DEMAM TIFOID
OLEH :
Dewi Iriani
K1A1 14 114
PEMBIMBING
dr. Dwiana Pertiwi T, Msc, Sp. PD
2
BAB 1
IDENTIFIKASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SM
Umur : 54 tahun
Pekerjaan :
Tgl pemeriksaan/Jam :
No. RM : 11 12 43
B. ANAMNESIS
yang dialami sejak ±7 hari yang lalu, demam hilang timbul dan sering
timbul pada malam hari. Demam yang dirasakan sempat tinggi hingga
menggigil. Selain itu, pasien juga mengalami lemas, sakit kepala (+),
lemah, mual (+), muntah (-), NUH (-), nyeri otot (-), BAB dan BAK dalam
3
batas normal. Riwayat penyakit dahulu : HT (-), DM (-), Asma (-).
pengobatan: tidak ada. Riwayat alergi makanan dan obat: tidak ada.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Sakit : Sedang
Kesadaran/GCS Score : E4V5M6 = 15, Compos mentis
Status gizi : BB= 50 Kg, TB= 160 cm IMT = Kg/m2 (Normal)
Tanda Vital
TD Nadi Pernafasan Suhu
90/60 mmHg 100 x/Menit 20 x/Menit 37,8 0C
Status Generalisata
Kepala Normosefal, simetris kiri dan kanan, deformitas (-)
Mata Eksoftalmus (-)
Gerakan : dalam batas normal
Tekanan bola mata : dalam batas normal
Kelopak mata : tidak ada udem atau asimetris
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : isokor (+)
Telinga Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.
Pendengaran : normal
4
Hidung Perdarahan (-/-)
Sekret (-/-)
5
Abdomen Inspeksi
Perut datar, ikut gerak napas, asites (-), striae (-)
Auskultasi
Bising usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan epigastrium (-), massa (-), pembesar hepar dan
lien(-),distensi abdomen (-), nyeri suprapubik (-),
pemeriksaan ballottement dalam batas normal. Pemeriksaan
nyeri ketuk (-/-)
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
Ekstremitas Edema tungkai bawah Dextra (-) / Sinistra (-)
Peteki (-)/(-)
Kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah
Ekstremitas atas
5 5
Ekstremitas bawah
5 5
1. Pemeriksaan Imunoserologi
6
2. Pemeriksaan Darah Rutin
E. RESUME
dialami sejak ±7 hari yang lalu, demam hilang timbul dan sering timbul pada
malam hari. Demam yang dirasakan sempat tinggi hingga menggigil. Selain
itu, pasien juga mengalami lemas, sakit kepala (+), lemah, mual (+), muntah (-
), NUH (-), nyeri otot (-), BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat
sama dikeluarga: tidak ada. Riwayat pengobatan: tidak ada. Riwayat alergi
makanan dan obat: tidak ada. Riwayat merokok dan alkohol : tidak ada
darah rutin WBC: 8,4x103/uL (normal), HGB: 13,6 g/dL (normal) g/dL , PLT
7
: 182x103 U/L (normal), MCV 86,5 fl (normal), MCH 28,8 pg (normal),
F. DIAGNOSA KERJA
Demam Tifoid
G. PENATALAKSANAAN
3. Edukasi Gizi : asupan nutrisi buah cukup dan asupan makanan teratur.
IVFD RL 20 tpm
8
H. FOLLOW UP
48,0 %
A : Hipertermi
Kamis, S : malam demam (+) menggigil (+) P:
20/06/2019 O : TD 100/60 mmHg IVFD Rl 30
N 84 x/menit tpm
P 20 x/menit Inf.
S 37,6oC
A: Demam tifoid Paracetamol 1
gr/ 8 jam
Inj.Ceftriaxon 1
gr/12 jam
Inj. Ranitidine
1A / 12 jam
Inj. Dexametaso
1A/ 8 jam
9
Jumat, S : Demam (+) menggigil (-) P:
21/06/2019 O : TD 110/70 mmHg Terapi lanjut:
N 84 x/menit IVFD Rl 30
P 20 x/menit tpm
S 36,9 oC Inf.
A : Demam tifoid
Paracetamol 1
gr/ 8 jam
Inj.Ceftriaxon 1
gr/12 jam
Inj. Ranitidine
1A / 12 jam
Inj.
