Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi

badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan

panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median

standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi

kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi

ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita

stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai

perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan

No.1995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Standar

Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek

adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur

(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan istilah

stunting atau severely. Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila balita sudah

dapat diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar

baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005 dan

didapatkan hasil nilai z-score <-2 SD, sedangkan dikatakan sangat pendek

apabila hasil z-score <-3 SD (Kemenkes RI 2016).


B. Etiologi

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan

oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.

Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting

oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)

dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab

stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan

ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta

setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada

menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air

Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak

menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI

diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain

berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga

dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat

disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan

sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal

Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal

Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan

dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat


kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi

64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan

imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi

sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan

pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum

terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).

3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini

dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.

Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS),

komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New

Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di

Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat

telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.

4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan

menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air

besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki

akses ke air minum bersih. (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan

Kemiskinan, 2017).

5. Asupan Energi

Gizi yang baik dan kesehatan adalah bagian penting dari kualitas hidup

yang baik, Gizi yang cukup diperlukan untuk menjamin pertumbuhan

optimal dan pengembangan bayi dan anak. Kebutuhan gizi sehari-hari


digunakan untuk menjalankan dan menjaga fungsi normal tubuh dapat

dilakukan dengan memilih dan mengasup makanan yang baik (kualitas dan

kuantitasnya) (Almatsier dalam anisa, 2012).

Asupan zat gizi yang tidak adekuat, terutama dari total energi,

protein,lemak dan zat gizi mikro, berhubungan dengan defisit

pertumbuhan fisik di anak pra sekolah Namun konsumsi, diet yang cukup

tidak menjamin pertumbuhan fisik yang normal, karena kejadian penyakit

lain, seperti infeksi akut atau kronis, dapat mempengaruhi proses yang

kompleks terhadap terjadinya atau pemeliharaan defisit pertumbuhan pada

anak.(anisa, 2012)

Kebutuhan Energi Balita Berdasarkan Angka

Kecukupan Gizi (AKG) 2004 Rata-rata Perhari

Kelompok energi

No Umur (kkal)

1 0-6 bln 550

2 7-12 bln 650

3 1-3 th 1000

4 4-6 th 1550

Sumber: http://gizi.depkes.go.id.dalam Anisa 2012

6. Asupan Protein
Protein merupakan zat pengatur dalam tubuh manusia. Pada balita

protein dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi

tubuh, dan untuk sintesis jaringan baru. Selain itu, protein juga dapat

membentuk antibodi untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap infeksi dan

bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh (Almatsier, dalam Anisa

2012).

Perkiraan kebutuhan protein dalam pertumbuhan berkisar dari 1 sampai

4 g/kg pertambahan jaringan. evaluasi asupan protein anak harus

berdasarkan: (1) tingkat pertumbuhan, (2), kualitas protein dari makanan

yang diasup, (3) kombinasi makanan yang menyediakan asam amino

komplementer ketika dikonsumsi bersamaan, (4) asupan vitamin,

mineral, dan energi yang adekuat. Semua komponen tersebut penting

dalam sintesis protein (Trahms & Pipes, dalam Anisa 2012)

Kebutuhan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi

(AKG) 2004 Rata-rata Perhari


Kelompok protein

No Umur (gram)

1 0-6 bln 10

2 7-12 bln 16

3 1-3 th 25

4 4-6 th 39

Sumber: http://gizi.depkes.go.id

Menurut WHO, kebutuhan protein adalah sebesar 10 – 15% dari

kebutuhan energi total (Almatsier, dalam Anisa 2012). Asupan protein

yang adekuat telah menjadi perhatian dan kontroversi di komunitas gizi

internasional untuk 50 terakhir tahun. Protein sering dikonsumsi dalam

hubungannya dengan energi dan zinc. Zat gizi tersebut penting untuk

fungsi normal dari hampir semua sel dan proses metabolisme, dengan

demikian defisit dalam zat gizi tersebut memiliki banyak efek klinis. Di

sub-Sahara Afrika 38% anak stunting dan 9% wasting, walaupun penyebab

dari kelainan antropometri adalah multifaktorial, namun beberapa anak-

anak di daerah tersebut, hidup dengan diet dengan asupan protein yang

tidak memadai (Assis et al, dalam Anisa 202).

