oleh :
30101507413
PEMBIMBING:
FAKULTAS KEDOKTERAN
SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Seorang Perempuan 20 tahun
dengan Meningitis” guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung
Semarang di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang.
Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan laporan kasus ini. Hal ini
tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad
2. dr. Oktina Rachmi Dachlia, Sp.Rad
3. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad
4. Seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
5. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik ilmu Radiologi.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata,
semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan segala pihak yang telah
membantu. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun
pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Sekitar 1,2 juta kasus meningitis bakteri terjadi setiap tahunnya di dunia, dan
tingkat kematiannya mencapai 135.000 jiwa. Secara keseluruhan tingkat kematian
pasien meningitis bakteri antara 2-30% tergantung dari bakteri penyebab
meningitis.Setidaknya terdapat 25.000 kasus baru meningitis bakteri, tetapi penyakit
ini jauh lebih sering ditemukan di negara-negara sedang berkembang. Angka
kematian yang pernah dilaporkan bervariasi, dan untuk Indonesia secara keseluruhan
belum diketahui secara pasti. Penggunaan antibiotik sebagai terapi meningitis
merupakan suatu kedaruratan medik karena penyakit ini berjalan secara progresif,
sehingga ketepatan pemberian antibiotik mempengaruhi tingkat morbiditas,
mortalitas, dan kecacatan pasien meningitis.2
1.2 TUJUAN
a. Mengetahui dan memahami faktor-faktor resiko serta etiologi yang diduga
dapat menyebabkan meningitis, sehingga dapat dilakukan intervensi yang
sesuai.
b. Mengetahui dan memahami mekanisme dan patofisiologi terjadinya meningitis,
sehingga pendekatan diagnostik yang tepat dapat dicapai.
c. Mengetahui dan memahami anatomi cerebri dan diagnosis banding dari
meningitis .
d. Mengetahui pemeriksaan penunjang mana yang diperlukan untuk menunjang
diagnostik pada meningitis terutama secara radiologi.
e. Mengetahui penatalaksanaan dari meningitis
1.3 MANFAAT
Dengan penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media
belajar bagi mahasiswa klinik sehingga dapat mendiagnosis terutama secara radiologis
dan mengelola pasien dengan permasalahan seperti pada pasien ini secara
komprehensi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fisiologi Otak
Fungsi otak adalah sebagai pusat kendali dengan menerima, menafsirkan, serta
untuk mengarahkan informasi sensorik di seluruh tubuh.
Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon),
menerima 20 % curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan
sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling
banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses
metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan terhadap perubahan
oksigen dan glukosa darah, aliran darah berhenti 10 detik saja sudah dapat
menghilangkan kesadaran manusia. Berhenti dalam beberapa menit, merusak
permanen otak. Hipoglikemia yang berlangsung berkepanjangan juga merusak
jaringan otak
Ketika lahir seorang bayi telah mempunyai 100 miliar sel otak yang aktif dan
900 miliar sel otak pendukung, setiap neuron mempunyai cabang hinggá 10.000
cabang dendrit yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion. Koneksi,
komunikasi, perkembangan otak pada minggu-minggu pertama lahir diproduksi
250.000 neuroblast (sel saraf yang belum matang), kecerdasan mulai berkembang
dengan terjadinya koneksi antar sel otak, tempat sel saraf bertemu disebut synapse,
makin banyak percabangan yang muncul, makin berkembanglah kecerdasan anak
tersebut, dan kecerdasan ini harus dilatih dan di stimulasi.
Otak manusia adalah organ yang unik dan dasyat, tempat diaturnya proses
berfikir, berbahasa, kesadaran, emosi dan kepribadian. Secara garis besar, otak terbagi
dalam 3 bagian besar, yaitu neokortek atau kortex serebri, system limbik dan batang
otak, yang berkerja secara simbiosis. Bila neokortex berfungsi untuk berfikir,
berhitung, memori, bahasa, maka sistek limbik berfugsi dalam mengatur emosi dan
memori emosional, dan batang otak mengarur fungsi vegetasi tubuh antara lain denyut
jantung, aliran darah, kemampuan gerak atau motorik, Ketiganya bekerja bersama
saling mendukung dalam waktu yang bersamaan, tapi juga dapat bekerja secara
terpisah.
Otak manusia mengatur dan mengkoordinir gerakan, perilaku dan fungsi tubuh,
homeostasisseperti tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, keseimbangan cairan,
keseimbangan hormonal, mengatur emosi, ingatan, aktivitas motorik dan lain-lain.
Otak terbentuk dari dua jenis sel: yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi untuk
menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam
bentuk pulsa listrik yang di kenal sebagai potensial aksi . Mereka berkomunikasi
dengan neuron yang lain dan keseluruh tubuh dengan mengirimkan berbagai macam
bahan kimia yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter ini dikirimkan pada
celah yang di kenal sebagai sinapsis. Neurotransmiter paling mempengaruhi sikap,
emosi, dan perilaku seseorang yang ada antara lain asetil kolin, dopamin, serotonin,
epinefrin, norepinefrin.3
2.2. Meningitis
2.2.1. Definisi
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu
membran atau selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat
disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang
menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak. Efek
peradangan dapat mengenai jaringan otak yang disebut dengan
meningoensepalitis.15
Gambar 12 Lapisan pelindung otak
2.2.2. Insiden
a. Meningitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.
b. Incident puncak terdapat rentang usia 6 – 12 bulan.
c. Rentang usia dengan angka moralitas tinggi adalah dari lahir sampai dengan 4
tahun.
menemukan odds ratio anak yang sudah mendapat imunisasi BCG untuk
menderita meningitis Tuberculosissebesar 0,2.Penelitian yang dilakukan oleh
Ainur Rofiq (2000) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengenai
daya lindung vaksin TBC terhadap meningitis Tuberculosis pada anak
menunjukkan penurunan resiko terjadinya meningitis Tb pada anak sebanyak
0,72 kali bila penderita diberi BCG dibanding dengan penderita yang tidak
pernah diberikan BCG.Meningitis serosa dengan penyebab virus terutama
menyerang anak-anak dan dewasa muda (12-18 tahun). Meningitis virus dapat
terjadi waktu orang menderita campak, Gondongan (Mumps) atau penyakit
infeksi virus lainnya. Meningitis Mumpsvirus sering terjadi pada kelompok
umur 5-15 tahun dan lebih banyak menyerang laki-laki daripada
perempuan.Penelitian yang dilakukan di Korea (Lee,2005) , menunjukkan
resiko laki-laki untuk menderita meningitis dua kali lebih besar dibanding
perempuan.
b. Agent
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus.
Meningitispurulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus,
Pneumococcus dan Haemophilus influenzae sedangkan meningitis serosa
disebabkan olehMycobacterium tuberculosa dan virus. 3
Bakteri Pneumococcus adalah salah satu penyebab meningitis terparah.
Sebanyak 20-30 % pasien meninggal akibat meningitis hanya dalam waktu 24
jam. Angka kematian terbanyak pada bayi dan orang lanjut usia.
Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalangan jemaah haji
dandapat menyebabkan karier disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup
A,B,C,X,Y,Z dan W 135. Grup A,B dan C sebagai penyebab 90% dari
penderita. Di Eropa dan Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab utama
sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A. Wabah
meningitis Meningococcusyang terjadi di Arab Saudi selama ibadah haji tahun
2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup W135 dan 36%
serogroup A. Hal ini merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar
pertama di dunia yang disebabkan oleh serogroup W135. Secara epidemiologi
serogrup A,B,dan C paling banyak menimbulkanpenyakit.
Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya mirip
sakitflu biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi
KLB Mumps, virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25 % kasus meningitis
aseptik pada orang yang tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B merupakan
penyebab dari 33 % kasus meningitis
aseptik, Echovirus dan Enterovirus merupakan penyebab dari 50 %
kasus.Resiko untuk terkena aseptik meningitis pada laki-laki 2 kali lebih sering
dibanding perempuan.
c. Lingkungan
Faktor Lingkungan (Environment) yang mempengaruhi terjadinya
meningitisbakteri yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b adalah
lingkungan dengan kebersihan yang buruk dan padat dimana terjadi kontak atau
hidup serumah dengan penderita infeksi saluran pernafasan.Risiko penularan
meningitisMeningococcus juga meningkat pada lingkungan yang padat seperti
asrama, kampkamp tentara dan jemaah haji. Pada umumnya
frekuensi Mycobacterium tuberculosa selalu sebanding dengan frekuensi infeksi
Tuberculosa paru. Jadi dipengaruhi keadaan sosial ekonomi dan kesehatan
masyarakat. Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan
sosial ekonomi rendah, lingkungan kumuh dan padat, serta tidak mendapat
imunisasi.
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika
seringterjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering
terpapar agen pengantar virus. Lebih sering dijumpai pada anak-anak daripada
orang dewasa.Kebanyakan kasus dijumpai setelah infeksi saluran pernafasan
bagian atas.
b) Penyebab infeksi
Berbagai macam organisme dapat sebagai penyebab infeksi, banyak diantaranya
sebagai penyebab penyakit spesifik lainnya. Banyak sekali jenis virus yang dapat
menimbulkan gejala meningeal. Separuh lebih dari kasus tidak ditemukan
penyebabnya. Pada waktu terjadi KLB mumps, virus ini diketahui sebagai
penyebab lebih dari 25% kasus meningitis aseptik pada populasi yang tidak
diimunisasi.
Virus coxsackie grup B tipe 1-6 sebagai penyebab dari 1/3 kasus; dan
echovirus tipe 2,5,6,7,9 (kebanyakan), 10, 11, 14, 18 dan 30, kira-kira sebagai
penyebab separuh kasus. Virus coxsackie grup A (tipe 2,3,4,7,9 dan
10), arbovirus, campak, herpes simplex I dan
virus varicella, virus Choriomeningitis limfositik, adenovirus dan virus jenis lain
bertanggungjawab terhadap terjadinya kasus-kasus sporadis. Insidensi dari tipe-
tipe spesifik bervariasi menurut wilayah geografis dan waktu. Leptospira
bertanggungjawab terhadap lebih dari 20% kasus-kasus meningitis aseptik di
berbagai wilayah di dunia ini
c) Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia, timbul sebagai kasus-kasus endemis dan sporadis.
Angka insidensi yang sebenarnya tidak diketahui. Meningkatnya jumlah kasus
berhubungan dengan musim, pada akhir musim panas dan awal musim semi
jumlah penderita meningkat terutama yang disebabkan oleh arbovirus dan
enterovirus sementara KLB meningitis aseptik yang terjadi di akhir musim
dingin terutama disebabkan oleh mumps.
d) Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke kantor Instansi Kesehatan setempat: di daerah endemis tertentu
penyakit ini wajib dilaporkan; di beberapa negara dan negara bagian di Amerika
Serikat bukan sebagai penyakit yang harus dilaporkan, Kelas 3 B. Bila penyebab
infeksi dapat dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium maka didalam laporan
sebutkan penyebab infeksinya; sebaliknya apabila penyebabnya tidak diketahui
laporkan sebagai kasus yang tidak diketahui etiologinya.
2) Isolasi: Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium biasanya baru didapat setelah penderita sembuh. Oleh karena itu
kewaspadaan enterik sudah harus dilakukan 7 hari setelah mulai sakit, kecuali
kalau diagnosa pasti sudah menyatakan bahwa penyebabnya
adalah nonenterovirus.
3) Disinfeksi serentak: Tidak diperlukan kewaspadaan khusus selain menerapkan
sanitasi rutin.
4) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Biasanya tidak dilakukan.
5) Pengobatan spesifik: Seperti halnya pada penyakit yang disebabkan oleh
virus, tidak ada pengobatan spesifik.
2. Meningitis Bakterial
Angka insidensi meningitis bakterial yang dilaporkan di Amerika Serikat, 10
tahun setelah pertama kali vaksin terhadap Haemophillus influenza serotipe b
(Hib) diijinkan beredar adalah 2,2/100.000/tahun dan kira-kira sepertiga
penderita anak berumur 5 tahun. Hampir semua bakteri dapat menyebabkan
infeksi pada semua umur, tetapi seperti yang dilaporkan pada akhir tahun 1990-
an penyebab yang paling sering adalah Neisseria meningitidis dan Streptococcus
pneumoniae.
Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi meningokokus, timbul
secara sporadis dan kadang-kadang muncul sebagai KLB; di banyak negara
meningokokus merupakan penyebab utama dari meningitis bakterial. Meningitis
yang disebabkan oleh Hib, sebelumnya merupakan salah satu penyebab yang
paling sering dari meningitis bakterial. Bakteri penyebab meningitis yang paling
jarang adalah stafilokok, bakteri enterik, grup B streptokokus dan Listeria yang
menyerang orang dengan kerentanan yang spesifik (seperti pada neonatus,
penderita gangguan sistem imunitas) atau sebagai akibat trauma pada kepala.
3. Meningitis Meningokokus
a) Identifikasi.
Penyakit bakterial akut dengan katarektistik muncul demam mendadak, nyeri
kepala hebat, mual dan sering disertai muntah, kaku kuduk dan seringkali timbul
ruam petekie dengan makula merah muda atau sangat jarang berupa vesikel.
Sering terjadi delirium dan koma; pada kasus fulminan berat timbul gejala
prostrasi mendadak, ecchymoses dan syok. Dulu angka kematian mencapai
>50% namun dengan diagnosa dini, terapi modern dan tindakan suportif, angka
kematian 5-15%. Lebih dari 5-15% penduduk di negara endemis merupakan
carrier tanpa gejala, ditemukan koloni Neisseria meningitidis di daerah
nasofaring. Sebagian kecil dari orang ini akan berkembang menjadi penyakit
yang invasif dengan ditandai satu atau lebih gejala klinis seperti bakteremia,
sepsis, meningitis atau pneumonia.
Banyak pada penderita sepsis timbul ruam petekie, kadang-kadang disertai
dengan nyeri dan radang sendi. Meningococcemia dapat timbul tanpa mengenai
selaput otak dan harus dicurigai pada kasus-kasus demam akut yang tidak
diketahui penyebabnya dengan ruam petekie dan lekositosis.
Pada meningococcemia fulminan angka kematian tetap tinggi walaupun telah
diobati dengan antibiotika yang tepat. Diagnosis pasti dibuat dengan
ditemukannya meningococci pada LCS atau darah. Pada kasus dengan kultur
negatif, diagnosis dibuat didukung dengan ditemukannya polisakarida terhadap
grup sepesifik meningococcal pada LCS dengan teknik IA, CIE dan teknik
koaglutinasi; atau ditemukannya DNA meningococcal pada LCS atau pada
plasma dengan PCR. Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan gram, sediaan
yang diambil dari petekie organismenya dapat diketahui.
b) Penyebab Infeksi
Penyebab inveksi adalah N. meningitidis, suatu jenis meningokokus N.
meningitidis grup A, penyebab utama KLB di AS (tidak ditemukan sejak tahun
1945) dan di tempat lain; sedangkan grup B, C dan Y diakhir tahun 1990-an
sebagai penyebab kebanyakan kasus di AS. Genotipe tertentu tercatat sebagai
penyebab terjadinya beberapa KLB. Serogrup lainnya diketahui juga berperan
sebagai patogen (misalnya grup W-135, X dan Z). Organisme dari kelompok ini
kurang begitu virulen, namun kasus-kasus fatal dan infeksi sekunder pernah
dilaporkan disebabkan oleh hampir semua serogroup. KLB N.
meningitidis biasanya disebabkan oleh strain yang berdekatan. Untuk
mengetahui strain penyebab KLB dan luasnya KLB, maka subtyping dari isolat
dengan menggunakan metoda seperti disebutkan di bawah ini sangat bermanfaat:
356 - multilocus enzyme electrophoresis – pulsed-field gel electrophoresis –
enzyme-restricted DNA fragments.
c) Distribusi penyakit
Infeksi oleh meningokokus terjadi dimana-mana, namun puncaknya terjadi pada
akhir musim dingin dan awal musim semi. Pada awalnya infeksi meningokokus
terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, di banyak negara laki-laki lebih
banyak terserang daripada wanita, dan sering terjadi pada pendatang baru yang
berkumpul/berjejalan pada suatu tempat seperti di dalam barak dan asrama
penampungan. Wilayah yang selama ini diketahui sebagai daerah yang
insidensinya tinggi adalah AfrikaTengah dimana infeksi disebabkan oleh grup A.
d) Cara penularan
Penularan terjadi dengan kontak langsung seperti melalui droplet dari hidung dan
tenggorokan orang yang terinfeksi. Infeksi biasanya menyebabkan infeksi
subklinis pada mukosa. Invasi dengan jumlah bakteri yang cukup untuk
menyebabkan terjadinya penyakit sistemik sangat jarang. Prevalensi carrier yang
mencapai 25% atau lebih dapat terjadi tanpa ada kasus meningitis. Selama KLB
lebih dari setengah laki-laki personil militer mungkin sebagai carrier sehat
kuman meningokokus. Penyebaran melalui barang dan alat-alat tidak
terbukti. Masa inkubasi bervariasi dari 2-10 hari, biasanya 3-4 hari.
e) Masa penularan
Penularan dapat terus terjadi sampai kuman meningokokus tidak ditemukan lagi
di hidung dan mulut. Meningokokus biasanya hilang dari nasofaring dalam
waktu 24 jam setelah pengobatan dengan antibiotika trerhadap mikroba yang
masih sensitif terhadap antibiotika tersebut apabila kadar obat mencapai
konsentrasi yang cukup di dalam sekret orofaring. Penisilin dapat menekan
jumlah organisme untuk sementara namun biasanya tidak dapat menghilangkan
organisme ini dari oronasofaring.
f) Kerentanan dan kekebalan
Kerentanan terhadap penyakit klinis rendah dan menurun sesuai dengan umur;
rasio antara carrier dengan kasus sangat tinggi. Dan mereka yang di dalam
darahnya kekurangan beberapa komponen komplemen sangat mudah kambuh
dan terserang penyakit ini lagi. Orang yang telah diambil limpanya sangat mudah
mengalami bakteriemia walaupun hanya mengalami infeksi subklinis. Dapat
muncul kekebalan spesifik terhadap grup bakteri yang menginfeksi. Lamanya
antibodi spesifik ini bertahan belum diketahui.
g) Cara-cara pemberantasan
Cara-cara pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mengurangi kontak langsung
dan menghindari terpajan dengan droplet penderita.
2) Mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan
seperti dalam barak, sekolah, tenda dan kapal.
3) Vaksin yang mengandung polisakarida meningokokus grup A, C, Y dan W-
135 telah terdaftar dan beredar di Amerika Serikat dan negara lainnya untuk
digunakan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar, saat ini hanya
vaksin kuadrivalen yang tersedia di Amerika Serikat. Vaksin meningokokus
efektif pada orang dewasa diberikan pada saat melakukan rekruitmen militer di
AS sejak tahun 1972. Vaksin ini juga digunakan untuk mengendalikan KLB grup
C yang terjadi di masyarakat dan di sekolah pada tahun 1990-an. Vaksin ini
harus diberikan kepada kelompok risiko tinggi tertentu yaitu anak-anak pada usia
di atas 2 tahun yang rentan terhadap infeksi berat meningokokus termasuk harus
diberikan kepada penderita yang limpanya sudah diambil, orang dengan
defisiensi komplemen terminal, staf laboratorium yang terpajan secara rutin
dengan N. meningitidis. Sayang sekali komponen C mempunyai imunogenisitas
rendah dan tidak efektif bila diberikan bagi anak di bawah usia 2 tahun.
Vaksin serogroup A mungkin efektif bila diberikan kepada anak usia lebih
muda, 3 bulan sampai 2 tahun, pada usia ini diberikan 2 dosis vaksin dengan
interval 3 bulan. Sedangkan untuk anak usia di atas 2 tahun hanya diberi dosis
tunggal. Waktu perlindungan sangat terbatas, terutama pada anak usia kurang
dari 5 tahun. Imunisasi rutin bagi masyarakat umum di Amerika Serikat tidak
dianjurkan. Pemberian imunisasi kepada para pelancong akan mengurangi risiko
tertulari apabila mereka berkunjung ke negara yang pernah mengalami wabah
meningokokus grup A atau C. Imunisasi ulang dapat dipertimbangkan untuk
diberikan dalam jangka waktu 3- 5 tahun apabila tidak ada indikasi untuk
mendapatkan vaksinasi. Tidak ada vaksin yang terdaftar saat ini di AS efektif
terhadap infeksi grup B, walaupun beberapa jenis vaksin telah dikembangkan
dan telah diujicoba menunjukkan efikasi yang lumayan bila diberikan kepada
anak-anak yang lebih besar dan kepada orang dewasa. Vaksin konyugat
terhadap serogroup A dan C masih dalam proses uji coba klinis. Untuk bayi dan
anak-anak, vaksin meningokokus konyugat serogroup A, C, Y dan W-135 telah
dikembangkan dengan metoda yang sama dengan metoda pembuatan vaksin
konyugat untuk Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin-vaksin ini diharapkan
sudah dapat digunakan rutin di Inggris mulai tahun 2000 dan di Amerika Serikat
dalam waktu 2-4 tahun kemudian.
Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan di banyak negara
bagian (di Amerika) dan di beberapa negara di dunia, Kelas 2 A.
2) Isolasi: Lakukan isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulai
pemberian chemotherapy. 3) Disinfeksi serentak: lakukan desinfeksi
terhadap discharge yang berasal dari sekret hidung dan tenggorokan, dan barang-
barang yang terkontaminasi. Pembersihan menyeluruh.
5) Perlindungan kontak: Lakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan
penderita secara dini, khususnya terhadap mereka yang demam agar segera
dilakukan pengobatan yang tepat secara dini; pemberian profilaktik, kemoterapi
yang efektif untuk melindungi kontak (kontak diantara anggota keluarga satu
rumah, personil militer yang berbagi tempat tidur dan orang-orang yang secara
sosial sangat dekat untuk saling bertukar peralatan makan seperti teman dekat di
sekolah, tapi bukan seluruh kelas. Anak-anak di tempat penitipan merupakan
pengecualian dan walaupun bukan teman dekat maka semua harus diberikan
pengobatan profilaksis setelah ditemukan satu kasus indeks. Pilihan antibiotika
profilaksis adalah rifampisin, diberikan 2 kali sehari selama 2 hari: orang dewasa
600 mg per dosis; bayi di atas 1 tahun 10 mg/kg BB; anak umur kurang dari 1
bulan 5 mg/kg BB. Rifampisin harus dihindari untuk diberikan bagi wanita
hamil. Rifampisin dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral. Untuk orang
dewasa, ceftriaxone 250 mg IM dapat diberikan sebagai dosis tunggal dan
terbukti cukup efektif; 125 mg IM untuk anak di bawah umur 15
tahun. Ciprofloxacin 500 mg per oral dosis tunggal dapat juga diberikan untuk
orang dewasa. Bila kuman sensitif terhadap sulfadiazine, dapat diberikan pada
orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar dengan dosis 1 gram setiap 12
jam, dalam 4 dosis; untuk bayi dan anak-anak dosisnya adalah 125-150 mg/kg
BB/hari dibagi dalam 4 dosis, setiap 2 hari sekali. Pada tahun
1993 sulfadiazine tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat dan diperlukan
bantuan dari CDC Atlanta untuk mendapatkan obat ini. Petugas kesehatan jarang
sekali berada dalam risiko tertulari sekalipun dia merawat penderita, hanya
mereka yang kontak erat dengan sekret nasofaring (seperti pada waktu resusitasi
mulut ke mulut) yang memerlukan pengobatan profilaksis. Pemberian imunisasi
kepada kontak dalam lingkungan keluarga kurang bermanfaat karena tidak cukup
waktu.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Kultur dari tenggorokan dan nasofaring
tidak bermanfaat untuk menentukan siapa saja yang harus menerima pengobatan
profilaksis karena pembawa kuman sangat bervariasi dan tidak ada hubungan
yang konsisten antara koloni yang ditemukan secara normal pada populasi umum
dengan koloni yang ditemukan pada saat terjadi KLB.
