BLOK 15
Oleh:
Tutorial C
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
SKENARIO 5 : PENDENGARAN MENURUN DAN NYERI
Anak, 12 tahun, berat badan 40 kg, menderita batuk pilek dan demam sejak 5 hari
yang lalu. Sudah diberi obat penurun panas. Tengah malam tiba-tiba menangis dan berteriak
kesakitan sambil memegangi telinga kanannya. Dengan rasa cemas orang tuanya membawa
ke UGD di suatu klinik pratama dekat rumahnya. Pada pemeriksaan otoskopi oleh dokter jaga
ditemukan gambaran: membrana timpani tampak hiperemi dan bombans, tidak ditemukan
sekret dan cairan di rongga telinga. Pemeriksaan fisik didapatkan suhu 39C, tanda vital yang
lain dalam batas normal. Didapatkan nyeri tekan daun telinga dan penurunan pendengaran
pada telinga kanan. Benjolan dan massa sekitar telinga tidak ditemukan. Oleh dokter jaga
diberi obat penurun panas dan penghilang rasa sakit dan dirujuk ke Rumah Sakit.
LEARNING OBJECTS
Telinga
1. Anatomi
2. Histologi
3. Fisiologi
a. Pendengaran
b. Keseimbangan
4. Tuli
5. Inflamasi pada Aurikula
6. Herpes Zoster pada Telinga
7. Fistula Preaurikular
8. Miringitis
9. Trauma Akustikus
10. Keratosis
11. Serumen
12. Otitis
a. Eksterna
b. Media Akut
c. Media Kronik
d. Media Serosa
13. Presbiakusis
14. Tubair Chatar
15. Mastoiditis
16. Korpus Alienum
17. Meniere Disease
18. Mabuk Perjalanan
19. Vertigo
a. Sentral
b. Perifer
PEMBAHASAN
1. Anatomi
1. Telinga luar (AURIS EKSTERNA)
Telinga luar terdiri atas daun telinga dan liang telinga
1. Membran tympani
Merupakan sutu selaput yang berwarna putih seperti mutiara, berbentuk oval-kerucut,
terdri dari:
- Pars flasida (2 lapis): terdiri atas stratum kutaneum dan stratum mukosum
- Pars tensa (3 lapis): terdiri atas stratum kutaneum, stratum fibrosum, dan stratum
mukosum
2. Kavum Timpani
Kavum timpani merupakan bangunan yang berbentuk kubus yang tak teratur, terletak
antara telinga tengah dan telinga dalam.
Cavum timpani terdiri atas 3 bagian:
a. Epitimpanum; merupakan cavum timpani bagian atas yang berhubungan dengan
antrum dengan aditus ad antrum
b. Mesotimpanum; merupakan cavum timpani bagian tengah
c. Hipotimpanum; merupakan cavum timpani bagian bawah yang berhubungan dengan
tuba eustachius
3. Tuba Eustachius
Berfungsi:
- Drainase
- Ventilasi (pertahankan tekanan udara dan oksigenasi)
B. Labirin membranaceus
Terdapat diadalam labirin osseus dengan pemisah perilimphe yang berisi endolimpe.
Terdiri dari:
1. Duktus cochlearis: di dalam cochlea fungsi pendengaran: n. Cochlearis
b. Utriculus
Bentuk ovoid
Letak belakang atas
Terdapat daerah sensoris makuli utriculus, terdiri dari:
- Sel-sel reseptor
- Sel-sel penyokong
- Membrane basilaris
Bereaksi terhadap gerakan horizontal, linier
Duktus semisirkularis
Terdapat 3 ampula, yaitu:
- Ampula romb. Anterior
- Ampula romb. Lateral
- Ampula romb. Posterior
2. Histologi
Telinga merupakan organ pendengaran sekaligus juga organ keseimbangan. Telinga
terdiri atas 3 bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Gelombang suara yang diterima
oleh telinga luar di ubah menjadi getaran mekanis oleh membran timpani. Getaran ini
kemudian di perkuat oleh tulang-tulang padat di ruang telinga tengah (tympanic cavity) dan
diteruskan ke telinga dalam. Telinga dalam merupakan ruangan labirin tulang yang diisi oleh
cairan perilimf yang berakhir pada rumah siput / koklea (cochlea). Di dalam labirin tulang
terdapat labirin membran tempat terjadinya mekanisme vestibular yang bertanggung jawab
untuk pendengaran dan pemeliharaan keseimbangan. Rangsang sensorik yang masuk ke
dalam seluruh alat-alat vestibular diteruskan ke dalam otak oleh saraf akustik (N.VIII).
