Anda di halaman 1dari 14

Diagnosis Gagal Jantung Kronik dan Penatalaksanaannya

Singgih
102016020/D
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat : Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email : Singgih_1297@yahoo.com

Abstrak

Gagal jantung atau HF merupakan suatu kondisi patofisiologi di mana terdapat kegagalan jantung
memompa darah yang sesuai dengan keperluan jaringan dan hal ini mengarah pada tahap terakhir
dari seluruh penyakit jantung. Dalam pemeriksaan fisik dada dan jantung dapat dilakukan dengan
urutan: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskulitasi. Inspeksi, secara umum hal-hal yang berkaitan
dengan akibat penyakit jantung diamati, misalnya tampak lelah, kelelahan karena cardiac output
rendah, sesak yang menunjukkan adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan
clubbing finger dan kaki berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Selain itu untuk
menyingkirkan diagnosis banding kita dapat mengunakan pemeriksaan penunjangan seperti
pemeriksaan darah lengkap, foto rotgen thorax, elektrokardiografi, dan ekokardiogradi. Terapi
mendikamentosa diberikan untuk mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi
gejala mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala, jika gagal harus
dipikirkan intevensi bedah dan mekanik.

Kata kunci : Gagal jantung, kronik, sianosis

Abstract

Heart failure or HF a condition phatophysiology where there is a failure of the heart pumps blood
to suit the purposes of the network and this leads to the final stage of the entire heart disease. In
the physical examination of the chest and heart can be done with the order: inspection, palpation,
percussion, and auskulitasi. Inspections, in general things related to due heart disease is observed,
for example, looked tired, fatigue due to cardiac output low, tightness that showed a lung or
pulmonary edema dam. Central cyanosis with finger clubbing and distance related to the existence
of a right-to-left shunt flow. In addition to rule out a diagnosis of the appeal we can use clinical
assessmen such as complete blood examination, rotgen thorax photo, electrocardiography, and
ekokardiogradi. Mendikamentosa therapy is given to prevent progressive remodeling of the
myocardium as well as reduce symptoms prevent progressive remodeling of the myocardium as
well as reduce symptoms, if it fails must be thought intevensi surgical and mechanical.

Key words: heart failure, chronic, cyanosis

Pendahuluan

Manusia hidup dengan berbagai organ vital yang menunjang proses dalam tubuh. Jantung
merupakan organ vital yang berfungsi memompa darah keseluruh tubuh. Pada suatu kondisi
dengan sebab tertentu, terdapat ketidakmampuan curah jantung mengimbangi kebutuhan tubuh
akan pasokan dan pembuangan zat sisa, salah satu atau kedua ventrikel dapat secara progresif
melemah dan gagal. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah gagal jantung.1 Gagal jantung, yaitu
suatu kondisi patofisiologi di mana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai
dengan keperluan jaringan dan merupakan tahap terakhir dari seluruh penyakit jantung. American
Heart Association (AHA) melaporkan 5,2 juta penduduk Amerika Serikat menderita gagal
jantung.Di Indonesia, data Departemen Kesehatan tahun 2008 menunjukkan pasien yang dirawat
dengan diagnosis gagal jantung mencapai 14,449.2 Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
membahas tentang gagal jantung itu sendiri, pemeriksaan yang berkaitan, diagnosis banding,
penyebab, penyebaran, gejala klinis, serta penangan, komplikasi, dan prognosis dari gagal
jantung.
Ananmesis
Anamnesis mengacu pada pertanyaan-pertanyaan yang sistematis yaitu dengan berpedoman pada
empat pokok pikiran (The fundamental four) dan tujuh butir mutiara anamnesis (The sacred seven).
Keempat pokok pikiran tersebut adalah: riwayat penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu
(RPD), riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial ekonomi.3

