Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk mewujudkan gambaran masyarakat Kalimantan Timur di masa yang
akan datang, maka Dinas Kesehatan Provinsi memiliki Visi dalam meningkatkan
derajat dan mutu kesehatan masyarakat secara merata dan berkeadilan. Adapun
strategi dalam pembangunan kesehatan di Provinsi Kalimantan Timur adalah
meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit. Salah satunya ialah
penyakit gangguan kesehatan jiwa seperti skizofrenia (Dinas Kesehatan
Kalimantan Timur, 2015).
Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan
perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan &
Saddock, 2010). Skizofrenia ditandai dengan munculnya gejala positif dan gejala
negatif (Yosep, 2007). Gejala yang dialami pasien skizofrenia dapat berupa afek
datar, tidak memiliki kemauan, merasa tidak nyaman dan menarik diri dari
masyarakat. Adanya penurunan kognitif pada pasien skizofrenia yang berdampak
pada kesulitan memulai pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya
motivasi, berkurangnya atensi, pasif, apatis, dan penarikan diri secara sosial dan
rasa tidak nyaman, yang merupakan gejala yang sesuai pada klien harga diri
rendah (Videbeck, 2008). Adapun gejala lainnya seperti halusinasi, waham,
defisit perawatan diri hingga perilaku kekerasan (Townsend, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indra
seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun, dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Maramis, 2006). Waham adalah suatu
keyakinan kokoh yang salah yang tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan
tersebut, mungkin aneh dan tetap dipertahankan meskipun telah diberikan bukti-
bukti yang jelas untuk mengoreksinya David A Tomb (2004). Defisit perawatan
diri adalah gangguan melakukan aktivitas yang terdiri dari mandi, berpakaian,
berhias, makan atau kebersihan diri secara mandiri (NANDA, 2018).
World Health Organization (WHO) menyebutkan tahun 2013 penderita
skizofrenia 7 per seribu di dunia dari populasi orang dewasa, khususnya pada
sekelompok usia 15-35 tahun. Skizofrenia mempengaruhi 24 juta orang diseluruh
dunia. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 7 per mil. Dengan

1
jumlah persentase terbanyak diperoleh D.I Yogyakarta (2,7%), Aceh (2,7%),
Sulawesi Selatan (2,6%), Jawa Tengah (2,3%), Bali (2,3%). Dan prevalensi
gangguan jiwa berat di Kalimantan Timur sebanyak (1,4%) (Riset Kesehatan
Dasar, 2013).
Banyaknya angka kejadian gangguan jiwa skizofrenia di dunia maupun di
Indonesia menjadi tugas bersama dalam upaya menekan angka kejadian yang di
mulai dari pencegahan maupun tindak lanjut hingga rehabilitasi. Gangguan jiwa
yang dibiarkan terus menerus tanpa perawatan dan penanganan yang tepat dapat
membahayakan kondisi penderita maupun orang-orang yang berada di sekitarnya
bahkan hingga menyebabkan kematian. Maka perlu dilakukan tindakan preventif,
kolaboratif serta rehabilitatif yang tepat. Salah satunya ialah dengan
melaksanakan asuhan keperawatan secara profesional terhadap penderita
gangguan jiwa berat.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu “Bagaimana Asuhan Keperawatan
Jiwa Klien Skizofrenia (Halusinasi)?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan jiwa klien skizofrenia (halusinasi).
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep dasar teori dari skizofrenia (halusinasi).
b. Mengatahui asuhan keperawatan jiwa klien skizofrenia (halusinasi).

D. Manfaat
1. Bagi Penulis
Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan
pengetahuan tentang asuhan keperawatan jiwa klien skizofrenia (halusinasi).
2. Bagi Institusi Pelayanan
Menjadi acuan dalam memberikan wawasan tentang asuhan keperawatan
jiwa klien skizofrenia (halusinasi).

3. Bagi Institusi Pendidikan

2
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan tentang asuhan keperawatan jiwa klien skizofrenia
(halusinasi).

E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang belakang,
rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan.
Bab II : Berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari penjelasan skizofrenia
dan halusinasi.
Bab III : Berisi asuhan keperawatan
Bab IV Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORI

3
A. Telaah Teori
1. Skizofrenia
a. Pengertian
Menurut Davidson (2012) Skizofrenia adalah gangguan psikotik
yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran emosi, dan
perilaku-pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling
berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek datar
atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas bizarre. Pasien
menarik diri dari banyak orang dan realitas, seringkali kedalam
kehidupan fantasi yang penuh waham dan halusinasi.
b. Etiologi
Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap
perkembangan suatu gangguan atau penyakit. Skizofrenia dapat
dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling
berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
1) Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak
kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%,
bagi saudara kandung 7-15%, anak dengan salah satu orang tua
menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita
skizofrenia 40-60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-
68% (Maramis, 2009). Menurut hukum Mendel skizofrenia
diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007).
2) Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan
yaitu : Lobus temporal, sistem limbik dan reticular activating
system. Ventrikel penderita skf lebih besar daripada kontrol.
Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya
neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan
metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan post
mortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal dan sistem
limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA
sentral (Lumbantobing, 2007).
3) Biokimiawi

