GENETIKA IKAN
Oleh :
2018
LATAR BELAKANG
Genetika ikan merupakan konsep dasar dari pemuliaan ikan, dengan pemahaman genetika
diharapkan mahasiwa dapat mengaplikasikannya dalam kegiatan pemuliaan komoditas perairan.
Cakupannya meliputi kegiatan genetika kuantitatif pada spesies ikan, pola pewarisan gen, peranan
program sleksi, program hibridisaisi, triploidisasi, ginogenesis dan peranan bioteknologi (program
sex reversal). Kegiatan ini mencangkup pemahaman mahasiswa mengenai :
1. Pola pewarisan gen (genetika populasi)
2. Seleksi fenotip kuantitatif
3. Program hibridisasi (eksploitasi varian genetika dominan)
4. Triploidisasi
5. Ginogenesis
6. Sex reversal
Diharapkan dengan kegiatan praktikum genetika ikan mahasiswa dapat memahami konsep dasar
dari kegiatan pemuliaan ikan untuk meningkatkan produktifitas dan kualitasi ikan baik dalam
pertumbuhan dan kenampakan.
POLA PEWARISAN GEN
(GENETIKA POPULASI)
Tujuan Praktikum
Praktikum dengan topik pola pewarisan gen ini atau mengenai genetika populasi bertujuan
untuk mempelajari dan mengetahui kosekuensi pewarisan gen berdasarkan hukum Mendel dalam
suatu populasi yang menyangkut frekuensi gen, frekuensi alel dan rasio genotif dan fenotif.
Teori Dasar
Genetika populasi merupakan genetika kuantitatif sebagai pelengkap pemecahan masalah
-masalah konstitusi genetika pada Genetika Mendel. Pengertian mengenai komposisi genetika
pada populasi dan pemindahan gen dari suatu generasi ke generasi berikutnya sangat penting
sehubungan dengan perubahan komposisi genetika pada populasi akibat seleksi alam maupun
seleksi buatan. Saat ini genetika kuantitatif membantu dalam menentukan apakah suatu populasi
mempunyai potensi untuk diseleksi atau tidah dan berapa kenaikan hasil yang dapat diharapkan
serta metode seleksi mana yang paling efisien (Suryo 1992).
Pola pewarisan gen dalam populasi berhubungan dengan frekuensi dan interaksi alel dalam
suatu populasi Mendel (Mendel Population), yaitu suatu kelompok interbreeding dari suatu
organisme yang masing-masing memiliki gene pool. Gene pool adalah jumlah dari semua alel yang
berlainan dalam populasi. Gen-gen ini mempunyai hubungan dinamis dengan alel yang lainnya
dan dengan lingkungan seperti seleksi mempunyai kecenderungan untuk mengubah frekuensi gen
yang dapat menyebabkan perubahan evolusi dalam populasi.
Hardy dan Weinberg (1908) adalah pakar matematika yang menemukan dasar-dasar yang
ada hubungannya dengan frekuensi gen di dalam populasi yang dikenal dengan prinsip equilbrium
Hardy Weinberg. Hukum tersebut menyatakan bahwa frekuensi gen akan tetap dari generasi ke
generasi seterusnya dalam populasi yang besar, keadaan populasi tersevar secara acak, tidak ada
seleksi dan migrasi. Hukum ini ternyata mengikuti model matematis dengan rumus binomium (a
+ b)n dimana memperlihatkan pemisahan dari sepasang alel tunggal (Aa) pada persilangan
monohibrid dapat digambarkan sebagai berikut :
(a + b) = (A + a)2 = 1 AA + 2 Aa + 1 aa
Penggunaan istilah frekuensi gen yang ditinjau dari aspek genetika adalah sebagai berikut
:
Definisi Frekuensi Gen :
f (A) = Jumlah dari alel-alal A
Jumlah total semua alel dalam populasi
2. Jika frekuensi gen tetap konstan , maka frekuensi genotif akan sama pada
setiap generasi dan populasi tersebut dalam keseimbangan genetis
(genetic equilibrium).
Frekuensi gen berubah karena adanya mutasi, seleksi, dan migrasi. Dalam praktikum ini
akan digunakan teknik “ peniruan “ untuk menjelaskan konsep-lonsep utama dari pada populasi
genetik, yaitu :
1). Deskripsi genetika yang lengkap dari suatu populasi dapat dilakukan dengan
mencatat satu persatu genotif yang ada dan frekuensi relatifnya.
1. Masukkan semua kancing besar warna putih (48 buah) dan hitam (16 buah) ke dalam toples
plastik
2. Masukkan juga semua kancing kecil warna putih (48 buah) dan hitam (16 buah) ke dalam
toples plastik yang lain
3. Kocok masing-masing toples plastik tersebut sehingga warnanya diasumsikan tercampur
secara merata (masing-masing toples dipegang oleh seorang mahasiswa)
4. Mahasiswa yang memegang toples berisi kancing besar menggambarkan gamet betina dan
yang memegang toples berisi kancing kecil menggambarkan gamet jantan
5. Ambil satu kancing dari masing-masing toples, apabila yang terambil warna putih maka tulis
A dan kalau yang terambil warna hitam tulis a. Hal ini diulang sampai 64 kali, dengan catatan
setiap kancing yang telah diambil dikembalikan lagi ke tempat asalnya (merupakan gene pool)
sambil terus dikocok
6. Mahasiswa lain dalam kelompoknya bertugas mencatat hasilnya ke dalam kotak Punnet yang
telah disediakan (lembar pengamatan).
Pengamatan
Lembar Pengamatan:
Praktikum 1 (Genetika Populasi)
Kelompok :………………… Hari/tgl :………………………...
Nama : 1. …………………………..
2 ………………………….
3 ………………………….
f ( A ) =…………………………………………………….
f ( a ) =……………………………………………………..
Frekuensi Gen :
f ( AA ) = ………………………………………………….
f ( Aa ) = …………………………………………………..
.f ( aa ) =…………………………………………………..
Apakah frekuensi gen yang didapatkan pada keturunannya tersebut, sesuai dengan hukum
“Hardy – Weinberg” ?
Sebutkan kondisi apa saja yang diperlukan dalam frekuensi genotip agar populasi dalam
keadaan keseimbangan genetis (“genetic equilibrium”)
Lembar Pengamatan:
Praktikum 2 Genetika Populasi)
Kelompok :………………… Hari/tgl :………………………...
Nama : 1. …………………………..
4 ………………………….
5 ………………………….
Perlakuan : p (A) = 0,75 dan q (a) = 0,25
Jantan : Kancing Besar : - Warna …………………….: A
- Warna …………………….: a
Betina : Kancing Kecil : - Warna …………………….: A
- Warna …………………….: a
Kotak Punnet :
Frekuensi Alel :
f ( A ) =…………………………………………………….
f ( a ) =……………………………………………………..
