Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

PERDARAHAN PASCA PERSALINAN

Disusun Oleh :

Sasya Sharfina Assaf

1102014239

Pembimbing :

dr. Fredrico Patria, Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI

RS BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2019
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan pasca persalinan masih menjadi penyebab utama kematian pada ibu hamil
terutama di negara-negara berkembang. Beberapa gejala penyerta dari perdarahan pasca
persalinan termasuk penngkatan detak jantung, penurunan tekanan darah, dan rasa nyeri di
vagina.
PPP umumnya dikarenakan terbukanya pembuluh darah pada rahim di mana plasenta
melekat di dinding rahim ketika hamil. Selain itu, darah juga dapat keluar dari robekan jalan
lahir yang terjadi
Perdarahan pascapersalinan (PPP) adalah perdarahan masif yang berasal dari tempat
implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya sebanyak ≥ 500 ml yang
didapat setelah persalinan pervaginam atau ≥ 1000 ml setelah persalinan per abdominal (sectio
caesaria).1
PPP bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausalnya.
Misalnya PPP karena atonia uteri, PPP oleh karena robekan jalan lahir, PPP oleh karena sisa
plasenta, atau oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahan pada PPP bisa banyak,
bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit demi sedikit tanpa
henti. Sebagai patokan, setelah persalinan selesai maka keadaan disebut “aman” bila kesadaran
dan tanda vital ibu baik, kontraksi uterus baik, dan tidak ada perdarahan aktif atau merembes
dari vagina.2
Pada awalnya wanita hamil yang normotensi akan menunjukkan kenaikan tekanan
darah sebagai respons terhadap kehilangan darah yang terjadi dan pada wanita hamil dengan
hipertensi bisa ditemukan normotensi setelah perdarahan. Pada wanita hamil dengan eklampsia
akan sangat peka terhadap PPP, karena sebelumnya telah terjadi deficit cairan intravaskular
dan ada penumpukan cairan ekstravaskular, sehingga perdarahan yang sedikit saja akan cepat
mempengaruhi hemodinamika ibu dan perlu penanganan segera sebelum terjadinya tanda –
tanda syok.2

1
BAB II
PERDARAHAN PASCA PERSALINAN

2.1. DEFINISI
Perdarahan pascapersalinan (PPP) adalah perdarahan masif yang berasal dari tempat
implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya sebanyak ≥ 500 ml yang
didapat setelah persalinan pervaginam atau ≥ 1000 ml setelah persalinan per abdominal (sectio
caesaria). Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apabila telah
menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat
dingin, sesak napas, serta tekanan darah < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan
harus segera dilakukan.1
Berdasarkan waktu kejadian, perdarahan pascapersalinan dapat dibagi menjadi tipe
dini/primer, yakni terjadi pada 24 jam pascapersalinan dan tipe lambat/sekunder, yakni terjadi
pasca 24 jam sampai dengan 42 hari setelah persalinan. Bila PPP tidak mendapat penanganan
yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan.1

2.2. EPIDEMIOLOGI
PPP merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil
ektopik dan abortus. Penyebab PPP amat bervariasi di berbagai belahan dunia karena
dipengaruhi multifaktorial. Beberapa faktor yang memengaruhi dapat berupa faktor klinis
bahkan nonklinis. Secara keseluruhan 4-6 % persalinan akan diikuti perdarahan
pascapersalinan. PPP yang dapat menyebabkan kematian ibu 45 % terjadi pada 24 jam pertama
setelah bayi lahir, 68 – 73 % dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82 – 88 % dalam dua
minggu setelah bayi lahir.2
Anemia dalam kehamilan yang masih tinggi di Indonesia (46 %) serta fasilitas transfusi
darah yang masih terbatas menyebabkan PPP akan mengganggu penyembuhan pada masa
nifas, proses involusi, dan laktasi.1

2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Berdasarkan saat terjadinya PPP dapat dibagi menjadi PPP primer, yang terjadi dalam
24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir, dan
sisa sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri, PPP sekunder yang
terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.1
Jumlah pendarahan yang diperkirakan terjadi sering hanya 50% dari jumlah darah yang
hilang. Pendarahan yang aktif dan merembes terus dalam waktu lama saat melakukan prosedur
tindakan juga bisa menyebabkan PPP. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb dan

