Anda di halaman 1dari 3

1.

Pengukuran Intelegensi
Untuk mengetahui tingkat intelegensi seseorang tidak bisa hanya dengan
berdasarkan perkiraan melalui pengamatan, akan tetapi harus menggunakan alat khusus
yang dinamakan tes intelegensi atau IQ (Intelligence Quotient). Bagi masyarakat umum,
istilah IQ sering kali disamakan dengan inteligensi, padahal keduanya sangatlah berbeda.
Inteligensi adalah kemampuan umum sesungguhnya yang dimiliki seseorang, dan
sedangkan IQ adalah suatu indeks tingkat relatif inteligensi seseorang, setelah
dibandingkan dengan orang lain yang seusia dengannya.
Dengan demikian, IQ pada dasarnya hanyalah sebuah ukuran tingkat kecerdasan
namun bukan kecerdasan yang sesungguhnya. Adapun ukuran-ukuran yang biasanya
digunakan untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang adalah sebagai berikut :
IQ Tafsiran
140 - Berbakat
120 – 140 Sangat suoerior
110 – 120 Superior
90 – 110 Normal ; Rata-rata
70 – 90 Normal yang tumpul
50 – 70 Moron
20 – 50 Imbesil
0 – 20 Idiot
Menurut Anastasi dan Urbina (1997), tes IQ hendaknya dipandang sebagai
konsep deskriptif bukan sebagai eksplanatif. Suatu IQ adalah suatu pernyataan mengenai
tingkat kemampuan seseorang yang ditafsir dengan menggunakan skala tertentu, pada
suatu saat dan dalam hubungannya dengan norma usia yang tersedia. Oleh karena itu,
skala yang berbeda dan dikenakan pada saat yang berbeda pula dapat menyatakan IQ
yang berbeda untuk seseorang.
Tes IQ memiliki bentuk tes yang berbeda-beda. Beberapa tes menggunakan tipe
item tunggal, contohnya Peabody Picture Vocabulary Test (diperuntukkan bagi anak-
anak) dan Raven Progressive Matrices (tes non verbal yang membutuhkan penalaran
imduktif mengenai pola perseptual). Adapun bentuk tes lain dengan menggunakan tipe
item yang bervariasi, verbal maupun non verbal untuk mengukur inteligensi umum.
Awalnya, skor IQ diperoleh dari membagi umur mental atau mental age (MA)
dengan umur sebenarnya atau chronological age (CA), kemudian dikalikan dengan angka
100. Rumusnya sebagai berikut :
MA
IQ = × 100
CA