TELINGA LUAR
Telinga luar terdiri atas daun telinga (auricle/pinna), liang telinga luar (meatus accus-
ticus externus) dan gendang telinga (membran timpani).
Daun telinga /aurikula disusun oleh tulang rawan elastin yang ditutupi oleh kulit tipis yang
melekat erat pada tulang rawan. Dalam lapisan subkutis terdapat beberapa lembar otot lurik
yang pada manusia rudimenter (sisa perkembangan), akan tetapi pada binatang yang lebih
rendah yang mampu menggerakan daun telinganya, otot lurik ini lebih menonjol.
Liang telinga luar merupakan suatu saluran yang terbentang dari daun telinga melintasi
tulang timpani hingga permukaan luar membran timpani. Bagian permukaannya mengandung
tulang rawan elastin dan ditutupi oleh kulit yang mengandung folikel rambut, kelenjar
sebasea dan modifikasi kelenjar keringat yang dikenal sebagai kelenjar serumen. Sekret
kelenjar sebacea bersama sekret kelenjar serumen merupakan komponen penyusun
serumen. Serumen merupakan materi bewarna coklat seperti lilin dengan rasa pahit dan
berfungsi sebagai pelindung.
Membran timpani menutup ujung dalam meatus akustiskus eksterna. Permukaan luarnya
ditutupi oleh lapisan tipis epidermis yang berasal dari ectoderm, sedangkan lapisan sebelah
dalam disusun oleh epitel selapis gepeng atau kuboid rendah turunan dari endoderm. Di antara
keduanya terdapat serat-serat kolagen, elastis dan fibroblas. Gendang telinga menerima
gelombang suara yang di sampaikan lewat udara lewat liang telinga luar. Gelombang suara ini
akan menggetarkan membran timpani. Gelombang suara lalu diubah menjadi energi mekanik
yang diteruskan ke tulang-tulang pendengaran di telinga tengah.
TELINGA TENGAH
Telinga tengah atau rongga telinga adalah suatu ruang yang terisi udara yang terletak di
bagian petrosum tulang pendengaran. Ruang ini berbatasan di sebelah posterior dengan ruang-
ruang udara mastoid dan disebelah anterior dengan faring melalui saluran (tuba auditiva)
Eustachius.
Epitel yang melapisi rongga timpani dan setiap bangunan di dalamnya merupakan epitel
selapis gepeng atau kuboid rendah, tetapi di bagian anterior pada pada celah tuba auditiva
(tuba Eustachius) epitelnya selapis silindris bersilia. Lamina propria tipis dan menyatu dengan
periosteum.
Di bagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu tulang maleus, inkus
dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang kompak tanpa rongga sumsum tulang. Tulang
maleus melekat pada membran timpani. Tulang maleus dan inkus tergantung pada ligamen tipis
di atap ruang timpani. Lempeng dasar stapes melekat pada tingkap celah oval (fenestra ovalis)
pada dinding dalam. Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. Otot
tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonya berjalan mula-mula ke arah
posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil untuk melintasi rongga timpani
dari dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke dalam gagang maleus. Tendo otot stapedius
berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding posterior dan berjalan anterior
untuk berinsersi ke dalam leher stapes. Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam
getaran-getaran berfrekuensi tinggi.
