis 1 sendok teh 2 kali sehari.
Dalam hal ini, bayi harus cukup mendapat cairan. Pada bayi dengan usia 9 sampai
12 bulan (usia mulai belajar berjalan) dengan defekasi disertai keluhan rasa sakit
dan berdarah saat defekasi, dapat diberikan laksatif pelunak feses seperti
dioktilnatrium sulfosuksinat, yang dapat dikombinasikan dengan laksatif stimulan
ringan, seperti senna, untuk mengembalikan frekuensi defekasi yang normal.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


18

Untuk anak-anak yang lebih besar, diet sehari-hari dapat ditambah dengan laksatif
pembentuk massa, contohnya metilselulosa atau laktulosa (Gordon, Naidoo,
Akobeng, & Thomas, 2013). Pada konstipasi berat, contohnya konstipasi kronis,
dapat diberikan suspensi garam magnesium 1-2 ml/kg BB/hari disertai diet tinggi
serat dan latihan defekasi 4-5 kali per hari (Baucke-Loening, 1993). Kekurangan
dari suspensi garam magnesium ialah rasanya kurang disukai oleh anak-anak,
maka dapat dicampur dengan susu atau jus.
Perlu diperhatikan bahwa sebelum terapi diet dan terapi pemeliharaan,
sering kali ada massa feses yang besar dan keras yang tersangkut di dubur anak
akibat tidak melakukan defekasi selama lebih dari 3 hari. Oleh sebab itu perlu
dilakukan pembersihan terlebih dahulu terhadap agar terapi selanjutnya dapat
berlangsung maksimal. Hal yang biasanya dilakukan adalah menggunakan laksatif
dalam bentuk supositoria atau enema di bawah pengawasan dari dokter anak.
Laksatif yang digunakan untuk tujuan ini umumnya merupakan golongan pelunak
feses, terutama minyak mineral. Secara umum, anak-anak di bawah usia 18 bulan
dapat diberikan supositoria gliserin dan PEG. Anak-anak antara 18 bulan dan 9
tahun dapat diberi enema yang mengandung laksatif stimulant dosis rendah. Harus
diingat untuk menghindari penggunaan supositoria atau enema sebagai kebiasaan.
Terapi itu hanya digunakan sebagai 'terapi penyelamatan' jika anak Anda tidak
buang air besar dalam 3-4 hari (Rogers, 2003).
Perlu diingat juga bahwa fokus utama penanganan konstipasi pada anak
yaitu membuat feses yang lunak setiap hari, maka anak diperkirakan perlu minum
obat laksatif untuk jangka waktu yang panjang dan seringkali hingga 4-6 bulan.
Salah satu kesalahan terbesar dalam merawat anak-anak adalah menghentikan
perawatan setelah mereka mulai memiliki feses yang lunak. Jika berhenti terlalu
dini, anak mungkin akan menjadi sembelit atau kambuh lagi. Alih-alih
menghentikan obat-obatan, pada saat anak telah memiliki feses yang lunak atau
mendapat diare, maka dosis harus diturunkan 25%. Jadi, jika anak mengambil 1
sendok suspensi magnesium secara teratur dan mulai memiliki feses yang lunak,
maka dosis diturunkan menjadi 3 / 4 sendok. Intinya, dilarang untuk membuat
terlalu banyak perubahan atau bahkan menghentikan pengobatan hanya
berdasarkan satu kali buang air besar.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


19

Setelah anak yang terbiasa dengan feses yang lunak, kemudian dapat
dikonsultasikan kepada dokter anak tentang penurunan dosis pencahar yang
digunakan. Hal ini biasanya dilakukan secara bertahap, sering kali penurunan
dosis sebanyak 25% setiap 1-2 bulan. Penting sekali pengobatan dengan laksatif
tetap dikombinasikan dengan diet tinggi serat dan menghindari makanan-makan
yang menyebabkan sembelit selama dan setelah pemberian laksatif dihentikan
(Mason, Tobias, & Lutkenhoff, 2004).

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan


Pengambilan data dan pengamatan resep yang mengandung laksatif
dilakukan di Apotek Rini saat Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) pada bulan
April – Mei 2014. Pengambilan data resep berlangsung selama 6 hari, yaitu 23 –
39 April 2014.

3.2 Metode Pelaksanaan


3.2.1. Pengambilan Data
Resep yang digunakan sebagai data adalah resep pada periode bulan Maret
tahun 2014. Sampel yang diambil pada bulan Maret 2014 ialah 31 hari. Cara
pengambilan data dijabarkan di bawah ini :
a. Mengambil resep selama satu bulan pada bulan Maret 2014.
b. Mencatat jumlah resep yang masuk setiap harinya selama periode bulan
Maret 2014.
c. Mencatat resep yang mengandung obat laksatif selama periode bulan Maret
2014 dan direkapitulasi dalam bentuk tabel dengan rincian antara lain :
tanggal, nomor resep, nama dan umur pasien, nama atau merek dagang obat
laksatif beserta dosisnya, dan nama dokter yang meresepkan.
d. Memotret resep yang mengandung obat laksatif selama periode bulan Maret
2014 sebagai arsip atau dokumen.