Akan tetapi, prosedur semacam ini tidak lagi digunakan. Perhitungan IQ kini
diperoleh melalui perhitungan deviasi standar (deviasi standar adalah pengukuran
penyebaran distribusi skor).
Menurut Suryabrata (2002), perkembangan tes inteligensi melewati 4 fase, yaitu :
fase persiapan yang merupakan fase dimana para ahli sedang berusaha mendapatkan tes
intelegensi itu (berlangsung hingga tahun 1915). Fase kedua yakni fase naïf, fase dimana
orang menggunakan tes inteligensi tanpa kritik. Fase ini berlangsung dari kira-kira tahun
1915 hingga tahun 1935. Pada fase ini, kegiatan para ahli adalah penggunaan tes
inteligensi yang telah berhasil disusun dalam berbagai bidang kehidupan. Fase ketiga
yakni fase mencari tes yang bebas dari pengaruh kebudayaan yang berlangsung sejak
tahun 1935 hingga tahun 1950. Pada fase ini, para ahli berupaya mencari bentuk tes
inteligensi yang tidak dipengaruhi oleh pengaruh kebudayaan. Namun usaha tersebut
terus menerus mengalami kegagalan, karena hasil tes inteligensi itu sendiri sebenarnya
adalah hasil kebudayaan. Jadi tidak mungkin bebas dari pengaruh budaya. Fase terakhir
yakni fase kritis dimana orang menggunakan tes inteligensi dengan menggunakan sikap
kritis. Artinya, para ahli mengakui bahwa tes inteligensi adalah alat yang sangat berguna.
Akan tetapi tetap saja memiliki kelemahan-kelemahan. Diantara kelemahan-kelemahan
tes inteligensi itu adalah bahwa tes inteligensi itu :
a) Tergantung kepada kebudayaan
b) Hanya cocok untuk jenis tingkah laku tertentu
c) Hanya cocok untuk tipe kepribadian tertentu
d) Inteligensi seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keturunan
e) Inteligensi seseorang tidak bersifat konstan
f) Penggolongan inteligensi seseorang bukanlah harga mati, serta
g) Mengandung kekeliruan-kekeliruan
Karena kelemahan-kelemahan tersebut, menurut Muhibbin Syah (2005) ialah
kebenaran hasil tes IQ tidak dapat dipercayai secara penuh karena dua alasan pokok.
Yang pertama, kemungkinan hasil yang diperoleh dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
pada saat tes dilakukan, seperti kesehatan, motivasi dan alat tes yang digunakan saat itu.
Kedua, karena perkembangan kemampuan anak yang berbeda-beda menyebabkan
sebagian anak mungkin belum mampu untuk menyelesaikan tes yang diberikan sehingga
hasil yang dicapai kurang memuaskan.
2. Teori Inteligensi
Ada banyak teori tentang inteligensi yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa
diantaranya adalah teori General Intelligence dari Spearman, teori inteligensi dari Cattell,
teori Structure of Intellect dari Guilford, teori Multiple Intelligence dari Gardner dan
Thiarhic Theory of Intelligence dari Sternberg.
a) Teori General Intelligence dari Spearman
Menurut Spearman, inteligensi adalah kemampuan umum yang terutama berkaitn
dengan induksi hubungan atau saling hubungan. Spearman (dalam Wagilto,
1997), membagi kandungan inteligensi menjadi dua macam dua macam faktor
yaitu general ability dan specific ability. Karenanya, teori dari Spearman ini
dinamakan teori dua faktor. Namun, menurut Spearman faktor general atau faktor
g yaitu faktor umum yang mewakili berbagai tes inteligensi, lebih penting
daripada faktor spesifik.
b) Teori Inteligensi dari Cattell
Raymond B. Cattell (dalam Sukadji, 1998) menyarankan teori yang banyak
memengaruhi teori struktur inteligensi. Ada dua macam unsur kecerdasan umum,
yaitu inteligensi yang fluid dan yang kristal. Inteligensi yang fluid sebagian besar
berbentuk non verbal dan bentuk mental yang efisiennya relative sempit sebab
menyesuaikan dengan tuntutan budaya. Sebaliknya, bentuk inteligensi yang
kristal merupakan bentuk yang sudah dipelajari menggunakan inteligensi fluid
dalam budaya tertentu.
c) Teori Structure of Intellect dari Guilford
Guilford memusatkan perhatian pada faktor yang spesifik (seperti ingatan,
pemahaman verbal atau kemahiran bekerja menggunakan angka-angka). Guilford
(dalam Sukadji, 1998) menyarankan bangunan perpaduan berbagai unsur
kecerdasan dalam bentuk kubus matriks yang dinamakan Structure of Intellect
(SOI).
d) Teori Multiple Intelligence dari Ghardner
Dipengaruhi oleh Guilford, Gardner (dalam Eggent dan Kauchak, 1997)
menyimpulkan bahwa kebanyakan konsepsi inteligensi terlalu sempit. Menurut
Gardner, inteligensi manusia memiliki sepuluh dimensi yaitu :
 Linguistic intelligence
 Logical-mathematical intelligence
 Musical intelligence
 Spatial intelligence
 Bodily-kinesthetic intelligence
 Intrapersonal intelligence
 Interpersonal intelligence
 Naturalis intelligence
 Spiritual intelligence
 Existensial intelligence
e) Tiarchic Theory of Intelligence dari Stenberg
Stenberg memandang inteligensi menusia dapat dipisahkan kedalam proses-
proses komponen yang memengaruhi cara individu berpikir dan memecahkan
masalah. Teori ini terdiri dari tiga bagian, yakni komponen-komponen
pemrosesan, komponen-komponen kontekstual dan komponen-komponen
pengalaman. Perilaku inteligen memiliki dua karakteristik yakni kemampuan
untuk menghadapi pengalaman baru secara efektif dan kemampuan untuk
memecahkan masalah secara efisien dan otomatis.
3. Perkembangan Inteligensi

Anda mungkin juga menyukai