Anamnesis dari skenario didapatkan seorang lelaki 60 tahun sering merasa sesak bila beraktivitas
sejak 6 bulan lalu. Selain itu pasien mengeluh batuk kering, tidak disertai demam dan nyeri dada.
Nafasnya sering tersengal-sengal, terutama bila berjalan agak jauh. Pasien merasa lebih nyaman
bila tidur dengan bantal yang agak tinggi. Dua bulan terakhir merasa kakinya sering bengkak. Dua
tahun ini pasien mengalami serangan jantung dan dilakukan katerisasi jantung. Satu tahun lalu
pasien menjalani Coronary Artery Bypass Graft(CABG). Riwayat darah tinggi sejak berusia 36
tahun dan diabetes militus pada usia 40 tahun. Riwayat minum obat aspirin 80mg 1x1 tab/hari,
bisoprolol 5mg 1x1 tab/hari.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga kesadaran pasien.
Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang terdiri dari
suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh yang normal adalah 36-37oC.
Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari mendekati 37oC. Tekanan darah
diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan
nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah
sekitar 60-80 kali permenit. Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per
menit.4
Pada pemeriksaan dada dan jantung, pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan urutan: inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskulitasi. Inspeksi, secara umum hal-hal yang berkaitan dengan akibat
penyakit jantung diamati, misalnya tampak lelah, kelelahan karena cardiac output rendah, sesak
yang menunjukkan adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan clubbing
finger dan kaki berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Begitu juga dengan ada
tidaknya edem. Khusus inspeksi organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks,
trikuspidal, pulmonal, aorta. Perlu juga melihat bentuk dada dan pergerakan napas.5
Pada palpasi, dengan menggunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergantung rasa
sensitivitasnya, meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang
diperhatikan dalam pemeriksaan adalah5
 Pulsasi
 Thrill yaitu getaran yang terasa pada tangan pemeriksa.
 Heaving yaitu rasa gelombang yang kita rasakan di tangan kita.
 Lift yaitu dorongan terhadap tangan pemeriksa
 Ictus cordis yaitu pulsasi apeks, biasanya terletak pada 2 jari medial dari garis midclavikula
kiri.
Dalam melakukan perkusi, telapak tangan kiri berikut jari-jarinya diletakkan di dinding dada,
dengan jari tengah sebagai landasan ketok, sedangkan telapak dan keempat jari lain agak diangkat.
Tujuannya agar tidak meredam suara ketukan. Hal yang dilakukan dalam perkusi adalah mencari
batas jantung kanan, kiri, atas, bawah, dan pinggang jantung. Batas kanan jantung dicari dari batas
paru-hati, lalu naik 2 jari dan diperkusi ke arah medial. Batas kiri jantung ditentukan dari garis
aksilaris anterior kiri, perkusi ke arah medial pada sela iga tiga hingga enam, yang mana yang
paling lateral. Batas atas jantung ditentukan pada garis sternal kiri. Pinggang jantung ditentuan
pada garis parasternal kiri.5
Dengan auskultasi akan didengarkan bunyi-bunyi dari jantung dan juga bising jantung bila ada
kelainan. Bunyi jantung normal terdiri atas bunyi jantung (BJ) I dan II. Di area apeks dan
tirkuspidalis BJ I lebih keras daripada BJ II, sedangkan di area basal yaitu pulmonal dan aorta, BJ
I lebih lemah daripada BJ II.
Berdasarkan skenario didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis.
Tanda-tanda vital dengan tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 65x/menit, frekuensi nafas
22x/menit, suhu afebris. Auskultasi dari thorax didapatkan gallop (+), ekstremitas terdapat
edema(+).
Pemeriksaan Penunjang
Foto Toraks

Foto toraks postero-anterior (PA) merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi
penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat
tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.5
Elektrokardiografi

Pemeriksaan EKG 12-sadapan dianjurkan dilakukan secara rutin. Kepentingan EKG yang utama
adalah untuk minilai irama jantung dan menentukan adanya hipertrofi LV atau riwayat MI (ada
tidaknya gelombang Q) serta untuk menentukan lebar QRS untuk memastikan apakah terapi
resinkronisasi dapat memebrikan manfaaat pada pasien. EKG yang normal hampir dpat
menyingkirkan disfunngai sistolik LV.
Ekokardiografi