Frekuensi Gen :
f ( AA ) = ………………………………………………….
f ( Aa ) = …………………………………………………..
.f ( aa ) =…………………………………………………..
Apakah frekuensi gen yang didapatkan pada keturunannya tersebut, sesuai dengan hukum
“Hardy – Weinberg” ?
Sebutkan kondisi apa saja yang diperlukan dalam frekuensi genotip agar populasi dalam
keadaan keseimbangan genetis (“genetic equilibrium”)
SELEKSI FENOTIP KUANTITATIF
Tujuan Praktikum
Dengan menjabarkan peranan genetik kuantitatif pada suatu fenotip ikan dalam program
seleksi diharapkan mahasiswa dapat memilih benih dan induk unggul dalam budidaya ikan
Teori Dasar
Salah satu sifat fenotip kuantitatif penting dalam budidaya ikan adalah sifat pertumbuhan
yang sangat bervariasi nilainya baik di dalam suatu populasi atau dalam satu strain ikan .
Pertumbuhan ikan dapat diukur dari panjang atau berat tubuh, dimana variasi-variasi perbedaan
yang cukup besar akan memudahkan seleksi trait pertumbuhan tersebut. Variasi perbedaan trait
tersebut dapat dilihat dari koefisien variasi trait di dalam populasi ikan.
Seleksi bertujuan untuk mengumpulkan populasi dengan koefisien variasi besar pada trait
pertumbuhan. seleksi merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki produktivitas budidaya ikan
(Tave 1986). Sebagai contoh, rata-rata koefisien variasi untuk fenotip pertumbuhan calon induk
ikan Tilapia sebesar 26 % dan nilai heritabilitas (tingkat pewarisan trait) untuk induk Tilapia
sebesar 38 % (h2 = 0,38). Hal ini menunjukkan respon terhadap seleksi juga meningkat.
Apabila dalamprogram seleksi, nilai koefisien variasinya kecil atau varian genetik aditif
(VA) yang dapat dieksploitasi kecil, maka tidak memungkinkan untuk memperbaiki suatu fenotip
kuantitatif dengan seleksi. Hal ini terkait dengan kecilnya nilai heritabilitas dalam populasi
tersebut, dimana apabila h2 15 %
pengubahan VA untuk memperbaiki pertumbuhan ikan dengan program seleksi akan lebih
menyulitkan.
Peningkatan nilai h2 dapat dilakukan dengan menyeleksi berat rata-rata induk ikan
(kuantitatif trait) untuk mengetahui standar deviasi (SD) dan koefisien variasi (CV) berat rata-rata
populasi. Populasi dengan SD dan CV besar lebih memudahkan pengeksploitasian varian genetik
(termasuk VA), oleh karena jumlah perbedaan semakin besar dan tingkat pewarisannya alan lebih
besar dari 15 %.
Untuk mengetahui h2 suatu fenotip kuantitatif, dapat diprediksi dari suatu respon terhadap
seleksi dengan rumus R = S . h2 (Tave 1986)
dimana R = respon terhadap seleksi (dalam %)
S = selisih perbedaannilai trait rata-rata antara kelompok terseleksi dan
kelompok kontrol
h2 = heritabilitas (tingkat pewarisan)
Adapun nilai R diperoleh dari rumus :
(Y2 – Y1)
R = x 100 % (Falconer 1981)
Y1
Peralatan
Kegiatan praktikum ini dapat dilakukan di kolam ikan atau di tanki pemeliharaan ikan di
tempat terbuka (out door). Beberapa peralatan yang diperlukan :
(a) Bak fiberglass volume 1 m3 air sebagai wadah pemeliharaan ikan sementara
(b) Hapa dari kain nilon ukuran 2 x 1 x 1 m untuk pembesaran ikan di kolam
(c) Mistar dan timbangan untuk mengukur panjang dan berat ikan
(d) Jaring atau serok untuk menangkap ikan
(e) Alat tagging untuk penanda individu ikan
Bahan-bahan
(a) Ikan yang memiliki siklus pertumbuhan relatif cepat (mujahir atau nila)
(b) MS 222 untuk bahan anastesi ketika seleksi
(c) Pakan buatan (pelet protein 30 %) untuk memacu pertumbuhan
Cara Kerja
Dalam praktikum seleksi fenotip kuantitatif ini diperlukan kurang lebih 40 ekor calon
induk ikan Nila yang kira-kira berumur 3 – 3,5 bulan setiap 1 kolam. Kolam yang diperlukan 2
unit yang masing-masing dilengkapi dengan 1 buah hapa ukuran 2 x 1 x 1 m untuk pemeliharaan
ikan, dimana digunakan untuk kelompok ikan terseleksi dan kelompok ikan kontrol. Sirkulasi air
dipertahankan agar terjadi pergantian air untuk membuang sisa-sisa kotoran ikan dan pakan yang
tidak termakan.
Penentuan kelompok ikan yang terseleksi dan kelompok ikan kontrol dilakukan sebelum
pemeliharaan di hapa dengan mengukur panjang atau berat setiap ikan. Untuk ikan dengan ukuran
panjang atau berat yang memiliki SD (standar deviasi) atau koefisien variasi (CV) besar
dimasukkan ke dalam kelompok terseleksi dan sebaliknya untuk SD dan CV yang relatif kecil
dimasukkan dalam kelompok kontrol. Jumlah ikan pada masing-masing kelompok terseleksi dan
kontrol sebanyak 20 ekor. Setiap ikan pada kedua kelompok tersebut ditagging dengan
mengikatkan benang warna pada sirip ikan agar tidak tertukar saat pengukuran trait pertumbuhan.
Selama proses pengelompokkan ikan dan tagging dilakukan pada media yang diberi MS 222 agar
tidak menimbulkan stres pada ikan.
Selama pemeliharaan kurang lebih 1 – 1,5 bulan pada hapa di kolam, baik untuk kelompok
terseleksi dan kontrol diberikan pakan buatan dengan takaran 5 % berat biomas sebanyak 2 kali
pemberian setiap hari.
Pengamatan
Parameter yang diamati dan diukur untuk menentukan keberhasilan seleksi dapat dilihat
dari nilai R dan h2 sebagai ukuran besarnya tingkat pewarisan suatu trait (fenotip) kuantitatif.
Setelah pemeliharaan di hapa 1,5 bulan, semua ikan diambil dengan jaring atau serok pada
kedua kelompok dan diukur masing-masing panjang atau berat tubuh ikan. Nilai SD dan CV dapat
ditentukan dari rata-rata panjang atau berat tubuh ikan pada kelompok terseleksi maupun kontrol.
Dengan demikian nilai R adalad selisih rata-rata panjang atau berat ikan kelompok terseleksi dan
kelompok kontrol dibagi rata-rata panjang atau berat ikan kelompok kontrol dikali 100 %.
