Anda di halaman 1dari 8

Trypanosoma

Penyakit tidur merupakan penyakit yang di sebabkan oleh infestasi parasit protozoa genus
Trypanosoma. Parasit ini ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan lalat tsetse (genus
Glossina ). Lalat tsetse hanya ditemukan di sub-Sahara Afrika. Ada 2 jenis penyebab
tripanosomiasis Afrika, yaitu Trypanosoma brucei gambiense yang dilaporkan menyebabkan
97% kasus penyakit dan menyebabkan infestasi kronis. Infestasi dapat terjadi selama berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun tanpa tanda atau gejala utama penyakit ini. T. brucei
rhodesiense ditemukan pada 3% kasus dan menyebabkan infestasi akut. Tanda dan gejala awal
dapat terjadi beberapa bulan atau minggu setelah infestasi. Penyakit ini berkembang dengan
cepat dan menyerang sistem saraf pusat. Penyakit tidur sebagian besar ditularkan melalui gigitan
lalat tsetse tetapi ada beberapa penyebab lainnya, yaitu infestasi pada ibu hamil ke janin karean
parasit ini dapat melewati plasenta, transmisi mekanis melalui serangga pengisap darah lainnya,
seperti nyamuk, infestasi yang tidak disengaja yang terjadi di laboratorium karena tertusuk
jarum yang terkontaminasi, dan penularan parasit melalui kontak seksual.
Pada tahap awal infestasi, Trypanosoma akan berkembang biak pada jaringan subkutan,
darah dan kelenjar getah bening. Tahap ini disebut tahap haemo-limfatik yang menimbulkan
beberapa keluhan seperti demam, sakit kepala, nyeri sendi dan gatal. Pada tahap kedua, parasit
ini melewati sawar darah otak untuk menginfestasi sistem saraf pusat (SSP) yang dikenal sebagai
tahap neurologis atau meningo-encephalic. Secara umum tanda dan gejala penyakit lebih jelas
terlihat, diantaranya perubahan perilaku, kebingungan, gangguan sensorik, koordinasi yang
buruk dan gangguan siklus tidur yang merupakan ciri penting. Pengelolaan penyakit dapat
dilakukan dengan skrining menggunakan tes serologis dan memeriksa tanda klinis, terutama
kelenjar getah bening servikal yang bengkak. Jenis pengobatannya tergantung pada stadium
penyakit. Obat-obatan yang digunakan pada tahap pertama lebih aman dan mudah dilakukan
daripada yang untuk tahap kedua karena keberhasilan pengobatan pada tahap kedua tergantung
pada obat yang melintasi sawar darah otak untuk mencapai parasit. Semakin dini penyakit ini
teridentifikasi maka semakin baik prospek penyembuhannya. Penilaian hasil pengobatan
memerlukan follow up pasien sampai 24 bulan dan memerlukan pemeriksaan laboratorium cairan
tubuh, termasuk cairan serebrospinal, karena parasit dapat tetap bertahan dalam waktu lama.
Secara farmakologis, ada lima obat yang diberikan. Untuk tahap pertama yaitu Pentamidin dan
Suramin dan untuk tahap yang ke dua yaitu Melarsoprol, Flornithine, dan Nifurtimox.
T. brucei merupakan parasit yang menyebabkan penyakit tidur di Afrika. Penyakit ini
sebagian besar ditularkan melalui gigitan lalat tsetse. T. brucei gambiense merupakan penyebab
terbanyak pada kasus ini. Penanganan pada tahap pertama lebih mudah darpada tahap ke dua
karena pada tahap ini parasit mulai masuk ke sawar darah otak.
Trypanosoma cruzi merupakan parasit jenis protozoa yang menjadi etiologi penyakit
Chagas yang ditularkan ke manusia oleh Triatoma yang berperan sebagai hospes perantara. Pada
manusia, T. cruzi ditemukan dalam dua bentuk, amastigot dan tripomastigot. Manusia terinfestasi
jika tripomastigot yang dikeluarkan bersama tinja Triatoma saat menghisap darah, masuk melalui
luka bekas gigitan atau luka bekas garukan yang disebabkan oleh rasa gatal akibat reaksi alergi
dari air liur serangga tersebut. Respons makrofag membentuk suatu granuloma (chagoma) yang
dapat membendung aliran limfe dan bila terjadi pada kelenjar lakrimalis atau kelenjar air mata
maka menimbulkan kongesti konjungtiva. Chagoma tidak menimbulkan rasa sakit dan biasanya
dikelilingi edema dan peningkatan volume kelenjar getah bening. Pembengkakan subkutan di
area orbital dapat menyebabkan edema yang khas, unilateral, disebut tanda Romana. Terapi
medikamentosa dengan pemberian obat-obatan nifurtimox dan benznidazole. Diagnosis tepat
dapat ditegakkan dengan menemukan Trypanosoma dalam darah, cairan serebrospinal, jaringan
otot, dan cairan limfa. Kesimpulan T. cruzi merupakan parasit jenis protozoa yang menyebabkan
penyakit Chagas. Transmisi penyakit ini melalui hospes perantara serangga triatoma melalui
bekas luka gigitan atau garukan. Salah satu manifestasi klinisnya adalah tanda Romana akibat
terbendungnya aliran limfe kelenjar lakrimalis yang menimbulkan chagoma dan kongesti
konjungtiva.
Fasciola
Fasciola hepatica umumnya ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti
Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan lain sebagainya. (S.
Widjajanti: 2004). Dalam siklus hidupnya, cacing Fasciola hepaticamemerlukan induk semang
utama, yaitu siput Lymnaea truncatula di Eropa dan Asia, Lymnaea tomentosa di Australia,
Lymnaea Bulimoides di Amerika Utara dan Lymnaea collumella di Hawaii, Puerto Rico, New
Zealand dan Afriko Selatan. Di Perancis ditemukan secara alami, siput Lymnaea ovula dan siput
Planorbis leucostoma dapat terinfeksi Fasciola hepatica dengan prevalensi masing-masing
sebesar 1,4% don 0,1%.