4
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan
dopamine, kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf
(Lumbantobing, 2007).
c. Tipe-Tipe Skizofrenia
1) Skizofrenia Disorganisasi
Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan Kraepelin
disebut skizofrenia disorganisasi dalam DSM-IV-TR. Cara bicara
mereka mengalami disorganisasi dan sulit dipahami oleh pendengar.
Pasien dapat berbicara secara idak runtut, menggabungka kata-kata
baru, seringkali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki
afek datar atau terus-menerus mengalami perubahan emosi yang
dapat meledak. Menjadi tangis atau tawa yang tidak dapat dipahami.
2) Skizofrenia Katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada
psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan (motoric
immobility), aktivitas motoric yang berlebihan, negativism yang
ekstrim, mutism (sama sekali tidak mau berbicara atau
berkomunikasi), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, echolia
(mengulang ucapan orang lain) atau echopraxia (mengikuti tingkah
laku orang lain). Motoric immobility dapat dimunculkan berupa
catalepsy (waxy flexibility – tubuh menjadi sangat fleksibel untuk
digerakkan atau diposisikan dengan berbagai cara (Setiadi, 2006).
3) Skizofrenia Paranoid
Dalam Setiadi (2006) disebutkan bahwa ciri utama skizofrenia
tipe ini adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi.
Wahamnya biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran,
atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya, waham
kecemburuan, keagamaan, atau somatisasi) mungkin juga muncul.
Wahamnya mungkin lebih dari satu tetapi tersusun dengan rapi
disekitar tema utama. Halusinasi juga biasanya berkaitan dengan
tema wahamnya.
4) Skizofrenia tipe Undifferentiated

5
Sejenis skizofrenia dimana gejala-gejala yang muncul sulit
untuk digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu. Seperti menrik diri
dan perilaku kekerasan.
5) Skizofrenia residual
Diagnosis skizofrenia tipe residual diberikan bila mana pernah
ada paling tidak satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis
saat ini tanpa simtom positif yang meninjol. Terdapat bukti bahwa
gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh adanya negative
simtom atau simtom positif yang lebih halus.
d. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Menurut Bleuler dalam Maramis (2008) gejala skizofrenia dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1) Gejala primer. Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir,
gangguan emosi, gangguan kemauan serta autisme.
2) Gejala sekunder. Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi,
dan gejala katatonik maupun gangguan psikomotor yang lain.
e. Terapi Skizofrenia
Penanganan Biologis
1) Terapi Kejut dan Psychosurgery
Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan
memberika insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel
(1938), yang mengklaim bahwa ¾ dari para pasien skizofrenia yang
ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan
terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal tersebut,
dan terapi koma-insulin –yang beresiko serius terhadap kesehatan,
termasuk koma yang tidak dapat disadarkan dan kematian– secara
bertahap ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz, seorang psikiater
memperkealkan lobotomy prefrontalis, suatu proses pembedahan
yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus
frontalis dengan pusat otak bagian bawah.
2) Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia
disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi,
delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien
mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum

6
mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-
benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50
tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang
efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat
antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional,
newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine).
3) Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh
obat antipsikotik konvensional antara lain :
a) Haldol (haloperidol)
b) Mellaril (thioridazine)
c) Navane (thiothixene)
d) Prolixin (fluphenazine)
e) Stelazine ( trifluoperazine)
f) Thorazine ( chlorpromazine)
g) Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh
antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan
penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus
dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien yang
sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan
antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya
para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian
antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan
minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam
jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu
(disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat
dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan
secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat
digunakan pada newer atypic antipsychotic.
1) Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena
prinsip kerjanya berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping
bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional. Beberapa
contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :

7
a) Risperdal (risperidone)
b) Seroquel (quetiapine)
c) Zyprexa (olanzopine)
2) Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan
antipsikotik atipikal yang pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-
50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik
konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping
yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang
(1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang
berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat
Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara
reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan. Clozaril bila
paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak
berhasil. Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran :
No Nama Generik Sediaan Dosis
1 Klorpromazin Tablet, 25 dan 100 mg, 150-
600mg/hariInjeksi25mg/ml
2 Haloperidol Tablet, 0,5 mg, 1,5 mg, 5 5-15 mg/hari Injeksi5mg/ml
mg,
3 Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12 - 24 mg/hari
4 Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10 - 15 mg/hari