Ekokardiografi harus dilakukan secepat mungkin pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Ekokardiografi memegang peranan penting untuk evaluasi kelainan struktural dan
fungsional dari jantung yang berkaitan dengan gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi
ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit
katup jantung dapat disingkirkan. Penemuan dengan ekokardiografi dapat langsung menentukan
strategi pengobatan.5
Diagnosa kerja
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, pasien pada kasus dalam
skenario ini menderita gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF). Gagal
jantung kronik adalah sindrom klinis yang terjadi pada pasien-pasien yang mengalami sekumpulan
tanda(edema) dan gejala(dyspnea dan kelelahan) klinis akibat kelainan struktur dan/atau fungsi
jantung herediter atau didapat, yang menyebabkan perawatan di rumah sakit secara berulang,
kualitas hidup yang buruk, serta memendeknya harapan hidup.6
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Diagnosis gagal
jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.

Kriteria Major Kriteria Minor

Paroksismal nokturnal dyspnea Edema ekstremitas

Distensi vena leher Batuk malam hari

Ronki paru Dispnea d'effort

Kardiomegali Hepatomegali

Edema paru akut Efusi pleura

Gallop S3 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Peninggian tekanan vena jugularis Takikardia (>120/menit)

Refluks hepatojugular

Terdapat klasifikasi gagal jantung menurut NYHA (New York Heart Association) yaitu:5

Kelas Kapasitas Fungsional

I Pasien tanpa keterbatasan aktivitas fisik


II Pasien dengan sedikit keterbatasan aktivitas fisik, dimana aktivitas fisik biasa
dapat mengarah pada kelelahan, jantung berdebar, dispnue, atau nyeri angina
; Nyaman saat istirahat.

III Pasien dengan keterbatasan aktivitas fisik yang jelas, dimana aktivitas fisik
kurang dari biasa dapat mengarah pada kelelahan, jantung berdebar, dispnue,
atau nyeri angina ; Nyaman saat istirahat.

IV Pasien tidak hanya tidak bisa melakukan aktivitas fisik tetapi juga mendapat
gejala gagal jantung atau sindrom angina bahkan saat istirahat;
ketidaknyamanan pasioen bertambah bila aktivitas fisik dilakukan

