Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam pada satu sisi dapat disebut sebagai high tradition, dan pada sisi lain tersebut
sebagai low tradition. Dalam sebutan pertama Islam adalah firman Tuhan yang
menjelaskan syariat-syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, termaktub dalam nash (teks suci) kemudian
dihimpun dalam shuhuf dan Kitab Suci (Al-Quranul Karim). Secara tegas dapat dikatakan
hanya Tuhanlah yang paling mengetahuo seluruh arti, maksud, dan makna setiap firman-
Nya. Oleh karena itu, kebenaran Islam dalam dataran high tradition ini adalah mutlak.
Bandingkan dengan Islam pada sebutan kedua : low tradition. Pada dataran ini Islam yang
terkandung dalam nash atau teks-teks suci bergumul dengan relitas sosial pada pelbagai
masyarakat yang berbeda-beda secara kultural. Islam dalam kandungan nash atau teks-
teks suci dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian ditafsirkan dan dipraktikkan dalam
masyarakat yang situasi dan kondisi nya berbeda-beda. Kata orang, Islam akhirnya tidak
hanya melulu ajaran yang tercantum dalam teks-teks suci melainkan juga telah mewujud
dalam historisitas kemanusiaan.

1.2 Tujuan
a. Menjabarkan transformasi wahyu dalam Islam
b. Menggali sumber-sumber dalam pribumisasi Islam
c. Menjabarkan metode-metode penyebaran Islam di Indonesia

1.3 Manfaat
a. Mengetahui transformasi wahyu dalam agama Islam
b. Mengetahui sumber-sumber dalam pribumisasi Islam
c. Mengetahui metode-metode yang digunakan dalam penyebaran agama Islam di
Indonesia

1.4 Rumusan Masalah


a. Bagaimanakah transformasi Wahyu dalam Islam?
b. Bagaimanakah sumber-sumber dalam Pribumisasi Islam?
c. Bagaimanakah metode dalam peneyebaran Islam di Indonesia?

1
BAB II

ISI

2.1 Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak


Keberagaman

Dalam ajaran Islam,wahyu Allah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu wahyu


(dengan “w” kecil) dalam bentuk ayat yang nirbahasa dan Wahyu (dengan “W” besar)
dalam bentuk ayat yang difirmankan langsung oleh Allah SWT. Wahyu dengan w
kecil mengarah pada tanda-tanda, instruksi, nasihat, arahan, pelajaran, dan ketentuan
Tuhan yang nirbahasa dan mewujud dalam alam semesta dan isinya, termasuk
dinamika sosial budaya yang terjadi di dalamnya. Adapun Wahyu dengan W besar
mengarah pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan
yang difirmankan langsung melalui utusan-Nya (malaikat) dan ditujukan khusus pada
orang-orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul.

Islam hadir di Nusantara ini sebagai agama baru dan pendatang. Dikarenakan
kehadirannya lebih belakang dibandingkan dengan agama Hindu, Budha, Animisme
dan Dinamisme. Dinamakan agama pendatang karena agama ini hadir dari luar
negeri. Terlepas dari subtansi ajaran Islam, Islam bukan merupakan agama asli bagi
bangsa Indonesia, melainkan agama yang baru datang dari Arab. Sebagai agama baru
dan pendatang saat itu, Islam harus menempuh strategi dakwah tertentu, melakukan
berbagai adaptasi dan seleksi dalam menghadapi budaya dan tradisi yang berkembang
di Indonesia.

Dalam konteks sejarah penyebaran Islam di Nusantara tepatnya pada abad ke -


15 dan khususnya di tanah Jawa, Walisongo mempunyai peran yang cukup besar
dalam proses akulturasi Islam dengan budaya. Budaya dijadikan sebagai media dalam
menyebarkan Islam dan mengenalkan nilai dan ajaran Islam kepada masyarakat
secara persuasif. Kemampuan memadukan kearifan local dan nilai-nilai Islam
mempertegas bahwa agama dan budaya lokal tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Secara sosiologis, keberadaan Walisongo hampir semua berada di titik tempat
pusat kekuatan masyarakat, yaitu di Surabaya, Gresik, Demak, dan Cirebon. Bahkan
kerabat mereka pun memiliki peran yang signifikan juga dalam penyebaran Islam
secara kultural.