5 Flufenazin dekanoat Inj 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu


6 Levomeprazin Tablet 25 mg, Injeksi 25 25 - 50 mg/hari
mg/ml
7 Trifluperazin Tablet 1 mg dan 5 mg 10 - 15 mg/hari
8 Tioridazin Tablet 50 dan 100 mg 150 - 600 mg/hari
9 Sulpirid Tablet 200 mg 300 - 600 mg/hari
10 Pimozid Tablet 1 dan 4 mg 1 - 4 mg/hari
11 Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2 - 6 mg/hari

Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama


Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita
Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan
minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah.
Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk
mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan

8
diganti dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan
obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril)
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat
penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum
obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping
yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat
menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau
mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila
penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat
mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan
tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam
penerapannya. Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah
mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat
untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya
antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal
antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik
atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja
bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan
walaupun setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5
pasien yang behenti minum obat setelah episode petama Skizofrenia
dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia
episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan
sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia
Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada
episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu
diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering
kekambuhan dan makin beratnya penyakit.
Efek Samping Obat-obat Antipsikotik
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu
yang lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek
samping yang timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi

9
penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional gangguan
(kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra
Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan
kaku, sehingga agar tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap
waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat beristirahat. Efek samping lain
yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan kaki. Kadang-kadang
dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya benztropine)
bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati
efek samping ini. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive
dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol,
protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan terjadinya efek
samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah
dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan antipsikotik
konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan
mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal.
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan
fungsi seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri
pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter
akan menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti dengan newer
atypical antipsycotic yang efek sampingnya lebih sedikit. Peningkatan
berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang
memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan
antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi
masalah ini. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic
malignant syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat
berat yang juga dapat menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-
penyakit lain. Gejala-gejala ini membutuhkan penanganan yang segera.
1) Penanganan psikologis
a) Terapi Psikodinamika
Psikoanalisis seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda Fromm-
Reichmann, mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk
perawatan skizofrenia. Namun, penelitian gagal menunjukan
efektivitas terapi psikoanalisis maupun psikodinamika untuk
skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan

10
negatif, beberapa kritik mengemukakan bahwa penggunaan terapi
psikodinamika untuk menangani skizofrenia tidaklah terjamin.
Namun hasil yang menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk
terapi individual yang disebut terapi personal yang berpijak pada
model diatesis-stres. Tetapi personal membantu pasien beradaptasi
secara lebih efektif terhadap stres dan membantu mereka
membangun keterampilan sosial, seperti mempelajari bagaimana
menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal menjelaskan
bahwa terapi personal mungkin mengurangi rata-rata kambuh dan
meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien skizofrenia
yang tinggal dengan keluarga (Bustillo, 2001).
b) Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau
hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti
hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian,
frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara
lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh
dapat diturunkan.
Meskipun sedikit terapis perilaku yang meyakini bahwa yang
salah menyebabkan skizofrenia, intervensi berdasarkan
pembelajaran telah menunjukan efektivitas dalam memodifikasi
perilaku skizofrenia dan membantu orang-orang yang mengalami
gangguan ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif
yang dapat membantu mereka menyesuaikan diri secara lebih efektif
untuk hidup dalam komunitas. Metode terapi meliputi teknik-teknik
seperti reinforcement selektif terhadap perilaku (seperti memberikan
perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan
verbalisasi yang aneh dengan tidak lagi memberi perhatian); token
ekonomi, dimana individu padaunit-unit perawatan di rumah sakit
diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token, seperti
kepingan plastik, yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata
seperti barang-barang atau hak-hak istimewa yang diinginkan; dan

11
pelatihan keterampilan sosial, di amna klien diajarkan keterampilan
untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain yang sesuai
melalui coaching (latihan), modeling, latihan perilaku, dan umpan
balik.
c) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi
keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas
mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu
optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat
skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya.
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif
dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan
angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi
keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.

d) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang
memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif,
tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
e) Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual
dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi

12
alah membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu
konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah
perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien
sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat
dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan
pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh
pasien. Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang
ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan
hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali
kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan
kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan
rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan
terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas
yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan
diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah
tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan,
manipulasi, atau eksploitasi.
2) Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan
diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan
bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan
dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien
dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang
dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga
pasien tentang skizofrenia. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres
pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka.
Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit
pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana
pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan
hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk

13
mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien.
Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu
pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang
memenuhi semua kebutuhan orang yang menderita skizofrenia.
Konseptualisasi skizofrenia sebagai disabilitas sepanjang hidup
menggaris bawahi kebutuhan untuk perawatan intervensi jangka
panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi keluarga,
bentuk-bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan
vokasional, dan penyediaan perumahan yang layak serta pelayanan
dukungan sosial lainnya (Bustillo, 2001).