7) Pengobatan spesifik: Penisilin yang diberikan parenteral dalam dosis yang
adekuat merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh
infeksi meningokokus; ampisilin dan kloramfenikol juga efektif. Pengobatan
harus segera dimulai bila diagnosa terhadap tersangka telah ditegakkan, bahkan
sebelum kuman meningokokus dapat diidentifikasi. Pada penderita anak-anak
sambil menunggu agen penyebab spesifik dapat diidentifikasi, pengobatan harus
segera diberikan dengan obat yang efektif terhadap Haemophilus influenzae tipe
B (Hib) dan terhadap Streptococcus pneumonia. Ampisilin merupakan obat
pilihan untuk kedua bakteri tersebut selama mereka masih sensitif terhadap
ampisilin. Ampisilin harus dikombinasikan dengan generasi
ketiga cephaloposporin, atau dengan kloramfenikol, atau
denganvancomycin sebagai subsitusi di wilayah dimana ditemukan H.
influenzae dan S. pneumoniae yang resisten terhadap ampisilin. Pasien dengan
infeksi meningokokus atau Hib harus diberi rifampisin sebelum dipulangkan dari
rumah sakit apabila sebelumnya tidak diberikan obat generasi
ketiga cephalosporin atauciprofloxacin. Hal ini dilakukan agar ada kepastian
bahwa organisme telah terbasmi.
Penanggulangan KLB
1) Bila terjadi KLB, upaya paling penting yang harus dilakukan adalah
meningkatkan kegiatan surveilans, diagnosa dan pengobatan dini dari kasus-
kasus yang dicurigai. Kepanikan dan kecurigaan yang terlalu tinggi tidak
bermanfaat.
2) Pisahkan orang-orang yang pernah terpajan dengan penderita dan berikan
ventilasi yang cukup terhadap tempat tinggal dan ruang tidur bagi orang-orang
yang terpajan dengan kuman yang disebabkan karena kepadatan (misalnya:
barak dan asrama tentara, pekerja tambang dan tahanan). 3) Pengobatan
pencegahan masal biasanya tidak efektif untuk mengatasi KLB. Pada KLB yang
terjadi pada sekelompok kecil penduduk (misalnya di suatu sekolah), pemberian
pengobatan pencegahan pada semua orang dikelompok itu dapat
dipertimbangkan terutama apabila KLB tersebut disebabkan oleh serogrup yang
tidak termasuk dalam vaksin yang ada. Bila dilakukan pengobatan masal harus
diberikan pada seluruh anggota masyarakat pada saat yang sama. Semua kontak
dekat harus dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan profilaksis, tanpa
melihat apakah seluruh anggota masyarakat sudah diobati (lihat 9B5 di atas).
4) Pemberian vaksin pada semua kelompok umur yang terkena seharusnya
dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh apabila terjadi KLB di suatu institusi
yang besar atau di masyarakat dimana kasus disebabkan oleh infeksi grup A, C,
W-135 dan Y. Vaksin meningokokus sangat efektif untuk menghentikan wabah
yang disebabkan oleh serogrup A dan C. Hal-hal yang diuraikan berikut ini dapat
membantu apakah kita perlu memberikan imunisasi kepada orang-orang yang
berisiko pada saat terjadi KLB yang diduga disebabkan oleh grup C:
a) Pastikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi KLB dan deskripsikan secara
epidemiologis untuk menemukan kelompok umur yang terkena dan denominator
sosial lainnya (misalnya: sekolah, tempat penitipan anak, organisasi
kemasyarakatan, kelab malam, kota) dari orang-orang yang terkena;
b) hitung attack rate strain bakteri yang menyebabkan KLB pada populasi yang
berisiko; c) bila mungkin, lakukan isolasi subtipe N. meningotidis penyebab KLB
menggunakan metoda molekuler. Bila paling tidak ditemukan tiga kasus yang
disebabkan oleh grup C dengan subtipe yang sama selama 3 bulan dan kasus
baru 360 tetap muncul dan attack rate meningkat menjadi 10 kasus grup C per
100.000 penduduk, maka pemberian imunisasi kepada kelompok masyarakat
yang berisiko tersebut harus dipertimbangkan.
4. Haemophilus Meningitis (Meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus
influenzae)
a) Identifikasi
Di masa vaksin konyugat Haemophilus b belum dipakai secara luas, H.
influenzae merupakan penyebab meningitis bakterial yang paling utama pada
anak-anak umur 2 bulan sampai dengan 5 tahun di Amerika. Biasanya
disebabkan oleh karena terjadi bakteriemia. Timbulnya gejala dapat subakut
tetapi biasanya muncul mendadak; gejalanya berupa demam, muntah, letargi dan
iritasi meningeal, dengan ubun-ubun menonjol pada bayi atau kaku kuduk dan
kaku punggung pada anak yang lebih besar. Sering cepat terjadi stupor atau
koma. Biasanya didahului dengan demam ringan selama beberapa hari dengan
gejala SSP yang samar. Diagnosis dibuat dengan melakukan isolasi organisme
penyebab dari darah atau cairan serebro spinal. Polisakarida kapsular spesifik
dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknik CIE atau LA.
b) Penyebab infeksi
Penyebab paling sering adalah H. influenzae serotipe b (Hib). Organisme ini
dapat juga menyebabkan epiglottitis, pneumonia, septic arthritis, cellulites,
pericarditis, empyema dan osteomyelitis. Serotipe lainnya jarang sekali
menyebabkan meningitis.
c) Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia; paling prevalens diantara amak umur 2 bulan sampai 3
tahun; jarang terjadi pada usia 5 tahun. Di negara berkembang, puncak insidensi
adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan; di Amerika Serikat pada anak usia 6-
12 bulan. Sebelum adanya vaksin untuk Hib di Amerika Serikat, kira-kira 12.000
kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada anak umur kurang dari 5 tahun
dibandingkan dengan hanya 25 kasus pada tahun 1998. Sejak tahun 1990-an,
dengan penggunaan vaksin secara luas pada anak-anak, meningitis yang
disebabkan Hib boleh dikatakan telah menghilang; sekarang banyak kasus terjadi
pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. Kasus sekunder dapat terjadi
di lingkungan dan tempat penitipan anak.
d) Reservoir – Manusia.
e) Cara penularan
Melalui droplet, sekret hidung dan tenggorokan selama periode infeksius.