3.2.3. Pengolahan Data


Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan prosedur sebagai berikut :
a. Menghitung presentasi jumlah resep yang mengandung laksatif terhadap total
keseluruhan resep yang masuk ke apotek selama bulan Maret 2014.
b. Menganalisis obat laksatif yang paling sering diresepkan untuk pasien
pediatri.
c. Menganalisis keamanan dan kerasionalan obat-obat yang diresepkan, ditinjau
dari regimen dosis, cara pakai, dan efek samping.

20 Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Perolehan Resep


4.1.1 Jumlah resep yang mengandung obat laksatif
Selama pengambilan data resep yang mencantumkan laksatif pada periode
bulan Maret 2014 (31 hari), terhitung total keseluruhan resep selama periode
Maret 2014 yang terdapat di Apotek Rini adalah sebanyak 19.280 lembar. Dari
total keseluruhan resep tersebut, 58 lembar resep di antaranya mencantumkan obat
laksatif. Hal ini berarti persentase jumlah resep yang mencantumkan obat laksatif
terhadap total keseluruhan resep selama periode Maret 2014 adalah 0,30%.
Jumlah dan rincian resep yang mengandung obat laksatif tersebut dapat dilihat
pada lampiran 1.

4.1.2. Resep yang mengandung obat laksatif


Berikut adalah beberapa contoh resep yang mencantumkan obat laksatif :

Resep 1 Resep 2
Dokter : Bara Langi T.,SpA Dokter : (RS Persahabatan)
Pro : Ruben (7 tahun) Pro : Anak Masayu (2 tahun)
Tanggal : 2 Maret 2014 Tanggal : 20 Maret 2014
No. Resep : 46 No. Resep : 38

R/ Dulcolactol syr I R/ Microlax supp No. I


S 1 dd cth II S supp
R/ Pankreon ½ R/ Mucos syr fl No. I
mf pulv dtd no. IX S 3 dd cth 1
S3x1

21 Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


22

Resep 3 Resep 4
Dokter : Wawan Kurniawan,SpPD Dokter : Agnes (RS Persahabatan)
Pro : Ny. Kasriah (79 tahun) Pro : Bayi Intan Trisila (1 bulan)
Tanggal : 21 Maret 2014 Tanggal : 12 Maret 2014
No. Resep : 224 No. Resep : 219

R/ Lactulax syr 200 ml I R/ Laxoberon drop I


S 3 x 15 ml (prn sulit BAB) S 2 dd gtt I (malam & pagi)
R/ Microlax enema 5 ml III
S supp 1 x sehari (prn sulit BAB)
R/ Canderin tab 8 mg XXX
S1x1
R/ Stator tab 10 mg XXX
S 1 x 1 (malam)
R/ Voltaren gel 1% 5 gr I
S oles bila nyeri

Resep 5 Resep 6
Dokter : (RS Persahabatan) Dokter : (RS Persahabatan)
Pro : Ny. Utjih Pro : Anak Dinda (10 tahun)
Tanggal : 29 Maret 2014 Tanggal : 11 Maret 2014
No. Resep : 657 No. Resep : 204

R/ Laxadine syr No. I R/ Zibramax 300 mg


S 1 dd I cth mf pulv dtd no. V
R/ Diazepam No. VI S 1 dd I pulv
S 2 dd 1 cth R/ Imboost syr No. I
S 2 dd I cth
R/ Novalgin syr No. I
S 3 – 4 dd cth 1 ¼ prn
R/ Laxadine syr No. I
S 1 dd C 1 (bila BAB (-)/keras)

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


23

4.2. Analisis Resep dan Pembahasan


Untuk menganalisis obat laksatif yang paling sering diresepkan untuk
pasien pediatri maupun dewasa, hasil rekapitulasi rincian resep yang
mencantumkan obat laksatif (lampiran 2) diolah dalam gambar 4.1.

Gambar 4.1. Jumlah resep dari tiap senyawa obat laksatif yang diresepkan, baik
bagi pasien pediatri maupun pasien dewasa, selama periode bulan
Maret 2014.
Keterangan :
(*) : Merk dagang produk dari zat aktif Laktulosa yang diresepkan selama periode bulan Mei
2014, ialah Lactulax®, Dulcolactol®, Duphalac®, dan Opilax®.
(**) : Merk dagang produk dari zat aktif Na-pikosulfat yang diresepkan selama periode bulan
Mei 2014, ialah Laxoberon® (tetes oral) dan Laxatab® (tablet).
(***) : Merk dagang produk dari zat aktif Bisakodil yang diresepkan selama periode bulan Mei
2014, ialah Dulcolax® (tablet, sirup, suppositoria).

Dapat dilihat pada gambar 4.1 bahwa laktulosa, Na-pikosulfat, dan laksatif
osmotik Microlax® merupakan obat laksatif yang paling sering diresepkan di
Apotik Rini selama periode Maret 2014 pada pasien pediatri (bayi dan anak di