Dalam konteks praktik keagamaan yang dijalankan masyarakat Indonesia yang


berhubungan dengan gerakan dakwah Walisongo tampak sekali terdapat usaha
membumikan Islam. Fakta tentang pribumisasi Islam yang dilakukan Walisongo
dalam dakwahnya terlihat sampai saat ini. Sejumlah istilah local yang digunakan
untuk menggantikan istilah yang berbahasa Arab, contohnya Gusti Kang Murbeng
(Allahu Rabbul Alamin), Kanjeng Nabi, Kyai (al-Alim), Guru (Ustadz), bidadari
(Hur), sembahyang (shalat), dan lain-lain.

2
Sejak masa Wali Songo, Islam di Indonesia memiliki dua model di atas.
Kelompok formalis lebih mengutamakan aspek fikih dan politik kenegaraan,
sedangkan kelompok esensialis memprioritaskan aspek nilai dan kultur dalam
berdakwah. Di era kemerdekaan sampai dengan era pascareformasi, polemik antara
kedua model keberagamaan ini masih tetap ada.

Dalam masyarakat yang pluralistik saat ini diperlukan pengembangan kiat-kiat


baru bagi para pendakwah dengan menyelaraskan dengan kemajuan tekhnologi dan
modernitas. Penggunaan media massa dan internet dirasa sangat pas dalam
menyebarkan dakwah yang lebih luas lagi. Artinya, metode seperti ini juga
menandakan sama dengan para Walisongo pada zaman dahulu menggunakan media
tradisional.

Tuntutan modernitas dan globalisasi menuntut model pemahaman agama


yang saintifik, yang secara serius memperlihatkan pelbagai pendekatan, Pendekatan
Islam monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan zaman yang
dihadapi umat Islam di pelbagai tempat. Agar diperoleh pemahaman Islam yang
saintifik di atas diperlukan pembacaan teks-teks agama (Quran, Al-Hadts, dan turats)
secara integratif dan interkonektif dengan bidang-bidang dan disiplin ilmu lainnya.

Di sisi lain, Islam yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, mau tidak
mau, harus beradaptasi dengan nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal). Sebagai
substansi, Islam merupakan nilai-nilai universal yang dapat berinteraksi dengan nilai-
nilai lokal (local wisdom) untuk menghasilkan suatu norma dan budaya tertentu.

Islam sebagai ramatan lil amin terletak pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip
kemanusiaan universal yang dibangun atas dasar kosmologi tauhid. Nilai-nilai
tersebut selanjutnya dimanifestasikan dalam sejarah umat manusia melalui lokalitas
ekspresi penganutnya masing-masing.

2.2 Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang


Pribumisasi Islam
1. Menggali Sumber Historis

Istilah pribumisasi Islam diperkenalkan oleh Gus Dur (KH Abdurrahman


Wahid) sebagai alternatif dalam upaya pencegahan praktik radikalisme agama.
Penghargaan Gus Dur terhadap metamorfosis Islam Nusantara yang
menempatkan Islam secara konstektual sebagai bagian dari proses budaya. Kalau
boleh disadari, meskipun sedikit terlambat, tempo itu dapat ditempatkan sebagai
cara pandang futuristik Gus Dur perihal Islam Indonesia kedepan agar tidak
terperangkap dalam radikalisme dan terorisme. Pribumisasi Islam menampik
bahwa praktik keislaman “tidak selalu identik” dengan Arab (Arabisme). Ia

3
adaptif dengan lokalitas. Kelahiran Nahdhatul Ulama (NU) merupakan
kristalisasi semangat pribumisasi Islam di Indonesia. Organisasi ini berdiri untuk
membela praktik-praktk keberagaman kaum Islam tradisionalis dari kritikan dan
serangan agresif paham puritanisme yang dipengaruhi gerakan Wahabi di Saudi
Arabia. NU dengan pendekatan sufistiknya mau menerima dan mengakomodasi
budaya lokal dalam praktik keberagamaannya. Berbeda dengan NU, organisasi
Muhammadiyah dengan pendekatan teologi Salafi nya justru menganggap praktik
keberagamaan yang memadukan Islam dengan budaya lokal adalah praktik TBC
(takhayul, bidah, dan churafat/khurafat).

2. Menggali Sumber Sosiologis


Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia. Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para dai muslim
sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab,
Persia, India, bahkan Cina. Kedatangan mereka ke Indonesia tidak saja untuk
memperkenalkan Islam, tetapi juga dengan membawa seperangkat keilmuan
islam yang sudah mengalami proses pengembangan di tanah asalnya, Timur
Tengah. Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (Nusantara) telah menganut
agama, baik yang masih primitif seperti Animisme-Dinamisme, maupun yang
sudah berbentuk agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun demikian,
berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan Islam tidak disertai dengan
konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan islamisasi generasi
awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor strategi dakwah dan
faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri. Gerakan Wahabi ternyata berimbas ke
Indonesia. Jika pada masa lampau, kaum Paderi di Sumatera Barat yang menjadi
agennya, dan juga Muhammadiyah, maka pada era sekarang ini, pengimpor
utama paham Wahabi adalah kelompok Salafiyun.

