HDHKNN
HDHKNN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3. Etiologi
Etiologi gagal jantung dapat dikelompokkan karena gangguan
kontraktilitas ventrikel, peningkatan afterload, dan gangguan relaksasi dan
pengisian ventrikel. Gagal jantung yang disebabkan karena gangguan
kontraktilitas ventrikel dan peningkatan afterload yang kronis disebut dengan
gagal jantung sistolik (gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi), sedangkan
gagal jantung yang disebakan karena gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel
disebut dengan gagal jantung diastolik (gagal jantung tanpa penurunan fraksi
ejeksi) (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Gangguan kontraktilitas ventrikel pada gagal jantung dengan penurunan
ejeksi fraksi dapat disebabkan oleh penyakit jantung koroner seperti infark
miokard atau iskemik miokard transient, volume overload yang kronis seperti
regurgitasi mitral atau regurgitasi aorta dan dilated cardiomyopathies. Sedangkan
gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi karena peningkatan afterload dapat
disebabkan oleh stenosis aorta yang sudah lanjut dan hipertensi yang tidak
terkontrol (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Gagal jantung diastolik (gagal jantung tanpa penurunan ejeksi fraksi)
karena gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel dapat disebabakan
olehhipertropi ventrikel kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosis miokard,
iskemik miokard transient, dan tamponade perikard (Chatterjee dan Fifer, 2011).
2.1.4. Patofisiologi
Beberapa mekanisme kompensasi terjadi pada penderita gagal jantung
untuk menanggulangi akibat dari penurunan curah jantung dan membantu
menjaga tekanan darah untuk perfusi ke organ vital (Triposkiadis, et al., 2009;
Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Mekanisme Frank-Starling merupakan salah satu kompensasi yang terjadi
pada jantung ketika ventrikel tidak mampu memompa secara adekuat, sehingga isi
sekuncup lebih rendah dari normal. Isi sekuncup yang rendah ini menyebabkan
volume yang tersisa setelah kontraksi jantung (end-systolic volume) menjadi lebih
banyak, sehingga darah yang akan berada di dalam ventrikel selama fase diastolik
akan lebih banyak. Volume yang tinggi pada fase diastolik ini menyebabkan
peningkatan regangan miofiber di jantung yang akan menginduksi kontraksi yang
lebih kuat, sehingga isi sekuncup lebih besar. Tetapi mekanisme ini tidak dapat
terpenuhi pada kasus gagal jantung yang sudah parah (Triposkiadis, et al., 2009;
Chatterjee dan Fifer, 2011; Mann, 2012).
Mekanisme neurohormonal juga teraktivasi sebagai kompensasi terhadap
penurunan fungsi miokard dan untuk menjaga homeostasis kardiovaskular.
Beberapa mekanisme neurohormonal ini adalah sistem saraf simpatis, sistem
Dispnoea juga dapat terjadi, walaupun tanpa ada kongesti di paru, karena
penurunan pasokan darah ke otot-otot respiratori dan juga penumpukan asam
laktat (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Orthopnoea adalah sesak nafas yang dirasakan ketika penderita dalam
posisi berbaring dan membaik ketika duduk. Hal ini terjadi karena redistribusi
cairan intravaskular dari abdomen dan ekstremitas bawah menuju ke paru setelah
berbaring (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Paroxysmal nocturnal dispnoea adalah sesak nafas yang terjadi ketika
penderita telah tertidur sekitar 2-3 jam. Gejala ini timbul karena reabsorbsi cairan
interstitial pada edema ekstremitas bawah ke dalam sirkulasi, sehingga
meningkatkan cairan intravaskular dan meningkatkan preload (Chatterjee dan
Fifer, 2011).
Gejala lain yang dapat dijumpai adalah seperti gangguan mental status
karena hipoperfusi ke jaringan otak. Gangguan produksi juga terjadi pada
penderita, seperti nocturia karena peningkatan perfusi darah ke ginjal ketika
berbaring. Periferal edema dan nyeri perut terjadi karena peningkatan tekanan
hidrostatik vena (Chatterjee dan Fifer, 2011).
Tanda klinis yang dapat dijumpai pada penderita gagal jantung adalah
seperti diaforesis, takikardia, takipnoea, ronki basah, S3 gallop, S4 gallop,
peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali (Chatterjee dan Fifer, 2011).
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan lain seperti ekokardiografi, elektrokardiografi, chest x-ray
dan pemeriksaan natriuretik peptida. Berdasarkan sistematik review yang
dilakukan oleh Jant, et al. (2009), banyak dari gejala dan tanda yang dapat muncul
pada pasien gagal jantung memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi.