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


24

bawah usia 12 tahun). Berikut ini akan dibahas mengenai karakteristik masing-
masing laksatif tersebut :

a. Laktulosa
Laktulosa merupakan laksatif golongan osmotik berupa disakarida
semisintetik (fruktosa & galaktosa) yang tidak dicerna oleh usus karena tak
adanya enzim fruktosidase, dan juga tidak diabsorbsi di usus halus. Disakarida
yang tidak terserap tersebut kemudian menjadi substrat bagi proses fermentasi
bakteri kolon yang akan diubah menjadi produk utama yaitu asam laktat, serta
asam asetat dan asam format dalam jumlah kecil. Selain itu dihasilkan pula
produk sampingan berupa hidrogen, metana, karbon dioksida, air, dan asam lemak
rantai pendek. Selain sebagai agen osmotik, produk-produk ini juga menstimulasi
motilitas dan sekresi intestinum. Hasil fermentasi tersebut akan meningkatkan
tekanan osmotik pada kolon sehingga meningkatkan retensi air serta membuat
suasana kolon sedikit asam. Akibatnya, terjadi peningkatan kandungan air pada
feses sehingga feses menjadi lebih lunak. Selain itu, volume dari feses juga akan
meningkat sehingga dapat merangsang motilitas usus, mengurangi waktu transit
feses di kolon, dan menginduksi perenggangan rektum (Rogers, 2003)..
Yang perlu diperhatikan ialah produk sampingan fermentasi laktulosa akan
mengakibatkan rasa kembung dan tidak nyaman di perut serta flatus, yang
menjadi efek samping yang sering dikeluhkan oleh pasien saat menggunakan
laksatif jenis ini. Efek pencahar dari laktulosa sendiri baru terlihat 2-3 hari setelah
administrasi, maka kurang tepat diberikan pada pasien yang butuh segera bebas
dari gejala konstipasi. Dosis pemeliharaan harian untuk mengatasi konstipasi
sangatlah bervariasi, biasanya 7-10 gram dosis tunggal maupun terbagi. Kadang-
kadang dibutuhkan dosis awal yang lebih besar, misalnya 20 gram, dan efek
maksimum laktulosa mungkin terlihat setelah beberapa hari (Rogers, 2003;
Mason, Tobias, Lutkenhoff, 2004).
Produk laktulosa yang diresepkan di Apotik Rini selama periode 2014 ialah
Lactulax®, Dulcolactol®, Duphalac®, dan Opilax®. Keempat produk tersebut
memiliki bentuk sediaan berupa sirup yang tiap 5 ml mengandung 3,335 gram
laktulosa. Resep 1 merupakan contoh regimen dosis laktulosa yang diresepkan

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


25

pada pasien pediatri berumur 7 tahun, seharinya pasien menerima 10 ml sirup


laktulosa. Bila dilihat pada tabel 4.1, regimen dosis tersebut sudah memenuhi
dosis yang direkomendasikan, di mana dosis pemeliharaan harian untuk anak
berusia 5-14 tahun ialah 10 ml. Akan lebih baik lagi apabila selama 3 hari pertama
diberlakukan dosis awal yang lebih besar dibandingkan dosis pemeliharaan, yaitu
15 ml dalam 2 atau 3 dosis terbagi, dengan pertimbangan bahwa laktulosa yang
diadministrasikan secara oral membutuhkan waktu beberapa hari agar efek
pencaharnya terlihat. Dengan adanya dosis awal yang lebih tinggi (initial higher
dose) dapat mempercepat waktu mencapai efek teraupetik.

Tabel 4.1. Regimen dosis dari senyawa laksatif yang sering diresepkan bagi
pasien pediatri di Apotik Rini.

Dosis harian yang Dosis harian yang


Senyawa
direkomendasikan diresepkan
laksatif
Pediatri Dewasa Pediatri Dewasa
Laktulosa Dosis awal (3 hari Dosis awal (3 hari a) 7 th  1 x 2 cth 3 x 1 C = 45 ml
pertama) : pertama) : (10 ml) 2 x 2 C = 30 ml
 5-14 th : 15 ml  Parah : 30 ml b) 7 th  2 x 1 cth 1 x 1 C = 15 ml
 1-5 th : 5-10 ml  Sedang : 15-30 ml (10 ml) 1 x 2 cth = 10 ml
 Bayi <1 th : 5 ml  Ringan : 15 ml

Dosis pemeliharaan : Dosis pemeliharaan :


 5-14 th : 10 ml  Parah : 15-30 ml
 1-5 th : 5-10 ml  Sedang : 10-15 ml
 Bayi <1 th : 5 ml  Ringan : 10 ml
Microlax® 1 enema untuk 2x pakai 1 enema untuk 1x 2 tahun  1 enema 1 enema
pakai
Na- 4-10 th : 5-10 tetes 10-20 tetes a) Bayi 1 bulan  1 x 15 tetes
pikosulfat < 4 th : 250 mcg/kg BB 1x 2 tetes
b) Bayi < 1 th 
2 x 1 tetes
Laxadine® > 6 th : 10-15 ml 15-30 ml 10 th  1 x 1 C 3 x 1 C = 45 ml
(15 ml) 2 x 1 C = 30 ml
1 x 1 C = 15 ml
1 x 2 cth = 10 ml
1 x 1 cth = 5 ml

