Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN OKSIGEN DHF

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II


Dosen Pembimbing Syaifuddin Kurnianto,S.Kep.,Ners,M.Kep

Disusun oleh:
1. Chrisinta yuli (172303101003)
2. M. Rizal Ari Frandhika (172303101007)
3. Putri Ayu Lintang Sari (172303101046)
4. Aprihidaytul umu (172303101069)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,berkat limpah rahmat dan
petunjuk-Nya ,kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka melengkapi tugas mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Pada makalah ini kami akan membahas mengenai
Keperawatan Medikal Bedah II pada penyakit DHF yang kami susun dari berbagai sumber.
Makalah ini di buat dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami lebih jauh
tentang, “Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Kebutuhan Oksigen DHF”. Kami
menyadari bahwa makalah yang kami buat masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharap kan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar buku ini lebih
sempurna dan dapat meningkatkan pembangunan bagi para pembaca.
Terimakasih dan semoga makalah ini memberikan manfaat positif bagi para pembaca
dan kita semua.

Lumajang, 02-03-2019

Penyusun
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan secara
keseluruhan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat
promotif (pembinaan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), kuratif
(pengobatan penyakit) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan) serta dapat berfungsi
sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan tempat untuk penelitian. Untuk itu
kami mengakat masalah ini yang bnyak terjadi pada anak yaitu DHF (Dengue
Hemorrhagic Fever). DHF merupakan penyakit yang di sebabkan oleh virus dengue
yang termasuk golongan arbovirus melalui gigitan nyamuk aides aigepti betina.
Menurut WHO beratnya DHF dikelompokkan menjadi : Grade I : demam tanpa gejala
khas, tes tourniquet positif, Grade II : derajat I + manifestasi perdarahan spontan,
Grade III : derajat II + hipotensi ( SSD ), Grade IV : derajat 3 + syok ( SSD ). Tanda
dan gejala penyakit DHF adalah: Meningkatkan suhu tubuh, Nyeri pada otot seluruh
tubuh, Suara serak, Batuk, Epistaksis, Disuria, Nafsu makan menurun, Muntah,
Petekie, Ekimosis, Perdarahan gusi, Muntah darah. Komplikasi DHF:Komplikasi
susunan saraf pusat, Infeksi ( pnemonia, sepsis, flebitis ),Overhidrasi (jumlah cairan
terlalu banyak),Ensefalopati,Gagal hati, Gagal ginjal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah penyebab dari penyakit DHF?
2. Apa sajakah klasifikasi dari penyakit DHF?
3. Bagaimana tatalaksana dari penyakit DHF?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui penyebab dari penyakit DHF
2. Untuk mengetahui klasifikasi dan tingkatan dari penyakit DHF
3. Untuk mengetahui tatalaksana dari penyakit DHF
BAB II PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT DENGUE HEMORAGIC FEVER


2.1.1 DEFINISI
Munurut A.Aziz,2013 menjelaskan bahwa data yang mungkin didapatkan pada pasien
DHF diantaranya:
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebbkan oleh virus
dengue dengan manifestsi klinis demam, nyeri otot, nyeri sendi, disertai lekopenia,
ruam, limfa denopati, trombositopenia diatesis hemoragic. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit
atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue ( dengue shock
syndrom ) adalah demam berdarah dengue yang ditndai dengan renjtan atau shock.
Dan untuk penyakit DHF sendiri merupakan penyakit yang di sebabkan oleh virus
dengue yang termasuk golongan arbovirus melalui gigitan nyamuk aides aigepti
betina. Menurut Depkes (2005) demam berdarah dengue adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dari golongan arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi
mendadak tanpa sebab yng jels berlangsung terus menerus selama 2-7 hari,
manifestasi perdarahan (peteki purpura, perdarahan konungtiva, epitaksis, perdarahan
mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematori) termasuk ui tourniquet,
rumple leed positif, trombositopeni umlah trombosit kurang dari seratus ribu,
hemokonsentrsi ( peningkatab hematokrit lebih dari 20 %.

