PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding fatherstelah
menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara.
Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan Negara
sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada
era kembali ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita desentralisasi senantiasa
dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke periode
lainnya terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya.
Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah penting
sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan
cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikia, kenyataan membuktikan bahwa cita tersebut
masih jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai harapan ketimbang
sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi
Daerah belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru menuju kea
rah Otonomi Daerah yang sebenarnya.
B. Rumusan Masalah
A. Menjelaskan pengertian otonomi daaerah.
B. Menjelaskan sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia.
C. Menjelaskan dasar hukum dan landasan teori otonomi daerah.
D. Menjelaskan tujuan dan prinsip otonomi daerah.
E. Menjelaskan otonomi daerah dan demokratisasi.
C. Tujuan penulisan
Untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua
mahasiswa pada umumnya mampu memahami bagaimana otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
2
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan.
batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
B. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Warisan Kolonial Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No.
329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan
sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S.
216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente,
dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga,
terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat
(zelfbestuurende landschappen).3
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah
kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa
pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
1. Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara
ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di
Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun
berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak
penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah
hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di
daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
2. Masa Kemerdekaan
a. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi,
mengatur pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah
terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.
3
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial sampai Saat
Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.
Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
4
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial
sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU
No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru
ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi,
antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan
kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi
terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota.
Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD
semakin di pertegas dan di perjelas.
5
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
b. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan
aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan
adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem
pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan
pardigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai
pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll)
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya
adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan
mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan
umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan
yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan
ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan
sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya
pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.6
c. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan
pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an
terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah
pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah
pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap
tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang
meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh
pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat
merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya
suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia.
Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan
“membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
6
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah
dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan.
Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal
yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar
ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi
masyarakat.7
7
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan.
8
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
d. Dilihar dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Untuk mencapai tujuan otonomi daerah tersebut, sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Para
pejabat harus memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang diembannya merupakan sebuah
amanah yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan. Selain itu, kita semua juga
memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam rangka tercapainya tujuan otonomi daerah.
Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya bukan hal yang mudah karena tidak mungkin
dilakukan secara instan. Butuh proses dan berbagai upaya serta partisipasi dari banyak
pihak. Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan serta kerjasama dari berbagai pihak untuk
mencapai tujuan ini.9
2) Prinsip Otonomi Daerah
Atas dasar pencapaian tujuan diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam
pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004):
a. Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang
menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
b. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani
urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban
yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap
daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-
benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama dari tujuan nasional.
9
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
accaountability, dan local responsiveness. Diantara prasyarat yang harus dipenuhi untuk
mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan
yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri(local own
income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol
eksekutif daerah; dan adanya kepala daerah yang dipilih sediri oleh masyarakat daerah
melalui pemilu ( local leader axecutive by election).
Dengan rumusan dan tujuan otonomi daerah semacam ini, keberadaan kebijakan
otonomi daerah akan mampu menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Argumen
dasarnya adalah, dengan konsep tersebut diasumsikan masyarakat akan memiliki akses yang
lebih besar dalam mengontrol penyelenggarah pemerintahan di daerah. Sementara, pada sisi
lain, pemerintahan daerah sendiri, akan lebih responseif terhadap berbagai tuntutan yang
datang dari komunitasnya. Dengan demikian, agenda demokratisasi merupakan sesuatu
yang tidak boleh diabaikan dalam melaksanakan otonomi daerah apabila keadilan dan
kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat daerah menjadi target pencapaian.
Keterkaitan otonomi daerah dengan demokratisasi pernah diungkapkan oleh mohammad
Hatta, proklamator RI, dalam suatu kesempatan,
... memberikan otonomi daerah tidak saja berati melaksanakan demokrasi, tetapi
mendorong berkembangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit Artinya tidak sendiri,
melaksanakan sendiri apa yang dianggap peting bagi lingkungannya sendiri. Dengan
berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, y.i.
pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga dan utama memperbaiki nasibnya sendiri.