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


26

b. Microlax®
Produk yang juga banyak diresepkan bagi pasien pediatri ialah Microlax®,
yang merupakan mengandung Microlax® yang mengombinasikan laksatif
pelunak feses (Natrium lauril sulfoasetat) dan laksatif osmotik (garam natrium
sitrat, alkohol organik PEG, dan gula sorbitol). Komposisinya ialah sebagai
berikut : Natrium lauril sulfoasetat 45 mg, Natrium sitrat 450 mg, Asam sorbat 5
mg, PEG 400 625 mg, Sorbitol 4465 mg. Sediaan Microlax® sendiri berupa
enema 5 ml. Natrium lauril sulfoasetat bekerja sebagai surfaktan yang mampu
menurunkan tegangan pada permukaan feses, sehingga memudahkan penetrasi air
ke dalam feses agar menjadikan feses lebih lunak. Tak hanya air, surfaktan juga
dapat meningkatkan dispersi serat tidak larut air dalam feses sehingga jumlah
serat yang meningkat akan merangsang reaksi alamiah dari usus besar untuk
membantu melunakkan feses agar lebih mudah dikeluarkan oleh tubuh (Singh &
Rao, 2010). Sementara ion natrium dan senyawa alkohol organik bersifat menarik
air, maka sediaan diadministrasikan secara lokal pada rektum, sehingga air tertarik
ke kolon dan menghasilkan mekanisme yang kurang lebih sama dengan laktulosa.
(Gordon, Naidoo, Akobeng & Thomas, 2013).
Keunggulan Microlax® dari produk lainnya ialah bentuk sediaannya yang
berupa enema, yang diadministrasikan secara lokal pada rektum. Oleh sebab itu
efek pencaharnya langsung terlihat 15-20 menit setelah diadministrasikan.
Sementara apabila diadministrasikan secara oral, efek dari pelunak feses seperti
surfaktan Natrium lauril sulfoasetat baru muncul 24-48 jam setelah administrasi
secara oral, sedangkan laksatif osmotik PEG membutuhkan waktu 8-12 jam
setelah admintrasi secara oral. Lebih lanjut, administrasi secara lokal membuat
senyawa laksatif langsung bekerja pada organ sasaran, yaitu kolon dan rektum,
serta meminimalisir absorbsi dan peredaran obat secara sistemik sehingga
mengurangi efek samping (British Medical Association, 2000). Walaupun begitu,
enema kurang nyaman digunakan bagi anak-anak, sementara lebih mudah
diadminstrasikan pada bayi.
Pada resep 2, pasien pediatri berumur 2 tahun diberikan satu enema
Microlax®. Tidak seperti laktulosa, Microlax® tidak membutuhkan dosis
pemeliharaan harian, dan langsung digunakan apabila gejala konstipasi timbul.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


27

Sayangnya, pada resep tersebut tidak disebutkan apakah satu enema tersebut
digunakan untuk dua kali pemakaian sesuai dengan dosis yang direkomendasikan
(tabel 4.1).
Sementara untuk resep 3, pasien geriatri berusia 79 tahun menerima sirup
laktulosa dosis tinggi (45 ml per hari) dan satu enema Microlax® per hari.
Berdasarkan jurnal review Leung, Riutta, Kotecha, dan Rosser (2014) mengenai
pengobatan laksatif secara empirik pada pasien geriatri, kombinasi agen osmotik
(laktulos pada Lactulax® serta PEG & sorbitol pada Microlax®) dan pelunak
feses (Na-lauril sulfoasetat pada Microlax®) terbukti lebih efektif dibandingkan
pemakaian tunggal masing-masing agen laksatif. Selain itu, mengingat kondisi
pasien manula yang fungsi otot kolon dan rektumnya telah menurun, laksatif
stimulant bukan menjadi lini pertama pengobatan konstipasi pada pasien getriatri
karena kurang berpengaruh pada kontraksi kolon maupun perenggangan rektum.
Agen osmotik berupa ion natrium yang terkandung dalam Microlax® juga
berisiko menimbulkan hipernatremia pada pasien usia lanjut yang fungsi ginjalnya
dikhawatirkan telah menurun, namun hal ini dapat dicegah karena Microlax®
diadministrasikan secara lokal pada anus dan tidak diabsorbsi secara sistemik.

c. Na-pikosulfat
Na-pikosulfat sendiri merupakan laksatif stimulant dengan tingkat efikasi
dan keamanan yang kurang lebih sama dengan bisakodil (Kienzle-Horn, et al.,
2007). Efek pencaharnya baru muncul 6-12 jam setelah administrasi. Efek
penggunaan jangka panjang atau berlebihan ialah kram perut, diare, dehidrasi
akibat ketidakseimbangan cairan atau garam, dan dapat menurunkan level kalium
dalam darah. Oleh sebab itu, pada penggunaan jangka panjang dosis harus
dikurangi (National Health Service England, diakses pada 27 Mei 2014).
Produk dari Na-pikosulfat yang diresepkan di Apotik Rini ialah
Laxoberon® oral drops yang bentuk sediaannya cocok diadministrasikan pada
bayi. Laxoberon® oral drops mengandung 7,5 mg Na-pikosulfat per ml (1 ml
setara dengan 22 tetes). Pada resep 4, pasien bayi berumur 2 bulan menerima 2
tetes Laxoberon® tiap harinya. Dalam satu tetes Laxoberon® oral drops
mengandung 45 mikrogram Na-pikosulfat, maka tiap harinya pasien bayi tersebut