Kelaparan atau semi-kelaparan juga dapat mengubah komposisi

tubuh. Protein tidak hanya tidak bertambah, tapi juga habis digunakan,
sehingga massa sel tubuh berkurang. Mengenai komposisi rinci tentang

diet yang sesuai untuk pertumbuhan normal, masih banyak yang harus

digali lebih lanjut. Asupan protein yang adekuat merupakan hal penting,

karena terdapat sembilan asam amino yang telah diklaim penting untuk

pertumbuhan, dan tidak adanya satu saja asam amino tersebut akan

menghasilkan pertumbuhan yang terhambat. Kekurangan zat gizi protein

merupakan faktor utama dalam kondisi yang sudah dikenal dengan sebutan

kwarshiorkor, dimana akan ada perlambatan pertumbuhan dan pematangan

tulang (Sinclair, dalam anisa 2012).

Penelitian yang dilakukan pada pada anak sekolah di brazil

menunjukan tidak adekuatnya asupan protein berhubungan signifikan

dengan kejadian stunting (Assis et al, dalam Anisa 2012). Penelitian yang

dilakukan oleh Stephenson et al.dalam Anisa 2012) juga menyebutkan hal

yang sama, pada anak usai 2 – 5 tahun di Kenya dan Nigeria asupan protein

yang tidak adekuat berhubungan dengan kejadian stunting.

7. Faktor Pendidikan ibu

Tingkat pendidikan merupakan jenjang terakhir yang ditempuh

seseorang dimana tingkat pendidikan merupakan suatu wahana untuk

mendasari seseorang berperilaku secara ilmiah. Pendidikan merupakan

salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena
berhubungan dengan kemampuan seseorang menerima dan memahami

sesuatu, karena tingkat pendidikan seorang ibu dapat mempengaruhi pola

konsumsi makan melalui cara pemilihan makanan pada balita. Pendidikan

ibu muncul sebagai prediktor utama stunting, merupakan faktor rumah

tangga yang dapat dimodifikasi, memiliki hubungan yang kuat dan konsisten

dengan status gizi buruk (Hagos et al, Dwiwardani 2017).

Menurut penelitian Subarkah et al., (2016) di Posyandu Kalijudan Kota

Surabaya menjelaskan bahwa pendidikan ibu mempengaruhi pola makan

yang tepat pada anak usia 1-3 tahun. Faktor Pendidikan ibu merupakan

faktor yang penting dalam hal pemilihan jenis dan jumlah makanan serta

penentuan jadwal makan anak sehingga pola pemberian makan tepat dan

sesuai usia 1-3 tahun. Apabila pola pemberian makan tidak tepat maka anak

akan mengalami status gizi kurang. Sama halnya dengan penelitian

(Aridiyah et al dalam Dwiwardani 2017) yang menunjukkan adanya

hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak

balita. Secara tidak langsung tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi

kemampuan dan pengetahuan ibu mengenai perawatan kesehatan terutama

dalam memahami pengetahuan mengenai gizi.

8. Faktor pola pemberian makan

Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting adalah

asupan gizi (Kemenkes RI, dalam Dwiwardani 2017). Pola pemberian

makan dapat memberikan gambaran asupan gizi mencakup jenis, jumlah,


dan jadwal makan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi (Kemenkes RI, dalam

Dwiwardani 2017). Pola pemberian makan pada tiap usia berbeda-beda.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Subarkah dalam Dwiwardani 2017,

bahwa pola pemberian makan yang tepat pada balita, sebagian besar balita

memiliki status gizi normal. Ibu yang memiliki pola pemberian makan yang

baik, menunjukkan bahwa ibu telah memberikan makanan yang tepat

kepada balita yaitu makanan yang diberikan sesuai dengan usia anak dan

memenuhi kebutuhan nutrisi anak (Kumala dalam Dwiwardani 2017).

9. Faktor pengetahuan ibu

Pengetahuan ibu mengenai gizi merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita Secara tidak langsung

tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi kemampuan dan pengetahuan

ibu mengenai perawatan kesehatan terutama dalam memahami

pengetahuan mengenai gizi (Aridiyah et al, dalam Dwiwardani 2017).

10. Faktor Ekonomi

Pendapatan keluarga menjadi faktor yang berhubungan dengan stunting

pada anak balita. Apabila ditinjau dari karakteristik pendapatan keluarga

bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan bayi dan berbagai masalah

gizi lainnya salah satunya disebabkan dan berasal dari krisis ekonomi.