2.1.2 ETIOLOGI
Menurut A.Aziz,2013 menjelaskan bahwa data penyebab yang mungkin didapatkan
pada pasien DHF diantaranya:
Penyebab penyakit DHF adalah virus dengue. Di Indonesia, virus tersebut
sampai sat ini telah di isolasi menjadi 4 serotipe, virus dengue yang termasuk dalam
grub B dari arthopedi borne viruses ( arboviruses ), yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang mendi penyebab terbanyak di
Thailand, dilaporkan bahw serotipe DEN-2 adalah dominan. Sementara di Indonesia
yang terutama adalah DEN-3 tetapi akhir-akhir ini dan kecenderungan dominasi
DEN-2. Infeksi oleh salah satu serotipe menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap
serotipe bersangkutan, tapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Nyamuk
aides albopictus, aides polynesiensis, dan beberapa spesies lain kurang berperan. Jenis
nyamuk ini terdapat hampir di seluruh Indonesia kecuali di ketinggian lebih dari 1000
Mdpl.
2.1.3 KLASIFIKASI
DF / Tingkatan Tanda dan gejala Hasil laboratorium
DHF
DF Demam dengan dua hal beriku: a. Leukopenia (wbc ≤5000
a. Sakit kepala sel/mm3)
b. Nyeri pada mata b. Trombositopenia (jumlah
c. Nyeri pada tulang trombosit < 150.000 sel /
d. Tidak ada kebocoran plasma mm3)
e. Ruam pada kulit c. Meningkatnya hematokrit
(5%-10%)
d. Tidak ada kebocoran plasma
DHF I Manifestasi demam dan a. Trombositopenia <100.000
hemoragik (tes tourniquet positif) sel / mm3
dan bukti kebocoran plasma b. Kenaikan HCT ≥20%
DHF II Seperti di Kelas I plus spontan a. Trombositopenia <100 000
berdarah. sel / mm3
b. HCT naik ≥20%.
DHF III Seperti di Kelas I atau II plus a. Trombositopenia <100 000
peredaran darah sel / mm3
kegagalan b. Kenaikan HCT ≥20%
(Nadi lemah, tekanan nadi sempit
(≤20 mmHg), hipotensi,
kegelisahan).
DHF IV Seperti di kelas III plus kejutan a. Trombositopenia <100 000
yang mendalam sel / mm3
dengan BP dan denyut nadi tidak b. HCT naik ≥20%.
terdeteksi
Dua kriteria klinis pertama, ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan:
Hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Kehadiran
pembesaran hati di Selain dua kriteria klinis pertama adalah sugestif DBD sebelum
timbulnya kebocoran plasma. Kehadiran efusi pleura (rontgen dada atau
ultrasonografi) adalah bukti paling objektif kebocoran plasma sementara
hipoalbuminaemia memberikan bukti pendukung. Ini sangat berguna untuk diagnosis
DBD pada pasien berikut:
1. anemia.
2. perdarahan hebat.
3. di mana tidak ada hematokrit dasar.
4. kenaikan hematokrit <20% karena terapi intravena dini.
Dalam kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan trombositopenia yang ditandai
mendukung diagnosis DSS. ESR rendah (<10 mm / jam pertama) selama goncangan
membedakan DSS dari septik syok.

2.1.4 PATOFISIOLOGI
Menurut Padila,2013 menjelaskan bahwa data perjalanan penyakit yang mungkin
didapatkan pada pasien DHF diantaranya:
Patofiologi primer pada demam berdarah dengue ( DBD ) terjadi peningkatan
darah akut permeabilitas vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma kedalam
ruang ekstra vaskuler, sehingga akan menimbulkan hemokonsentrasii dan penurunan
tekanan darah. Volume plasma menurun mencapai 20% pada kasus berat yang diikuti
efusi pleura, hemokonsentrasi dan hiporeoteinemia. Jika penderita sudah stabil dan
mulai sembuh cairan eksra vasasi di absorbsi dengan cepat dan menimbulkan
penurunan hematokrit.
Perubahan hemotastasis pada DBD dan dengue syok sindrom ( DSS) yang
akan melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vasukuler, trombositopeni, dan kelainan
koagulasi. Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh manusia virus berkembang
didalam sel etikuloendotelia yang selanjutkan diikuti dengan viremia yang
berlangsung 5-7 hari. Respon imun humoral atau selular muncul akibat dari infeksi
virus ini. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah igG dan igM, pada infksi
dengue primer antibodi mulai terbentu dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang
ada telah meningkat. Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan didalam darah
sekitar demam pada hari ke 5, meninhkat pada minggu pertama sampai minggu ke
etiga dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi igG meningkat
pada demam hari ke 14 sedngkan pada infeksi sekunder antibodi igG meningkat pada
hari kedua. Diagnosis dini pada infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi igM setelah hari ke 5, sedangkan pada infeksi sekunder dapat
ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi igG dan igM yang cepat.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang sering ditemukan pada
sebagian besar kasus demam DBD. Trombosit mulai turun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat
pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai pada 7-10 hari sejak
permulaan sakit. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. Gangguan hemostasis melibatkan
perubahan vaskuler, pemeriksaan tourniquet positif, mudah mengalami memar,
trombositopenia dn koagulopati. DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan
fibrinolisis, Disseminated Intravaskuler Coagulation ( DIC ) dapat dijumpai pada
kasus yang berat dan disertai syok dan secara potensial dapat terjadi juga pada kasus
DBD tanpa syok.
2.1.5 PATHWAYS
Nyamuk mengandung virus dengue