Tabel 1. Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung Menurut NYHA.7

Diagnosa banding
Gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronik menjadi differential kronik karena dapat menimbulkan gejala edema pada
extremitas. Pada saat dilakukan anamnesis biasanya gagal ginjal kronis akan memberikan
gambaran gejala uremik, termasuk penurunan selera, perubahan pola tidur, kesulitan
berkonsentrasi, restless tungkai atau mioklonus;dispneu dapat terjadi, tetapi biasanya kurang
menonjol daripada gagal jantung. Pasien-pasien dengan edema yang disebabkan oleh gagal ginjal
kronik sering memiliki bukti hipertensi arteri serta kongesti paru pada rotgen dada meskipun tanpa
pembesaran jantung, tetapi tidak mengalami ortopneu. Pasien-pasien dengan gagal ginjal kronis
juga dapat mengalami edema akibat retensi NaCl dan H2O ginjal primer.
Acute Respiratory Distress Syndrome
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-
kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma disertai kerusakan alveolar difus dan adanya
akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru. Patogenesis ARDS di mulai
dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskular. Kerusakan awal dapat
disebabkan oleh injury langsung atau tidak langsung yang menyebabkan pengaktifan kaskade
inflamasi yang di tandai dengan gagal napas dengan onset akut, rasio tekanan oksigen pembuluh
arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi <200mmHg yaitu terjadi hipoksemia berat, pada
radiografi toraks terdapat infiltrat alveolar bilateral sesuai dengan edema paru, tekanan baji kapiler
pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) <18 mmHg tanpa tanda klinis adanya hipertensi
atrial kiri atau tanpa adanya tanda klinis gagal jantung kiri.6
Etiologi
Semua faktor yang menyebabkan perubahan struktur dan fungsi LV dapat menjadi presdisposisi
terjadinya HF. Pada negara industri, penyakit arteri coroner(CAD) telah menjadi penyebab yang
dominan pada laki-laki dan perempuan, dan menyebabkan 60-75% kasus HF. Hipertensi berperan
dalam terjadinya HF pada 75% pasien, termaasuk sebagian besar pasien dengan CAD. CAD dan
hipertensi berinteraksi untuk meningkatkan risiko HF, begitu juga dengan diabetes melitus.6
Epidemiologi
HF merupakan masalah yang membebani seluruh dunia, dengan lebih dari 20 juta penderita.
Prevalensi HF secara keseluruhan pada populasi dewasa di negara-negara maju adalah 2%.
Prevalensi HF mwngikuti pola eksponensial, meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan
terjadi pada 6-10% populasi dengan usia diatas 65tahun. Meskipun insidensi HF pada perempuan
relative lebih rendah daripada laki-laki, prevalensi HF pada perempuan setidaknya mencapai 50%
kasus HF karena harapan hidupnya yang lebih panjang. Prevalensi di Amerika utara dan Eropa,
resiko HF seumur hidup kira-kira satu dari lima orang yang berusia 40 tahun. Prevalensi HF secara
keseluruhan diduga mengalami peningkatan, salah satunya karena terapi terbaru untuk gangguan
jantung seperti miokard infark, penyakit katup jantung dan aritmia.6
Patogenesis
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut sisi jantung yang terkena(gagal jantung kiri atau
kanan) atau siklus jantung yang terlibat (disfungsi sistolik atau diastolik).
Gagal jantung kiri, Gagal jantung kiri terjadi karena fungsi kontraksi ventrikel kiri tidak efektif.
Karena kegagalan ventrikel kiri memompa darah, curah jantung akan menurun. Darah tidak lagi
dapat dipompakan secara efektif keseluruh tubuh; darah ini akan kembali ke atrium kiri dan
kemudian kedalam paru-paru sehingga terjadi kongesti paru, dyspnea, serta intoleransi maka dapat
terjadi edema paru dan gagal jantung kanan. Penyebab gagal jantung kiri yang sering ditemukan
meliputi infark ventrikel kiri, hipertensi, dan stenosis katup aorta serta mitral.
Gagal jantung kanan, Gagal jantung kanan terjadi karena fungsi kontraksi ventrikel kanan tidak
efektif. Akibatnya, darah tidak lagi dipompa secara efektif ke dalam paru-paru sehingga darah
tersebut mengalir kembali ke dalam atrium kanan dan sirkulasi perifer. Pasien akan mengalami
penigkatan berat badan dan mengalami edema perifer serta kongesti renal dan organ lain. Gagal
jantung kanan dapat disebabkan oleh infark akut ventrikel kanan, hipertensi pulmoner, atau emboli
paru. Akan tetapi, penyebab gagal jantung kanan yang paling sering dijumpai adalah aliran balik
darah yang besar sebagai akibat gagal jantung kiri.
Disfungsi sistolik, Disfungsi sistolik terjadi kalau ventrikel kiri tidak dapat memompa cukup darah
keluar dari sirkulasi sistemik selama sistol dan terjadi penurunan fraksi ejeksi. Akibatnya, darah
mengalir balik ke dalam sirkulasi pulmoner dan tekanan di dalam sistem vena pulmoner
meningkat, Curah jantung menurun; gejala kelemahan, keletihan, dan sesak nafas dapat terjadi.
Penyebab disfungsi sistolik meliputi infark miokard dan kardiomiopati tipe dilatasi.
Disfungsi diastolik, Disfungsi diastolic terjadi ketika kemampuan ventrikel kiri untuk
mengadakan relaksasi serta terisi darah selama diastole berkurang dan terjadi penurunan volume
sekuncup (stroke volume). Dengan demikian diperlukan volume yang lebih besar dalam ventrikel
untuk mempertahankan curah jantung. Akibatnya, terjadi kongesti pulmoner dan edema perifer.
Disfungsi diastolic dapat terjadi sebagai akibat hipertrofi ventrikel kiri dan hipertensi.
Semua penyebab gagal jantung pada akhirnya akan curah jantung yang akan memicu mekanisme
kompensasi, seperti peningkatan aktivitas saraf simpatik, pengaktifan sistem RAA, dilatasi dan
hipertrofi ventrikel. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki curah jantung dan perbaikan
curah jantung ini menyebabkan kerja ventrikel semakin meningkat. Peningkatan aktivitas saraf
simpatik, yang merupakan respons terhadap penurunan curah jantung dan tekanan darah, akan
meningkatkan resistensi serta kontraktilitas vaskuler perifer, frekuensi jantung, dan aliran balik
vena. Tanda-tanda peningkatan aktivitas saraf simpatik, seperti ekstremitas terasa dingin dan
basah, dapat menunjukkan gagal jantung yang akan terjadi.6,7
Manifestasi klinis
Gejala utama dari gagal jantung adalah kelelahan dan napas yang pendek. Meskipun kelelahan
biasanya sudah dianggap pada rendahnya cardiac output dalam gagal jantung, seperti pada
keabnormalan sistem muskuloskeletal dan sakit bukan jantung lainnya (misalnya anemia), juga
berperan dalam gejala ini. Dalam tahap awal gagal jantung, dispnue diamati hanya pada
pengerahan tenaga; namun, dalam perkembangan penyakitnya, dispnue terjadi dalam level stress
yang lebih rendah, dan mungkin dapat terjadi saat istirahat. Penyebab dari dispnue dalam gagal
jantung mungkin multifaktorial. Mekanisme paling penting adalah kongesti paru dengan
akumulasi dari jaringan interstisial atau cairan intraalveolar, dimana aktivitas reseptor juxtakapiler
J, yang menstimulasi dengan cepat, karakteristik napas pendek dari dispnue jantung. Faktor lain
yang berkontribusi pada dispnue dalam tenaga termasuk reduksi dalam compliance paru,
penambahan resistensi sirkulasi, otot pernapasam dan/atau kelelahan diafragma, dan anemia.
Dispnue mungkin menjadi lebih rendah frekuensinya dengan onset kegagalan ventrikel kanan dan
regurgitasi trikuspidalis.9

