KONFLIK SAMPIT(SUKU
DAYAK&MADURA)DALAM PERSPEKTIF
PANCASILA
Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing: Supardi,SE.M.KES
Nama: Rizqi Tunggul P.
Prodi: D3 Keperawatan
Nim: 2120190100
Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena
itu dengan lapang dada dan tangan terbuka saya membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin member saran dan kritik kepada saya sehingga saya dapat
memperbaiki makalah Perang Konflik Madura dan Kalimantan ini.
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
KESIMPULAN ……………………………………………………………….....................
DAFTARPUSTAKA ................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
3. Suku dayak merasa orang madura telah merebut tanahnya yang seharusnya
milik mereka
6. Masing masing suku tidak memahami dan tidak berusaha untuk memahami
karakter masing-masing suku dan latar belakangnya.
10. Hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya terjadi
tindak kekerasan dan kriminal yang dibiarkan. Proses pembiaran ini berakibat
pada lemahnya hukum dimata masyarakat, sehingga masyarakat menggunakan
caranya sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan, diantaranya dengan
menggunakan kekerasan.
B. Bagaimana Bentuk Konflik Madura dan Kalimantan
Konflik dengan kelompok antar kelompok ( Horizontal Massal)
Konflik ini terjadi diakibatkan oleh kelompok suku Dayak dan kelompok suku
Madura dan kedua kelompok saling berusaha menyingkirkan pihak lawan dengan
jalan menghancurkan dan membuat tidak berdaya.
C. JALANNYA KONFLIK
Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh
aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para
tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat
penegak hukum. Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan
ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi
(mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah
larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang
Madura.Orang Dayak merasa sangat tersudut ditanahnya sendiri. Mereka seolah
tidak dilindungi dari pihak hokum
Sementara orang Madura semakin merasa diatas angin di kota Sampit. Seakan
mereka tidak peduli akan perasaan warga lokal disana. Situsi semakin hari
semakin panas. Orang Madura mempunyai keinginan untuk menjadikan kota
Sampit sebagai kota Sampang ke-2. Mereka melupakan pepatah di tanah Borneo
tersebut yaitu, ''dimana tanah dipijak,disitu langit dijunjung''. Pada tanggal 18
februari 2002 di sebuah pasar di kota Sampit,seorang ibu yang sedang hamil
dibunuh dengan kejam. Perutnya dibelah dan janin dalam perut ibu tersebut
dikeluarkan lalu dibuang.
Darah dari seorang ibu dan janinnya tadi dijadikan tinta untuk menulis di sebuah
spanduk besar yang bertuliskan, ''Sampit sebagai Sampang kedua''. Kejadian ini
memang sepertinya telah direncanakan oleh pihak Madura.Mereka juga
berkeliling kota Sampit sambil meneriakkan ''Matilah kau Dayak''. Bom molotof
pun berjatuhan di rumah-rumah orang Dayak. Tidak sedikit juga mereka
membakar rumah orang Dayak. Orang Dayak menjadi takut dan mereka berlari
masuk ke dalam hutan. Kepala suku mereka telah sangat murka dan memberi
ultimatum kepada orang bahwa apabila dalam 3 hari mereka tidak keluar dari
Sampit, maka Dayak akan memerangi warga Madura. Sudah sangat banyak
pengungsi dari pihak Madura dan Dayak. Lebih dari 10.000 pengungsi telah
diungsikan ke Surabaya dan ke Palangkaraya. Ultimatum tadipun tidak dihiraukan
oleh warga Madura sehingga terjadilah perang etnis disana. Suku Dayak berhasil
mengambil kembali rumahnya yang hampir diambil oleh suku lain.Banyak rumah
yang terbakar, toko-toko milik kedua etnis tadi lenyap serta kurang lebih 500
korban tewas. Tidak ada yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam
kata lain perang hanya meninggalkan tangis dan air mata, dan juga kenangan yang
sangat menyakitkan.
Dalam pelayaran menyusuri Sungai Mentaya (70 km), ABK dan pengungsi bisa
Melihat puluhan mayat yang mengapung di sepanjang sungai, dan sejumlah
Bangunan rumah warga Madura dan Pasar Sampit/Pasar Ganal yang tinggal
temboknya yang hangus. Dikatakan seorang pengungsi yang bekerja di
penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit, Abdul Sari (30), bahwa yang
tampak di sungai saja ada puluhan yang mengapung dan tersangkut di pinggir.
Sementara yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200 warga etnis Madura. “Ini
baru yang di sungai, belum yang terserak di pinggir sepanjang Jl. Masjid Nur
Agung saja tidak kurang dari 200 mayat,” katanya. Sementara di Jl. Sampit
Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang bergelimpangan di tepi jalan.
Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral yang dibungkus karung sak.
Tidak ada yang menolong untuk dimakamkan, kami tidak mungkin untuk
melakukan itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan tebasan mandau Dayak
saja sudah bersyukur. Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan Dayak tidak
lagi membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang hanya etnis
Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina. Mereka
bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa potong. Di
mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya lagi.
Mereka (warga etnis Madura) mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya
disita petugas, dan mereka (petugas) mengatakan, semua sudah aman dan tidak
ada apa-apa lagi. Maka warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-
tenang saja dan percaya pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara
kuluk,… kuluk,… kuluk,… sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan
membunuhi warga Madura.
Tidak ada yang tersisa, mereka yang menyerah maupun yang lari dibunuh.
Umumnya mereka diserang pada malam hari, ratusan Dayak dengan suara
kuluk…, kuluk…, sambung-menyambung muncul dari segala penjuru. Esoknya
warga etnis Madura mati mengenaskan dengan badan tanpa kepala lagi. Parebuk
Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk Ende, Sopian (56), warga yang
banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda. Karena warga Madura yang ada di sini
tidak menghindar tapi melakukan perlawanan sengit. “Saat ini di sana yang tersisa
tinggal wanita dan anak-anak,” kata Sopian. Sopian yang datang ke pengungsian
dengan jalan menyusuri sungai mengatakan, dia berjalan sambil sembunyi-
sembunyi di antara pohon hutan yang cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di
pengungsian ia hanya melihat beberapa warga Madura dari Semuda. Berarti ada
sedikitnya 500 orang Madura yang tewas melawan Dayak di Semuda. “Kalau
masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak lebih dari satu atau dua hari
saja,” kata Sopian. Sopian bersama pengungsi lain yang ada di pengungsian pun
mengaku masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak. Bahkan ada isu bahwa
kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh Dayak. Hal ini
membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di samping
mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi. Menurut
Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan
keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura ditinggal
begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman.Kekesalan warga Madura
terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi, seperti
yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta
perlindungan setelah dikejar-kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar ke
tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak
yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat
lewat pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat
merangkak sejauh 300 m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari
hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke tempat pengungsian.
Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya. Seorang pengungsi,
Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan
dari daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi
Parengkuan yang dibawa oleh orang yang mengaku petugas dengan mengatakan
akan dibawa ke tempat penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai
habis. Ternyata mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang
Madura disuruh turun dan dibantai. “Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada
200 pengungsi yang tewas dibantai,” kata Choiri. Choiri mengatakan, yang
dibantai itu semuanya wanita dan anak anak
Begitu jemputan yang kedua tiba, yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa,
justru mereka selamat tidak di tempat pengungsian karena dikawal oleh Brimob
dari Jakarta. Liar Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang
tinggal di Jl. Pinang 20 Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang
kini ikut pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah bercerita padanya,
mengapa orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang.
Awalnya suaminya enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang
Madura. Tapi karena dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan
atau mati, terpaksa suaminya memilih jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh
minum cairan yang membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi
dengan minyak yang membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud
anjing dan akhirnya harus diburu dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya
takut, tidak punya rasa kasihan, ini menurut Titin karena sudah diberi minuman
dan olesan minyak tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang
sedang kesurupan, mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan
membunuh sesuai dengan perintah panglima perang suku Dayak. (R Dewanto
Nusantoro)
Misalnya:
Karena warga Madura tinggal didaerah Kalimantan Tengah sudah sejak tahun
1930 apabila Pemerintah memulangkan suku Madura ke pulau Madura akan
mengakibatkan kecemburuan sosial.
Konflik sampit ini selesai karena adanya kerendahan hati dari tokoh-tokoh
Madura untuk memulai perdamaian dan terjadilah perjanjian perdamaian antara
kedua suku apabila disalah satu pihak ada yang melanggar akan dikenakan sanksi
hukum.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Adanya masalah kesukuan seperti perebutan kekuasaan dan sulitnya
bernegosiasi terhadap pihak suku sehingga lambat laun akan menjadi konflik
horizontal di daerah. Untuk menyelesaikan masalah kesukuan seperti ini yang
lebih bertanggung jawab adalah pemerintahan daerah sebagai aktor utama
namun perlu juga bantuan dari pemerintahan pusat sebagai mentor dari
pemerintahan daerah juga peranan dari daerah tersebut. Memegang kendali
terhadap tetua-tetua adat, tidak hanya waktu dibutuhkan saja mereka dirangkul
namun sedikit demi sedikit daerah melakukan pendekatan. Pola seperti diyakini
dapat membantu menumbuhkan sikap saling percaya antara daerah dan tetua-
tetua adat. Lebih mudah juga pemerintah berkomunikasi kepada tetua-tetua adat
apabila ada kejadian lagi seperti kejadian sampit tersebut. Otonomi daerah juga
seharusnya memperhatikan daerah-daerah yang rawan bertikai. Membangun
pos-pos polisi, penugasan BRIMOB, perawat-perawat, alat kesehatan yang
memadai bahkan di daerah pedalaman diberi evaluasi-evaluasi yang baik dan
benar.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.wattpad.com/77966-asal-muasal-kerusuhan-sampit
https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit
http://www.kompasiana.com/rusnanianwar/mengenang-kerusuhan-sampit-
2001_55007023a333114a73510cc4
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/02/18/mif18e-hari-ini-18-
februari-kekerasan-antaretnis-dayak-dan-madura-pecah