Pentingnya agenda demokratisasi dalam rangka otonomi daerah antara lain bertolak dari
asumsi bahwa cita-cita demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa
tidak semata-mata ditentuka bentuk negara ( negara kesatuan dan negara federal), melainkan
melalui sistem politik yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi
kekuasaa secara sehat dan fair, adanya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi
hukum dan hak asasi manusia ( HAM ). Serta struktur ekonomi yang adil dan berorientasi
kerakyatan. Kesemua itu jauh lebih dari “sekedar” bentuk negara.
Krisis multidimensi dan ancaman disentigrasi nasional dewasa ini tidak semata-mata
bersumber pada “kesalahan” bentuk negara, tetapi lebih pada format politik sentralistik-
outoriter dan struktur ekonomi kapitalistik – eksploitatif yang diwariskan rezim order baru.
Karena itu pemberian otonomi bagi daerah tidak dipandang sebagai agenda yang terpisah
dari agendaa besar demokratisasi kehidupan bangsa. Kesalahan aplikasi kebijakan
pemerintahan daerah melalui UU no.5 Tahun 1974 Dimasa orde baru antara lain karena
tujuan utama dari kebijakan tersebut lebih dititip beratkan pada upaya menciptakan efisiensi
dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembagunan di daerah ketimbanga
sebagai agenda yang menyatu dengan proses demokratisasi.
Konsekuensi logis dari cara pandang diatas adalah,pertama otonomi daerah harus
dipandang sebagai intsrumen desentralisasi/demokratisasi dalam rangka mempertahankan
keutuhan serta keberangaman bangsa. Dalam kaitan ini otonomi daerah bukan tujuan
melainkan cara demokratis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan semua unsur
bangsa tanpa kecuali. Kedua, otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi
rakyat daerah, bukan otonomi bagi “daerah” dalam pengertian suatu wilayah atau teritorial
tertentu ditingkat lokal. Kalaupun pada akhirnya implementasi otonomi daerah dilakukan
oleh pemda, kewenagan itu diperoleh karena pemda dipilih oleh pemilu yang adil, jujur dan
demokratis. Argumen yang medasari pemikiran ini adalah substansi demokrasi atau
demokratisasi itu sendiri ialah terwujudnya cita-cita kedaulatan rakyat. Dimana rakyat daat
menentukan kehendaknya melalui ruang partisipasi seluas mungkin alam proses
penyelenggara negara. Ketiga oronomi daerah merupakan hak rakyat daerah yang
seharusnya inheren didalam agenda demokrasi atau demokratisasi. Dengan begitu otonomi
daerah tidak bisa di distorsikan kepada bagian persoalan “ penyerahan urusan” atau
pelimpahan kewenagan dari pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Penyerahan urusan
atau pelimpahan kewenangan hanyalah instrumen asministeratif bagi impelentasi bagi hak
daerah dalam mengurus rumah tangga daerahnya masing- masing.keempat daerah tidak bisa
dipandang bersifat komplementer bagi keduannya, dalam pengertian saling membutuhkan
secara timbal balik. Ini berarti bahwa kebijakan otonomi bagi setiap daerah harus dipandang
perjanjian atau “kontrak” antar pusat-daerah yang dicakupkannya hasil dialog dan
musyawarah pada pemerintah pusat dan pusat wakil-wakil rakyat.
Sebagai bagian dari demokratisasi otonomi daerah yang mesyaratkan pula adanya
struktur perwakilan politik, berlakunya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi
hukum dan rasionalitas biokrasi, baik di tengkat pusat maupun di daerah. karena itu,
otonomi daerah sebgai pradikma baru mengahruskan perubahan strujtur lembaga ke
negaraan, sistem pemilu, restrukturisasi lembaga peradilan, dan perubahan biokrasi
patriomunial yang mengabdi pada kekuasaan- menjadi borakrasi nasional yang melayani
kepentingan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri
dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Otonomi dalam makna sempit dapat
diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”.
Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan
dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Ada beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
3) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan negara.
Beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi politik, ekonomi, pemerintahan dan
sosial budaya, yaitu sebagai berikut.
a. Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah
penumpukan kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk
menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan
hak-hak demokrasi.
b. Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai
pemerintahan yang efisien.
c. Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaran otonomi daerah diperlukan agar
perhatian lebih fokus kepada daerah.
d. Dilihar dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak
Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten.
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber
Daya. Bandung: Djambatan.
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.