Gejala ortopnue, dimana didefinisikan sebagai dispnue yang terjadi dalam posisi terlentang,
biasanya manifestasi lanjut dari gagal jantung dibanding dispnue oleh pengerahan tenaga. Hal
tersebut dihasilkan dari redistribusi cairan dari sirkulasi splanicus dan ekstremitas bawah menuju
sirkulasi sentral selama terlentang, dengan diakibatkan meningkat tekanan dalam kapiler
pulmonal. Batuk nokturnal merupakan manifestasi yang biasa terjadi dalam proses ini dan
biasanya diabaikan sebagai gejala gagal jantung. Ortopnue secara umum lebih lega dengan duduk
tegak lurus atau tidur dengan bantal khusus. Meskipun ortopnue merupakan gejala spesifik gagal
jantung, mungkin terjadi dalam pasien obesitas abdomen atau ascites dan pasien dengan penyakit
paru yang mekanisme parunya mendukung posisi tegak lurus.9

Gejala lainnya adalah paroxysmal noxturnal dyspnea (PND). Istilah ini mengacu pada episode
akut sesak napas yang hebat dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan
membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi
dengan batuk atau wheezing, mungkin karena tekanan yang bertambah di dalam arteri bronkial
mengarah kepada kompresi jalan napas, sejalan dengan edema paru interstisial yang mengarah ke
penahanan jalan napas. Padahal orthopnue mungkin lebih baik dengan duduk tegak disamping
berbaring di kasur dengan kaki dalam posisi tertentu, pasien dengan PND sering mempunyai batuk
persisten dan wheezing bahkan setelah mereka berada di posisi tegak lurus. Cardiac asthma
berkaitan erat dengan PND, dikarakterisitikkan dengan wheezing sekunder menuju bronkospasme,
dan haris dibedakan dengan asma promer dan penyakit paru karena wheezing.9