Sedangkan S dapat ditentukan dari selisih perbedaan nilai rata-rata panjang atau berat ikan
kelompok terseleksi dan kelompok kontrol.
Dengan demikian nilai heritabilitasnya (h 2) adalah R dibagi S (h2 = R/S) yang
menunjukkan seberapa besar tingkat pewarisan trait (fenotip) kuantitatif tersebut pada
keturunannya sebagai akibat dari efek seleksi.
EKSPLOITASI VARIAN GENETIK DOMINAN DENGAN
PROGRAM HIBRIDISASI
Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat menerapkan program hibridisasi yang
mengumpulkan varian genetik dominan apabila program seleksi induk tidak mencapai hasil yang
diharapkan karena nilai SD dan CV suatu trait relatif kecil.
Teori Dasar
Seleksi dapat mengubah nilai rata-rata fenotip kuantitatif pada populasi, karena seleksi
mampu mengeksploitasi varian genetik aditif (VA) yang merupakan fungi dari alel-alel. Varian
genetik aditif ini merupakan ukuran superioritas alel yang dimiliki induk ikan dan dapat diwariskan
seluruhnya pada keturunannya, oleh karena VA tidak dapat dirubah oleh peristiwa segregasi
ataupun pindah silang (crossing over) alel selama meiosis (Chapman 1985 ; Tave 1986. Proporsi
jumlah gen-gen autosomal dengan aksi gen aditif (VA) yang mengontrol varian fenotip kuantitatif
(VP) menentukan tingkat pewarisan trait (heritabilitas). Apabila nilai heritabilitas (h 2) lebih kecil
dari 0,15 (15 %), pengubahan VA untuk memperbaiki suatu trait yang menguntungkan dengan
prgram seleksi akan lebih menyulitkan.
Salah satu teknik genetika yang dapat dilakukan apabila nilai V A yang dieksploitasi kecil
adalah aplikasi program hibridisasi untuk menimbulkan kembali kombinasi baru pasangan alel
yang berinteraksi. Jika dalam kombinasi pasangan
alel terdapat alel dominan yang bersifat superior, alel dominan ini dapat diwariskan pada
keturunannya (eksploitasi varian genetik dominan atau V D). Eksploitasi VD pada program
hibridisasi ini akan menghasilkan strain baru yang memiliki efek heterosis (H) akan memperbaiki
suatu trait ikan.
Cara Kerja
Program hibridisasi ini dilakukan dengan cara mengawinkan secara silang induk ikan mas
strain Majalaya (berwarna hijau gelap)/ikan koi dengan induk mas strain Si Nyonya (berwarna
kuning)/ikan komet dengan teknik fertilisasi buatan pada persilangan tersebut.
Tahapan praktikum adalah sebagai berikut :
(a) Menyiapkan dan menyeleksi kematangan gonad induk ikan mas strain Majalaya jantan dan
betina sebanyak 2 pasang yang terlebih dahulu diukur panjang dan berat tubuhnya. Demikian
juga untuk dua pasang induk ikan mas strain Si Nyonya dengan perlakuan tersebut pada tanki
pemeliharaan induk.
(b) Setelah terpilih 2 pasang induk ikan mas strain Majalaya dan Si Nyonya yang matang gonad,
kemudian dilakukan injeksi dengan hormon ovaprim dosis 0,5 ml/ kg berat induk jantan atau
betina pada kedua strain tersebut.
(c) Makanan alami nauplii artemia sudah ditetaskan sebelumnya untuk stok pakan larva yang baru
menetas dan akuarium pemeliharaan larva yang dilengkapi heater dan aerator telah
dipersiapkan terlebih dahulu.
(d) Delapan jam setelah penyuntikan dengan hormon ovaprim, induk ikan jantan dan betina kedua
strain diambil dengan serok, dan dipegang induk betina dengan tangan untuk distripping
dengan pengurutan dari arah perut ke anus agar keluar telur-telurnya dan ditampung pada
cawan porselin. Sperma diambil dengan syringe yang dimasukkan ke dalam lubang urogenital
induk jantan dan dihisap sampai terambil 0,5 ml cairan sperma. Fertilisasi buatan dilakukan
dengan mencampurkan sperma ke dalam cawanporselin yang berisi telur sambil diaduk dengan
bulu ayam steril dan kemudian ditambahkan larutan Na fisiologis sedikit demi sedikit
Fertilisasi buatan tersebut dilakukan menurut program hibridisasi sebagai berikut :
Program Hibridisasi
Telur : Sperma :
Majalaya Si Nyonya
Si Nyonya Majalaya
Majalaya Majalaya
Si Nyonya Si Nyonya
Komet Koi
(e) Selanjutnya telur-telur yang telah difertilisasi dengan sperma dibilas dengan air bersih dan
diinkubasikan pada akuarium yang berbeda sesuai notasi persilangan induk secara hibrid.
Heater sebagai stabilisator suhu diaktifkan pada kisaran suhu 26 – 28 0C untuk penetasan telur.
(f) Setelah mnetas, 2 hari kemudian diberikan nauplii artemia sampai umur 15 hari. Pemeliharaan
larva di akuarium kecil tersebut diteruskan sampai umur 30 hari dengan pemberian remahan
kuning telur ayam sebagai makanannya.
(g) Pemeliharaan benih selanjutnya sampai umur 2 bulan dilakukan pada akuarium yang lebih
besar untuk masing-masing jenis persilangan hibrid tersebut dan diberikan pelet ukuran kecil
selama pemeliharaan.
