Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS BESAR

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

DEMAM TIFOID

OLEH :

Dewi Iriani
K1A1 14 114

PEMBIMBING
dr. Dwiana Pertiwi T, Msc, Sp. PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Dewi Iriani
Stambuk : K1A1 14 114
Judul Kasus : Demam Tifoid

Telah menyelesaikan tugas kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juli 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Dwiana Pertiwi T, M.Sc. Sp.PD

2
BAB 1

IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. SM

Umur : 54 tahun

Hari, Tanggal masuk/Jam : 19-10-2019/12.00 wita

Alamat: : Jl. Mayjen Soetoyo

Pekerjaan :

DPJP : dr. Dwiana Pertiwi T, Msc. Sp.PD

Dokter muda : Dewi Iriani

Tgl pemeriksaan/Jam :

No. RM : 11 12 43

Rumah Sakit dirawat : RSUD Kota Kendari

Keterangan : Rawat Inap

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Demam sejak 7 hari yang lalu

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke RSUD Kota Kendari dengan keluhan demam

yang dialami sejak ±7 hari yang lalu, demam hilang timbul dan sering

timbul pada malam hari. Demam yang dirasakan sempat tinggi hingga

menggigil. Selain itu, pasien juga mengalami lemas, sakit kepala (+),

lemah, mual (+), muntah (-), NUH (-), nyeri otot (-), BAB dan BAK dalam

3
batas normal. Riwayat penyakit dahulu : HT (-), DM (-), Asma (-).

Riwayat penyakit/keluhan yang sama dikeluarga: tidak ada. Riwayat

pengobatan: tidak ada. Riwayat alergi makanan dan obat: tidak ada.

Riwayat merokok dan alkohol : tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Sakit : Sedang
Kesadaran/GCS Score : E4V5M6 = 15, Compos mentis
Status gizi : BB= 50 Kg, TB= 160 cm IMT = Kg/m2 (Normal)
Tanda Vital
TD Nadi Pernafasan Suhu
90/60 mmHg 100 x/Menit 20 x/Menit 37,8 0C

Status Generalisata
Kepala Normosefal, simetris kiri dan kanan, deformitas (-)
Mata Eksoftalmus (-)
Gerakan : dalam batas normal
Tekanan bola mata : dalam batas normal
Kelopak mata : tidak ada udem atau asimetris
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : isokor (+)
Telinga Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.

Lubang telinga : dalam batas normal, secret (-/-).

Nyeri tekan: (-/-).

Peradangan pada telinga (-/-).

Pendengaran : normal

4
Hidung Perdarahan (-/-)

Sekret (-/-)

Mulut Bibir : Kering dan pucat (+)


Tonsil : tidak ada pembesaran, dalam batas normal
Pharyng : Hiperemis (-)
Gusi : tidak ada luka atau perdarahan
Lidah : Papil edem (-) lidah kotor (-)
Mukosa : normal
Leher Kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening dan
tiroid (-), Trakea terletak di tengah, JVP : tidak meningkat,
Thoraks Inspeksi
Normochest, bentuk simtetris kiri dan kanan, pergerakan
dinding dada simetris, retraksi dindidng dada (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus meningkat (-)
Perkusi
Sonor pada kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi
Bunyi nafas Vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung Inspeksi
Iktus kordis tidak tampak, deformitas (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan : ICS II linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V line mid klavikula sinistra
Auskultasi
Bising jantung S1-S2 tunggal regular, BJ III / Murmur (-)

5
Abdomen Inspeksi
Perut datar, ikut gerak napas, asites (-), striae (-)
Auskultasi
Bising usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan epigastrium (-), massa (-), pembesar hepar dan
lien(-),distensi abdomen (-), nyeri suprapubik (-),
pemeriksaan ballottement dalam batas normal. Pemeriksaan
nyeri ketuk (-/-)
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
Ekstremitas Edema tungkai bawah Dextra (-) / Sinistra (-)
Peteki (-)/(-)
Kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah

Ekstremitas atas

5 5

Ekstremitas bawah

5 5

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Dextra Sinistra

1. Pemeriksaan Imunoserologi

Pemeriksaan imunoserologi (Kamis, 19/06/2019/ Pukul 12.25)


Nama pemeriksaan Nilai Rujukan
Widal : Salmonella typhi O 1/160 Negatif
Salmonella typhiH 1/320 Negatif
Salmonella paratyphi AH Negatif Negatif
Salmonella paratyphi BH Negatif Negatif

6
2. Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan Darah Rutin (Kamis, 19/06/2019)


Parameter Nilai Rujukan
3
WBC 8,4 x 10 /uL 4.0-10 103 /uL
HGB 13,6 g/dL 11.0-17.9 g/dl
MCV 86,5 fL 80-97 fL
MCH 28,8 pg 26,5-33 pg
MCHC 33,3 g/dL 31,5-35 g/dL
3
PLT 182 x10 U/L 150-450 103 U/L