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


28

menerima 90 mikrogram Na-pikosulfat. Dosis tersebut memang jauh lebih rendah


dibandingkan dosis harian yang direkomendasikan (250 mikrogram per kg BB,
apabila diambil contoh berat badan bayi rata-rata sekitar 3 kg, maka dosis harian
yang direkomendasikan ialah 750 mikrogram). Pemberian regimen dosis tersebut
mungkin disebabkan Na-pikosulfat yang bekerja sebagai laksatif stimulant, yang
memang kurang direkomendasikan untuk pemberian pada bayi dan anak di bawah
4 tahun. Oleh sebab itu dokter anak memberikan pengobatan empirik dengan
dosis rendah, sekaligus menghindari toleransi dan habituasi dari pemakaian
laksatif stimulant.

d. Laxadine®
Laxadine® memiliki komposisi sebagai berikut : liquidum parafin 1,2
gram, phenolphthalein 55 mg, gliserin 378 mg, dan jeli 9,4 mg tiap 5 ml emulsi.
Sediaan berupa emulsi 30 ml, 60 ml, 110 ml. Parafin cair mampu melunakkan
feses dan memudahkannya keluar dari tubuh tanpa merangsang peristaltik usus,
sementara fenolftalein merupakan derivate defenilmetan yang memiliki khasiat
sebagai stimulant otot kolon dan rektum yang akan merangsang motilitas kolon
dan perenggangan rektum. Adanya gliserin sebagai alkohol organik juga mampu
berperan sebagai pencahar osmotik.
Dibandingkan pasien pediatri, Laxadine® banyak diresepkan untuk pasien
dewasa. Hal ini sesuai dengan rekomendasi pada brosur Laxadine® yang
melarang pemberian Laxadine pada anak di bawah usia 6 tahun tanpa konsultasi
dengan dokter anak (dosis rekomendasi dapat dilihat pada tabel 4.1). Dapat
diamati pada resep 5 dan 6 bahwa pemberian dosis Laxadine® bagi pasien dewasa
(10 ml per hari) lebih rendah dibandingkan pemberian dosis bagi pasien anak (10
tahun) dengan dosis 15 ml per hari. Dosis rendah bagi pasien dewasa tersebut
diperkirakan bertujuan bukan untuk mengobati gejala konstipasi, namun lebih
untuk mengosongkan usus besar sebelum pemeriksaan diagnostik (rontgen pada
saluran pencernaan, kolonoskopi, radiologi), operasi, atau melahirkan. Selain itu
regimen dosis Laxadine® bagi pasien dewasa juga disesuaikan dengan keparahan
penyakit, hal ini menjelaskan variasi regimen dosis yang diresepkan (diamati pada
tabel 4.1). Laxadine® sendiri memang tidak direkomendasikan untuk anak di atas

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


29

usia 6 tahun, berarti pasien anak yang berumur 10 tahun pada resep 6 dapat
meminum Laxadine dengan dosis yang telah disesuaikan (dosis yang diresepkan
pada pasien anak tersebut masih masuk ke dalam regimen dosis harian yang
direkomendasikan).

Menurut beberapa jurnal review mengenai konstipasi pada pasien pediatri


dan Clinical Practice Guideline : Evaluation and Treatment of Constipation in
Infants and Children: Recommendations of the North American Society for
Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition, jenis laksatif yang
direkomendasikan menjadi pilihan utama bagi pasien pediatri ialah golongan
osmotik, seperti suspensi garam magnesium, laktulosa, PEG serta golongan
pelunak feses. Kedua golongan ini telah banyak diteliti dan terbukti aman untuk
penggunaan jangka panjang, karena pada umumnya pasien pediatri membutuhkan
terapi farmakologi selama bulanan bahkan tahunan.
PEG sendiri merupakan lini pertama dalam pengobatan konstipasi pada
pasien anak dan bayi, dengan tingkat efikasi yang lebih superior dan lebih sedikit
efek samping yang dihasilkan apabila dibandingkan senyawa laksatif lainnya
(Voskuijl, et al., 2004; Gordon, Naidoo, Akobeng & Thomas, 2013). PEG sebagai
laksatif tersedia secara komersial pada produk Miralax®, namun produk tersebut
tidak beredar di Indonesia. Selain PEG, pemberian suspensi magnesium juga
direkomendasikan untuk pasien anak-anak di atas usia 2 tahun. Salah satu produk
suspensi magnesium yang diindikasikan untuk gejala konstipasi ialah Laxasium®
yang mengandung 400 mg magnesium hidroksida per 5 ml suspensi. Pemberian
suspensi ini kadang dicampur dengan susu atau jus karena rasa suspensi
magnesium kurang disukai oleh anak-anak. Namun, ternyata obat laksatif ini tidak
diresepkan di Apotik Rini selama periode Maret 2014, maka tidak dibahas lebih
lanjut.
Sementara itu, laksatif stimulant, seperti Na-pikosulfat, senna, dan
bisakodil, tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang karena efek
sampingnya yang berbahaya bagi anak dan bayi, namun dapat dijadikan lini terapi
kedua untuk jangka pendek (terapi penyelamatan). Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa pemberian laksatif laktulosa dan Microlax® tergolong aman

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


30

dan tepat untuk pasien pediatri, sedangkan pemberian Na-pikosulfat perlu diawasi
dokter anak (dosis disesuaikan dengan usia dan berat badan pasien pediatri) dan
dihindari untuk penggunaan jangka panjang.
Perlu diingat bahwa penyebab utama dari konstipasi pada anak umumnya
disebabkan oleh pola makan yang kurang serat dan kurang minum air. Oleh sebab
itu, terapi farmakologis menggunakan laksatif ini tetap berjalan seiringan dengan
penerapan terapi diet tinggi serat dan gaya hidup (banyak minum air dan
berolahraga), serta menghindari makanan-makan yang berisiko menyebabkan
konstipasi selama dan setelah pemberian laksatif dihentikan.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