Pengamatan
FR
FR atau fertilization rate adalah derajat pembuahan telur. Pengamatan derajat pembuahan
telur (FR) yang dilakukan setelah pembuahan telur pada proses hibridisasi, selesai dilakukan. Telur
yang terbuahi adalah telur yang berwarna cerah, sedangkan telur yang mati adalah telur yang
berwarna kusam. FR yang dihitung adalah telur yang terdapat dalam akuarium.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat fertilisasi telur ikan dapat
menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐏𝐨
FR (%) = x 100 %
𝐏
Keterangan :
FR : Derajat fertilisasi telur (%)
P : Jumlah telur sampel
Po : jumlah telur yang dibuahi
HR
HR atau hatching rate adalah derajat penetasan telur. Pengamatan derajat penetasan telur
dilakukan ketika embrio menetas menjadi larva. HR yang di hitung adalah telur yang menetas
dalam akuarium.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat penetasan telur ikan dapat
menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐏𝐭
HR (%) = x 100 %
𝐏𝐨
Keterangan :
HR : Derajat penetasan telur
Pt : Jumlah telur yang menetas
Po : Jumlah telur yang dibuahi
SR atau survival rate adalah derajat kelangsungan hidup ikan. Pengamatan derjat
kelangsungan hidup ikan dilakukan hanya untuk proses ginogenesis, hibridisasi, dan triploidisasi
setelah larva ikan berumur tujuh hari.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat kelangsungan hidup ikan
dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐍𝐭
SR (%) = x 100 %
𝐍𝐨
Keterangan :
SR : Kelangsungan hidup ikan selama praktikum
Nt : Jumlah ikan pada akhir praktikum
No : Jumlah ikan pada awal praktikum
Ukuran Heterosis (H) yang menunjukkan superioritas dari ekspresi alel-alel dominan pada
kombinasi persilangan antar strain induk ikan ditentukan dengan mengukur fenotip pertumbuhan
(panjang atau berat) benih hasil persilangan tersebut yang berumur kurang lebih 2 bulan. Jumlah
benih yang diukur panjangnya (mm/ekor) dan beratnya (g/ekor) pada setiap persilangan ditentukan
sebanyak 10 - 15 ekor. Rumus yang digunakan untuk menghitung heterosis (H) pada persilangan
induk adalah :
Dimana :
~ Keturunan persilangan Majalaya x Majalaya dan Si Nyonya x Si
Nyonya merupakan keturunan pembawa fenotip induk
~ Keturunan persilangan Majalaya x Si Nyonya dan Majalaya x Si
Nyonya merupakan keturunan pembawa fenotip hibrid F1
Setelah diperoleh nilai rata-rata dari fenotip hibrid F1 dan fenotip bawaan induk, kemudian
dihitung heterosis (H) keturunan hibrid F1 dengan rumus diatas.
TRIPLOIDISASI
Tujuan Praktikum
Pada akhir praktikum mahasiswa diharapkan padat menerapkan teknik manipulasi
kromosom kelamin ikan dari status diploid (2N) menjadi status triploid (3N) yang memiliki
keunggulan pertumbuhan.
Teori Dasar
Poliploidi merupakan istilah bagi spesies hewan yang mempunyai kromosom tiga set atau
lebih. Salah atu bentuk poliploid adalah triploid yang memiliki kromosom tiga set. Ikan triploid
bersifat steril, memiliki pertumbuhan yang pesat dan konversi penggunaan pakan yang baik karena
sebagian besar energi yang diperoleh dari makanan dipergunakan untuk pertumbuhan sel somatik
(Husain dkk. 1995).
Triploidisasi merupakan kromosom kelamin pada ikan yang memiliki keuntungan ditinjau
dari segi produksi budidaya (pertumbuhan relatif tinggi), mengurangi interaksi genetik dengan
ikan asli di suatu perairan (perlindungan biodiversitas ikan asli) dan mengendalikan reproduksi
tidak terkontrol pada budidaya ikan nila (Bramick dkk. 1995 dan Guo dkk. 1996).
Produksi ikan triploid (memiliki 3N kromosom kelamin) dapat dilakukan dua metoda yaitu
(1) metode interploid yaitu ikan tetraploid (4N) disilangkan dengan diploid normal (2N) dan (2)
pemberian kejutan suhu (panas atau dingin). Kejutan suhu dilakukan dengan cara mengubah suhu
medium penetasan menjadi sublethal yang peka.kejutan panas lebih mudah diterapkan dan
memberikan hasil yang lebih baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan triploidisasi
dengan kejutan panas adalah waktu awal kejutan, suhu dan lama kejutan panas (Reddy dkk. 1990).
Pada sebagian besar spesies ikan, proses pembuahannya terjadi secara eksternal sehingga
memungkinkan manipulasi kromosom kelamin khususnya fase meiosis II (triploidisasi) dan
mitosis I (tetraploidisasi).
Prinsip pemberian kejutan suhu panas dalam triploidisasi bertujuan untuk mencegah
berkurangnya jumlah kromosom telur dengan cara menahan keluarnya polar bodi kedua pada fase
meiosis II. Periode meiosis II pada perkembangan embrio ikan mas (telur yang sudah dibuahi)
adalah 3 – 5 menit setelah pembuahan pada suhu kejutan 38 – 40 0C dengan lama kejutan berkisar
2 – 2,5 menit (Hollebeq 1986). Ketika terjadi penetrasi sperma pada telur yang sudah dibuahi, pada
inti sel telur akan diperoleh dua pasang kromosom (1N dari telur dan 1N dari sperma) yang
menjadikan telur dalam status diploid (2N). Sebelum berakhirnya meiosis II tersebut, polar bodi
kedua (1N) akan keluar dari inti sel telur. Oleh karena adanya perlakuan kejutan suhu pada periode
ini, maka polar bodi kedua ini ditahan agar tidak keluar sehingga status kromosom telur menjadi
3N (triploid), dimana 1N berasal dari telur, 1N berasal dari sperma dan 1N berasal dari polar bodi
kedua (Bromage 1995). Pada Gambar 1 disajikan prinsip dasar teknik triploidisasi.
Alat dan Bahan Praktikum
Alat-alat yang digunakan :
Peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktikum troploidisasi sebagai berikut :
(a) Waterbath untuk memanaskan air sampai suhu yang dikehendaki,
(b) Thermometer untuk mengukur suhu air,
(c) Seperangkat alat hipofisasi (sentrifuse, dissecting set, pisau bedah, talenan dan jarum
suntik) untuk pemijahan dan pembuahan buatan,
(d) Kotak styrofoam dan saringan perendaman telur sebagai wadah penetasan telur,
(e) Petridish, pipet dan sendok untuk wadah sampel telur dan alat pengambil telur,
(f) Hemasitometer, mikroskop cahaya, gelas obyek dan mikrometer okuler dan obyektif untuk
pengambilan sampel darah dan pengukuran sel darah merah,
(g) Akuarium dan aerator.
Cara Kerja
Untuk mempercepat ovulasi dan spermiasi, dilakukan penyuntikan induk ikan dengan
menggunakan hormon ovaprim (gonadotropin ikan salmon) dengan dosis 0,5 ml/kg berat induk.
Pengurutan (stripping) dilakukan 8 jam setelah penyuntikan.
Pembuahan
Secara bersamaan induk jantan dan betina diurut, sperma dan telur ditampung dalam baki,
kemudian diaduk dengan bulu ayam sambil ditambahkan larutan NaCl fisiologis sebanyak 1 – 2
kali campuran telur dan sperma. Lama pengadukan campuran telur dan sperma 1 menit. Telur-
telur tersebut kemudian dibilas dengan air bersih untuk membuang sisa sperma agar tidak terjadi
pembusukan sperma pada tempat penetasan telur. Selanjutnya telur-telur dimasukkan dalam
saringan perendaman pada suhu 25 0C di akuarium penetasan.