HCT 40,9 % 37,0 – 48,0 %

E. RESUME

Pasien datang ke RSUD Kota Kendari dengan keluhan demam yang

dialami sejak ±7 hari yang lalu, demam hilang timbul dan sering timbul pada

malam hari. Demam yang dirasakan sempat tinggi hingga menggigil. Selain

itu, pasien juga mengalami lemas, sakit kepala (+), lemah, mual (+), muntah (-

), NUH (-), nyeri otot (-), BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat

penyakit dahulu : HT (-), DM (-), Asma (-). Riwayat penyakit/keluhan yang

sama dikeluarga: tidak ada. Riwayat pengobatan: tidak ada. Riwayat alergi

makanan dan obat: tidak ada. Riwayat merokok dan alkohol : tidak ada

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan bibir kering. Pemeriksaan thoraks,

jantung, abdomen dalam batas normal. Hasil pemeriksaan imunoserologi (tes

widal) : Salmonella typhi O : 1/160, Salmonella typhi H : 1/320, Salmonella

paratyphi AH : negatif, Salmonella paratyphi BH: negatif. Hasil pemeriksaan

darah rutin WBC: 8,4x103/uL (normal), HGB: 13,6 g/dL (normal) g/dL , PLT

7
: 182x103 U/L (normal), MCV 86,5 fl (normal), MCH 28,8 pg (normal),

MCHC 33,3 g/dL (normal), HCT 40,9 %.

F. DIAGNOSA KERJA

Demam Tifoid

G. PENATALAKSANAAN

Terapi Non Farmakologi

1. Tirah baring (Mengurangi aktivitas sedang hingga berat)

2. Anjurkan banyak minum air putih

3. Edukasi Gizi : asupan nutrisi buah cukup dan asupan makanan teratur.

Terapi Farmakologi selama dirawat inap

 IVFD RL 20 tpm

 Inf Paracetamol / 8 jam

 Inj. Ceftriaxon / 12 jam

 Inj. Ranitidine 1A/ 12 jam

 Inj. Dexamethason 1A/ 8 jam

8
H. FOLLOW UP

Rabu, S : demam (+) malam hari, nyeri P :


19/06/2019 kepala (+), lemah (+)  IVFD Rl 30
O : TD 90/60 mmHg tpm
N 100 x/menit  Inf Paracetamol
P 20 x/menit
S 37,8oC 1g
Pemeriksaan laboratorium:  Cek Darah
Pemeriksaan Darah Rutin Rutin
(Rabu, 19/06/2019)
Parameter Nilai Rujukan
WBC 8,4 x 4.0-10 103
3
10 /uL /uL
HGB 13,6 11.0-17.9
g/dl g/dl
MCV 86,5 fL 80-97 fL
MCH 28,8 26,5-33 pg
pg
MCHC 33,3 31,5-35
g/dL g/dL
PLT 182 150-450
3
x10
U/L 103 U/L

HCT 40,9 % 37,0 –

48,0 %

A : Hipertermi
Kamis, S : malam demam (+) menggigil (+) P:
20/06/2019 O : TD 100/60 mmHg  IVFD Rl 30
N 84 x/menit tpm
P 20 x/menit  Inf.
S 37,6oC
A: Demam tifoid Paracetamol 1
gr/ 8 jam
 Inj.Ceftriaxon 1
gr/12 jam
 Inj. Ranitidine
1A / 12 jam
 Inj. Dexametaso
1A/ 8 jam

9
Jumat, S : Demam (+) menggigil (-) P:
21/06/2019 O : TD 110/70 mmHg Terapi lanjut:
N 84 x/menit  IVFD Rl 30
P 20 x/menit tpm
S 36,9 oC  Inf.
A : Demam tifoid
Paracetamol 1
gr/ 8 jam
 Inj.Ceftriaxon 1
gr/12 jam
 Inj. Ranitidine
1A / 12 jam
 Inj.
Dexametason
1A/ 8 jam

Sabtu S : Demam (-) menggigil (-) pada P :


22/06/2019 malam hari  Aff Infus
O : TD 120/80 mmHg  Cefixime
N 88 x/menit 2x20mg
P 20 x/menit
S 37,0 oC  Ranitidin 2x1
A : Demam tifoid  Paracetamol
3x1
 BPL

I. PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad Bonam

Ad funtionam : Dubia ad bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-
negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara
berkembang. Badan kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat pada tahun 2003 lebih
dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian
mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-
negara Asia.1
Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada 441.435
sampel di 5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan Cina,
didapatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Insiden demam tifoid lebih
tinggi di negara-negara Asia Selatan (Pakistan dan India) dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Timur (Indonesia, Vietnam, Cina).2
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan
angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional
adalah 1,6% dengan 12 provinsi yang memiliki prevalensi diatas angka nasional,
yaitu: Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.3
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung
dengan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang pun tersedia dalam berbagai pilihan, antara lain : kultur darah, kultur
agar darah, identifikasi biokimia, aglutinasi antibodi, dsb. Pada intinya, segala
jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab

11
demam tifoid, yaitu Salmonella enterica subsp. enterica serotipeTyphi
(Salmonella Typhi).1
Pemeriksaan serologi yang paling tua ialah uji Widal, yang mengandalkan
reaksi aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat dari kuman utuh
yang telah dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi banyak
faktor, diantaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi
antibiotik, kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga ter-
dapat variasi nilai cut-off, reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi
oleh vaksinasi. American Academy of Paediatrics bahkan sudah tidak me-
rekomendasikan pemeriksaan Widal.4 Begitu pula WHO, WHO juga sudah tidak
merekomendasikan Widal sebagai uji diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji
Serologis, WHO lebih merekomendasikan penggunaa TUBEX dan Typhidot
sebagai ujia serologis yang lebih sensitif dan spesifik. Namun dikatakan bahwa
diagnosis definitif terbaik tetap menggunakan teknik isolasi kuman. 5

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi demam tifoid


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-
negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara
berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam
tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan
90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid
di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari
survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus.6
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid.
Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah
1,6%.3

13
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dariSalmonella Enteric serotipe
Typhi, 1990-2002.5

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan


dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk.
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan terutama cara
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995,
demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.8

2.2. Etiologi demam tifoid


Penyebab demam tifoid adalahbakteri dari Genus Salmonella. Salmonella
memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori.
Salmonella enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica
subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp. salamae;IIIa. Salmonella enterica
subsp. arizonae;IIIb. Salmonella enterica subsp. diarizonae;IV. Salmonella
enterica subsp. hotenae;V. Salmonella enterica subsp.indica.9
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya1454 serotipe,
beberapa diantaranya adalah :SalmonellaCholeraesuis, SalmonellaDublin,
Salmonella Enteritis, Salmonella Gallinarum, SalmonellaHadar,
SalmonellaHeidelberg, SalmonellaInfantis, SalmonellaParatyphi,
SalmonellaTyphi, SalmonellaTyphimurium, dan
SalmonellaGenrus.9SalmonellaTyphi dan SalmonellaParatyphi adalah bakteri
penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat

14
mati dengan pemanasan (suhu 66oC) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.10

Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae. 10

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11


1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

15
2.3.Patogenesis demam tifoid
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11

Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12

16
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3
minggu,kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian meninggalkan
makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh
karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-
β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak
Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11

2.4.Manifestasi klinis demam tifoid


Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung
antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan
sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian.11

17
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara
perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke
hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam
hari.Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C.
Pasien akan menunjukkan gejalarose spots, yang warnanya seperti salmon, pucat,
makulopapul 1-4 cm lebardanjumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang
dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas,
berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier
asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka
waktu yang tidak terbatas.

2.5.Diagnosis Demam Tifoid


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih
dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik
untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita
demam tifoid secara menyeluruh.Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.12

2.5.1. Pemeriksaan darah tepi

18
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia
dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam
tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosismenjadi
dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14

2.5.2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang.
Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada
awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.12,16 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung
pada beberapa faktor, seperti :(1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila
pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin
negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang
lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa
negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia
sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang
dilakukan setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
10,12

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak


kecil dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

19
dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih
tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan
volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.12,19Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella
Typhi adalah media empedu dari sapi.Media ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi
yang dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan
darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif
10-50% pada akhir minggu ketiga.12,17 Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya.17,20Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17

2.5.3. Uji serologis


2.5.3.1. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella Typhiterdapat dalam serum penderita

20
demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi,danorang
yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhiyang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga
menderita demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O
dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum,
aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai
muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya
demam.Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi
yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang
dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis
demam tifoid.22
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi
akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah
mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

2.5.3.2. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini
sering dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap
antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.1,24

21
2.5.3.3. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
4,29

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini


sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan
86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain
oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.30

2.5.3.4. Uji Tubex®


Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi
oleh IDL Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya
membutuhkan waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tesini
mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigenO9 LPS yang sangat
spesifik terhadap bakteriSalmonella Typhi. Pada orang yang sehat
normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.23,27

22
Gambar 2.5. Prinsip dari tesTubex®. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasilpositif.27

Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif


dengan cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi
dengan Tubex® color scaleyang tersedia.Range dari color scale adalah
dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut
menurut IDL Biotech 2008: 11,27
1. Nilai <2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam
tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan
pemeriksaan ulang.
3.Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).