3. Menggali Sumber Teologis dan Filosofis

Secara filosofis pribumisasi Islam didasari oleh paradigma sufistik


tentang substansi keberagaman. Dalam paradigma sutisfik, agama memiliki dua
sisi yaitu aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek luar). Dalam
tatanan esoteris, semua agama adalah sama karena ia berasal dari Tuhan Yang
tunggal. Dalam pandangan sufistik, bahkan dikatakan semua yang ada di alam ini
hakikatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan hanya tampak pada
aspek eksoterik, yaitu unsur lahir dan amalan kasat mata saja. Sejalan dengan
pemahaman ini, maka substansi keagamaan adalah satu, cara manusia dapat
menyembah (tunduk, patuh, dan berserah diri) kepada Tuhan sebagai kebenaran
universal. Adapun ekspresi keberagamaan atau paham keagamaan pasti berbeda-
beda karena perbedaan kebutuhan dan tuntutan fisik dan materi yang berbeda
pula.

Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa


tiada tuhan selain Allah, tapi pemaknaan terhadap tauhid melampaui dari sekedar

4
pengakuan atas eksistensinya yang tunggal. Hanya Dia yang tunggal, dan selain
Dia adalah plural. Al-Quran juga mengemukakan, bahwa Allah menakdirkan
pluralitas sebagai karakteristik makhluk ciptaan-Nya. Tuhan tidak menakdirkan
pluralitas dalam ciptaan untuk mendorong ketidakharmonisan dan perang.
Pluralitas sekaligus menjadi bukti relativitas makhluk.

2.3 Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan


Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktur
sosial masyarakat, yaitu agama dan budaya lokal. Dalam masyarakat Indonesia, dua
hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial
yang kemudian sering disebut sebagai “jati diri” orang Indonesia. Karakter tersebut
mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik secara politik,
ekonomi, maupun sosial budaya.
Agama diyakini memiliki nilai-nilai transeden sehingga sering dipahami
sebagai sebagai sesuatu yang kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang lebih
fleksibel sesuai kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dijadikan sebagai standar
normatif. Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka sering
kali nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-nilai budaya lokal yang
sebenarnya telah mempengaruhi perilaku sosial seseorang.
Waktu masuknya Islam ke Indonesia (Nusantara) masih diperdebatkan. Ada
yang berpendapat bahwa sejak sebelum hijrah telah ada orang Arab yang tinggal di
kepulauan ini. Lalu pada abad ke-13 muncullah untuk pertama kali sebuah komunitas
Islam, yang selanjutnya mengalami perkembangan pesat pada abad ke-15. Pada abad
ke 17 / ke 18 bahkan mayoritas penduduk Jawa dan Sumatera telah memeluk Islam.
Mulanya Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang dari Gujarat dan
Malabar India. Lalu belakangan masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari
Hadramaut, di samping saudagar-saudagar dari Cina. Islam disebarkan dengan cara-
cara dami dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap budaya-budaya lokal yang
sudah ada sebelumnya, selama sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur
budaya non-Islam (Arab) bahkan melekat dalam karakter, pemikiran, dan praktik
keagamaan umat Islam Indonesia. Hal itu mengingat Islam yang masuk ke Indonesia
adalah Islam Sufistik yang memang memiliki karakteristik terbuka, damai, dan
ramah terhadap perbedaan.
Model akulturasi budaya Islam ini sering dianggap sebagai penyebab
munculnya karakteristik Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian
orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal Islam di
Indonesia dianggap belum berhasil sepenuhnya untuk mengislamkan Jawa. Beberap
bukti disodorkan untuk memeprkuat pendapat itu, diantaranya paham sinkretisme
yang tampak masih dominan di kalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihak
yang mendukung metode dakwah Wali Songo, praktik-praktik yang sering dituduh
sebagai sinkretisme tersebut bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan
Islam dan dapat dijelaskan melalui perspektif mistisisme Islam.

5
2.4 Metode yang Digunakan dalam Pribumisasi Islam di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan.
Islam berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan persuasif
berkat kegigihan para ulama karena para ulama berpegang teguh pada prinsip
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam); Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat.