Kejutan suhu
Kejutan suhu dilakukan 2 menit setelah pembuahan telur, dengan cara memindahkan telur
dari akuarium penetasan (suhu air 25 0C) ke dalam kotak styrofoam berisi air panas yang bersuhu
40 0C. lama kejutan suhu panas ini adalah 2 menit dan kemudian dipindahkan ke dalam akuarium
penetasan (suhu air 25 0C) sampai terlihat adanya telur-telur yang menetas.
Pemeliharaan larva
Larva-larva yang telah menetas kemudian dipindahkan dalam akuarium pemeliharaan
larva yang berukuran lebih besar. Pakan larva berupa suspensi kuning telur yang diberikan ketika
larva umur 3 sampai 15 hari. Selanjutnya diberikan tubifex dan pelet remah sampai ikan berumur
2,5 bulan.
Pengambilan sampel darah
Pengujian tingkat ploidi benih triploid dilakukan dengan metode apus darah. Metode apus
darah dipergunakan untuk menentukan ukuran sel darah merah.
Contoh darah diambil dari pembuluh darah arteri ekor yaitu dengan memotong bagian ekor
ikan. Darah langsung dihisap dengan pipet Thoma hemasitometer sampai skala 0,5 dan langsung
diencerkan dengan larutan Hayem’s sampai skala 101 (pengenceran 200 kali) dengan cara
menghisap memakai pipet thoma. Penghitungan jumlah sel darah merah dilakukan di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400 kali.
Pembuatan preparat apus darah diawali dengan menghisap sampel darah dengan pipet
thoma hemasitometer, darah ikan langsung diteteskan di gelas obyek. Darah yang telah diapus
pada gelas obyek, difiksasi dengan methanol selama 3 – 5 menit, kemudian direndam dalam
larutan Giemsa 20 % selama 45 menit. Ukuran sel darah merah ditentukan dengan penggunaan
mikrometer okuler pada mikroskop monokuler pada pembesaran 1600 kali.
Pengamatan Triploid
Untuk membedakan genotip ikan diploid (2N) dan triploid (3N), maka dilakukan pengujian
ukuran sel darah merah. Perbandingan ukuran sel darah merah (panjang, lebar, dan volume sel)
dapat memperlihatkan rasio 3N : 2N, dimana ikan triploid, rata-rata volume sel darah merahnya
dapat mencapai 1,5 kali dari ikan diploid (Sugama 1990).
Jumlah benih triploid ditentukan berdasarkan volume sel darah merah. Menurut Carman
(1990), perhitungan volume sel darah merah dilakukan dengan rumus 4/3 ab2, dimana a adalah
panjang sel darah merah dan b adalah lebar sel darah merah.
Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui, memahami dan melakukan
aplikasi genetika dalam budidaya perikanan khususnya metode ginogenesis untuk menghasilkan
induk betina yang bergalur murni melalui manipulasi kromosom.
Teori Dasar
Ginogenesis adalah proses pembentukan zigot tanpa kontribusi genetis gamet ikan jantan,
sehingga perkembangan embrio dikontrol oleh sifat-sifat induk betina (maternal heridity) (Purdom
1993). Ginogenesis memberikan manfaat besar dalam program breeding ikan. Galur-galur inbred
dapat dihasilkan dengan cara ginogenesis homosigot yang hanya memerlukan dua generasi untuk
memperoleh keturunan homosigot (galur murni).
Proses ginogenesis satu generasi identik dengan hasil 14 generasi silang dalam (inbreeding)
(Gervari dan Csanyi 1984). Dalam perkawinan sekerabat (sibmating) memerlukan waktu relatif
lama yaitu 6 generasi untuk menghasilkan galur murni. Penggunaan ikan ginogenetik merupakan
bagian dari peningkatan mutu genetik ikan melalui seleksi dan hibridisasi.
Induk awal untuk ginogenesis merupakan induk hasil seleksi yang akan digunakan sebagai
keturunan ginogenetik dalam hibridisasi, oleh karena dalam program hibridisasi memerlukan
induk murni.
Keturunan ginogenetik adalah individu betina yang homosigot dan secara identik satu sama
lainnya sama (klon-klon). Umumnya kelangsungan hidup keturunan ginogenesis rendah terutama
pada tahap larva karena adanya efek Hertwigh selama kejutan panas sehingga menumbulkan
abnormalitas dan mortalitas larva. Kelangsungan hidup embrio ikan mas (Carrasius auratus)
selama 1 – 2 minggu pemeliharaan kira-kira 50 % (Cherfas 1981). Perbaikan line-line (galur)
homosigot ini dapat dilakukan dengan cara persilangan (crossing) dua galur yang akan
menghasilkan galur baru hibrid yang akan memperbaiki kelangsungan hidup line homosigot
tersebut.
Berdasarkan teknik manipulasinnya, ada 2 macam ginogenesis yaitu (1) diploid
ginogenesis meiosis (meiogyno) dan (2) diploid ginogenesis mitosis (mitogyno).
Diploid ginogenesis meiosis adalah manipulasi penahanan keluarnya polar bodi kedua saat meiosis
II pada telur yang dibuahi sperma yang diinaktivasi dengan sinar UV (ultra violet). Pada
ginogenesis tipe ini, hasil keturunannya menjurus menjadi individu heterosigot (ada perbedaan
fenotip tertentu dengan induk). Sebaliknya diploid ginogenesis mitosis merupakan manipulasi
penahanan pembelahan sel ketika tahap telofase dan anafase setelah mitosis I pada telur yang
dibuahi sperma inaktif (diradiasi sinar UV). Perlakuan ginogenesis ini menjurus pada individu
homosigot (klon) yang memiliki sifat-sifat sama dengan induk (Purdom 1993). Umumnya
perlakuan suhu baik kejutan panas (suhu tinggi) dan kejutan dingin (suhu rendah) paling banyak
diaplikasikan dalam metode ginogenesis tersebut (Gambar 2).
Gambar 2. Skema prosedur ginogenesis (Purdom 1993)
Keberhasilan teknik ginogenesis tergantung pada rata-rata atau sumber spermatozoa yang
dilemahkan secara genetik, ketepatan perlakuan kejutan suhu setelah fertilisasi, saat awal
pemberian perlakuan kejutan suhu dan lamanya pemberian perlakuan tersebur serta pemilihan
spesies yang respon terhadap perlakuan ginogenesis.
Agar sperma tidak menyumbangkan 1 set kromosom (1 N), maka sperma harus di
inaktivasi menggunakan sinar UV (Ultra Violet) yang berfungsi merusak kromosom sperma,
namun tidak sampai mengganggu pergerakan ekor sperma, sehingga sperma masih dapat
berpenetrasi ke lubang mikropil telur, tetapi tidak menyumbangkan kromosomnya (sebagai triger
atau stimulan pembuahan telur).