Menggigit manusia Masuk ke


pembuluh darah
otak melalui
Virus masuk ke aliran darah aliran darah
sehingga
mempengaruhi
viremia hipotalamus

komplemen antigen
antibodi meningkat
suhu tubuh
pelepasan peptida meningkat

pembebasan histamin

Plasma banyak
peningkatan permeabilitas mengumpul pada
dinding pembuluh darah jaringan interstitial
tubuh
kebocoran plasma

oedema
perdarahan ekstraselular

Menekan syaraf C
Resti syok
hipovolemik

Gangguan rasa
nyaman nyeri
2.1.6 MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO,2011, manifestasi klinis meliputi:
1. Demam: awitan akut, tinggi dan terus-menerus, berlangsung selama dua hingga
tujuh hari dalam banyak kasus.
2. Manifestasi hemoragik berikut termasuk tes tourniquet positif
3. (itu paling umum), petechiae, purpura (di lokasi venepuncture), ecchymosis,
epistaksis, gusi pendarahan, dan hematemesis dan / atau melena.
4. Pembesaran hati (hepatomegali) diamati pada beberapa tahap penyakit pada 90% -
98% anak-anak. Frekuensi bervariasi dengan waktu dan / atau pengamat.
5. Syok, dimanifestasikan oleh takikardia, perfusi jaringan yang buruk dengan denyut
nadi lemah dan menyempit tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi
dengan adanya kulit dingin dan lembab dan / atau kegelisahan.
Temuan laboratorium:
a. Trombositopenia (100.000 sel per mm3)
b. Hemokonsentrasi; peningkatan hematokrit ≥20% dari baseline pasien atau populasi
pada usia yang sama.

2.1.7 KOMPLIKASI
Menurut Soedarto,2012 menjelaskan bahwa data komplikasi yang mungkin
didapatkan pada pasien DHF diantaranya:
Penderita yang mengalami DHF yang tidak segera diatasi dapat mengalami
komplikasi-komplikasi sebagai berikut:
a. Komplikasi susunan saraf pusat
Komplikasi pada SSP dapat berbentuk konvulsi, kaku kuduk, perubahan
kesadaran dan paresis. Kejang-kejang kadang-kadang pada waktu fase demam
pada bayi. Keadaan ini mungkin akibat tingginya demam, karena pada
pemeriksaan cairan serebrospinal tidak terjadi kelainan.
b. Infeksi ( pnemonia, sepsis, flebitis )
Pneumonia, sepsis atau flebitis akibat pencemaran bakteri Gram-negatif pada
alat-alat yang digunakan pada waktu pengobatan, misalnya pada waktu tranfusi
atau pemberian infus.
c. Overhidrasi (jumlah cairan terlalu banyak)
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gagal
pernapasan atau gagal jantung.
d. Ensefalopati
Komplikasi neurologik ini terjadi akibat pemberian cairan hipotonik yang
berlebihan pada waktu dilakukan pengobatan terhadap DHF penderita mengalami
hiponatermia. Selain itu ensefalopati juga dapat disebabkan oleh terjadinya
koagulasi intravaskuler.
e. Gagal hati
Komplikasi yang terjadi pada penderita DHF biasanya dijupai bersamaan dengan
terjadinya ensefalopati.
f. Gagal ginjal
Gagal ginjal akut dan sindrom uremia hemolitik dapat terjadi pada penderita yang
sebelumnya telah menderita defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase
(C6PD) dan hemoglobinopati.

2.1.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Menurut padila, 2013 menjelaskan pemeriksaan diagnostik yang mungkin didapatkan
pada pasien DHF diantaranya:
Pemeriksaan diagnostik:
a. Rumple leed : dengan peteki lebih dari 10.
Dengan cara: Pasang manset pada lengan atas, Tentukan sistol dan diastol, Tahan
tekanan antara sistol dan diastol selama 5 menit, Hasil dinyatakan (+) bila terdapat
10 atau lebih petachie di bagian volar lengan dengan luas 2,5 cm x 2,5cm.
b. Darah lengkap: hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20% atau lebih)
trombositopeni (100.000/mm² atau kurang )
c. Serologi: Uji HI (hemaaglutination Inhibitor Test)
1. Bila titer antibodi kurang dari 1/20 dan titer antibodi fase konvelesen
meningkat empat kali atau lebih tetapi kurang dari 1/2560, berarti
merupakan infeksi primer.
2. Bila titer antibodi akut kurang dari 1/20 dan titer antibodi fase konvelesen
meningkat lebih besar atau sama dengan 1/2560, maka merupakan infeksi
ulangan.
3. Bila titer antibodi akut kurang dari 1/20 atau lebih sedangkan titer
antobidi fase konvelesen naik lebih dari atau sama dengan empat kali,
maka merupakan infeksi ulangan
4. Bila titer antibodi akut lebih atau sama dengan 1/1280 dan titer antibodi
fase konvelesen tetap atau naik, berarti merupakan inffeksi baru.
d. Rontgen Thorac: effusi pleura

2.1.9 PENATALAKSANAAN
Pedoman tata laksana DHF menurut WHO merekomendasikan bahwa
penggantian volume plasma dengan cairan kristaloid, lalu diikuti dengan koloid.
Meskipun rekomendasi awalnya berharga dalam memfokuskan perhatian pada
kebutuhan untuk penggantian volume, namun pedoman tersebut belum diperbaharui
sejak tahun 1975. Secara teoritis, koloid memberikan keuntungan pada pasien dengan
permeabilitas vaskuler meningkat, meskipun dalam praktik klinik belum terbukti
manfaat yang jelas. Namun sebaliknya, koloid dapat menimbulkan efek buruk pada
hemostasis yang merupakan pertimbangan penting pada pasien dengan DBD. Oleh
karena itu, beberapa studi terkini menunjukkan bahwa koloid dapat diberikan terlebih
dahulu sebelum cairan kristaloid untuk mengatasi syok.
Syok merupakan keadaan kegawatan. Pasien anak cepat mengalami syok dan
sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pasien harus dirawat dan segera
diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah, ekstremitas
dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20 mmHg)
atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau peningkatan kadar
hematokrit secara terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Cairan
resusitasi inisial pada SSD adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB secara intravena
dalam 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB
ideal dan umur; bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan
koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan cairan koloid 10-
20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada umumnya pemberian koloid tidak
melebihi 30ml/kgBB/hari atau maksimal pemberian koloid 1500ml/hari dan
sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan.22-24 Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit
turun. Pada kondisi tersebut, pikirkan adanya perdarahan internal dan dianjurkan
pemberian transfusi darah segar/ komponen sel darah merah. Apabila nilai hematokrit
tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam) yang dapat
diulang sampai 30ml/kgBB/24jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit. Pemeriksaan
hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma. Cairan harus tetap diberikan
walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan
segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/ jam dan kemudian disesuaikan tergantung
kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Jumlah urin 1ml/kgBB/jam atau
lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan
dapat dihentikan setelah 48 jam syok teratasi.
A. Pemilihan Terapi Cairan untuk Demam Berdarah
Dengue Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), akan terjadi hipervolemia yang
mengakibatkan edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat
reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi
disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
B. Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka
analisis gas darah dan kadar elektrolit sebaiknya diperiksa pada DBD berat.
Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya koagulasi intravascular
disseminata (KID), sehingga tata laksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada
umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan terjadi sebagai
akibat KID.
C. Pemberian Oksigen Terapi oksigen
2 liter per menit harus segera diberikan pada semua pasien syok karena dapat
terjadi hipoksia sistemik.
D. Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
yang diduga mengalami pendarahan internal, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada
keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui
perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis
walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya
perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan
karena cukup mengandung plasma, sel darah merah, faktor pembekuan dan
trombosit. Plasma beku segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien
dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan
menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Tanda
vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah:
1. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak.
2. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis
pasien stabil.
3. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
4. Jumlah dan frekuensi diuresis

2.1.10 PROGNOSIS
Menurut Nur Syafiqah, 2018 prognosis DHF ialah:
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.
DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.
Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi
penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada
kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya
buruk.

2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


2.2.1 Pengkajian
A.Aziz,2013 menjelaskan bahwa data pengkajian yang mungkin didapatkan pada
pasien DHF diantaranya:
A. Identitas pasien
Penderita DHF tidak mengenal jenis kelamin, degan padat penduduk dan sistem
parairan yang tidak lancar. Dan 50 % menyerang anak-anak dan sisanya menyerang
orang dewasa.
B. Keluhan utama
Keluhan yang biasanya pada pasien DHF datang ke rumah sakit adalah panas tinggi
dan pasien lemah.
C. Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak dengan disertai menggigil dan saat
demam kesadaran kompos mentis. Panas turun terjadi antara hari ke-3 dan ke-7, dan
anak semakin lemah. Kadang-kadang disertai keluhan batuk pilek, nyeri telan, mual,
muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nyeri
ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya manifestasi perdarahan
pada kulit, gusi (grade III, IV), melena atau hematemasis.
D. Riwayat penyakit terdahulu
Seseorang bisa mengalami serangan DHF dengan tipe virus yang lain.
E. Riwayat gizi
Status gizi klien yang menderita DHF dapat bervariasi. Beberapa klien dengan status
gizi baik maupun buruk dapat berisiko, apabila ada faktor predisposisinya. Klien yang
menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah,dan nafsu akan menurun.
Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai pemenuhan nutrisi yang mencukupi,
maka klien dapat mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya menjadi
kurang.
F. Kondisi lingkungan
Sering terjadi pada daerah yang padat penduduknya dan lingkumgan yang kurang
bersih (seperti yang mengenang dan gantungan baju yang di kamar).
G. Pola kebiasaan
1. Nutrisi dan metabolisme : frekuensi, jenis, pantangan, nafsu makan berkurang,
dan nafsu makan menurun.
2. Eliminasi BAB: kadang-kadang klien yang menderita DHF mengalami diare atau
konstipasi. Sementara DHF grade III-IV bisa terjadi melena.
3. Eliminasi BAK : perlu dikaji apakah sering kencing, sedikit atau banyak, sakit
atau tidak. Pada DHF grade IV sering terjadi hematuria.
4. Tidur dan istirahat : Klien sering mengalami kurang tidur karena mengalami sakit
atau nyeri otot dan persendian sehingga kualitas dan kuantitas tidur maupun
istirahatnya kurang.
5. Kebersihan : upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan
cenderung kurang terutama untuk membersihkan tempat sarang nyamuk aedes
aegypti. Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya untuk
menjaga kesehatan.
H. Pemeriksaan fisik
Meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Berdasarkan tingkatan grade DHF, keadaan fisik adalah :
1. Kesadaran : Apatis
2. Vital sign :
3. Kepala : Bentuk proporsional
4. Mata : simetris, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, mata anemis
5. Telinga : simetris, bersih tidak ada serumen, tidak ada gangguan pendengaran
6. Hidung : ada perdarahan hidung / epsitaksis
7. Mulut : mukosa mulut kering, bibir kering, dehidrasi, ada perdarahan pada rongga
mulut, terjadi perdarahan gusi.
8. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, kekakuan leher tidak ada, nyeri telan
9. Dada : Inspeksi : simetris, ada penggunaan otot bantu pernafasan. Auskultasi :
tidak ada bunyi tambahan. Perkusi : Sonor . Palpasi : taktil fremitus normal
10. Abdomen : Inspeksi : bentuk cembung, pembesaran hati (hepatomegali),
Auskultasi : bising usus 8x/menit, Perkusi : tympani, Palpasi : turgor kulit elastis,
nyeri tekan bagian atas
11. Ekstrimitas : sianosis, ptekie, echimosis, akral dingin, nyeri otot, sendi tulang
12. Genetalia : bersih tidak ada kelainan di buktikan tidak terpasang kateter
13. Sistem integument: Adanya peteki pada kulit, turgor kulit menurun, dan muncul
keringat dingin dan lembab. Kuku sianosis atau tidak.
14. Kepala dan leher : Kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena demam
(flusy), mata anemis, hidung kadang mengalami perdarahan (epistaksis) pada grade
II,III, IV. Pada mulut didapatkan bahwa mukosa mulut kering, terjadi perdarahan
gusi, dan nyeri telan. Sementara tenggorokan mengalami hyperemia pharing dan
terjadi perdarahan telingga (grade II, III, IV).
15. Dada : Bentuk simetris dan kadang-kadang sesak. Pada fhoto thorax terdapat
adanya cairan yang tertimbun pada paru sebelah kanan, (efusi pleura), rales, ronchi,
yang biasanya terdapat pada grade III dan IV.
16. Abdomen : Mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali) dan asites.
17. Ekstremitas : akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi, serta tulang.
I. Pemeriksaan penunjang:
a. Data laboratorium yang berhubungan :
Hematokrit: 55,3% (normal : 34-45%)
HB: 20 g/dl. (normal:13 – 16 g/dl)
LED: 50 mm/jam
Leukosit: 5700/uL (normal: 5000-10.000/uL)
Plt: 34.000 uL (normal: 150-400)
b. Pemeriksaan penunjang diagnostik lain.
Hasil torniket (+)

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan patologis penyakit

2.2.3 Intervensi Keperawatan


Diagnosa Keperawatan: nyeri berhubungan dengan patologis penyakit
Tujuan Intervensi Rasional
Setelah dilakukan NIC 1.
tindakan keperawatan Pain Management
selama 2 x 24 jam, 1. Lakukan pengkajian nyeri
diharapkan klien secara komprehensif
mampu: termasuk lokasi,
1) Mengontrol nyeri
karakteristik, durasi
2) Melaporkan nyeri
berkurang frekuensi, kualitas dan
3) Menyatakan rasa faktor presipitasi
nyaman setelah nyeri 2. Observasi reaksi nonverbal
berkurang dan ketidaknyamanan
4) Tanda-tanda vital 3. Gunakan teknik
dalam rentang normal komunikasi terapeutik
( tekanan darah, nadi, untuk mengetahui
pernafasan ) pengalaman nyeri pasien
4. Kaji kultur yang
mempengaruhi respon
nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri
masa lampau
6. Evaluasi bersama pasien
dan tim kesehatan lain
tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa Iampau
7. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi
nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
13. Berikan anaIgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
17. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
6. Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala
11. Mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status
O₂ Oxygen therapy
13. Monitor aliran oksigen
14. Pertahankan posisi pasien

2.2.4 Implementasi Keperawatan

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Potter and perry.2006. Menjelaskan bahwa data pengkajian yang mungkin didapatkan
pada pasien DHF diantaranya:
Evaluasi terhadap masalah nyeri dilakukan dengan menilai kemampuan dalam
merespon rangsangan nyeri diantaranya :
Hilangnya perasaan nyeri
Menurunnya intensitas nyeri
Adanya respon fisiologis yang baik
Pasien mampu melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan nyeri
DAFTAR PUSTAKA

A.Aziz Alimul Hidayat, P., 2013. Dengue Haemoragic Fever. In: Asuhan Keperawatan
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Salemba Medika.
Nursalam,2008. Pengantar Ilmu Kesehataan Anak Antar Pendidikan Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika.
Padila, 2013. Dengue Haemoragic Fever. Yogyakarta: Nuha Medika.

Esty Wahyuningsih,2014. Diagnosa Keperawatan: Diagnosis Nanda-I,Intervensi NIC,Hasil


Noc,Ed.10. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Sue Moorhead, Marion Johnson, Meridean,Maas, Elizabeth,2013,Nursing Outcomes
Classification. Elsevier
Gloria,Howard,Joanne,Cheryl,.2013. Nursing Interventions Classification. Elsevier
Potter and Perry,2006. Fundamental Of Nursing, Proses Konsep dan Praktis, Edisi 4 Vol. 2,
Jakarta
Studi kasus asuhan keperawatan pada pasien DHF Oleh ns.nyoman agus jaget raya,s.kep/
kedokteran univ udayana.

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/d5faa9aa30981a4ffd9c581127396a97
.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351449-PR-Yudi%20Elyas.pdf

Anda mungkin juga menyukai