Ada pula gejala yang disebut pernapasan Cheyne-stokes, juga dikaitkan sebagai pernapasan
periodik. Pernapasan Cheyne-Stokes diderita 40 pasien dengan gagal jantung dan biasanya
diasosiasikan dengan cardiac output yang rendah. Pernapasan Cheyne-Stokes ini disebabkan
kurangnya sensitivitas dari pusat respirasi menuju tekanan PCO2 arteri. Ada fase apneu, selama PO2
arteri turun dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan dalam kandungan gas darah arteri menstimulasi
turunnya pusat pernapasan, menyebabkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti dengan
kekambuhan apneu. Pernapasan Cheyne-Stokes mungkin dirasakan oleh pasien atau keluarga
pasien sebagai dispnue parah atau penghentian sementara pernapasan.9

Pasien dengan gagal jantung mungkin menunjukkan gejala gastrointestinal. Anoreksia, nausea,
dan rasa penuh yang cepat yang berkaitan dengan nyeri perut dan kekenyangan adalah masalah
biasa dan mungkin berelasi dengan edema dari dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti hati
dan perenggangan kapsulnya mungkin mengarah pada nyeri kuadran kanan atas. Gejala serebral
seperti kebingungan, disorientasi, dan tidur dan gangguan mood mungkin diamati dalam pasien
dengan gagal jantung parah, khususnya pasien tua dengan cerebral arteriosclerosis dan
pengurangan cerebral perfusion. Nokturia adalah gejala yang biasa terjadi pada gagal jantung dan
berkontribusi pada insomnia.7,9

Penatalaksanaan
Non mendikamentosa
Terapi nonfarmakologi antara lain dapat berupa edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal
jantung, dan manajemen diet, yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat badan bila
dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, dan asupan kalori adekuat. Penelitian menunjukkan
bahwa pembatasan aktivitas fisik yang berlebihan akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan
muskuloskeletal. Latihan fisik yang sesuai akan memperbaiki kapasitas fungsional dan kualitas
hidup pasien gagal jantung. Dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien
gagal jantung di usia tua sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

Mendikamentosa

Prinsip dasar terapi farmakologi gagal jantung adalah mencegah remodelling progresif
miokardium serta mengurangi gejala. Gejala dikurangi dengan cara menurunkan preload(aliran
darah balik ke jantung), afterload (tahanan yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan memperbaiki
kontraktilitas miokardium.

Angiotensin – converting enzyme (ACE) inhibitors menghambat konversi angiotensin I menjadi


angiotensin II yang merupakan suatu vasokonstriktor dan membantu aktivasi bradikinin
(vasodilator poten). Vasodilatasi terjadi sebagai akibat penurunan kadar vasokonstriktor
angiotensin II dan peningkatan kadar bradikinin. Penurunan kadar angiotensin II turut menurunkan
sekresi aldosteron.ACE inhibitors dianjurkan sebagai obat lini pertama baik pada pasien dengan
atau tanpa keluhan. Sesuai dengan tingkat keparahan gagal jantung pasien, ACE inhibitors dapat
dikombinasikan dengan obat diuretik, β – blockers, digoksin, aldosterone antagonists, dan
hidralazin – isosorbid dinitrat. Obat ini harus segera diberikan apabila ditemui tanda dan gejala
gagal jantung, atau segera sesudah infark jantung.