Proses pembuahan telur di atas dapat berlangsung normal, apabila polar bodi kedua (PB II)
yang akan keluar ketika terjadi pemasukan sperma ke dalam lubang mikropil telur dicegah agar
tidak keluar dengan perlakuan kejutan suhu panas (heat shock), sehingga PB II telur (1 N) akan
masuk kembali ke dalam inti sel telur (1 N) yang menghasilkan gamet Diploid (2 N) dan individu
yang terbentuk dari gamet tersebut adalah Betina (Gino). Pada Gambar 1 dan 2a dan 2 b disajikan
mekanisme pembuahan telur secara normal dan secara induksi ginogenesis.
Gambar 1. Mekanisme pembuahan telur dengan sperma ikan normal (gamet
diploid / 2 N)
Ginogenesis memberikan manfaat besar dalam program breeding ikan. Galur-galur inbred
dapat dihasilkan dengan cara ginogenesis homosigot yang hanya memerlukan dua generasi untuk
memperoleh keturunan homosigot (galur murni).
Oleh karena keberhasilan ginogenesis, salah satunya terletak pada in aktivasi sperma induk
jantan agar tidak menyumbangkan kromosomnya, maka dalam praktikum ini digunakan 2 jenis
induk jantan yaitu (a) induk jantan dari ikan komet (Cyprinus carpio auratus) dan (b) induk jantan
dari ikan mas (Cyprinus carpio carpio).
Sebelum dilaksanakan perlakuan iradiasi dengan sinar UV, semua induk jantan (ikan
komet dan ikan mas) serta induk betina ikan komet disuntik terlebeih dahulu dengan hormon
Ovaprim. Dosis penyuntikan hormon Ovaprim berdasarkan masing-masing berat 5 ekor induk
betina komet. Sebagai pedoman untuk induk ikan yang beratnya 1 kg, dosis pemberian Ovaprim
yang digunakan sebanyak 0,5 ml. Atau dilakukan perhitungan praktisnya sebagai berikut :
~ diambil 0,5 ml hormon ovaprim ke dalam tube eppendorf 1,5 ml yang kemudian
diencerkan dengan menambahkan 1 ml Lar. NaCl physiologis lalu divorteks 1
menit agar homogen
~ volume campuran larutan tersebut (1,5 ml) di bagi menjadi 5, sehingga 1 kali
penyuntikan ke induk betina komet sebanyak 0,3 ml
~ oleh karena perlakuan ginogenesis memerlukan teknik pembuahan buatan,
maka diperlukan perlakuan stripping baik pada induk jantan dan betina, dalam
praktikum ini, penyuntikan ovaprim dilaksanakan rabu malam pk. 22-24.00 dan
hari kamisnya (pk 12.00) baru dilakukan stripping untuk perlakuan ginogenesis
Cara Kerja
Oleh karena keberhasilan ginogenesis, salah satunya terletak pada in aktivasi sperma induk
jantan agar tidak menyumbangkan kromosomnya, maka dalam praktikum ini digunakan 2 jenis
induk jantan yaitu (a) induk jantan dari ikan koi (Cyprinus carpio) dan (b) induk jantan dari ikan
mas (Cyprinus carpio carpio).
Sebelum dilaksanakan perlakuan iradiasi dengan sinar UV, semua induk jantan (ikan koi
dan ikan mas) serta induk betina ikan koi disuntik terlebeih dahulu dengan hormon Ovaprim. Dosis
penyuntikan hormon Ovaprim berdasarkan masing-masing berat 5 ekor induk betina koi. Sebagai
pedoman untuk induk ikan yang beratnya 1 kg, dosis pemberian Ovaprim yang digunakan
sebanyak 0,5 ml. Atau dilakukan perhitungan praktisnya sebagai berikut :
~ diambil 0,5 ml hormon ovaprim ke dalam tube eppendorf 1,5 ml yang kemudian
diencerkan dengan menambahkan 1 ml Lar. NaCl physiologis lalu divorteks 1
menit agar homogen
~ volume campuran larutan tersebut (1,5 ml) di bagi menjadi 5, sehingga 1 kali
penyuntikan ke induk betina koi sebanyak 0,3 ml
~ oleh karena perlakuan ginogenesis memerlukan teknik pembuahan buatan,
maka diperlukan perlakuan stripping baik pada induk jantan dan betina, dalam
praktikum ini, penyuntikan ovaprim dilaksanakan rabu malam pk. 22-24.00 dan
hari kamisnya (pk 12.00) baru dilakukan stripping untuk perlakuan ginogenesis
Sebelum dilakukan stripping pada induk ikan, terlebih dahulu dilakukan persiapan
penyediaan bak penetasan yang telah diisi air, disediakan saringan untuk penetasan telur,
disediakan heater untuk stabilisasi suhu air dan suplai oksigen dari blower untuk penyediaan
oksigen telur.
Demikian pula dilakukan pemeriksaan kotak radiasi beserta lampu UV (kondisi aktiv)
untuk perlakuan radiasi yangdiberikan pada sperma. Setiap petridish dilabel untuk radiasi 0,5
menit ; 1 menit ; 1,5 menit dan 2 menit serta digunakan perlakuan kontrol, yaitu sperma ikan yang
tidak diradiasi UV.
Setelah kira-kira 12 jam penyuntikan induk betina dan jantan, dilakukan terlebih dahulu
stripping pada ikan komet jantan (dan ikan mas jantan) untuk menampung milt (cairan berisi
sperma ikan) ke dalam beaker glass. Dilakukan pengenceran sperma sebanyak 100 x, caranya : ke
dalam beaker glass diisikan dulu 39 ml Lar. NaCl physiologis, kemudian ditambahkan 1 ml sperma
ikan dan sebelumnya telah diisi 10 ml NaCl physiologis.
Masing-masing petridish yang sudah dilabel diisikan sperma ikan dari beaker glass sampai
ketebalan sperma dalam petridish 1 mm, sambil digoyang-goyang perlahan, kemudian diletakkan
dalam permukaan kaca kotak radiasi dan selanjutnya ditutup lalu lampu UV dinyalakan sesuai
dengan lama perlakuan radiasi pada masing-masing label.
Dengan segera dilakukan stripping pada induk komet betina, dan telur-telurnya ditampung
dalam wadah porselen, kemudian diambil telur-telur hasil stripping diambil dengan sendok kecil
untuk ditambahkan ke masing-masing petridish untuk proses pembuahan buatan dengan waktu
fertilisasi selama 1 menit pada air bersuhu kamar Semua proses ini dilakukan secara serentak agar
dapat dilakukan kejutan suhu secara bersamaan pula.