Tempat masuknya kuman seringkali adalah nasofaring.
f) Masa inkubasi – Tidak diketahui, mungkin sekitar 2-4 hari.
g) Masa penularan
Selama masih ada kuman di tenggorokan selama itu orang tersebut dapat
menularkan kepada orang lain; berlangsung cukup lama, walaupun tidak
ada discharge hidung. Penderita tidak lagi menular dalam waktu 24-48 jam
setelah dimulainya pengobatan dengan antibiotika yang efektif.
h) Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi. Imunitas timbul ditandai dengan adanya
antibodi bakterisidal dan atau antibodi antikapsul di dalam darah baik yang
didapat secara transplacental maupun karena terinfeksi sebelumnya atau karena
imunisasi.
i) Cara-cara pemberantasan
Upaya pencegahan
1) Melalui program imunisasi pada anak-anak. Beberapa jenis vaksin yang berisi
konyugat protein polisakarida dapat melindungi anak-anak dari meningitis pada
umur lebih dari 2 bulan dan vaksin ini telah terdaftar di AS sebagai vaksin
tunggal atau sebagai vaksin kombinasi dengan lainnya. Imunisasi dianjurkan
mulai diberikan sejak usia 2 bulan, diikuti dengan dosis berikutnya diberikan
setelah 2 bulan, jumlah dosis bervariasi tergantung jenis vaksin yang digunakan.
Semua jenis vaksin membutuhkan booster pada usia 12-25 bulan. Imunisasi rutin
tidak dianjurkan pada anak usia di atas 5 tahun.
2) Lakukan pengamatan kasus yang mungkin timbul pada populasi yang rentan
seperti pada tempat-tempat penitipan anak dan rumah yatim piatu.
3) Berikan penyuluhan kepada orang tua tentang kemungkinan timbulnya kasus
sekunder pada saudara penderita yang berumur kurang dari 4 tahun dan perlu
dilakukan evaluasi dan pengobatan bila ditemukan penderita dengan demam atau
kaku kuduk.
.
Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; di daerah endemis tertentu di
Amerika Serikat wajib dilaporkan.
2) Isolasi: Isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulainya pengobatan.
3) Perlindungan kontak: Pengobatan profilaksis dengan rifampin (diberikan oral
sehari sekali selama 4 hari dengan dosis 20 mg/kg BB, dosis maksimal 600
mg/hari), diberikan kepada semua kontak serumah (termasuk orang dewasa) 362
dimana di dalam rumah tersebut ada satu atau lebih bayi (selain dari kasus
indeks) yang berumur kurang dari 12 bulan atau di rumah tersebut ada anak
berumur 1-3 tahun yang tidak mendapatkan imunisasi secara adekuat. Apabila
dua atau lebih kasus invasive ditemukan dalam waktu 60 hari, anak-anak yang
tidak diimunisasi atau diimunisasi tidak lengkap berkunjung ke tempat penitipan
anak tersebut, maka dilakukan pemberian rifampin kepada semua pengunjung
dan petugas perawatan anak. Bila hanya timbul satu kasus saja, pemberian
pengobatan profilaksis dengan rifampin masih diperdebatkan.
4) Investigasi kontak dan sumber infeksi: lakukan pengamatan kontak bagi
mereka yang berusia di bawah 6 tahun khususnya terhadap bayi yang ada di
rumah, yang berada pada pusat perawatan anak untuk melihat kalau ada tanda-
tanda sakit khususnya demam.
5) Pengobatan spesifik: Ampisilin merupakan obat pilihan (dalam bentuk
suntikan 200-400 mg/kg BB/hari). Oleh karena 30% dari strain yang ada sudah
resisten terhadap ampisilin oleh karena bakteri tersebut memproduksi beta
laktamase, maka dianjurkan untuk menggunakan ceftriaxione,
cefotaxime atauchloramphenicol bersama dengan ampisilin atau tersendiri
sampai saat hasil tes sensitivitas terhadap antibiotika diperoleh. Pasien harus
diberi rifampin, sebelum dipulangkan dari rumah sakit untuk memastikan
eliminasi kuman.
5. Pneumococcal Meningitis
Meningitis pneumokokus mempunyai angka kematian yang sangat tinggi.
Dapat muncul dalam bentuk fulminan dan timbul bakterimia tanpa harus ada
infeksi di tempat lain, walaupun mungkin terjadi otitis media
atau mastoiditis pada saat yang sama. Biasanya penyakit muncul tiba-tiba berupa
demam tinggi, kelemahan umum atau koma dan tanda-tanda iritasi
meningeal. Pneumococcal meningitis dapat muncul sebagai penyakit sporadis
pada neonatus, pada orang usia lebih tua dan kelompok tertentu yang berisiko
seperti pasien tanpa limpa dan pada penderita dengan hipogamaglobulinemia.
Fraktur pada basis crania menyebabkan terjadi hubungan yang menetap dengan
nasofaring diketahui sebagai faktor predisposisi.
6. Neonatal Meningitis
Neonatus dengan neonatal meningitis, timbul letargi, kejang, episode apnoe
(napas terhenti), susah makan, hipotermi dan kadang-kadang terjadi gangguan
berat pada pernafasan dan biasanya terjadi pada minggu-minggu pertama
kehidupan. Hitung darah putih bisa meningkat atau menurun. Kultur LCS
memperlihatkan adanya streptokokus grup B, Listeria monocytogenes E. coli K-
1 atau kuman lainnya yang didapat melalui jalan lahir. Bayi usia 2 minggu-2
bulan bisa menunjukkan gejala yang sama, ditemukan mikroorganisme
Streptokokus grup B atau kelompok Klebsiella- Enterobacter-Serratia didalam
LCS dan bakteri ini biasanya didapat dari ruang perawatan. Meningitis pada
kedua grup ini berkaitan dengan terjadinya septikemia. Pengobatan dilakukan
dengan ampisilin ditambah dengan obat generasi
ketiga cephalosporin atau aminoglycoside, sampai kuman penyebab diketahui
dan hasil tes sensitivitas terhadap antibiotika sudah ada.
