Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal jantung atau biasa disebut decompensasi cordis adalah suatu keadaan
pathologis adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung terjadi akibat penyakit atau keadaan –
keadaan pathologis pada jantung itu sendiri maupun penyakit pada sistim peredaran darah
(Noer,1996).
Penyebab yang paling sering pada gagal jantung adalah Coronari Arteri deases
(CAD), hipertensi, penyakit jantung reumatik, Acut Miocard Infark( AMI), Disretmia,
Conginetal Heart Deases (penyakit jantung bawaan), bakterial endokarditis, dan anemia. Gagal
jantung dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit jantung, meskipun demikian tidak
semua penyakit jantung harus disertai dengan kegagalan jantung dalam melakukan fungsinya
sebagai pompa. Jantung yang lemah masih dapat memompakan darah dalam jumlah yang cukup
bila penderita dalam keadaan istirahat, tetapi tidak mampu lagi bila ada beban tambahan akibat
kegiatan, kehamilan, demam dan lain-lain. .
Faktor-faktor pencetus adalah infeksi pada paru-paru, anemia akut atau menahun,
tidak teratur minum obat jantung atau obat diuretic, terjadi infark jantung yang berulang,
melakukan pekerjaan berat apa lagi mendadak (lari, naik tangga), stress emosional, hipertensi
yang tidak terkontrol (Noer,1996).
Payah jantung dapat dimanifestasikan sebagai “Forward-Failure” misalnya pada
infark miocard dimana curah jantung menurun atau berkurang atau dapat bermanifestasi sebagai
“Backward-Failure”, dimana terjadi kegagalan ventrikel kanan sebagai akibat dari kegagalan
ventrikel kiri. Dalam hal ini terjadi peninggian tekanan di dalam atrium kiri dan pembendungan
vena pulmonal dengan tanda napas sesak, oedema paru dan lain-lain (Toja,1989).
Payah jantung dapat di temukan pada tingkat permulaan sampai pada tingkat yang berat.
Gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya gejala yang timbul, meskipun
klasifikasi ini tidak tepat benar akan tetapi dalam klinik sangat bermanfaat terutama dalam
menilai hasil therapi. Klasifikasi yang banyak digunakan adalah dari New York Heart
Association Classification (NYHA )1994. NYHA mengklasifikasikan, gagal jantung
Class 1 : Berupa keadaan klien dalam aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan sesak napas
atau kelelahan.

Class 2 : Penderita penyakit jantung saat istirahat tidak ada keluhan namun bila melakukan
aktifitas harian menimbulkan sesak napas dan kelelahan. Class 3 : Saat istirahat tidak ada
keluhan. Aktifitas fisik yang lebih ringan dari aktifitas sehari-hari sudah menimbulkan sesak
napas dan kelelahan. Class 4 : Penderita tidak mampu melakukan aktifitas fisik. Gejala- gejala
gagal jantung sudah nampak pada saat penderita istirahat dan setiap aktifitas fisik menambah
beratnya keluhan

B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Jantung merupakan suatu organ kompleks yang fungsi utamanya adalah memompa darah
melalui sirkulasi paru dansistemik (Ganong, 2010). Hal ini dilakukan dengan baik bila
kemampuan otot jantung untuk memompa, system katub serta pemompaan dalam keadaan baik.
Bila ditemukan ketidaknormalan pada fungsi jantung maka mempengaruhi efisiensi pemompaan
dan kemungkinan dapat menyebabkan kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi
kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrient dan oksigen secara adekuat (Udjiant,2010).
Penyakit kardiovaskuler merupakan sebab kematian terbesar pada populasi usia 65 tahun keatas
di seluruh dunia dengan jumlah kematian lebih banyak di Negara berkembang (WHO, 1995)

Penyakit kardiovakuler merupakan masalah penting pada lanjut usia, maka dengan adanya
peningkatan populasi golongan ini akan terjadi pula peningkatan penyakit kardiovaskuler.
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah utama penyebab kematian dan disabilitas
pada usia lanjut (Kannel, 1992)

Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler yang salah satunya adalah
Decompensasi Cordis masih menduduki peringkat yang cukup tinggi, ini dibuktikan data dari
WHO (World Health Organisation) yang menunjukkan bahwa insiden penyakit dengan sistem
kardiovaskuler terutama kasus gagal jantung memiliki prevalensi yang cukup tinggi yaitu sekitar
3.000 penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung dan setiap tahunnya bertambah 550
orang penderita. Data dari American Heart Association (AHA) tahun 2004 menunjukkan gagal
jantung sebagai penyebab menurunnya kualitas hidup penderita dan penyebab jumlah kematian
bertambah. Di Indonesia, data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2008 menunjukkan pasien
yang diopname dengan diagnosis gagal jantung mencapai 14.449 pasien. Sedangkan pada tahun
2005 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita gagal jantung yang pada umumnya adalah lanjut
usia. Prevalensi gagal jantung di negara berkembang masih cukup tinggi dan jumlahnya semakin
meningkat, setengah dari pasien yang terdiagnosa gagal jantung masih mempunyai harapan
hidup 5 tahun (Rahmawati dalam Harjani, 2012).
Decompensasi cordis adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami kegagalan
dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrient dan
oksigen secara adekuat (Udjianti, 2010). Decompensasi cordis adalah suatu keadaan
dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada
penurunan fungsi pompa jantung (Price, 2006).

B. Etiologi
Smeltzer and Bare (2002) menyebutkan tentang penyebab gagal jantung sebagai
berikut :
1) Kemampuan kontraktilitas yang menyebabkan kerusakan serabut otot jantung.
2) Penurunan volume sekuncup.
3) Penurunan curah jantung.
4) Aterosklerosis coroner.
5) Hipertensi sistemik atau pulmonal.
6) Peradangan dan penyakit miocardium degeneratif.
7) Penyakit jantung lain.

A. Klasifikasi Gagal Jantung


Klasifikasi gagal jantung berdasarkan abnormalitas structural jantung atau
berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional

Klasifikasi gagal jantung menurut


Klasifikasi berdasarkan gejala berkaitan
abnormalitas structural jantung. Tingkatan
dengan kapasitas fungsional Tingkatan
gagal jantung berdasarkan struktur dan
berdasarkan gejala dan aktifitas fisik
kerusakan otot jantung
Stadium A Memiliki resiko tinggi untuk
Kelas I Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. Tidak
melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik
terdapat gangguan structural atau
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
fungsional jantung, tidak terdapat tanda
palpitasi atau sesak napas.
atau gejala
Stadium B Telah terbentuk penyakit Kelas II Terdapat batasan aktifitas
struktur jantung yang berhubungan dengan ringan. Tidak terdapat keluhan saat
perkembangan gagal jantung, tidak istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
terdapat tanda atau gejala.
sesak nafas.
Kelas III Terdapat batasan aktifitas
Stadium CGagal jantung yang bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
simptomatik berhubungan dengan penyakit istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan
structural jantung yang mendasari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak
Stadium DPenyakit jantung structural
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktifitas
lanjut serta gejala gagal jantung yang
fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
sangat bermakna saat istirahat walaupun
istirahat. Keluhan meningkat saat
sudah mendapat terapi medis maksimal
melakukan aktifitas
(refrakter)

Sifat dan nyeri pada pasien dengan decompensasi cordis


1) Akut
Timbul secara mendadak dan segera lenyap bila penyebab hilang. Ditandai oleh:
nyeri seperti tertusuk benda tajam, pucat disritmia, tanda syock kardiogenik (akral
dingin dn perfusi turun)
2) Kronis
Nyeri yang terjadi berkepanjangan hingga berbulan-bulan. Penyebab sulit
dijelaskan dan gejala obyektif tidak jelas umumnya disertai dengan gangguan
kepribadian serta kemampuan fungsional
Derajat nyeri
1) Ringan: tidak menggangu ADL dan pasien dapat tidur
2) Sedang: mengganggu ADL dan pasien dapat tidur
3) Berat: mengganggu ADL dan pasien tidak dapat tidur