23
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan
tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid,
merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.27

2.5.3.5. Uji Typhidot®


Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang
diproduksi oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji
Typhidot® dinilai positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas
yang samadengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada
kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan,
jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.28

Gambar 2.6. Prinsip dari tesTyphidot®. Bagian atas, prosedur tes;


bagian bawah, interpretasi hasil tes.28

2.5.4. Identifikasi kuman secara molekuler

24
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella
Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA.

2.6. Terapi Demam Tifoid

Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah


komplikasi demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi <
1%. Terapi antibiotik inisial bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi
dan S. Paratyphi pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid yang paling
efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan
angka relaps dan karier fecal <2%. Pemberian terapi singkat degan
ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang sama dengan pemberian agen
kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia, penggunaan luas agen
fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS
( decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen
fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Pasien
yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi
menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis
besar. Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi
demam typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan
meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam typhoid
DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam
waktu 14 hari.

Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif


untuk demam tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan
salmonella yang resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini menurunkan
panas dalam waktu ± 1 minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka
karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral,
menurunkan demam dalam 4-6 hari, dengan angka relaps dan karier fekal

25
<3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian azithromycin berhubungan
dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan durasi hospitalisasi yang
pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon. Sefalosporin generasi
satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada terapi
demam tifoid.

Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi


di rumah dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah
menetap, diare menetap atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah
sakit dan diberikan terapi suportif (tirah baring dan dukungan nutrisi
)disertai pemberian antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau
fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya
diberikan selama 10 hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat
diterapi dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6
minggu. Terapi menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin
atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi karier kronis ( 80% efektif).
Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila
tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2
kali sehari selama 3 bulan , atau 100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi
dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya diberikan selama 3 bulan juga
efektif. Karier dengan batu empedu hanya memperlihatkan respons
sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk
mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.

26
Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid

27
Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 (
KONSENSUS KONAS PETRI - BALI )

2.7. Komplikasi Demam Tifoid

Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan


mengancam nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi,
terapi antasida, riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan
terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%) dan perforasi

28
intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4.
Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat
hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda
komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi
cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum
luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat
ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome,
neuritits dan gejala neuropsikiatrik.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated


intravascular coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis,
hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia
berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag terjadi
akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 2.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi

29
BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang

menjadi masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu

negara endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata

900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000

setiap tahunnya. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai

cara, tidak hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada

pasien namun juga didukung dengan pemeriksaan penunjang untuk

diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut

bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid. Diantara

berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal sebagai pemeriksaan yang

paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang direkomendasikan.

Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan sensitifitas dan

spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan Typhidot.

Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen

fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan

karier fecal <2%. Penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas,

menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS (decreased ciprofloxacin

susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya

dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Ceftriaxone, cefotaxime dan

cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.

30
31
DAFTAR PUSTAKA
1.[WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK,
Agtini MD, et al.WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries:
disease burden and implications for controls. http://www.who.int/
bulletin/volumes/86/4/06039818/en/#content. [31 Mei 2013].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
http://www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007. [31 Mei 2013].
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012;XXXVIII(08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-
2012/edisi-no-08-vol-xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-
akurat-diagnosis-demam-tifoid.[31 Mei 2013].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et
al. Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7.
http://www.who.int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [31 Mei 2013].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits
for Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan
2007; 45(1): 246–247.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1828988/.
[ 31 Oktober 2013 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. ExaminationofThe Immunoglobulin
M Anti Salmonellain Diagnosisof Typhoid Fever.E-Jurnal Medika
Udayana 2.6; 2013: 1080-1090.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober 2013].
8. Aru W. Demam Tifoid.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2006:1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al.
SalmonellaTyphi, the causative agent of typhoid fever.Infect Genet Evol.

32
2002 Oct;2(1):39-45. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12797999. [
31 Oktober 2013 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ.A Review of Typhoid Fever.
New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782.
http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201. [31 Oktober
2013].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium
Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang
Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook
of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
15.Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :
Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al.
Quantitation of bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever :
relationship between counts and clinical features. J Clin Microbiol
2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P.
Diagnosisof typhoid fever by detection of Salmonella Typhiantigen in
urine. J Clin Microbiol 1992;30(9):2513-5. [Abstract]

33
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013
].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-
34.
22.[DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Mei 2006.
www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes
/KMK%20No.%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam
%20Tifoid.pdf.
[31 Oktober 2013].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 2011. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31
Oktober 2013]
24. Drive, Nancy R. 2009.A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com. [ 31 Oktober 2013 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and
rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med
Microbiol 2002;51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M.A
Comparative Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever.
JIACM 2004; 5(3) : 244-6. http://
medind.nic.in/jac/t04/i3/jact04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever.
IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 31 Oktober 2013 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K.The Easy and Early Diagnosis
of Typhoid Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/
2034/12a-%204058.A.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].

34
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition.
United States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052.
30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali.
2010.

35

Anda mungkin juga menyukai