2.3.4. Patofisiologis
CSS
Eksudat Tuberkel
Perlunakan otak
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap
Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
3. Pemeriksaan Radiologis
CT SCAN
a. Anatomi gambaran normal CT Scan kepala
1. Potongan axial
Lobus frontal
Precentral gyrus
Central sulcus
Postcentral gyrus
Lobus parietal
Lobus frontal
Precentral gyrus
Central sulcus
Postcentral gyrus
Lobus parietal
Lobus frontal
Corona radiata
Ventrikel lateral
Lobus parietal
Parieto-occipotal sulcus
Lobus occipital
Lateral ventricle
Third ventricle
Lateral ventricle
Lateral ventricle
Third ventricle
Lateral ventricle
Sinus frontalis
Lateral ventricle
Third ventricle
gyrus
Cerebellum
Sinus frontalis
Third ventricle
Sulcus lateralis
gyrus
Hypothalamus
Cerebellum
Sinus frontalis
Straight gyrus
gyrus
Lateral ventricle
Mastoid process
Pons
Fourth ventricle
Cerebellum
Sinus frontalis
Straight gyrus
Lateral ventricle
Mastoid process
Pons
Fourth ventricle
Cerebellum
Sinus spenoidalis
Inferior temporal
gyrus
Mastoid process
Pons
Fourth ventricle
Cerebellum
Sinus ethmoidalis
Sinus spenoidalis
Mastoid process
Medulla oblongata
Cerebellum
Septum nasi
Sinus ethmoidalis
Mastoid process
Medulla oblongata
Cerebellum
2. Potongan coronal
3. Potongan sagital
Komplikasi
1. Empiema
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi atau kantong pus yang
terlokalisasi (abses) dalam otak. Empiema adalah suatu efusi eksudat yang
disebabkan oleh infeksi langsung pada rongga tubuh yang menyebabkan
cairan tubuh menjadi purulen atau keruh. Gambaran CT-scan tampak lesi
hipodens.
Keuntungan CT scan :
1. Gambaran lebih jelas
2. Non traumatik
3. Meramal prognose
4. Penyebab hidrosefalus dapat diduga
Gambar 4a,b. Kolesteatoma dengan destruksi os. Petrosa dan invasi ke fossa
cranial posterior. Tampak kolesteatoma di telinga tengah dan mastoid destruksi
tulang (a). Gambaran post-contrast tampak abses intrakranial.
Gambar. Pada CT, peningkatan kontras setelah infark terjadi pada tahap sub-akut,
dan umumnya dimulai menjelang akhir minggu pertama. Peningkatan puncak terjadi
pada minggu ke 2 dan 3, dan secara bertahap memudar selama minggu-minggu
berikutnya. (kanan Axial non-contrast. kiri axial dengan contrast)
2.3.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu
menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna
sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan
pengobatan meningitis meliputi:
a. Pengobatan Simtomatis:
1) Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2 – 0,5 mg/kgBB/dosis, atau rektal : 0,4 – 0,6
mg/kgBB indikasi meringankan spasme otot rangka, atau Fenitoin 5
mg/kgBB/24 jam indikasi anti kejang, 3 x sehari atau Fenonarbital 5 – 7
mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari. Indikasi anti kejang
2) Antipiretik : parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis. Indikasi analgesik
3) Antiedema serebri: Diuretik osmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati edema serebri.
4) Pemenuhan Oksigenisasi dengan O2.
5) Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik : pemberian tambahan
volume cairan intravena.
LAPORAN KASUS
3.1 ANAMNESIS
3.1.1 Identitas
Nama : Nn. Ajeng Astuti
Umur : 20 Tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Klipang
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
No. CM : 39***
Tanggal Masuk : 26 Agustus 2019
Alloanamnesis dilakukan dengan Keluarga pasien pada Hari Senin, tanggal
2 September 2019 pukul 07.30 WIB
3.1.2 Keluhan Utama : Nyeri Kepala
3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang :
Satu minggu sebelum masuk Rumah sakit, pasien mengeluhkan
pusing dan panas, nafsu makan menurun lalu pasien meminum obat penurun
panas dan pereda nyeri kepala yang dibeli di apotik.Selama seminggu pasien
tidak mampu beraktifitas karena dirasa tidak cukup kuat untuk berdiri.
Menurut keluarga, pasien pernah memiliki riwayat usus buntu saat
pasien masih duduk dikelas 1 SMP dan sudah dioperasi, pasien juga pernah
jatuh saat masih balita, namun pasien tidak pernah mengeluhkan sakit
kepala seperti saat ini.
Tepat pada malam hari setelah maghrib dirumah, sebelum masuk
Rumah Sakit pasien mengalami puncak gejalanya. Pasien mengalami bicara
kacau, bicara hanya bisa nggremeng, nafsu makan semakin menurun namun
keluarga belum ada rencana untuk membawa pasien ke RS.
Pada tanggal 26 Agustus 2019, pagi hari saat bangun tidur pasien
mengalami kaku pada tangan dan kaki, perasaan ingin muntah ketika
sarapan, dan pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri sehingga pasien segera
dibawa oleh keluarga ke UGD RSUD Kota Semarang. Menurut keluarga ini
kali pertama pasien mengalami sakit seperti ini.
Di rumah sakit, tampak keadaan umum pasien lemah, somnolen -
stupor, pusing (+), GCS 14 (E4 M6 V4), pupil isokor, kekuatan otot 4/4,
kaku kuduk (+), N. cranialis (dbn), gelisah, akral dingin (-), pulsasi cukup,
febris (-), kamunikasi verbal (-). awal masuk Rumah Sakit pasien didiagnosa
Meningoenchepalitis dan pasien mendapatkan perawatan Rawat Inap di
Ruang HCU.
Status Present
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 Tahun 10 bulan
Berat Badan : 45 kg
Panjang Badan : 160 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100 / 70 mmHg
Nadi : 74 x / menit, irama regular, isi cukup, equalitas sama
pada keempat ekstremitas.
Suhu : 36 ºC (aksila)
Frekuensi Nafas : 28 x / menit
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Stupor
Kepala : Mesocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Palpebra simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil bulat unisokor, reflek cahaya pupil (N).
Telinga : Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak.
Hidung : Simetris, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Leher : Simetris, pembesaran kelenjar (-/-)
Tenggorokan :
Faring
• Mukosa Bukal : Warna merah muda, hiperemis (+)
• Lidah : Dalam batas normal
• Uvula : di tengah, dalam batas normal
Tonsil
• Ukuran : T 1- 1
• Warna : Hiperemis (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : dbn
Palpasi : dbn
Perkusi : dbn
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/+)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke VI, 2 cm kelateral linea mid
clavicularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar.