2. Halusinasi
a. Pengertian
Halusinasi ialah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada
panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam kehidupan sadar atau
bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikopatik ataupun
histerik (Maramis, 2006).
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada
klien dengan gangguan jiwa, halusinasi sering diidentifisikasikan dengan
skizofrenia. Dari seluruh klien skizofrenia 70% diantaranya mengalami
halusinasi. Gangguan jiwa lain yang disertai dengan gejala halusinasi adalah
gejala panik defensif dan delirium. Berbeda dengan ilusi dimana klien
mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah satu persepsi pada
halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus internal dipersepsikan sebagai suatu
yang nyata pada klien-klien.
Dari beberapa pengertian halusinasi diatas penulis dapat menyimpulkan
bahwa halusinasi adalah suatu persepsi klien terhadap stimulus dari luar
tanpa dari obyek yang nyata. Halusinasi merupakan gangguan persepsi
dimana klien mempersepsikan suatu obyek yang sebenarnya tidak terjadi.
b. Klasifikasi
Menurut (Maramis, 2006) terdapat beberapa jenis halusinasi di antaranya:
1) Halusinasi penglihatan (visual, optik) :

14
Tak berbentuk (sinar, kalipan atau pola cahaya) atau berbentuk
(orang, binatang atau barang lain yang dikenalnya), berwarna atau
tidak.
Halusinasi pendengaran (auditif, akustik) :
2)
suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah dan
musik
Halusinasi pencium (olfaktorik) :
3)
Mencium sesuatu bau
4) Halusinasi pengecap (gustatorik) :
Merasa atau mengecap sesuatu
5) Halusinasi peraba (taktil) :
Merasa diraba, disentuh, ditiup,disinari atau seperti ada ulat
bergerak dibawah kulitnya
6) Halusinasi kinestetik :
Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruang, atau anggota
badannya bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau).
7) Halusinasi viseral :
Perasaan tertentu timbul didalam tubuhnya
8) Halusinasi hipnagogik :
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum
tertidur persepsi sensorik bekerja salah
9) Halusinasi hipnopompik :
Seperti no.8, tetapi terjadi tepat sebelum terbangun samasekali dari
tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik dalam
impian yang normal.
10)Halusinasi histerik :
Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.
c. Etiologi
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor risiko yang
mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan
oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh baik dari klien
maupaun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi :
a) Faktor Perkembangan
Jika tugas perkemabangan mengalami hambatan dan
hubungan intrapersonal terganggu, maka individu akan
mengalami stres dan kecemasan.
b) Faktor Sosiokultural
Berbagi faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang
merasa disingkirkan sehingga orang tersebut merasa kesepian di
lingkungan yang membesarknya.
2) Faktor Biokimia

15
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam
tubuhnya akan dihasilkan zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti buffofenon dan dimethytranferase ( DMP ).
3) Faktor Psikologis
Hubungan intrapersonal yang tidak harmonis serta adanay peran
ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan
menagkibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada
gangguan orientasi realitas
4) Faktor GenetikGen
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini
5) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yaiutu stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang
memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Adanya
rangsangan dari lingkunagan, seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di
lingkungan, dan juga suasana sepi atau terisolasi seringg menjasi
pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan
stres dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat
halusinogenik
d. Tanda dan Gejala
Menurut Herdman (2012) perilaku klien yang berkaitan dengan
halusinasi adalah sebagai berikut :
1) Bicara, senyum, dan ketawa sendiri.
2) Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan
respon verbal yang lambat.
3) Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri
dari orang lain.
4) Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang
tidak nyata.
5) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
6) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik
dan berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.

16
7) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya), dan takut.
8) Sulit berhubungan dengan orang lain.
9) Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah.
10) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
11) Tampak tremor dan berkeringat, perilaku

DAFTAR PUSTAKA

Davidson, Gerald C., John M. Neale, & Ann M. Kring., (2012). Abnormal

Psychology (12th edition). US: John Wiley & Sons, Inc.

Dinas Kesehatan Kalimantan Timur. (2015). 23_KALTIM_2015.

Djohan. (2009). Psikologi Musik. Yogyakarta. Percetakan Galang Press.

Hawari, Dadang. (2007). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan Definisi

dan Klasifikasi 2012-2014. EGC. Jakarta.

Kaplan and Saddock. (2010). Comprehensive Textbook Of Psychiatry.7th

Ed.Lippincott Wiliams And Wilkins. Philadelphia.


Keliat, B.A. (2011). Modul Model Praktek Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:

Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia dan World Health Organization

Indonesia.
Lumbantobing. (2007). Vertigo Tujuh Keliling. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.


Maramis, W. (2006). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga

University Press.
NANDA. (2018). NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan Definisi dan

Klasifikasi 2018. EGC. Jakarta.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.

17
Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama.

18

Anda mungkin juga menyukai