Adapun cara masuknya islam di Indonesia melalui beberapa cara antara lain :

1. Perdagangan
Pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang Islam dari
Gujarat/India, Persia, dan Bangsa Arab. Saat berdagang terjadilah komunikasi
antara penjual dan pembeli, atas interaksi ini maka terjadilah penyebaran agama
Islam. Sebagai seorang muslim mempunyai kewajiban berdakwah maka para
pedagang Islam juga menyampaikan dan mengajarkan agama dan kebudayaan
Islam kepada orang lain, akhirnya banyak pedagang Indonesia memeluk agama
Islam dan merekapun menyebarkan agama Islam dan budaya Islam yang baru
dianutnya kepada orang lain. Secara bertahap agama dan budaya Islam tersebar
dari pedagang Gujarat/India, Persia, dan Bangsa Arab kepada bangsa Indonesia.
Proses penyebaran Islam melalui perdagangan sangat menguntungkan dan lebih
efektif dibanding cara lainnya.

2. Perkawinan
Sebagian para pedagang Islam ada yang menetap di Indonesia dan para
pedagang ini menikah dengan wanita Indonesia, terutama putri raja atau
bangsawan. Karena pernikahan itulah, maka banyak keluarga raja atau
bangsawan masuk Islam. Ketika keluarga raja dan bangsawan memeluk agam
islam, akhirnya diikuti oleh rakyatnya. Dengan demikian Islam cepat
berkembang.

3. Pendidikan
Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama yang
menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok
pesantren. Pesantren adalah tempat pemuda pemudi menuntut ilmu yang
berhubungan dengan agama Islam. Setelah para pelajar tersebut selesai dalam
menuntut ilmu mengenai agama Islam, mereka mengajarkan kembali ilmu yang
diperolehnya kepada masyarakat sekitar, hingga akhirnya masyarakat sekitar
menjadi pemeluk agama Islam.

4. Politik
Seorang raja mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar dan
memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam tersebut. Jika
raja sebuah kerajaan memeluk agama Islam, maka rakyatnya akan memeluk

6
agama Islam juga. Alasannya karena masyarakat Indonesia memiliki kepatuhan
yang tinggi terhadap rajanya. Demi kepentingan politik maka Raja akan
mengadakan perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti dengan penyebaran agama
Islam.

5. Melalui Dakwah di Kalangan Masyarakat


Masyarakat Indonesia sendiri memilki para pendakwah yang menyebarkan
Islam di lingkungannya, seperti Dato’ri Bandang menyebarkan agama Islam di
daerah Gowa, Sulawesi Selatan; Tua Tanggang Parang menyebarkan Islam di
daerah Kutai, Kalimantan Timur; Penghulu dari Demak menyebarkan agama
Islam di kalangan para bangsawan Banjar, Kalimantan Selatan; Para Wali
menyebarkan agama Islam di Jawa dan ada 9 wali yang terkenal, mereka
memegang beberapa peran di kalangan masyarakat sebagai penyebar agama
Islam, pendukung kerajaan-kerajaan Islam, penasihat raja-raja Islam dan
pengembang kebudayaan daerah yang telah disesuaikan dengan budaya Islam.
Atas perannya para wali sangat terkenal di kalangan masyarakat. Wali yang
terkenal ada 9 wali, yaitu :
a. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
b. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
c. Sunan Bonang (Makdum Ibrahim)
d. Sunan Giri (Raden Paku)
e. Sunan Derajat (Syarifuddin)
f. Sunan Kalijaga (Jaka Sahid)
g. Sunan Kudus (Jafar Sodiq)
h. Sunan Muria (Raden Umar Said)
i. Sunan Gunung Jati (Faletehan)

Para wali tersebut adalah orang Indonesia asli, kecuali Sunan Gresik.
Mereka memegang beberapa peran di kalangan masyarakat sebagai :

1. penyebar agama Islam


2. pendukung kerajaan-kerajaan Islam
3. penasihat raja-raja Islam
4. pengembang kebudayaan daerah yang telah disesuaikan dengan
budaya Islam.

Karena peran mereka itulah, maka para wali sangat terkenal di kalangan
masyarakat.