Dexametason
1A/ 8 jam
I. PROGNOSIS
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
demam tifoid, yaitu Salmonella enterica subsp. enterica serotipeTyphi
(Salmonella Typhi).1
Pemeriksaan serologi yang paling tua ialah uji Widal, yang mengandalkan
reaksi aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat dari kuman utuh
yang telah dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi banyak
faktor, diantaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi
antibiotik, kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga ter-
dapat variasi nilai cut-off, reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi
oleh vaksinasi. American Academy of Paediatrics bahkan sudah tidak me-
rekomendasikan pemeriksaan Widal.4 Begitu pula WHO, WHO juga sudah tidak
merekomendasikan Widal sebagai uji diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji
Serologis, WHO lebih merekomendasikan penggunaa TUBEX dan Typhidot
sebagai ujia serologis yang lebih sensitif dan spesifik. Namun dikatakan bahwa
diagnosis definitif terbaik tetap menggunakan teknik isolasi kuman. 5
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
13
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dariSalmonella Enteric serotipe
Typhi, 1990-2002.5
14
mati dengan pemanasan (suhu 66oC) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.10
15
2.3.Patogenesis demam tifoid
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11
16
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3
minggu,kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian meninggalkan
makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh
karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-
β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak
Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11
17
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara
perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke
hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam
hari.Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C.
Pasien akan menunjukkan gejalarose spots, yang warnanya seperti salmon, pucat,
makulopapul 1-4 cm lebardanjumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang
dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas,
berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier
asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka
waktu yang tidak terbatas.
18
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia
dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam
tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosismenjadi
dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14
19
dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih
tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan
volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.12,19Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella
Typhi adalah media empedu dari sapi.Media ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi
yang dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan
darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif
10-50% pada akhir minggu ketiga.12,17 Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya.17,20Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17
20
demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi,danorang
yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhiyang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga
menderita demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O
dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum,
aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai
muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya
demam.Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi
yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang
dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis
demam tifoid.22
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi
akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah
mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.
21
2.5.3.3. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
4,29
22
Gambar 2.5. Prinsip dari tesTubex®. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasilpositif.27
23
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan
tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid,
merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.27
24
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella
Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA.
25
<3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian azithromycin berhubungan
dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan durasi hospitalisasi yang
pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon. Sefalosporin generasi
satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada terapi
demam tifoid.
26
Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid
27
Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 (
KONSENSUS KONAS PETRI - BALI )
28
intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4.
Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat
hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda
komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi
cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum
luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat
ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome,
neuritits dan gejala neuropsikiatrik.
29
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000
cara, tidak hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada
Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan sensitifitas dan
30
31
DAFTAR PUSTAKA
1.[WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK,
Agtini MD, et al.WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries:
disease burden and implications for controls. http://www.who.int/
bulletin/volumes/86/4/06039818/en/#content. [31 Mei 2013].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
http://www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007. [31 Mei 2013].
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012;XXXVIII(08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-
2012/edisi-no-08-vol-xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-
akurat-diagnosis-demam-tifoid.[31 Mei 2013].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et
al. Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7.
http://www.who.int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [31 Mei 2013].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits
for Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan
2007; 45(1): 246–247.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1828988/.
[ 31 Oktober 2013 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. ExaminationofThe Immunoglobulin
M Anti Salmonellain Diagnosisof Typhoid Fever.E-Jurnal Medika
Udayana 2.6; 2013: 1080-1090.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober 2013].
8. Aru W. Demam Tifoid.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2006:1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al.
SalmonellaTyphi, the causative agent of typhoid fever.Infect Genet Evol.
32
2002 Oct;2(1):39-45. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12797999. [
31 Oktober 2013 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ.A Review of Typhoid Fever.
New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782.
http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201. [31 Oktober
2013].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium
Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang
Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook
of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
15.Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :
Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al.
Quantitation of bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever :
relationship between counts and clinical features. J Clin Microbiol
2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P.
Diagnosisof typhoid fever by detection of Salmonella Typhiantigen in
urine. J Clin Microbiol 1992;30(9):2513-5. [Abstract]
33
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013
].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-
34.
22.[DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Mei 2006.
www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes
/KMK%20No.%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam
%20Tifoid.pdf.
[31 Oktober 2013].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 2011. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31
Oktober 2013]
24. Drive, Nancy R. 2009.A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com. [ 31 Oktober 2013 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and
rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med
Microbiol 2002;51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M.A
Comparative Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever.
JIACM 2004; 5(3) : 244-6. http://
medind.nic.in/jac/t04/i3/jact04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever.
IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 31 Oktober 2013 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K.The Easy and Early Diagnosis
of Typhoid Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/
2034/12a-%204058.A.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
34
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition.
United States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052.
30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali.
2010.
35