Sebagian besar anak balita yang mengalami gangguan pertumbuhan

memiliki status ekonomi yang rendah (Aridiyah et al. 2015). Status

ekonomi yang rendah berdampak pada ketidakmampuan untuk


mendapatkan pangan yang cukup dan berkualitas karena rendahnya

kemampuan daya beli. Kondisi ekonomi seperti ini membuat balita stunting

sulit mendapatkan asupan zat gizi yang adekuat sehingga mereka tidak

dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan (catch up) dengan baik

(Anugraheni dalam Dwiwardani 2017).

11. Faktor Budaya dan Gaya Hidup

Faktor budaya dan gaya hidup dapat mempengaruhi kejadian stunting

pada balita. Beberapa budaya atau perilaku masyarakat Madura yang terkait

dengan masalah kesehatan khususnya gizi kurang pada anak yaitu tradisi

perempuan Madura khususnya di daerah pedesaan yaitu menikah usia

muda, kebiasaan ini didasarkan adanya ikatan pertunangan bagi anak

perempuan yang sudah memasuki usia menstruasi (Hidayat et al, dalam

Dwiwardani 2017). Mayoritas perempuan Madura menikah ketika usia

dibawah 20 tahun (Yunitasari, Pradanie and Susilawati 2016). Hal ini akan

berpengaruh pada pengetahuan dan kesiapan untuk merawat anak (Hidayat

et al, dalam Dwiwardani 2017). Penelitian yang dilakukan di Sub-Sahara

Africa juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara anak

yang lahir dari wanita yang menikah usia muda terhadap kejadian stunting

(Efevbera et al, Dwiwardani 2017).

Pola pemberian MP-ASI dini pada anak balita merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting (Aridiyah et al, Dwiwardani

2017). MP-ASI pada usia dini (0–2 bulan) dapat meningkatkan risiko
stunting pada balita usia 24 – 48 bulan (Anugraheni dalam Dwiwardani

2017). Di kabupaten Sumenep, ibu mempunyai kebiasaan memberikan air

degan kelapa hijau dan air madu pada saat bayi baru lahir. Selain bayi

berusia 0 bulan sampai usia 6 (enam) bulan, juga mendapat makanan

tambahan lain berupa biskuit, telur, daging dan lain-lain. Keadaan ini

menyebabkan ibu tidak dapat memberikan inisiasi menyusu dini dan ASI

eksklusif pada bayi (Adriani dalam Dwiwardani 2017). Tradisi ibu-ibu di

Madura yang menganggap anak yang sehat adalah anak yang gemuk.

Budaya memberi makan yang belum waktunya sudah menjadi hal yang

biasa, seperti diberi nasi pisang saat masih usia bayi, atau juga budaya ter

ater saat bayi lahir. Terdapat juga budaya pemberian makan dini dengan

istilah pemberian lontong, gedheng sabeh atau gedheng sapeh dan gedheng

gaji selama bayi agar anaknya cepat besar dan kuat, selain itu pula tradisi

pemberian makan/minum kelapa muda atau ro’moro’ dan madu yang

dijadikan sebagai makanan bayi (Hidayat et al, Dwiwardani 2017).

Selain itu budaya di Madura lebih banyak mengkonsumsi nasi dan

sedikit jenis sayuran dan sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu,

daging. Sehingga dapat mempengaruhi status gizinya (Hidayat et al. 2013).

Ibu-ibu di Sumenep juga mempunyai kebiasaan memberikan mie instan,

sebagai pengganti nasi untuk konsumsi balita. Kebiasaan ini karena balita

mengalami kesulitan makanan, sehingga para ibu lebih memilih

memberikan mie instan yang lebih disukai balita. Sebagian besar ibu balita
memberikan makanan pada balita agar kenyang dan tidak rewel. Pemberian

makanan tersebut lebih diutamakan sesuai dengan keinginan anak tanpa

memperhatikan nilai gizi makanan yang seimbang, sehingga makanan yang

dikonsumsi hanya mengandung sumber karbohidrat (Adriani dalam,

Dwiwardani 2017). Budaya di Madura lebih banyak mengkonsumsi nasi

dan sedikit jenis sayuran dan sangat jarang mengkonsumsi telur dan, susu

dan daging (Hidayat et al, Dwiwardani 2017)

Konsumsi makanan balita sebagian besar tidak sesuai dengan aturan

pola makan balita sesuai usia. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus

maka balita akan kekurangan zat gizi, sehingga dapat menghambat

pertumbuhan balita dan akhirnya menjadi pendek-sangat pendek (stunting)

(Adriani dalam, Dwiwardani 2017).