ACE inhibitors diberikan secara oral, tetapi makanan dapat mengurangi absorpsi obat seperti
captopril dan harus diambil dalam keadaan perut kosong. Waktu paruh obat adalah 2 – 4 jam. Efek
samping obat antara lain adalah hipotensi postural, insufisiensi renal, hiperkalemia, batuk kering
persisten, dan angioedema. Kadar kalium harus dipantau, terutama apabila digunakan bersamaan
dengan suplemen kalium, diuretik hemat kalium atau aldosterone antagonists karena dapat
menyebabkan hiperkalemia. Apabila terdapat retensi cairan harus diberikan bersama diuretik.
ACE inhibitors dikontraindikasikan pada wanita hamil karena bersifat tetratogenik.

Diuretik adalah obat utama mengatasi gagal jantung akut yang selalu disertai kelebihan cairan
yang bermanifestasi sebagai edema perifer. Diuretik dengan cepat menghilangkan sesak nafas dan
meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air dan garam
sehingga mengurangi volume cairan ekstraselular, arus balik vena dan preload. Untuk tujuan ini
biasanya diberikan diuretik kuat yaitu furosemid dengan dosis awal 40 mg, ditingkatkan sampai
diperoleh diuresis yang cukup. Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus sering dipantau. Setelah
euvolemia tercapai dosis harus segera diturunkan sampai dosis minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan euvolemia.

β – blockers(contohnya metoprolol, bisoprolol dan carvedilol) direkomendasi pada semua gagal


jantung ringan, sedang dan berat yang stabil baik karena iskemi atau kardiomiopati non iskemi
dalam pengobatan standard seperti diuretik atau ACE inhibitors; dengan syarat tidak ditemukan
adanya kontraindikasi terhadap β – blockers. Pemberian β – blockerspada gagal jantung sistolik
akan mengurangi kejadian iskemi miokard, mengurangi stimulasi sel – sel jantung dan efek aritmia
jantung dan dengan demikian mengurangi risiko kematian mendadak. Obat ini juga menghambat
pelepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA,akibatnya terjadi penurunan hipertrofi
miokard, apoptosis dan fibrosis miokard dan remodelling miokard, sehingga progresi gagal
jantung akan terhambat dan dengan demikian menghambat perburukan kondisi klinis.
Pemberiannya dapat dikombinasi dengan ACE inhibitors dan diuretik.
Digoksin diindikasikan pada pasien dengan gagal jantung dan fibrilasi atrial, dan kebiasaannya
hanya akan diberikan setelah pengobatan dengan ACE inhibitor dan diuretik gagal. Dosis digoksin
yang direkomendasi adalah 0,125 – 0,25 mg / hari; lebih selamat dan sama efektif dengan dosis
yang digunakan pada ‘rapid method’, di mana dosis yang diberikan adalah 0,5 – 0,75 mg setiap 8
jam yang kemudiannya diturunkan menjadi 0,125 – 0,25 mg / hari. Digoksin memiliki efek
inotropik positif, di mana obat ini dapat memperbaiki gejala dan mengurangi rawat inap akibat
memburuknya gagal jantung. Mortalitas menurun pada pasien dengan konsentrasi digoksin serum
< 0,9 ng / ml, tetapi meningkat apabila konsentrasi > 1,5 ng / ml.

Nitrat dapat diberikan sebagai tambahan apabila ada keluhan angina atau sesak; jangka panjang
tidak terbukti memperbaiki simtom gagal jantung. Dengan pemakaian dosis yang sering dapat
terjadi toleran (takipilaksis); dianjurkan interval 8 atau 12 jam, atau kombinasi dengan ACE
inhibitors. Nesiritid adalah klas obat vasodilator baru dan merupakan rekombinan otak manusia
yang dikenal sebagai natriuretik peptida tipe B. Obat ini identik dengan hormon endogen dari
ventrikel yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner, dan menurunkan preload dan
afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik. Hidralazin – isosorbid dinitrat dapat
dipakai sebagai tambahan pada keadaan di mana pasien tidak toleran terhadap ACE inhibitor.