Misalnya dispnoea merupakan gejala yang hanya memiliki sensitivitas tinggi 87%
dibandingkan gejala dan tanda yang lain, tetapi hanya memiliki spesifisitas 51%.
Sedangkan gejala klinis yang lain memiliki spesifisitas yang tinggi, tetapi
sensitivitas yang rendah, seperti orthopnoea 89%, edema 72%, peningkatan
tekanan vena jugularis 70%, kardiomegali 85%, suara jantung tambahan 99%,
ronki basah 81%, dan hepatomegali 97%. Dengan sensitivitas masing-masing
44% (orthopnoea), 53% (edema), 52% (peningkatan TVJ), 27% (kardiomegali),
11% (suara jantung tambahan), 51% (ronki basah), 17% (hepatomegali). Selain
gejala klinis yang telah disebutkan, riwayat infark miokard juga memiliki
spesifisitas yang tinggi sekitar 89%, tetapi sensitivitas yang hanya 26%.
Elektrokardiografi digunakan untuk menentukan ritme jantung, denyut
jantung, morfologi dan durasi QRS dan kelainan lain yang dapat terdeteksi. EKG
juga digunakan untuk membantu dalam menentukan penatalaksanaan. EKG yang
normal dapat menyingkirkan kemungkinan gagal jantung sistolik (McMurray, et
al., 2012). Jant, et al. (2009) EKG memilikki sensitivitas yang tinggi sekitar 89%,
sedangkan spesifisitasnya hanya 56%.
Pemeriksaan B-type natriuretic peptides (BNP) juga memiliki sensitivitas
yang tinggi sekitar 93%, tetapi spesifisitas yang bervariasi. Peningkatan kadar
BNP tidak dapat menegakkan diagnosis gagal jantung, tetapi kadar BNP yang
normal dapat menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Pemeriksaan natriuretik
peptida lain seperti N-terminal pro-B-Natriuretic peptide (NT-proBNP) juga
memiliki sensitivitas yang tinggi 93% dan spesifisitas yang bervariasi, tetapi
spesifisitas yang lebih rendah daripada BNP (Jant, et al., 2009).
Chestx-ray memiliki spesifisitas sekitar 76-83% dan sensitivitas sekitar 67-
68%. Penemuan chest x-ray yang abnormal dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis, tetapi chest x-ray yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis
gagal jantung (Jant, et al., 2009).
Ekokardiografi merupakan alat diagnostik yang berguna dalam
mendiagnosis pasien gagal jantung. Ekokardiografi ini digunakan untuk menilai
struktur dan fungsi jantung, mengukur fraksi ejeksi, dalam mendiagnosis gagal
jantung dan penentuan penatalaksanaannya (McMurray, et al., 2012). Menurut
Jant, et al. (2009) pemeriksaan ekokardiografi harus segera dilakukan pada pasien
dengan gejala klinis yang dicurigai gagal jantung dan memiliki salah satu kondisi
sebagai berikut: Riwayat infark miokard, ronki basah, laki-laki dengan edema pre-
tibial.
2.1.7. Penatalaksanaan
2.1.7.1. ACE-inhibitor (angiotensin converting enzyme inhibitor)
Mekanisme :
Sistem renin-angiotensin berperan penting terhadap homeostasis
kardiovaskular. Efektor utama ini adalah angiotensin II (AngII), yang dibentuk
dari pemecahan Angiotensin I oleh ACE (angiotensin converting enzyme). ACE-i
menghambat perubahan AngI menjadi AngII, sehingga terjadi efek vasodilatasi
dan penurunan sekresi aldosteron. Efek vasodilatasi terjadi pada vena dan arteri,
sehingga akan menurunkan preload dan afterload yang akan mengurangi beban
jantung. Berkurangnya sekresi aldosteron akan menyebabkan terjadi ekskresi air
dan natrium yang juga akan mengurangi beban jantung. ACE-i juga menghambat
degradasi bradikinin, substansi P dan enfekalin. Bradikinin juga berperan terhadap
Efek antiremodelling:
Pembentukan AngII, sebagai respon dari stimulus patologi, berperan
penting dalam proses pengembangan hipertrofi jantung yang patologis. AngII
akan mengaktifkan GPCR (G-protein coupled receptor), yang akan menyebabkan
disosiasi Gαq. Aktivasi yang berlebih dari reseptor AngII AT1 dan Gαq akan
menyebabkan hipertrofi jantung pada hewan percobaan yang berhubungan dengan
perubahan ekspresi gen dan/atau disfungsi jantung dan kematian prematur
(McMullen dan Jennings, 2007).