Taksonomi Fasciola hepatica


Kingdom : Animalia
Phyulm : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Echinostomida
Famili : Fasciolidea
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola hepatica

Anatomi dan Morfologi Fasciola hepatica

Gambar: Struktur Morfologi telur Faciola hepatica


a) Telur
§ Ukuran : 130 – 150 mikron x 63 – 90 mikron berisi morula
§ Warna : kuning kecoklatan
§ Bentuk : Bulat oval dengan salah satu kutub mengecil, terdapat overculum pada kutub yang
mengecil, dinding satu lapis dan berisi sel-sel granula berkelompok.

Gambar: Struktur Morfologi Faciola hepatica


b) Cacing dewasa
§ Ukuran 30 mm x 13 mm
§ Bersifat hermaprodit
§ Sistem reproduksinya ovivar
§ Bentuknya menyerupai daun
§ Mempunyai tonjolan konus pada bagian anteriornya
§ Memiliki batil isap mulut dan batil isap perut, uterus pendek berkelok-kelok.
§ Testis bercabang banyak, letaknya di pertengahan badan berjumlah 2 buah.
§ Ovarium sangat bercabang
c) Ciri umum :
§ Bentuk tubuh seperti daun
§ Bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten merupakan modifikasi dari epidermis
§ Cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek, memanjang dan
membelok
§ Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam inang yaitu: inang perantara yakni
siput air dan inang menetapnya yaitu hewan bertulang belakang pemakan rumput seperti sapi dan
domba
§ Merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktusbiliferus atau pada epithelium
intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya
§ Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam intestinum
hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah.
§ Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfa, kemudian sisa-sisa metabolisme
tersebut dikeluarkan melalui selenosit.
§ Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda bersifat
entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis laurer.

Habitat Fasciola hepatica

Cacing ini hidup pada habitat air tawar dan tempat-tempat yang lembab dan basah.Cacing
memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan
berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basa dan
lembab. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput
air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak. Pada
umumnya Fasciola hepatica hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, kantong empedu, dan
pembuluh darah ruminansia maupun manusia.

Siklus Hidup Fasciola hepatica


Gambar2.3: Siklus Hidup Fasciola Hepatica

Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai tiga macam hospes yaitu:
Hospes definitive (fase seksual) : Manusia, kambing, sapi dan biri – biri

Hospes perantara I (fase aseksual) : Keong air / siput

Hospes perantara II : Tumbuhan air

Berikut siklus hidup cacicing Fasciola hepatica:


a) Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau domba.
Kemudian telur keluar ke alam bebas belum berembrio dan belum infektif selama 8-12 minggu
bersama feses domba. Bila mencapai tempat basah, telur ini akan menetas menjadi larva bersilia
yang disebut mirasidium. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar
(Lymnea auricularis-rubigranosa).
b) Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam tubuh siput
selama + 2 minggu).
c) Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang disebut Redia. Hal ini berlangsung secara
partenogenesis.
d) Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan berkembang menjadi larva berikutnya yang disebut
serkaria yang mempunyai ekor. Dengan ekornya serkaria dapat menembus jaringan tubuh siput
dan keluar berenang dalam air.
e) Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk 5-7 minggu. Serkaria melepaskan
ekornya dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria membungkus diri berupa kista yang dapat
bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya.
f) Apabila rumput atau tumbuhan air tersebut termakan oleh domba atau manusia, maka kista
dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati, saluran empedu dan dewasa
di sana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur kembali dan siklus ini terulang lagi.