12. Sanitasi

Higene dan sanitasi yang rendah yang rendah dapat menyebabkan faktor

kejadian stunting pada balita. Anak yang tinggal di lingkungan dengan

sanitasi rendah lebih rawan terkontaminasi bakteri (Anugraheni dalam

Dwiwardani 2017).

13. Penyakit Infeksi

Timbulnya status gizi stunting tidak hanya karena makanan yang kurang

tetapi juga karena penyakit. Kejadian penyakit infeksi berulang tidak hanya

berakibat pada menurunnya berat badan atau akan tampak pada rendahnya

nilai indikator berat badan menurut umur, akan tetapi juga indikator tinggi
badan menurut umur. Hal tersebut bisa dijelaskan bahwa status gizi stunting

disebut juga sebahgai gizi kurang kronis yang menggambarkan adanya

gangguan pertumbuhan tinggi badan yang berlangsung pada kurun waktu

cukup lama. Sebagian besar balita pada kelompok stunting menderita

penyakit ISPA. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi

dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi

berkurang padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak

(Welasasih and Wirjatmadi dalam Dwiwardani 2017).

C. Manifestasi Klinik

1. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye

contact

2. Pertumbuhan melambat

3. Wajah tampak lebih muda dari usianya

4. Pertumbuhan gigi terlambat

5. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar

6. Tanda pubertas terlambat (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah

Tertinggal, dan Transmigrasi, 2017).

D. Dampak

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi

dampak jangka pendek dan jangka panjang.

a. Dampak Jangka Pendek.

1) Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;


2) Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal

3) pada anak tidak optimal; dan

4) Peningkatan biaya kesehatan.

b. Dampak Jangka Panjang.

1) Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan

pada umumnya);

2) Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;

3) Menurunnya kesehatan reproduksi;

4) Kapasitas belajar dan performa yang kurang

5) optimal saat masa sekolah; dan

6) Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal (Kemenkes RI,

2018).

E. Upaya Percepatan Penurunan Stunting

1. Intervensi Gizi Spesifik

Berdasarkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi, tahun 2017, intervensi gizi spesifik merupakan intervensi

yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)

dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan

intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan.

a. Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil

1) Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi

kekurangan energi dan protein kronis


2) Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat

3) Mengatasi kekurangan iodium

4) Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil

5) Melindungi ibu hamil dari Malaria.

b. Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan

1) Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI

jolong/colostrum)

2) Mendorong pemberian ASI Eksklusif

c. Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan

1) Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan

didampingi oleh pemberian MP-ASI

2) Menyediakan obat cacing

3) Menyediakan suplementasi zink

4) Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan

5) Memberikan perlindungan terhadap malaria

6) Memberikan imunisasi lengkap

7) Melakukan pencegahan dan pengobatan diare

2. Intervensi Gizi Sensitif

Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar

sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran

dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak

khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari PertamaKehidupan (HPK).
a. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih

b. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi

c. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan

d. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga

Berencana (KB)

e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal)

g. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua

h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal

i. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat

j. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi

pada Remaja

k. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin

l. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, 2017).

F. Pencegahan

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals

(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu

menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta

mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka

stunting hingga 40% pada tahun 2025. Untuk mewujudkan hal tersebut,

pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program prioritas.


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang

Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan

Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di

antaranya sebagai berikut:

1. Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;

b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;

c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;

d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein,

dan mikronutrien (TKPM);

e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);

f. Pemberantasan kecacingan;

g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku

KIA;

h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI

eksklusif; dan

i. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2. Balita

a. Pemantauan pertumbuhan balita;

b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

untuk balita;

c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan


d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

e. Anak Usia Sekolah

f. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);

g. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;

h. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan

i. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba

3. Remaja

a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat

(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi

narkoba; dan

b. Pendidikan kesehatan reproduksi.

4. Dewasa Muda

a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);

b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan

c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak

merokok/mengonsumsi narkoba (Kemenkes RI, 2018).

Anda mungkin juga menyukai