Setelah busa styrofoam diisi air dan suhu air dipertahankan 40 0C dan saringan-saringan
plastik telah ditempatkan dalam styrofoam, maka setelah radiasi sperma, segera telur-telur dalam
petridish dipindahkan ke dalam saringan tersebut untuk perlakuan kejutan suhu 40 0C selama 2
menit untuk memperoleh gamet diploid 2 N yang semuanya individu betina.
Selanjutnya saringan plastik berisi telur-telur tersebut dipindahkan ke dalam masing-
masing bak fiber penetasan telur, dan dilakukan pengamatan kurang 1 jam untuk proses
pembelahan sel, dan berikutnya dilakukan penghitungan derajat pembuahan dan derajat penetasan
telur.
Radiasi sperma
Memasukkan masing-masing petridish ke dalam kotak radiasi tepat di bawah lampu UV selama
10 – 15 menit
Sebaiknya penyinaran ultra violet dilakukan di bagian atas dan bawah atau sampai ke bagian
samping petridish, sehingga radiasi akan lebih sempurna
Untuk sperma yang tidak diradiasi digunakan sebagai kontrol untuk menguji keberhasilan
ginogenesis dan juga dapat digunakan sperma ikan nilem untuk pengujian tersebut.
Fertilisasi
Sementara meradiasi sperma, induk betina yang telah diinjeksi 8 jam kemudian distripping dan
telur-telur yang keluar ditampung dalam cawan porselin
Telur-telur yang diperoleh tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu untuk sperma
yang diradiasi dan untuk sperma yang tidak diradiasi
Mencampurkan sperma yang diradiasi ke dalam telur kelompok I dan sperma yang tidak
diradiasi ke dalam kelompok telur II yang diaduk secara perlahan dengan bulu ayam steril dan
ditambahkan akuabides sedikit demi sedikit. Setelah itu dibilas dengan air bersih untuk
menghilangkan sperma yang tidak gagal membuahi telur sebanyak 2 kali pembilasan. Oleh
karena telur ikan mas bersifat menempel, sebaiknya dilekatkan pada slides-slides mikroskop
yang berupa lempengan kaca kecil untuk tempat melekat telur tersebut.
Dibiarkan selama 2 menit (sampai tahapan meiosis setelah pembuahan).
Kejutan panas
Memasukkan telur yang sudah dibuahi dengan sperma radiasi ke dalam saringan penetas telur
dan kemudian dipindahkan ke dalam kotak styrofoam (suhu air 40 0C)
Perendaman telur dalam styrofoam tersebut dilakukan hati-hati sampai telur terendam semua
dan lama kejutan dalam media tersebut 2 menit
Untuk kelompok kontrol tidak dilakukan kejutan panas
Pengamatan Ginogenesis
Agar memudahkan pengamatan keberhasilan ginogenesis, maka sebaiknya yang
digunakan sebagai pembanding perlakuan manipulasi ginogenesis adalah sperma ikan nilem
jantan. Ketika dilakukan fertilisasi antara telur ikan mas dengan sperma nilem jantan, maka apabila
telur berhasil dibuahi oleh sperma tersebut akan terbentuk zigot yang semuanya indivudu betina
sebagai hasil keturunan ginogenetik.
Khususnya pada ikan mas, maka sebaiknya yang dipilih sebagai induk betina adalah strain
Majalaya (warna hijau kehitaman) yang dominan terhadap warna kuning (strain Si Nyonya sebagai
induk jantan) apabila disilangkan. Dengan demikian apabila terjadi ginogenesis pada kedua strain
ikan mas tersebut, maka keturunannya akan berwarna hijau kehitaman (efek dominansi warna) dan
genotipnya betina seperti induknya.
Beberapa pengamatan yang akan dilakukan meliputi derajat pembuahan, derajat penetasan,
derajat kelangsungan hidup dan persentase ikan ginogenetik dengan rumus seperti di bawah.
Jumlah telur yang dibuahi
Derajat pembuahan = x 100 %
Jumlah telur awal
Untuk pengamatan ikan ginogenetik dapat dilakukan setelah warna pada benih ikan yang
dipelihara muncul (kira-kira berumur 1 bulan), sehingga untuk benih ikan mas keturunan
ginogenetik harus berwarna hijau kehitaman sebagai cerminan pewarisan induk ikan mas betina
dari strain Majalaya (oleh karena dominan terhadap warna kuning dari induk ikan mas jantan dari
strain Si Nyonya).
Stripping
Petridish masuk
Kotak Radiasi
1 2 3 4 5 6 7 8
1 mm
ketebalan sperma
Radiasi sperma dengan sinar UV
Kelas A :
1 = radiasi 0,5 menit
2 = radiasi 1 menit
3 = radiasi 1,5 menit
4 = radiasi 2 menit
sisi
Kelas B :
5 = radiasi 0,5 menit sinar Ultra Violet
6 = radiasi 1 menit
7 = radiasi 1,5 menit
8 = radiasi 2 menit
Fertilisasi Buatan Berurutan sesuai dengan
selesainya radiasi sperma dan inkubasi 1 menit pada air 26 0C
♀ Komet
stripping
sperma radiasi 0,5 menit
sperma + telur diaduk
♀ sperma radasi 1 menit
saringan
busa styrofoam
(diisi air suhu 40 0C)
Heater
STABILISASI SUHU AIR DLM Bak Fiber
Sex reversal merupakan teknik mengarahkan atau membalikan kelamin, merubah fenotip
ikan tanpa mengubah genotipnya. Ada dua jenis pengarahan jenis kelamin ikan yaitu maskulinisasi
dengan mengunakan hormon astrogen salah satunya 17α-Metiltestosteron dan feminisasi dengan
mengunakan hormon estrogen salah satunya 16β-Estradiol. Dalam praktikum kali ini kita
melakukan proses maskulinisasi dengan tujuan membentuk ikan nilem jantan fungsional, kenapa
disebut fungsional karena ikan ini adalah ikan betina dengan kromosom XX yang kita arahkan
perkembangan organ reproduksi primernya (gonad) ke arah jantan, secara genotip ikan jenis ini
memiliki kromosom XX betina tetapi secara fenotip ikan ini menghasilkan sperma pada gonadnya,
maka dari itu ikan jenis ini disebut dengan ikan jantan fungsional. Ikan jenis ini bila di kawinkan
dengan ikan nilem normal akan menghasilkan mayoritas populasi ikan nilem betina, atau yang
sekarang lebih kita kenal dengan nama nilem padjadjaran (GFO)
Prosedur praktikum
a. Persiapan alat praktikum
- Akuarium percobaan dicuci bersih
- Pastikan instalasi aerasi berfungsi dengan baik
b. Perendaman embrio ikan nilem Dengan Hormon MT
- Akuarium diisi air sebanyak 5 liter
- Lakukan penimbangan hormon MT sesuai perlakuan
- Pengamatan embrio ikan nilem hingga memasuki fase bitnik mata (organogenesis)
- Larutkan hormon MT yang sudah ditimbang dengan alkohol 70% sebanyak 1 ml pada botol
vial
- Masukan Hormon MT yang sudah dilarutkan dengan alkohol ke akuarium percobaan,
kemudian di arasi selama 30 menit
- Masukan ikan uji, yaitu embrio ikan nilm (fase bitnik mata) sebanyak 200 ekor dengan
kepadatan 10 ekor/L air pada akuarium berisi air yang mengandung hormon MT, lakukan
perendaman embrio selama 12 jam (hingga menetas).