AngII, di otak, akan menyebabkan feedback positif dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor AngII AT1, inhibisi NO dan meningkatkan
produksi anion superoksida, sehingga akan meningkatkan laju simpatis dan
perburukan gagal jantung (Triposkiadis, et al., 2009).Efek AngII terhadap
perburukan gagal jantung (i.e remodelling jantung) itu sendiri akan dihambat oleh
ACE-i dengan mengurangi hipertrofi miokard dan penurunan preload (Setiawati
dan Nafrialdi, 2009).
Efek antiremodelling:
Pada penelitian yang dilakukan oleh Aleksova (2012) terhadap ARB (i.e
candesartan) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan terhadap
fraksi ejeksi ventrikel kiri, penurunan diameter volumeend-diastolic ventrikel kiri,
penurunan kadar aldosteron, penurunan kadar B-natriuretic peptide.
2.1.7.3. Beta-blocker
Mekanisme:
Beta-blocker menghambat efek simpatis yang terjadi karena stimulasi
reseptor adrenergik-β. Stimulasi reseptor adrenergik-β1 akan meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas jantung. Tetapi efek ini akan dihambat oleh beta-
blocker sehingga akan menurukan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek
ini juga akan mengurangi beban jantung dan oxygen demand. Beta-blocker juga
akan menghambat pelepasan renin, dan produksi AngII dan aldosteron, dengan
menghambat reseptor adrenergik-β1 yang ada pada sel jukstaglomerulus ginjal
(Lόpez-Sendόn, et al., 2004; Nafrialdi, 2009).
Beta-blocker juga memiliki efek samping seperti bradikardi yang
berlebihan, penurunan fungsi kontraksi ventrikel, bronkokonstriksi, memperburuk
kontrol diabetes, kelelahan dan kontraindikasi pada asma dan second- atau third-
degree AV block (Nafrialdi, 2009; McMurray, et al., 2012).
Efek antiremodelling:
disosiasi Gαq, yang berperan dalam proses hipertofi jantungseperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, juga dapat disebabkan oleh norepinefrin. Beberapa
literatur (Engelhardt, 2005; Setiawati dan Nafrialdi, 2009;Triposkiadis, et al.,
2009; van Berlo, 2013) juga menyatakan bahwa aktivasi berlebihan reseptor
adrenergik-β1 akan menyebabkan hipertrofi dan apoptosis ventrikel jantung.
Bersama dengan ACE-inhibitor/ARB, beta-blocker akan memberikan
efek antiremodelling. Beta-blocker juga dapat menurunkan angka kematian dan
meningkatkan fungsi sistolik jantung (Engelhardt, 2005; McMurray, et al., 2012).
Mekanisme:
MRA bekerja dengan cara menghambat reseptor aldosteron pada tubulus
colligens renalis kortikal dan bagian distal akhir, sehingga mencegah sekresi
K+(Ives, 2007).
MRA memiliki efek samping seperti ginekomastia, mastodinia, gangguan
menstruasi, gangguan libido pada pria dan kontraindikasi pada pasien dengan
hiperkalemia dan disfungsi ginjal (Nafrialdi, 2009).
Efek antiremodelling:
Spironolakton dapat mencegah remodelling matriks ekstraselular (Mann,
2012). Pada uji klinis terhadap pasien gagal jantung yang telah menerima ACE-I
dan diuretik, spironolakton dapat mengurangi angka mortalitas dan memperbaiki
gejala gagal jantung (Chatterjee dan Fifer, 2011). Eplerenon, MRA yang lebih
spesifik, telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup pasien gagal
jantung yang telah infark miokard akut (Chatterjee dan Fifer, 2011).
2.1.7.5. Diuretik
Mekanisme:
Loop diuretic bekerja dengan menghambat simporter (kotransport) Na+-
K+-2Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit secara reversibel pada ansa
Henle asenden bagian epitel tebal. Tiazid bekerja dengan cara menghambat
transporter Na+-Cl- pada tubulus distal ginjal (Nafrialdi, 2009; Mann, 2012).
Efek samping loop diuretic dan thiazid adalah hipokalemia,
hiponatremia, hipomagnesemia dan hiperkalsemia (Nafrialdi, 2009).
2.1.7.6. Digitalis
Mekanisme:
Digitalis menghambat pompa Na+-K+-ATPase pada membran sel otot
jantung, sehingga meningkatkan kadar Na+ intrasel. Peningkatan ini akan
mengurangi pertukaran Na+-Ca+ selama repolarisasi dan relaksasi, sehingga Ca+
intrasel meningkat. Ca+ intrasel ini akan masuk ke dalam retikulum sarkoplasmik,
sehingga kadar Ca+ dalam retikulum sarkoplasmik akan meningkat. Jumlah Ca+
Gambar 2.2. Algoritma tata laksana gagal jantung kronik (McMurray, et al., 2012)