6. Seni Budaya
Perkembangan Islam juga melalui seni budaya, seperti bangunan (masjid),
seni pahat, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Beberapa seni ini banyak
dijumpai di Jogjakarta, Solo, dan Cirebon. Seni ini dibuat dengan cara
mengakrabkan budaya daerah setempat dengan ajaran Islam yang disusupkan

7
ajaran tauhid yang dibuat sederhana, sehalus dan sedapat mungkin memanfaatkan
tradisi lokal, misalnya : Membumikan ajaran Islam melalui syair – syair.
Contohnya : Gending Dharma, Suluk Sunan Bonang, Hikayat Sunan Kudus, dan
lain – lain.
Mengkultulrasikan wayang yang sarat dokrin. Contohnya : Tokoh-tokoh
simbolis dalam wayang diadopsi atau mencipta nama lainnya yang bisa
mendekatkan dengan ajaran Islam, Mencipta tokoh baru dan narasi baru yang
sarat pengajaran. Membunyikan bedug sebagai ajakan sholat lima waktu
sekaligus alarm pengingat, Sebab insting masyarakat telah akrab dengan gema
bedug sebai pemanggil untuk acara keramaian. Menggeser tradisi klenik dengan
doa-doa pengusir jin sekalugus doa ngirim leluhur Contohnya : Diantaranya yang
disebut Tahlil.

7. Tasawuf
Seorang Sufi biasa dikenal dengan hidup dalam kesederhanaan, mereka
selalu menghayati kehidupan masyarakatnya yang hidup bersama di tengah –
tengah masyarakatnya. Para Sufi biasanya memiliki keahlian yang membantu
masyarakat dan menyebarkan agama Islam. Para Sufi pada masa itu diantaranya
Hamzah Fansuri di Aceh dan Sunan Panggung Jawa. Dengan melalui saluran
diatas, agama Islam dapat berkembang pesat dan diterima masyarakat dengan
baik pada abad ke-13. Dan adapun faktor-faktor yang menyebabkan Islam cepat
bekembang di Indonesia antara lain : Syarat masuk Islam hanya dilakukan
dengan mengucapkan dua kelimat syahadat; Tata cara beribadahnya Islam sangat
sederhana; Agama yang menyebar ke Indonesia disesuaikan dengan kebudayaan
Indonesia; Penyebaran Islam dilakuakn secara damai.

2.5 Membangun Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam


Bangsa Indonesia sangat memerlukan kerja kolaboratif dari berbagai
komponen untuk menggalang semua potensi bangsa agar terjadi sebuah kerjasama
yang efektif dan produktif bagi pembumian Islam yang penuh rahmat.
Namun, upaya-upaya seperti itu sering kali terhambat oleh adanya potensi-
potensi konflik yang sangat banyak di negeri ini (agama, etnis, strata sosial, dan
sebagainya). Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat menghalangi proses
pembangunan dan modernisas di Indonesia adalah pemahaman agama. Sering kali
ajaran agama yang bernilai universal tidak memihak berubah menjadi sebuah
pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Sering kali pula Tuhan yang
Maha Mulia diseret oleh subjektivitas manusia untuk membenarkan sikap sektarian
tersebut. Teks suci agama pun tak luput dari tangan-tangan nakal manusia. Teks
sengaja dipahami secara bebas dan lepas dari konteks kebahasaan dan sosio-psiko-
historisnya agar dapat dijadikan alat untuk mengafirkan orang lain yang berbeda
pemahamannya.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam ajaran Islam,wahyu Allah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu wahyu
(dengan “w” kecil) dalam bentuk ayat yang nirbahasa dan Wahyu (dengan “W” besar)
dalam bentuk ayat yang difirmankan langsung oleh Allah SWT. Wahyu dengan w
kecil mengarah pada tanda-tanda, instruksi, nasihat, arahan, pelajaran, dan ketentuan
Tuhan yang nirbahasa dan mewujud dalam alam semesta dan isinya, termasuk
dinamika sosial budaya yang terjadi di dalamnya. Adapun Wahyu dengan W besar
mengarah pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan
yang difirmankan langsung melalui utusan-Nya (malaikat) dan ditujukan khusus pada
orang-orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul.
Islam disebarkan dengan cara-cara dami dengan aliansi politik dan pembiaran
terhadap budaya-budaya lokal yang sudah ada sebelumnya, selama sejalan dengan
prinsip-prinsip Islam. Ada beberapa metode penyebaran atau pribumisasi Islam di
Indonesia, beberapa diantaranya adalah : Perdagangan, Perkawinan, Pendidikan,
Politik, Dakwah di kalangan masyarakat, Seni budaya, dan Tasawuf.

9
DAFTAR PUSTAKA

Aimi.2019.Pendidikan Agama Islam.Palembang : Politeknik Negeri Sriwijaya

https://www.dakwatuna.com/2015/05/11/68502/membumikan-islam-nusantara-respons-islam-
terhadap-isu-isu-aktual/#axzz64jnKe6Hi

https://sajadahmuslimku.blogspot.com/2014/03/cara-penyebaran-agama-islam-di-indonesia.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Penyebaran_Islam_di_Nusantara

10

Anda mungkin juga menyukai