Pada gagal jantung kronik yang mengalami kegagalan menstabilkan pasien dengan HF refrakter,
intervensi mekanis dan bedah dapat memberikan dukungan sirkulasi yang efektif. Intervensi-
intervensi tersebut meliputi intra-aortic balloon counter pulsation, alat bantu LV perkutan atau
yang diimplan secara operatif, dan transplantasi jantung.2,6

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dapat berupa tromboemboli, fibrilasi atrium, dan aritmia ventrikel.
Tromboemboli yaitu risiko terjadinya bekuan vena atau thrombosis vena dalam (DVT/deep venous
thrombosis) dan emboli paru serta emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat, dapat
diturunkan dengan pemberian warfarin. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang
bisa menyebakan perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut
jantung (dengan pemberian digoksin/ β bloker) dan pemberian warfarin. Kegagalan pompa
progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretic dengan dosis yang ditinggikan. Transplantasi
jantung merupakan pilihan pada pasien tertentu. Serta komplikasi aritmia vertrikel sering
dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau kematian jantung mendadak (25-50% kematiaan pada
CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, β bloker, dan defibrillator yang ditanam
mungkin turut mempunyai peranan.10
Prognosis
Meskipun akhir-akhir ini banyak kemajuan dalam hal evaluasi dan penanganan HF, terjadinya HF
simptomatis masih membawa prognosis yang buruk. Studi berbasis komunitas menunjukkan
bahwa 30-40% pasien meninggal dalam waktu 1 tahun setelah didiagnosis dan 60-70% meninggal
dalam waktu 5 tahun, terutama akibat perburukan HF atau serangan mendadak (kemungkinan
akibat aritmia ventrikel). Meskipun sulit memprediksi prognosis pada setiap pasien, secara umum
pasien-pasien dengan gejala yang muncul saat istirahat (New York Heart Association kelas IV)
memiliki angka mortalitas tahunan sebesar 30-70%, sedangkan pasien-pasien dengan gejala yang
muncul saat aktivitas sedang (NYHA kelas II) memiliki angka mortalitas tahunan sebesar 5-10%.
Karena itu status fungsional merupakan penilaian yang penting untuk memprediksi prognosis
pasien.6

Kesimpulan
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis kerja pada laki-laki usia
60 tahun adalah penyakit gagal jantung kronik. Terapi mendikamentosa dan non medikamentosa
harus diberikan secara tepat dan jika usaha terapi mendikamentosa gagal dapat dipertimbangkan
intervensi bedah dan mekanik. Walaupun perkembangan penanganan gagal jantung sudah banyak
kemajuan, akan tetapi prognosis untuk penyakit ini masih buruk. Pencegahan terpenting penyakit
ini adalah berhenti merokok, perbaikan gaya hidup seperti tidak minum minuman beralkohol serta
menurunkan berat badan pada pasien obesitas.

Daftar Pustaka:
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011.h.327,
340-4, 355.
2. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s manual
of medicine. 18th ed. New York: McGraw Hill; 834-42, 879-86, 895-8.
3. Bickley LS. Bates’ guide to physical examination and history taking. 11th ed. China:
Wolters Kluwer Health 2013;h.115-208
4. Aaronson PI, Ward JPT. At a glance sistem kardiovaskular: anamnesis dan pemeriksaan
fisik kardiovaskular. 3th ed. Jakarta: EGC, 2011. h. 24.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular. Pedoman tatalaksana gagal jantung.
Indonesia Heart Association 2015. Avaiable from URL:
www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksana_Gagal_Jantung_2015.pdf
6. Loscalzo J. Harison kardiologi dan pembuluh darah : Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2014;p. 168-185.
7. Ghanie A. Gagal jantung kronik. Dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. 4th ed.
Jakarta : Interna Publishing; 2017: p. 1150.
8. Heart Failure, diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/163062-
overview, 23september 2018)
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi Robbins. Edisi ke-7. Jakarta:

EGC; 2007. h. 578-80
 


10. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009. h.224-7; 725-31.

Anda mungkin juga menyukai