C. Manifestasi Klinis Gagal Jantung


1) Decompensasi cordis kanan
a. Edema periorbital, edema presakral, asietas dan hydrothorak
b. Peningkatan tekanan vena jugularis
c. Gangguan gastrointestinal
d. Hepatomegali
e. Oliguri, nokturia
f. Hiponatremia, hipokalsemia, dan hipokalemia
2) Decompensasi cordis kiri
a. Sesak napas
b. Pernapasan chynestokes
c. Batuk-batuk
d. Sianosis
e. Ronkhi basah halus di daerah basal paru-paru
f. Keadaan lemah dan cepat lelah

D. Patofisiologi
Pada decompensasi cordis kanan, karena ketidakmampuan jantung kanan mengakibatkan
penimbunan darah dalam atrium kanan, vena cava dan sirkulasi besar. Penimbunan darah
di vena hepatica menyebabkan hepatomegali dan kemudian menyebabkan terjadinya
asites. penimbunan secara sistemik selain menimbulkan edema juga meningkatkan
tekanan vena jugularis dan pelebaran vena-vena yang lainnya
Pada decompensasi cordis kiri, darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri mengalami
hambatan, sehingga atrium kiri dilatasi dan hipertropi. Aliran darah dari paru ke atrium
kiri terbendung. Akibatnya tekanan dalam vena pulminalis, kapiler paru dan arteri
pulmonalis meninggi. Bendungan terjadi juga di paru-paru yang akan mengakibatkan
edema paru, sesak waktu bekerja atau waktu istirahat
Decompensasi cordis kiri dan kanan terjadi sebagai akibat kelanjutan dari decompenasi
cordis kiri. Setelah terjadi hipertensi pulmonal terjadi penimbunan darah dalam vebtrikel
kanan, selanjutnya terjadi decompensasi cordis kanan

E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Beck (2011), pemeriksaan diagnostik antara lain:
1) Electrocardiogram (EKG)
2) Foto thorax
3) Enchocardiogram
4) Laboratorium

F. Penatalaksanaan
Tujuan:
1) Menurunkan kerja jantung
2) Meningkatkan curah jantung dann kontraktilitas miocard
3) Menrunkan retensi garam dan air
Penatalaksanaannya meliputi:
1) Tirah baring
Untuk gagal jantung kongesti tahap akut dan sulit disembuhkan
2) Pemberian diuretic
Akan menurunkan preload dan kerja jantung
3) Pemberian morphin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodiltasi perifer, menurunkan aliran
balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnoe berat.
4) Reduksi volume darah sirkulasi
Dengan metode plebotomi, yaitu suatu prosedur yang bermanfaat pada klien
dengan edema pulmonal akut karena tindakan ini dengan segera memindahkan
volume darah dari sirkulasi sentral, menurunkan aliran balik vena dan tekanan
pengisisan serta sebaliknya menciptakan masalah hemodinamik segera.
5) Terapi nitrit
Untuk vasodilatasi perifer guna menurunkan afterload
6) Terapi digitalis
Obat utama untuk meningkatkan kontraktilitas (inotropik), memperlambat
frekuensi ventrikel, peningkatan efisiensi jantung.
7) Inotropik positif
a. Dopamin
Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alpha-adrenergik, beta-
adrenergik. Memperbaiki kontraktilitas curah jantung, dilatasi pembuluh darah
renal, serebral dan pembuluh darah koroner. Pada dosis maximal 10-20 md/kg
BB akan menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan beban kera jantung.
b. Dobutamin
Merangsang hanya betha adrenergic. Dosis mirip dopamine memperbaiki isi
sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokontriksi dan tachicardi

Tindakan-tindakan medis:
1) Dukungan mekanis ventrikel kiri dengan komterpulasi balon aortic/pompa PBIA.
Berfungsi untuk meningkatkan aliran koroner, memperbaiki isi sekuncup dan
mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri.
2) Tahun 1970, dengan extracorponeal membrane oxygenation (ECMO). Alat ini
mengantikan fungsi jantung paru
G. Komplikasi
1) Asites
2) Hepatomegali
3) Edema paru
4) Hydrothoraks