31

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Total keseluruhan resep selama periode bulan Maret 2014 yang terdapat di
Apotek Rini adalah sebanyak 19.280 lembar dan 58 lembar di antaranya
mencantumkan obat laksatif (0,30%), dengan rincian 7 lembar
diperuntukkan bagi pasien pediatri dengan usia di bawah 12 tahun, 47
lembar untuk pasien dewasa, 1 lembar untuk hewan, dan 3 lembar
merupakan pesanan obat dari instalasi farmasi RS atau apotik lain.
2. Obat laksatif yang sering diresepkan untuk pasien pediatri (bayi dan anak
berusia di bawah 12 tahun) selama periode bulan Maret 2014 ialah
Microlax® enema (3,27%), produk komersial yang mengandung laktulosa
dalam bentuk sirup oral (3,27%), serta produk komersial yang
mengandung Na-pikosulfat dalam bentuk oral drops (3,27%). Sedangkan
obat laksatif yang paling sering diresepkan bagi pasien dewasa ialah
Laxadine® (37,70%).
3. Dosis dan cara pakai dari keempat obat laksatif pada resep-resep periode
bulan Maret 2014 tergolong rasional dan sesuai dengan regimen dosis
yang direkomendasikan. Selain itu, banyak penelitian yang membuktikan
bahwa Microlax® dan senyawa laktulosa terbukti aman diberikan bagi
pasien anak dan bayi dan aman dan menjadi lini pertama pengobatan
konstipasi pada pasien pediatri. Sedangkan Na-pikosulfat dan Laxadine®
kurang aman untuk dijadikan terapi farmakologi jangka panjang.

5.2. Saran
a. Sebagian besar konstipasi pada anak umumnya disebabkan oleh pola
makan yang kurang serat dan kurang minum air. Oleh sebab itu,
pengobatan dengan laksatif tetap perlu dikombinasikan dengan diet tinggi
serat, banyak minum air, dan menghindari makanan-makan yang
menyebabkan sembelit selama dan setelah pemberian laksatif dihentikan.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


32

b. Penting sekali untuk menanamkan kesadaran bahwa tidak baik sering-


sering menahan rasa buang air besar dan melatih kebiasaan buang air besar
secara rutin dari sejak dini.
b. Pemberian Laxoberon® oral drops pada bayi perlu diawasi dan
disesuaikan dosisnya oleh dokter anak, dan perlu dihindari untuk
penggunaan jangka panjang.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


33

DAFTAR ACUAN

Baker, S.S, Liptak, G.S., Colletti, R.B., et al. (1999). Constipation in infants and
children: evaluation and treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr.,29, 612–
626.
Beck, D. (2008). Evaluation and Management of Constipation. Ochsner J., 8(1):
25–31.
Bellini, M., et al. (2014). Management of chronic constipation in general practice.
Tech Coloproctol., 18(6), 543-9.
British Medical Association. (2000). Patients prefer enemas to laxatives for bowel
preparation. British Medical Journal, 320, 1-4.
Clinical Practice Guideline. (2006). Evaluation and Treatment of Constipation in
Infants and Children: Recommendations of the North American Society
for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr
Gastroenterol Nutr, 43 (3), 981-1002.
Daniels, G. et al. (2013). Giving laxatives safely and effectively. Medsurg Nurs.,
22(5), 290-6, 302.
Dunnick, J. K. & Hailey, J. R. (1996). Phenolphthalein Exposure Causes Multiple
Carcinogenic Effects in Experimental Model Systems. Cancer Research,
56 (21), 4922–492.
Emmanuel, A. (2011). Current management strategies and therapeutic targets in
chronic constipation. Therap Adv Gastroenterol., 4(1), 37–48.
Gordon, M., Naidoo K, Akobeng A.K., & Thomas, A.G. (2013). Cochrane
Review: Osmotic and stimulant laxatives for the management of childhood
constipation (Review). Evid Based Child Health., 8(1), 57-109.
Hinkel U, Schuijt C, & Erckenbrecht JF. (2008). OTC laxative use of sodium
picosulfate’s results of a pharmacy-based patient survey (cohort study). Int
J Clin Pharmacol Ther. , 46(2), 89-95.
Horn JR, Mantione MM, Johanson JF. (2003). OTC polyethylene glycol 3350 and
pharmacists' role in managing constipation. J Am Pharm Assoc, 52(3),
372-80.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