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternalis kiri
Pinggang : ICS III linea parasternalis kiri
Batas kiri : ICS VI 2 cm ke lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan : ICS VI linea sternalis kanan
Auskultasi : Reguler, Suara jantung murni, gallop (-), bising
Jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) , turgor normal, massa (-), hepar
dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Status Neurologik
GCS 15 , E4M6V5
Pemeriksaan Rangsang Meningeal:
• Kaku kuduk ( + )
• Lasegue ( - )
• Kernig ( -)
• Brudzinski I/Brudzinski’s neck sign ( - )
• Brudzinski II/ Brudzinski’s contralateral leg sign ( - )
Nervus kranialis : dalam batas normal
Motorik:
• Kekuatan :4
• Tonus : Normal
Sensorik : dalam batas normal
Refleks fisiologis : dalam batas normal
Refleks patologis : dalam batas normal
Otonom : retensio urin (-), inkotinensia alvi (-)
2. Pemeriksaan Radiologi
a. CT SCAN dengan Kontras (Tanggal 28 Agustus 2019)
Tanpa Kontras
Dengan Kontras
Interpretasi :
Pada brain window :
Tak tampak lesi hipodens maupun hiperdens intrakranial
Pasca injeksi kontras, tampak basal dan sulea enhancement
Sulkus kortikalis dan fisura sylvii tampak sedikit menyempit
Sistem ventrikel dan sisterna baik
Batang otak dan cerebelum baik
Tak tampak midline shifting
Pada bone window :
Tak tampak fraktur ossa cranium
Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada tulang
Tak tampak penebalan mukosa pada sinus paranasalis yang terlihat
Tak tampak kemuraman pada kedua mastoid
Kesan :
Gambaran meningoensefalitis
Mulai tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial saat ini
3.4 DIAGNOSIS
Meningtis
Diagnosis Banding :
• Meningitis bakteri
• Meningitis viral
3.5 PENATALAKSANAAN
A. MEDIKAMENTOSA
• O2 kanul 2 liter per menit
• Pasang DC
• Infus RL 20 tetes per menit
• Suction k/p
• Injeksi Methylprednisolon 3 x 125 mg
• Injeksi Lancholin 2 x 250 mg
• Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
• Injeksi Ceftriaxon 2 x 2 gr
• Rawat luka
B. NON MEDIKAMENTOSA
• Tirah baring
• Minum obat teratur
• Rawat dekubitus
• Terapi nutrisi
3.6. PROGNOSIS
• Ad vitam : dubia ad bonam
• Ad functionam : dubia ad bonam
• Ad sanactionam : dubia ad bonam
KESIMPULAN
Meningitis merupakan peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges)
termasuk duramater, arachnoid dan piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis.
Meningitis terjadi karena berbagai penyebab pada umumnya karena infeksi berbagai macam
mikroorganisme, dimana penyebab infeksi terbanyak adalah virus dan bakteri serta jamur.
Gejalanya mayoritas serupa. Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat
menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku, kesadaran menurun. Tanda
Kernig’s dan Brudzinky positif. demam yang tinggi, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu
biasanya penderita merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran
serta penglihatan menjadi kurang jelas. Meningitis akibat virus biasanya dapat sembuh
sendirinya, sementara meningitis karena bakteri dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi, morbiditas yang lama akibat gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan
kematian. Diagnosis yang segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat menghentikan
perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Prognosis meningitis tergantung
pada umur penderita, jenis kuman penyebab, berat ringan infeksi, lama sakit sebelum
mendapat pengobatan, kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan, dan penanganan
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Meningitis is an infection of the protective membranes that surround the brain and spinal
cord (meninges). Available from
http://www.nhs.uk/Conditions/Meningitis/Pages/Introduction.aspx
2. Lozano R, Naghavi M, Foreman K, Lim S, Shibuya K, Aboyans V, et al. (December 2012).
"Global and regional mortality from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010". Lancet. 380 (9859): 2095–
128. doi:10.1016/S0140-6736(12)61728-0. hdl:10536/DRO/DU:30050819. PMID 23245604.
3. Putz, Reinhard, and Reinhard Pabst.” Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 24.” Jakarta: EGC
(2012).
4. Mills. Oxford textbook of clinical neurophysiology.3rd edition. England.
5. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. Ed ke-6. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill; 2005.
6. Simon et al. Clinical Neurology. 9th edition. New York : Lange; 2015.
7. Corey-Bloom J, David RB. Clinical Adult of Neurology. 3rd ed. New York: Demosmedical; 2009.
8. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic Atlas].:
Saunders/Elsevier; 2014.
9. Tortora GJ, Derrickson B. The Special Senses. In: Tortora GJ, Derrickson B, editors.
Principle of Anatomy & Physiology, 13th edition. USA: John Wiley & Sons, Inc; 2012.
10. Snell, R, Neuroanatomi Klinik. Edisi 7. Jakarta: EGC, 2015.
11. Corey-Bloom J, David RB. Clinical Adult of Neurology. 3rd ed. New York:
Demosmedical; 2009.
12. Hakimelahi R, Gonzales RG, Neuroimaging of Ischemic Stroke with CT and MRI:
Advancing Towards Physiology-Based Diagnosis and Therapy, 7(1):29-48, Expert
Rev CardiovascTher. 2009.
13. Baehr M, Duus’ FM. Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy, Physiology, Signs,
Symptoms. 5th revised edition. New York: Thieme; 2017.
14. Jager R, Saunders D. Cranial and intracranial pathology (2): cerebrovascular disease
and non-traumatic intracranial hemorrhage. In: Grainger RG, Allison D, Adam A,
Dixon AK, editor.Grainger & Allison’s diagnostic radiology: a textbook of medical
imaging. 4th edition. London: Chruchill Livingstone; 2001.
15. Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in
: http://www.emedicine.com
16. World Health Organization (1998). Control of epidemic meningococcal disease, practical
guidelines, 2nd edition, WHO/EMC/BA/98 (PDF). 3. pp. 1–83. Archived (PDF) from the original on
30 October 2013.