H. Perubahan Fisiologis
BAB III

Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
Focus keperawatan untuk pasien gagal jantung ditujukan untuk mengobservasi
adanya tanda-tanda dan gejala kelebihan cairan paru dan tanda serta gejala sistemis.
Semua tanda yang mengarah kesana harus dicatat dan dilaporkan.
a) Pernafasan,
pada paru harus diauskultasi dengan interval sesering mungkin untuk menentukan
ada atau tidak adanya krekel dan wheezing. Krekel terjadi oleh gerakan udara
melalui cairan, dan menunjukkan terjadinya kongesti paru.Frekuensi dan
dalamnya pernafasan harus dicacat.
b) Jantung
Jantung diauskultasi mengenai adanya bunyi jantung S3 atau S4. Andanya tanda
tersebut berarti bahwa pompa tersebut tersebut mengalami kegagalan, dan pada
setiap denyutan darah yang tersisa didalam diventrikel makin banyak. Frekuensi
dan irama harus dicatat. Frekuensi yang terlalu cepat menunjukkan bahwa
ventrikel memerlukan waktu yang lebih banyak untuk pengisian,serta dapat
stagnasi darah yang terjadi di atria dan pada akhirnya juga diparu.
c) Penginderaan /tingkat kesadaran
Bila volume darah dan cairan dalam pembuluh darah meningkat, maka darah yang
beredar menjadi lebih encer dan kapasitas transport oksigen menjadi berkurang.
Otak tidak dapat bertoleransi terhadap kekurangan oksigen an pasien mmengalami
konfusi.
d) Perifer
Bagian bawah tubuh pasien harus dikaji akan adanya edema. Bila pasien duduk
tegaak maka yang diperiksa adalah kaki dan tungkai bawah bila pasien berbaring
terlentang, yang dikaji adalah sacrum dan punggung untuk melihat adanya edema.
Jari dan tnagan kadang juga mengalami edema. Pada kasus khusus gagal jantung
pasien dapat mengalami edema periorbtal diamana kelopak mata tertutup karena
bengkak. Hati diperiksa juga akan adanya hepatojugular refluks (HJR). Pasien
diminta bernafas secara normal pada saat dilakukan penekanan pada hati selama
30 sampai 60 detik. Bila distensi vena leher meningkat lebih dari 1 cm, maka tes
ini positifmenunjukkan adanya peningkatan tekanan vena.
e) Distensi vena juguler
JVD juga hrus dikaji. Ini dilakukan dengan mengangkat pasien dengan sudut
sampai 45°. Jarak antara sudut Louis dan tingginya distensi vena joguler
ditentukan. (sudut Louis adalah hubungan antara korpus sternum dengan
manubium). Jarak yang lebih dri 3 cm dikatakan tidak normal.ini hanya perkiraan
dan bukan pengukuran pasti.
f) Haluaran urin
Pasien bias mengalami oliguria (berkurangnya haluaran urin kurang dari 100 dan
400 ml/24 jam) atau anuria (haluaran kurang darii 100 ml/24jam). Maka pening
sekali mengukur haluaran sesering mungkin untuk membuat dasar pengukuran
efektivitas diuretic. Masukan dan haluaran harus dicatat dengan baik dan pasien
ditimbang setiap hari, pada saat yang saama dan pada timbangan yang sama.
B. Diagnosa
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
pervusi
3. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan
NOC
1. Frekuensi pernafasan dalam kisaran normal
2. Irama pernafasan dalam kisaran normal
3. Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
4. Tidak ada suara tambahan
NIC
1. monitor tekanan darah, nadi,suhu, dan statuss pernafasan dengan tepat
2. auskultasi tekanan darah dikedua lengan dan bandingkan.
3.

4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi pervusi


NOC
1. Tekanan parsial oksigen didarah arteri (paO2) kisaran normal
2. Tekanan parsial karbondioksida didarah arteri (paCO2)
3. Saturasi oksigen kirasan normal
4. Keseimbangan ventilasi dan perfusi kisaran normal

NIC
5. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
NOC
1. Saturasi oksigen ketika beraktivitas tidak terganggu
2. Frekuensi nadi ketika beraktivitas tidak terganggu
3. Tekanan darah sistolik ketika beraktivitas tidak terganggu
4. Tekanan darah distolik ketika beraktivita tidak terganggu
NIC

Anda mungkin juga menyukai