34

Kienzle-Horn, et al. (2007). Curr Med Res Opin. 23(4), 691-9. Comparison of
bisacodyl and sodium picosulphate in the treatment of chronic
constipation.
Leung, L., Riutta, T., Kotecha J., & Rosser, W. (2011). Chronic Constipation: An
Evidence-Based Review. Journal of The American Board of Family
Medicine, 24(4), 436-51.
Loening-Baucke, V. (1993). Constipation in early childhood: patient
characteristics, treatment, and longterm follow up. Gut, 34(10),1400-4.
Mason, D., Tobias, N., Lutkenhoff, M. (2004). Stoops, M., & Ferguson, D. The
APN's guide to pediatric constipation management. Nurse Pract., 29(7),
13-21.
Mayo Clinic Health. (2013). Laxatives : Making sense of choices. Mayo Clin
Health Lett., 31(9), 4-5.
National Health Service England. Sodium Picosulfate (Sodium picosulfate default
preparation). (diakses pada 27 Mei 2014 pukul 09.15).
Perkumpulan Gastroentrologi Indonesia (PGI). (2006). Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Konstipasi di Indonesia. Jakarta : PGI.
Rasquin, A., Lorenzo, C., Forbes, D., Guiraldes, E., Hyams, J., Staiano, A,., &
Walke, L. (2006). Childhood Functional Gastrointestinal Disorders:
Child/Adolescent. Gastroenterology, 130 (5), 1527-1537
Redaksi ISO Indonesia. (2013). ISO Indonesia Volume 48 Tahun 2013-2014.
Jakarta : PT ISFI Penerbitan.
Rogers, J. (2003). Management of functional constipation in childhood. Br J
Community Nurs., 8(12), 550-3.
Rome Foundation. (2006). Rome III Diagnostic Criteria for Functional
Gastrointestinal Disorders. North Carolina : Rome Foundation, Inc.
Slavin, J. (2013). Fiber and prebiotics: mechanisms and health benefits. Nutrients,
5(4), 1417-35.
Singh, S. & Rao, S.S. (2010). Pharmacologic management of chronic
constipation. Gastroenterol Clin North Am., 39(3), 509-27.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


35

Tabbers, M.M., Boluyt, N., Berger M.Y., Benninga M.A. (2011).


Nonpharmacologic treatments for childhood constipation: systematic
review. Pediatrics., 128(4), 753-61.
UBM Medica Asia. (2012). MIMS Indonesia & Petunjuk Konsultasi Edisi 12
Tahun 2012/2013. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Voskuijl, W., et al. (2004). PEG 3350 (Transipeg) versus lactulose in the
treatment of childhood functional constipation: a double blind,
randomised, controlled, multicentre trial. Gut, 53(11), 1590-4.

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


LAMPIRAN

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


36

Lampiran 1. Rincian resep yang mencantumkan obat laksatif selama periode bulan Maret 2014.

Tgl
Jumlah No.
(Maret Nama Pasien Umur Pasien Nama Obat Dosis per hari Nama dokter/RS/klinik
resep Resep
2014)
1 588 251 Tn. Sukanda Dewasa Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
2 450 46 An. Ruben 7 th Dulcolactol 1 x 2 sendok teh 5 ml dr. Bara Langi T., SpA
214 Kucing Ny. Suyoko - Laxadine 12 x 1/2 sendok teh 5 ml drh. Endang Setyawan
329 Ny. Supartini Dewasa (41 th) Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Dimas R.
3 669 65 Tn. Gunawan Dewasa Lactulax 3 x 1 sendok teh 5 ml dr. Mirva Rafiana
4 724 186 Ny. Siti Rodiah Dewasa (57 th) Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Hadi Pranoto, SpB-KBD
213 Atieka - Laxadine - RS Persahabatan
217 dr. Birry Dewasa Lactulax Pemakaian diketahui dr. Birry
268 Tn. Adolf Latuhamallo Dewasa (72 th) Laxadine 2 x 1 sendok makan 15 ml dr. Dwipa R.
323 Tn. Dasril Dewasa Dulcolax supp 1 x 2 supp RS Persahabatan
5 625 - - - - - -
6 673 44 Tn. Adiferno Dewasa Laxadine 1 x 1 sendok makan 15 ml (malam) dr. Hansa Wular
253 Tn. Bedi Abdad Dewasa (54 th) Laxadine 1 x 2 sendok teh 5 ml (malam) dr. Ibrahim
393 Martinus Laxadine 1 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
531 Ny. Urip Prihastan Dewasa Lactulax 1 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
532 Fatimah Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
7 591 - - - - - -
8 634 457 Ny. Dwi Firlin Dewasa Lactulax 1 x 1 sendok makan 15 ml RSIA Bunda
9 483 191 (pesanan) - Laxadine - RS Persahabatan
10 704 - - - - - -
11 743 204 An. Dinda 10 th Laxadine 1 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
398 Ny. Nurhaya Dewasa Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Imam
454 Ny. Lina Dewasa Laxatab 1 x 1 tablet (racikan) dr. Rudy