2
hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan yang terjadi saat persalinan dibandingkan
dengan keadaan prapersalinan.1
Terdapat 4 penyebab utama terjadinya PPP, yaitu: 4 T: Tone, Tissue, Trauma,
Thrombin.1,2
1. Tone
Yaitu terjadi karena lemahnya kontraksi (hipotoni) bahkan hilangnya kontraksi (atonia)
uterus pascapersalinan.
 Akibat anestesi
 Distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidramnion)
 Partus lama, partus kasep. Partus presipitatus/partus terlalu cepat
 Persalinan karena induksi oksitosin
 Multiparitas
 Korioamnionitis
 Pernah atonia sebelumnya
2. Tissue
Yaitu adanya jaringan plasenta yang tertinggal sebagian maupun seluruhnya (retensio
plasenta) di dalam uterus.
 Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
 Plasenta sesunturiata
 Plasenta aktera, inkreta, perkreta
3. Trauma
Yaitu karena adanya perlukaan jalan lahir mulai dari perineum, vagina, serviks
(laserasi), sampai dengan robeknya dinding uterus (ruptur uteri).
 Episiotomi yang melebar
 Robekan pada perineum, vegina, dan serviks
 Ruptur uteri
4. Thrombin
Yaitu adanya gangguan hemostasis (koagulasi) yang dapat terjadi sejak sebelum
persalinan maupun setelahnya.
 Jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan di atas, misalnya pada kasus
trombofilia, sindroma HELLP, preeklampsia, solusio plasenta, kematian janin
dalam kandungan, dan amboli air ketuban.

Prediksi terjadinya PPP dapat diketahui karena adanya faktor risiko yang diketahui
sebelumnya. Faktor risiko yang dimaksud yang dapat dikenali bersifat klinis dan terbagi
menjadi dua, yaitu:2

Tabel 1. Faktor Resiko Perdarahan Pasca Persalinan

3
2.4. PATOGENESIS
Ketika kehamilan memasuki akhir bulan, aliran darah yang mengalir melalui low-
resistance placental bed uterus dapat mencapai sekitar 500-800 ml/menit. Pembuluh darah
yang menyuplai aliran darah ke placental bed melewati sela-sela serabut miometrium yang
berbentuk anyaman. Kontraksi miometrium setelah terjadi persalinan akan diikuti retraksi
miometrium. Retraksi miometrium merupakan karakteristik unik otot polos uterus yang
ditandai dengan ukuran serabut otot yang lebih pendek dari panjang semula setelah terjadi
kontraksi. Pembuluh darah yang terletak di antara serabut miometrium akan terjepit dan
terbuntu saat terjadi kontraksi dan retraksi sehingga aliran darah terhenti. Susunan serabut
miometrium yang berbentuk anyaman uterus ini disebut the living ligatures atau physiologic
sutures.2
Mekanisme penghentian perdarahan pascapersalinan berbeda dengan tempat lain yang
peran faktor vasospasme dan pembekuan darah sangat penting, pada perdarahan
pascapersalinan, penghentian perdarahan pada bekas implantasi plasenta terutama karena
adanya kontraksi dan retraksi miometrium sehingga menyempitkan dan membuntu lumen
pembuluh darah. Adanya sisa plasenta atau bekuan darah dalam jumlah yang banyak dapat
mengganggu efektivitas kontraksi dan retraksi miometrium sehingga dapat menyebabkan
perdarahan tidak berhenti. Kontraksi dan retraksi miometrium yang kurang baik dapat
mengakibatkan perdarahan walaupun sistem pembekuan darahnya normal, sebaliknya
walaupun sistem pembekuan darah abnormal asalkan kontraksi dan retraksi miometrium baik,
maka dapat menghentikan perdarahan.2

2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan tanda-tanda yang terjadi sesuai
dengan jumlah perdarahan. Perdarahan pascapersalinan biasanya tampak jelas, karena
perdarahan mengalir keluar dari vagina. Pengecualian lain adalah jika didapatkan perdarahan
dalam rahim yang tidak terdeteksi atau ruptura uteri dengan perdarahan intra peritoneal. Karena
penyebab perdarahan pascapersalinan tersering adalah atonia uteri, maka penting untuk
melakukan palpasi/masase uterus sesaat setelah melahirkan. Adanya uterus yang lembek,
kenyal, serta pada saat pemeriksaan dalam/bimanual dan keluarnya bekuan darah/darah dalam
jumlah cukup banyak dari vagina menujukkan adanya atonia uteri.2
Adanya perdarahan yang menetap meskipun didapatkan uterus yang berkontraksi
dengan kuat dan keras menunjukkan kemungkinan adanya laserasi jalan lahir. Untuk
memastikan adanya laserasi jalan lahir, harus dilakukan pemeriksaan vagina, serviks, dan
uterus dengan cermat. Terkadang perdarahan dapat disebabkan oleh atonia uteri dan trauma
jalan lahir, umumnya setelah persalinan dengan forceps atau vaccum. Penting pada kondisi ini
untuk selalu rutin melakukan pemeriksaan jalan lahir dan serviks secara cermat. Jika tidak
didapatkan laserasi jalan lahir, kontraksi uterus baik, namun tetap didapatkan perdarahan yang
berasal dari dalam rahim, maka perlu dilakukan eksplorasi manual uterus untuk mendiagnosis
kemungkinan adanya ruptura uteri.2

A. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus
tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir.1
Atonia uteri adalah penyebab PPP yang kerap ditemui di kebanyakan kasus. Pada
beberapa kasus meskipun tidak didapatkan faktor risiko, atonia uteri juga dapat terjadi
sehingga observasi dan monitor kontraksi uterus pascapersalinan wajib dilakukan. Atonia

4
uteri dapat bersifat primer, yakni berdiri sendiri tanpa ada penyebab PPP lainnya atau
bersifat sekunder ketika didapatkan penyebab lain PPP sehingga terjadi atonia uteri. Pada
kasus laserasi jalan lahir yang tak tertangani dengan baik, atonia uteri sekunder dapat
muncul sehingga pemeriksaan dan evaluasi jalan lahir menjadi suatu pemeriksaan yang
wajib dikerjakan setelah persalinan.2

Faktor predisposisi terjadi nya atonia uteri adalah :1,2


 Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu
besar.
 Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep
 Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
 Kehamilan grande-multipara.
 Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
 Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
 Infeksi intrauterine (korioamnionitis)

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi plasenta lahir ternyata pendarahan masih aktif
dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau
lebih dan kontraksi yang lembek. Kontraksi uterus yang baik dapat mencegah perdarahan
karena struktur anatomi otot miometrium dan pembuluh darah membentuk suatu anyaman,
sehingga jika uterus berkontraksi dengan baik maka pembuluh darah akan terjepit dan
perdarahan akan berhenti.1
Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri di diagnosis, maka pada saat itu juga
masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih
terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah
pengganti.1
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan
pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada umumnya
penanganan atonia uteri dilakukan secara simultan hal-hal sebagai berikut : 1,2
1. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
2. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
 Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.
 Pastikan plasenta lahir lengkap
 Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m., i.v., atau s.c.
 Memberikan derivat prostaglandin F2a (carboprost tromethamine) yang kadang
memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris, dan
takikardia.
 Pemberian misoprostol 800-1.000 ug per-rektal
 Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.
 Kompresi aorta abdominalis.
 Pemakaian tampon (packing) utero vagina dengan kasa gulung. Tindakan ini tidak
dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit
rujukan karena memerlukan waktu untuk pemasangannya serta dapat menyebabkan
perdarahan yang tersembunyi atau bila ada perembesan berarti banyak darah yang
sudah terserap di tampon tersebut sebelumnya dan dapat menyebabkan infeksi.
Tetapi dapat menguntungkan bila dengan tampon tersebut perdarahan dapat berhenti
sehingga tidak perlukan tindakan operatif atau tampon digunakan untuk menurunkan
perdarahan sementara sambil menunggu penanganan operatif.

5
 Pemasangan “tampon kondom” atau disebut dengan Metode Sayeba. Kondom dalam
kavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan
infus 200 ml yang akan mengurangi pendarahan dan menghindari tindakan operatif.
3. Bila mana tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif
laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan
histerektomi. Alternatifnya berupa:
- Ligasi arteria uterine atau arteria ovarika
- Operasi ransel B Lynch
- Histerektomi supravaginal
- Histerektomi total abdominal

Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan :1


 Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin
karena hal ini dapat menurukan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri.
 Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi lahir.

Skema 1. Penatalaksanaan Atonia Uteri

B. Retensio Plasenta

6
Retensio plasenta yaitu plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin
lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga disebabkan oleh
adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Retensio plasenta dapat diklasifikasikan
menjadi : 3
- Plasenta Adhesiva
Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh karena kontraksi
rahim kurang kuat untuk melepaskan plasenta
- Plasenta Akreta
Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh karena vili korialis
nya menembus desidua sampai miometrium
- Plasenta Perkreta
Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim oleh karena vili korialis
nya menembus desidua sampai dibawah perimetrium
- Plasenta Inkaserata
Plasenta yang sudah telepas dari dinding rahim tetapi belum lahir karena terhalang
oleh lingkaran konstriksi di bagian bawah rahim

Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih
tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau
(lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta
akan ditandai oleh pendarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah
sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya
tahap ekspulsi, plasenta lahir.1
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan pendarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan
pendarahan yang cukup banyak (pendarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera
melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Manual plasenta
adalah tindakan untuk melepas plasenta secara manual dari tempat implantasinya dan
kemudian melahirkannya keluar dari kavum uteri.1,5
Sisa plasenta bisa diduga bila kala urin berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada
saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada pendarahan dari ostium uteri
eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret
dan pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah pendarahan dapat diberi
transfusi darah sesuai dengan keperluannya.1
Tata laksana retensio plasenta yaitu sebagai berikut :4

7
1. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% / Ringer Lakrat
dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit
dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% / Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit
hingga perdarahan berhenti.
2. Lakukan tarikan tali pusat terkendali
3. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta manual secara hati-
hati
4. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (Ampisilin 2 gr IV dan Metronidazol
500 mg IV)
5. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi

C. Inversi Uterus
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan pendarahan adalah terjadinya
inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium)
turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai
komplit.1
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks
yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya
karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah)
atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver Crede) atau tekanan intraabdominal
yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin). Melakukan traksi umbilikus
pada pertolongan aktif kala III dengan uterus yang masih atonia juga memungkinkan
terjadinya inversion uteri.1
Inversion uteri ditandai dengan tanda-tanda :1
 Syok karena kesakitan
 Pendarahan banyak bergumpal
 Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat.
 Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama,
maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis,
dan infeksi.
Secara garis besar tindakan yang dilakukan iversio uteri, yaitu :1
1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti dan
pemberian obat.
2. Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik
dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk vagina dan
terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normalnya. Hal
itu dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.
3. Dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan dari rahim
dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau IM. tangan tetap dipertahankan agar
konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru dilepaskan.
4. Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai dengan keperluannya.
5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang karena menyebabkan
manuver di atas tidak bias dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan
kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.

D. Robekan Jalan Lahir


Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulative dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir
dank arena itu dihindari memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap.

8
Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan perineum, trauma forceps
atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.1
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomy, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai rupture perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada
dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan, yang
terberat ruptur uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi
yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini.1
Pendarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada robekan atau
sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva,
vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber pendarahan dengan
ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Pendarahan karena ruptur
uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris
resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber
pendarahan yang terbuka harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis
demi lapis sampai pemdarahan berhenti.1
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup
serta speculum dan memperhatikan kedalamam luka. Bila penderita kesakitan dan tidak
kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat
melakukan hemostasis.1

E. Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah


Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain
dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada
persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan
penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan,
suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.1
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta
perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial thromboplastin time).1
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklampsia emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah
dengan tranfusi darah dan produknya seperti seperti plasma beku segar, trombosit,
fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).1

9
h

Tabel 2. Diagnosis Perdarahan Pasca Persalinan

2.7. KOMPLIKASI
Komplikasi perdarahan pascasalin sangat bervariasi, dari yang ringan sampai berat.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah hipotensi ortostatik, kelelahan, anemia (risiko transfusi
darah), depresi (postpartum blues), sindroma Sheehan (iskemia kelenjar hipotisis anterior),
edema paru, gagal jantung, gagal ginjal, gangguan faal pembekuan darah, dan syok pendarahan
sampai kematian.2

2.8. PENCEGAHAN
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan
melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit
rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi
terhadap hal tersebut dilakukan sebagai berikut :1

10
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut ada dalam keadaan optimal.
2. Mengenal factor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi
lainnya yang risikonya akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari
persalinan dukun.
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan
rujukan sebagaimana mestinya.

11
BAB III
KESIMPULAN

Penanganan perdarahan pascapersalinan terbaik dimulai sejak pemeriksaan antenatal


serta evaluasi factor resiko perdarahan pascapersalinan pada semua ibu hamil sejak awal. Ibu
dengan risiko tinggi perdarahan pascapersalinan sudah har=us dirujuk ke rumah sakit/fasilitas
kesehatan sekunder-tersier untuk melakukan pemeriksaan antenatal dan persalinan di sana.
Selain itu pengenalan dan deteksi dini perdarahan pascapersalinan harus dikerjakan dengan
baik oleh semua tenaga kesehatan yang menolong persalinan. Penanganan perdarahan
pascapersalinan harus dilibatkan tim, dikerjakan secara intensif, simulatan, cepat, dan cermat,
sehingga kematian ibu karena perdarahan pascapersalinan dapat dicegah.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.
2. Hidayati, A.N., dkk. 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya: Airlangga
University Press.
3. Buku Acuan Pelatihan Klinik Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar oleh Jaringan Nasional
Pelatihan Klinik – Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR) Depkes RI. Tahun 2008.
4. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Edisi 1
oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Tahun 2013.

13

Anda mungkin juga menyukai