Cara Penularan Fasciola hepatica


Sumber utama penularan fasciolosis pada manusia adalah dari kebiasaan masyarakat
yang gemar mengkonsumsi tanaman/tumbuhan air, seperti selada air dalam keadaan mentah
yang tercemar metaserkaria cacing Fasciola hepatica.
Penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan
hewan mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk. Penggunaan air yang tercemar
metaserkaria Fasciola hepatica. (BARGUES et al., 1996), misalnya air tersebut diminum
dalam keadaan mentah. (TAIRA et al., 1997) menduga bahwa penularan fasciolosis yang
disebabkan oleh Fasciola hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian
masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati mentah. (S. Widjajanti: 2004)

Gejala Klinis yang Disebabkan Fasciola hepatica


o Terjadi sejak larva masuk kesaluran empedu sampai menjadi dewasa. Parasit ini dapat
menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu, dapat terjadi
perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis
hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada
jumlah cacing yang terdapat disaluran empedu dan lamanya infeksi;
o Masa inkubasi Fascioliasis menginfeksi pada manusia sangat bervariasi, karena dapat
berlangsung dalam beberapa hari dalam 6 minggu atau antara 2-3 bulan. Bahkan dapat lebih
lama dari waktu tersebut;
o Gejala klinik yang paling menonjol adalah anemia, selain itu dapat pula terjadi demam dengan
suhu 40-42 derajat, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan;
o Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi hematomegaliasites di rongga perut, sesak nafas dan gejala
kekuningan;
o Gejala dari penyakit fasioliasis biasanya pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium
progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut terasa penuh, diare dan pembesaran
hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari perbesaran hati,
kanker hati, ikterus, asites, terbentuknya batu empedu, dan serosis hepatis.
Bahaya lain akibat infeksi Fasciola hepatica ini adalah dapat mengakibatkan komplikasi
pada:
o telinga, mata
o paru-paru, dinding usus
o limpa, pankreas,
 hati
 Diagnosa Penyakit Fasciola hepatica yang Disebabkan Oleh Fasciola hepatica
Ø Pemeriksaan tinja
Merupakan cara yang paling umum dan sederhana yang bertujuan untuk menemukan adanya
telur cacing dengan menggunakan uji sedimentasi.
Ø Pemeriksaan darah
Dilakukan dengan uji ELISA (enzyme linked Immunosorbent Assay) untuk mengetahui adanya
antibody atau antigen didalam tubuh penderita. Pada infeksi parasite umumnya sel darah putih
yang meningkat tajam adalah eosinofil, walaupun hal ini tidak spesifik dan seringkali di ikuti
dengan peningkatan isotope antibody immunoglobulin (IgE) di serum darah.Menurut Sampaio
Silva et al(1985), tingkat isotope antibody IgE berkorelasi positif dengan jumlah telur cacing
dalam tinja,usia penderita,gejala klinis dan jumlah eosinofil.

Pencegahan Penyakit Fasciolosis yang Disebabkan Oleh Fasciola hepatica


• Industri
Pembuangan air limbah/air kotor secara aman, pengobatan ternak terhadap parasit tersebut,
pencegahan agar tidak ada hewan yang datang ke tempat pembudidayaan tanaman selada air dan
pengontrolan air yang digunakan untuk irigasi pembudidayaan tersebut.
• Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga
Memasak makanan sampai benar-benar matang, konsumen harus menghindari konsumsi selada
air yang mentah. Kalaupun tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah, sebaiknya sayuran
tersebut dicuci dahulu dengan larutan cuka atau larutan potassium permanganat sebelum
dikonsumsi.
• Pengendalian Siput
Pengendalian siput dengan moluskisida agar terputusnya siklus hidup dari Fasciola hepaticajika
memungkinkan.
• Pengendalian pada hewan ternak
Kandang harus dijaga agar tetap bersih, dan kandang sebaiknya tidak dekat kolam atau selokan.

Anda mungkin juga menyukai