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


37

Tgl
Jumlah No.
(Maret Nama Pasien Umur Pasien Nama Obat Dosis per hari Nama dokter/RS/klinik
resep Resep
2014)
12 655 219 By. Intan Trisila 1 bln Laxoberone 2 x 1 tetes (pagi & malam) dr. Agnes
229 Ny. Kresia Novanti Dewasa (25 th) Dulcolax syr 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Hadi Pranoto, SpB-KBD
13 679 651 Bertha Parera Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
14 621 62 An. Ayala 2 th Microlax Pemakaian diketahui dr. Sridar Zulkifli, SpA
297 Tn. Sunardi Dewasa (51 th) Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Achmad Fahron, SpPD
468 Yohana Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Robertus
15 604 - - - - - -
16 475 401 Nn. Risyda Remaja (14 th) Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
422 Knesia Dulcolax supp Pemakaian diserahkan pada dokter RS Persahabatan
17 689 263 Tn. Ahmad Safi Dewasa Laxadine 1 x 1 sendok makan 15 ml dr. Rudi Hansono
18 709 4 Ny. Imelda Dewasa Lactulax 2 x 2 sendok makan 15 ml dr. Mardi Santoso, SpPD
611 Tn. Machtum Dewasa (68 th) Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Luaie Melanie, SpS
Dulcolax supp Pemakaian diketahui
19 693 284 Yanti N. Dulcolax tab 2 x 1 tablet dr. Botefilia, SpOG
466 Tn. Achmad Syafi Dewasa Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
680 An. Aydin Falah M. 7 th Lactulax 2 x 1 sendok teh 5 ml dr. Jenni K. Dahliana, SpA
20 645 38 An. Masayu 2 th Microlax 1 supp RS Persahabatan
144 (pesanan) Duphalac Apotik Triyasa
Lactulax
641 Felly Fleet Pemakaian diserahkan pada dokter dr. Indah
phosposoda
21 635 75 Erninda Dewasa (66 th) Lactulax 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Ari Fachrialsyah, SpPD
418 Ny. Suhermawan Dewasa Microlax 1 supp RS Persahabatan
523 Tn. Popo Hardenax Dewasa Opilax 1 x 1 sendok makan 10 ml dr. Felix Prabowo S., SpPD
22 639 266 Sugimin Dulcolactol 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Liliana Taufik, SpPD
332 Dahirman Dulcolax tab 3 x 1 tablet RS Islam Jakarta
361 dr. Abdul Karim S. Dewasa Microlax Pemakaian diketahui dr. Abdul Karim Salim

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


38

Tgl
Jumlah No.
(Maret Nama Pasien Umur Pasien Nama Obat Dosis per hari Nama dokter/RS/klinik
resep Resep
2014)
23 454 - - - - - -
24 732 - - - - - -
25 697 68 (pesanan) - Dulcolax - dr. Ella
536 Tn. Mustofa Khamal Dewasa (35 th) Laxoberone 1 x 15 tetes dr. Budihusodo, SpB-KBD
26 675 37 Karnadi Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Diana, SpPD
27 621 292 Sri Purwanti Dewasa (50 th) Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Seno, SpB
28 620 224 Ny. Kasriah Dewasa (79 th) Lactulax 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Wawan Kurniawan, SpPD
Microlax 1 supp
442 Ny. Sarinah Dewasa (56 th) Lactulax 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Kartika
29 655 11 Mugiyanti Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
291 Yani Krisyanani Lactulax 3 x 1 sendok makan 15 ml RS Fatmawati
480 Ny. Sayati Dewasa Laxadine 1 x 1 sendok makan 15 ml (malam) dr. Cut Kusumawati
657 Utjih Laxadine 1 x 1 sendok teh 5 ml RS Persahabatan
30 459 3 By. Reggie Febriyana Laxoberone 1 x 2 tetes dr. Husein Alatas, SpA
59 Lina Laxatab 1 x 1 tablet (racikan) Klinik Sarikarya
262 Siti Fatimah Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml dr. Jeffry, SpPD
31 439 20 Sumanti Laxadine 3 x 1 sendok makan 15 ml RS Persahabatan
305 Tn. Abrisial Dewasa Mulax 3 x 1 sachet (dilarutkan dlm 1 gelas air) dr. Tanu Hendrata

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


Lampiran 2. Perhitungan jumlah resep dan regimen dosis dari tiap obat laksatif
yang diresepkan selama periode bulan Maret 2014.

Jumlah Pediatri Dewasa


Lain
resep (Anak & Bayi) (>12 th)
Nama Obat -lain
selama Dosis Jumlah Dosis per Jumlah
(*)
April 2014 per hari Resep hari Resep
3x1C 16
2x1C 1
Laxadine® 27 1x1C 1 1x1C 4 3
1 x 2 cth 1
1 x 1 cth 1
3x1C 5
2x2C 1
Lactulax® 11 2 x 1 cth 1 1
1x1C 2
Suc 1
Dulcolactol® 2 1 x 2 cth 1 3x1C 1 -
Opilax® 1 - - 1 x 2 cth 1 -
Duphalac® 1 - - - - 1
1 x 2 gtt 1
Laxoberone® 3 1 x 15 gtt 1 -
2 x 1 gtt 1

Laxatab® 2 - - 1 x 1 tab 2 -

1 supp 1 1 supp 2
Microlax® supp 5 -
Suc 1 Suc 1
Dulcolax® syr 1 - - 3x1C 1 -
3 x 1 tab 1
Dulcolax® tab 3 - - 1
2 x 1 tab 1

39 Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014


40

1 x 2 supp 1
Dulcolax® supp 3 - - Suc 1 -
Simm 1
Fleet phosposoda® 1 - - Simm 1 -
Mulax® 1 - - 3 x 1 sach 1 -

Total 61 7 48 6

Keterangan :
(*) Lain-lain : Resep untuk pesanan / untuk hewan
C : sendok makan 15 ml
cth : sendok teh 5 ml
gtt : tetes oral
supp : suppositoria
sach : sachet
Suc : pemakaian diketahui
Simm : pemakaian diserahkan kepada dokter

Universitas Indonesia

Laporan praktek…, Fransiska Liliani Nugroho, FFar UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai