ASKEP DHF 2A 2B Revisi Di Perbaiki Kedua
ASKEP DHF 2A 2B Revisi Di Perbaiki Kedua
Disusun oleh:
1. Chrisinta yuli (172303101003)
2. M. Rizal Ari Frandhika (172303101007)
3. Putri Ayu Lintang Sari (172303101046)
4. Aprihidaytul umu (172303101069)
Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,berkat limpah rahmat dan
petunjuk-Nya ,kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka melengkapi tugas mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Pada makalah ini kami akan membahas mengenai
Keperawatan Medikal Bedah II pada penyakit DHF yang kami susun dari berbagai sumber.
Makalah ini di buat dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami lebih jauh
tentang, “Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Kebutuhan Oksigen DHF”. Kami
menyadari bahwa makalah yang kami buat masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharap kan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar buku ini lebih
sempurna dan dapat meningkatkan pembangunan bagi para pembaca.
Terimakasih dan semoga makalah ini memberikan manfaat positif bagi para pembaca
dan kita semua.
Lumajang, 02-03-2019
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
2.1.2 ETIOLOGI
Menurut A.Aziz,2013 menjelaskan bahwa data penyebab yang mungkin didapatkan
pada pasien DHF diantaranya:
Penyebab penyakit DHF adalah virus dengue. Di Indonesia, virus tersebut
sampai sat ini telah di isolasi menjadi 4 serotipe, virus dengue yang termasuk dalam
grub B dari arthopedi borne viruses ( arboviruses ), yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang mendi penyebab terbanyak di
Thailand, dilaporkan bahw serotipe DEN-2 adalah dominan. Sementara di Indonesia
yang terutama adalah DEN-3 tetapi akhir-akhir ini dan kecenderungan dominasi
DEN-2. Infeksi oleh salah satu serotipe menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap
serotipe bersangkutan, tapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Nyamuk
aides albopictus, aides polynesiensis, dan beberapa spesies lain kurang berperan. Jenis
nyamuk ini terdapat hampir di seluruh Indonesia kecuali di ketinggian lebih dari 1000
Mdpl.
2.1.3 KLASIFIKASI
DF / Tingkatan Tanda dan gejala Hasil laboratorium
DHF
DF Demam dengan dua hal beriku: a. Leukopenia (wbc ≤5000
a. Sakit kepala sel/mm3)
b. Nyeri pada mata b. Trombositopenia (jumlah
c. Nyeri pada tulang trombosit < 150.000 sel /
d. Tidak ada kebocoran plasma mm3)
e. Ruam pada kulit c. Meningkatnya hematokrit
(5%-10%)
d. Tidak ada kebocoran plasma
DHF I Manifestasi demam dan a. Trombositopenia <100.000
hemoragik (tes tourniquet positif) sel / mm3
dan bukti kebocoran plasma b. Kenaikan HCT ≥20%
DHF II Seperti di Kelas I plus spontan a. Trombositopenia <100 000
berdarah. sel / mm3
b. HCT naik ≥20%.
DHF III Seperti di Kelas I atau II plus a. Trombositopenia <100 000
peredaran darah sel / mm3
kegagalan b. Kenaikan HCT ≥20%
(Nadi lemah, tekanan nadi sempit
(≤20 mmHg), hipotensi,
kegelisahan).
DHF IV Seperti di kelas III plus kejutan a. Trombositopenia <100 000
yang mendalam sel / mm3
dengan BP dan denyut nadi tidak b. HCT naik ≥20%.
terdeteksi
Dua kriteria klinis pertama, ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan:
Hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Kehadiran
pembesaran hati di Selain dua kriteria klinis pertama adalah sugestif DBD sebelum
timbulnya kebocoran plasma. Kehadiran efusi pleura (rontgen dada atau
ultrasonografi) adalah bukti paling objektif kebocoran plasma sementara
hipoalbuminaemia memberikan bukti pendukung. Ini sangat berguna untuk diagnosis
DBD pada pasien berikut:
1. anemia.
2. perdarahan hebat.
3. di mana tidak ada hematokrit dasar.
4. kenaikan hematokrit <20% karena terapi intravena dini.
Dalam kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan trombositopenia yang ditandai
mendukung diagnosis DSS. ESR rendah (<10 mm / jam pertama) selama goncangan
membedakan DSS dari septik syok.
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Menurut Padila,2013 menjelaskan bahwa data perjalanan penyakit yang mungkin
didapatkan pada pasien DHF diantaranya:
Patofiologi primer pada demam berdarah dengue ( DBD ) terjadi peningkatan
darah akut permeabilitas vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma kedalam
ruang ekstra vaskuler, sehingga akan menimbulkan hemokonsentrasii dan penurunan
tekanan darah. Volume plasma menurun mencapai 20% pada kasus berat yang diikuti
efusi pleura, hemokonsentrasi dan hiporeoteinemia. Jika penderita sudah stabil dan
mulai sembuh cairan eksra vasasi di absorbsi dengan cepat dan menimbulkan
penurunan hematokrit.
Perubahan hemotastasis pada DBD dan dengue syok sindrom ( DSS) yang
akan melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vasukuler, trombositopeni, dan kelainan
koagulasi. Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh manusia virus berkembang
didalam sel etikuloendotelia yang selanjutkan diikuti dengan viremia yang
berlangsung 5-7 hari. Respon imun humoral atau selular muncul akibat dari infeksi
virus ini. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah igG dan igM, pada infksi
dengue primer antibodi mulai terbentu dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang
ada telah meningkat. Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan didalam darah
sekitar demam pada hari ke 5, meninhkat pada minggu pertama sampai minggu ke
etiga dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi igG meningkat
pada demam hari ke 14 sedngkan pada infeksi sekunder antibodi igG meningkat pada
hari kedua. Diagnosis dini pada infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi igM setelah hari ke 5, sedangkan pada infeksi sekunder dapat
ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi igG dan igM yang cepat.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang sering ditemukan pada
sebagian besar kasus demam DBD. Trombosit mulai turun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat
pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai pada 7-10 hari sejak
permulaan sakit. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. Gangguan hemostasis melibatkan
perubahan vaskuler, pemeriksaan tourniquet positif, mudah mengalami memar,
trombositopenia dn koagulopati. DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan
fibrinolisis, Disseminated Intravaskuler Coagulation ( DIC ) dapat dijumpai pada
kasus yang berat dan disertai syok dan secara potensial dapat terjadi juga pada kasus
DBD tanpa syok.
2.1.5 PATHWAYS
Nyamuk mengandung virus dengue
komplemen antigen
antibodi meningkat
suhu tubuh
pelepasan peptida meningkat
pembebasan histamin
Plasma banyak
peningkatan permeabilitas mengumpul pada
dinding pembuluh darah jaringan interstitial
tubuh
kebocoran plasma
oedema
perdarahan ekstraselular
Menekan syaraf C
Resti syok
hipovolemik
Gangguan rasa
nyaman nyeri
2.1.6 MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO,2011, manifestasi klinis meliputi:
1. Demam: awitan akut, tinggi dan terus-menerus, berlangsung selama dua hingga
tujuh hari dalam banyak kasus.
2. Manifestasi hemoragik berikut termasuk tes tourniquet positif
3. (itu paling umum), petechiae, purpura (di lokasi venepuncture), ecchymosis,
epistaksis, gusi pendarahan, dan hematemesis dan / atau melena.
4. Pembesaran hati (hepatomegali) diamati pada beberapa tahap penyakit pada 90% -
98% anak-anak. Frekuensi bervariasi dengan waktu dan / atau pengamat.
5. Syok, dimanifestasikan oleh takikardia, perfusi jaringan yang buruk dengan denyut
nadi lemah dan menyempit tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi
dengan adanya kulit dingin dan lembab dan / atau kegelisahan.
Temuan laboratorium:
a. Trombositopenia (100.000 sel per mm3)
b. Hemokonsentrasi; peningkatan hematokrit ≥20% dari baseline pasien atau populasi
pada usia yang sama.
2.1.7 KOMPLIKASI
Menurut Soedarto,2012 menjelaskan bahwa data komplikasi yang mungkin
didapatkan pada pasien DHF diantaranya:
Penderita yang mengalami DHF yang tidak segera diatasi dapat mengalami
komplikasi-komplikasi sebagai berikut:
a. Komplikasi susunan saraf pusat
Komplikasi pada SSP dapat berbentuk konvulsi, kaku kuduk, perubahan
kesadaran dan paresis. Kejang-kejang kadang-kadang pada waktu fase demam
pada bayi. Keadaan ini mungkin akibat tingginya demam, karena pada
pemeriksaan cairan serebrospinal tidak terjadi kelainan.
b. Infeksi ( pnemonia, sepsis, flebitis )
Pneumonia, sepsis atau flebitis akibat pencemaran bakteri Gram-negatif pada
alat-alat yang digunakan pada waktu pengobatan, misalnya pada waktu tranfusi
atau pemberian infus.
c. Overhidrasi (jumlah cairan terlalu banyak)
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gagal
pernapasan atau gagal jantung.
d. Ensefalopati
Komplikasi neurologik ini terjadi akibat pemberian cairan hipotonik yang
berlebihan pada waktu dilakukan pengobatan terhadap DHF penderita mengalami
hiponatermia. Selain itu ensefalopati juga dapat disebabkan oleh terjadinya
koagulasi intravaskuler.
e. Gagal hati
Komplikasi yang terjadi pada penderita DHF biasanya dijupai bersamaan dengan
terjadinya ensefalopati.
f. Gagal ginjal
Gagal ginjal akut dan sindrom uremia hemolitik dapat terjadi pada penderita yang
sebelumnya telah menderita defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase
(C6PD) dan hemoglobinopati.
2.1.9 PENATALAKSANAAN
Pedoman tata laksana DHF menurut WHO merekomendasikan bahwa
penggantian volume plasma dengan cairan kristaloid, lalu diikuti dengan koloid.
Meskipun rekomendasi awalnya berharga dalam memfokuskan perhatian pada
kebutuhan untuk penggantian volume, namun pedoman tersebut belum diperbaharui
sejak tahun 1975. Secara teoritis, koloid memberikan keuntungan pada pasien dengan
permeabilitas vaskuler meningkat, meskipun dalam praktik klinik belum terbukti
manfaat yang jelas. Namun sebaliknya, koloid dapat menimbulkan efek buruk pada
hemostasis yang merupakan pertimbangan penting pada pasien dengan DBD. Oleh
karena itu, beberapa studi terkini menunjukkan bahwa koloid dapat diberikan terlebih
dahulu sebelum cairan kristaloid untuk mengatasi syok.
Syok merupakan keadaan kegawatan. Pasien anak cepat mengalami syok dan
sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pasien harus dirawat dan segera
diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah, ekstremitas
dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20 mmHg)
atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau peningkatan kadar
hematokrit secara terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Cairan
resusitasi inisial pada SSD adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB secara intravena
dalam 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB
ideal dan umur; bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan
koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan cairan koloid 10-
20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada umumnya pemberian koloid tidak
melebihi 30ml/kgBB/hari atau maksimal pemberian koloid 1500ml/hari dan
sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan.22-24 Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit
turun. Pada kondisi tersebut, pikirkan adanya perdarahan internal dan dianjurkan
pemberian transfusi darah segar/ komponen sel darah merah. Apabila nilai hematokrit
tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam) yang dapat
diulang sampai 30ml/kgBB/24jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit. Pemeriksaan
hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma. Cairan harus tetap diberikan
walaupun tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan
segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/ jam dan kemudian disesuaikan tergantung
kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Jumlah urin 1ml/kgBB/jam atau
lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan
dapat dihentikan setelah 48 jam syok teratasi.
A. Pemilihan Terapi Cairan untuk Demam Berdarah
Dengue Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), akan terjadi hipervolemia yang
mengakibatkan edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat
reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi
disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
B. Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka
analisis gas darah dan kadar elektrolit sebaiknya diperiksa pada DBD berat.
Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya koagulasi intravascular
disseminata (KID), sehingga tata laksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada
umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan terjadi sebagai
akibat KID.
C. Pemberian Oksigen Terapi oksigen
2 liter per menit harus segera diberikan pada semua pasien syok karena dapat
terjadi hipoksia sistemik.
D. Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
yang diduga mengalami pendarahan internal, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada
keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui
perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis
walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya
perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan
karena cukup mengandung plasma, sel darah merah, faktor pembekuan dan
trombosit. Plasma beku segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien
dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan
menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Tanda
vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah:
1. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak.
2. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis
pasien stabil.
3. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
4. Jumlah dan frekuensi diuresis
2.1.10 PROGNOSIS
Menurut Nur Syafiqah, 2018 prognosis DHF ialah:
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.
DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.
Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi
penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada
kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya
buruk.
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
6. Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala
11. Mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status
O₂ Oxygen therapy
13. Monitor aliran oksigen
14. Pertahankan posisi pasien
A.Aziz Alimul Hidayat, P., 2013. Dengue Haemoragic Fever. In: Asuhan Keperawatan
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Salemba Medika.
Nursalam,2008. Pengantar Ilmu Kesehataan Anak Antar Pendidikan Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika.
Padila, 2013. Dengue Haemoragic Fever. Yogyakarta: Nuha Medika.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/d5faa9aa30981a4ffd9c581127396a97
.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351449-PR-Yudi%20Elyas.pdf