- Perendaman selesai, volum air pada aquarium di tambah hingga 20 L..
c. Pemeliharaan Larva Ikan Nilem
- Larva ikan nilem diberi pakan berhormon setiap hari secara setiation (ketersediaan pakan
secara berkala dengan jumlah yang sesuai ) dengan frekunsi pemberian pakan 3 kali sehari
selama 4 minggu.
- Di minggu selanjutnya pakan diberikan secara restricted feed (pemberian pakan berdasarkan
biomasa) sebesar 30%.
- Lakukan pemeliharaan kualitas air pada akuarium percobaan
Prosedur pengamatan
FR
FR atau fertilization rate adalah derajat pembuahan telur. Pengamatan derajat pembuahan
telur (FR) yang dilakukan setelah pembuahan telur pada proses hibridisasi, selesai dilakukan. Telur
yang terbuahi adalah telur yang berwarna cerah, sedangkan telur yang mati adalah telur yang
berwarna kusam. FR yang dihitung adalah telur yang terdapat dalam akuarium.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat fertilisasi telur ikan dapat
menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐏𝐨
FR (%) = x 100 %
𝐏
Keterangan :
FR : Derajat fertilisasi telur (%)
P : Jumlah telur sampel
Po : jumlah telur yang dibuahi
HR
HR atau hatching rate adalah derajat penetasan telur. Pengamatan derajat penetasan telur
dilakukan ketika embrio menetas menjadi larva. HR yang di hitung adalah telur yang menetas
dalam akuarium.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat penetasan telur ikan dapat
menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐏𝐭
HR (%) = x 100 %
𝐏𝐨
Keterangan :
HR : Derajat penetasan telur
Pt : Jumlah telur yang menetas
Po : Jumlah telur yang dibuahi
SR atau survival rate adalah derajat kelangsungan hidup ikan. Pengamatan derjat
kelangsungan hidup ikan dilakukan hanya untuk proses ginogenesis, hibridisasi, dan triploidisasi
setelah larva ikan berumur tujuh hari.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat kelangsungan hidup ikan
dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐍𝐭
SR (%) = x 100 %
𝐍𝐨
Keterangan :
SR : Kelangsungan hidup ikan selama praktikum
Nt : Jumlah ikan pada akhir praktikum
No : Jumlah ikan pada awal praktikum
Pengamatan embryogenesis
Waktu Fase Gambar keterangan
Selama pemeliharaan ikan diberi pakan secara satiasi yaitu pemberian secara berkala dengan
jumlah yang sama dalam satu hari ikan di beri makan sebanyak 3 kali, pagi, siang dan sore. Ikan
di beri pakan tepung kuning telur berhormon ketika fase larva yaitu 7 hari setelah yolksak habis.
Tepung kuning telur terlebih dahulu dilumatkan pada mangkok dengan mengunakan kurang lebih
satu sendok air kemudian di berikan kepada ikan . selanjutnya ikan di beri pakan berhormon selama
3 minggu. Untuk pemeliharaan selanjutnya ikan di beri pakan komersil tanpa homron yang
disediakan asisten. Untuk hari libur lab hanya di buka dari jam 9-10 pagi, 1-2 siang, 4-5 sore. Sisa
pakan di simpan di dalam kulkas.
Catatan :
PROSES PEMBUAHAN
Campurkan sperma dengan telur untuk setiap petridisch dan aduk
secara merata dengan cara menggoyangkan petridisch ± 60 detik
pada air dengan suhu 26 0 C
Bramick, U., B. Puckhaber, H.J. Langholz dan G.B. Schwarh. 1995. Testing of Triploid Tilapia
(Oreochromis niloticus) Under Tropical Pond Conditions. Aquaculture, 137 : 343-353.
Bromage, R.N. 1995. Broodstock Management and Larval Quality. University Press, Cambridge. 450 hlm.
Carman, O. 1990. Ploidy Manipulation in Some Warm Water Fish. Thesis. Tokyo University. Japan. 90
hlm.
Chapman, A.B. 1985. General and Quantitative Genetics. Elsevier Science Publishers B.V. Amsterdam-
New York. Tokyo. 401 hlm.
Cherfas, N.B. 1981. Gynogenesis in Fishes. Dalam : Kirpichnikov (Ed.). Genetics Bases of Fish Selection.
Springer-Verlag. Berlin. Hlm, 225-273.
Falconer, D.S. 1981. Introduction to Quantitative Genetics. Second Edition. Longman Group. London. 340
hlm.
Gervari, R. dan V. Csanyi. 1984. Investigation on carp (Cyprinus carpio L.), Gynogenesis. J. Fish Biol., 13
: 215-224.
Guo, X., G.A. DeBosse dan S.K. Allen. 1996. All-triploid Pacific Oyster (Crassostrea gigas) Production
by Mating Tetraploid and Diploid. Aquaculture, 142: 149-161.
Hollebeq, M.G. 1986. Diploid Gynogenesis Induced by Heat Shock After Activation with Uv-Irradiated
Sperm in Common carp. Aquaculture, 54 : 69-76.
Hussain, M.G., D.J. Penman, B.J. McAndrew dan R. Johnstone. 1995. Supression of First Cleavage in the
Nile Tilapia, Oreochromis niloticus L. A Comparison of the Relative Effectiveness od Pressure
and Heat Shock. Aquaculture, 111 :263-270.
Purdom, C.E. 1993. Genetics and Fish Breeding. Chapman & Hall Ltd., New York, Tokyo, Meulbourne.
271 hlm.
Reddy, P.V.G.K, G.V. Kowtal dan M.S. Tantia. 1990. Preliminary Observation on Induced Polyploidy in
Indian Major Carps, Labeo rohita (Ham.) and Catla catla (Ham.). Aquaculture, 87 : 279-287.
Sugama, K. 1990. The Induction of Triploidy in Red Sea Bream Pagrus major. Using Heat Shock
Treatment. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 6 (1) : 3-19.
Suryo. 1992. Genetic strata I. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta. 344 hlm.
Tave, D. 1986. Genetics for Fish Hatchery Manager. Second edition. New York. 415 hlm.
Woynarovich dan Horvath. 1985. The Artificial Propagation on Warm Water Finfishes. A Manual for
Extention. FAO. Rome. 57 hlm.