Tingkap oval pada dinding medial ditutupi oleh lempeng dasar stapes, memisahkan rongga
timpani dari perilimf dalam skal vestibuli koklea. Oleh karenanya getaran-getaran membrana
timpani diteruskan oleh rangkaian tulang-tulang pendengaran ke perilimf telinga dalam. Untuk
menjaga keseimbangan tekanan di rongga-rongga perilimf terdapat suatu katup pengaman yang
terletak dalam dinding medial rongga timpani di bawah dan belakang tingkap oval dan diliputi
oleh suatu membran elastis yang dikenal sebagai tingkap bulat (fenestra rotundum. Membran
ini memisahkan rongga timpani dari perilimf dalam skala timpani koklea.
Tuba auditiva (Eustachius) menghubungkan rongga timpani dengan nasofarings
lumennya gepeng, dengan dinding medial dan lateral bagian tulang rawan biasanya saling
berhadapan menutup lumen. Epitelnya bervariasi dari epitel bertingkat, selapis silindris
bersilia dengan sel goblet dekat farings. Dengan menelan dinding tuba saling terpisah
sehingga lumen terbuka dan udara dapat masuk ke rongga telinga tengah. Dengan demikian
tekanan udara pada kedua sisi membran timpani menjadi seimbang.
TELINGA DALAM
Telinga dalam adalah suatu sistem saluran dan rongga di dalam pars petrosum tulang
temporalis. Telinga tengah di bentuk oleh labirin tulang (labirin oseosa) yang di da-lamnya
terdapat labirin membranasea. Labirin tulang berisi cairan perilimf sedangkan labirin
membranasea berisi cairan endolimf.
LABIRIN TULANG
Labirin tulang terdiri atas 3 komponen yaitu kanalis semisirkularis, vestibulum, dan
koklea tulang. Labirin tulang ini di sebelah luar berbatasan dengan endosteum, sedangkan di
bagian dalam dipisahkan dari labirin membranasea yang terdapat di dalam labirin tulang oleh
ruang perilimf yang berisi cairan endolimf.
Vestibulum merupakan bagian tengah labirin tulang, yang berhubungan dengan rongga
timpani melalui suatu membran yang dikenal sebagai tingkap oval (fenestra ovale). Ke
dalam vestibulum bermuara 3 buah kanalis semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis
anterior, posterior dan lateral yang masing-masing saling tegak lurus. Setiap saluran
semisirkularis mempunyai pelebaran atau ampula. Walaupun ada 3 saluran tetapi muaranya
hanya lima dan bukan enam, karena ujung posterior saluran posterior yang tidak berampula
menyatu dengan ujung medial saluran anterior yang tidak bermapula dan bermuara ke dalam
bagian medial vestibulum oleh krus kommune. Ke arah anterior rongga vestibulum
berhubungan dengan koklea tulang dan tingkap bulat (fenestra rotundum).
Koklea merupakan tabung berpilin mirip rumah siput. Bentuk keseluruhannya mirip
kerucut dengan dua tiga-perempat putaran. Sumbu koklea tulang di sebut mediolus. Tonjolan
tulang yang terjulur dari modiolus membentuk rabung spiral dengan suatu tumpukan tulang
yang disebut lamina spiralis. Lamina spiralis ini terdapat pembuluh darah dan ganglion
spiralis, yang merupakan bagian koklear nervus akustikus.
LABIRIN MEMBRANASEA
Labirin membransea terletak di dalam labirin tulang, merupakan suatu sistem saluran
yang saling berhubungan dilapisi epitel dan mengandung endolimf. Labirin ini dipisahkan
dari labirin tulang oleh ruang perilimf yang berisi cairan perilimf. Pada beberapa tempat
terdapat lembaran-lembaran jaringan ikat yang mengandung pembuluh darah melintasi ruang
perilimf untuk menggantung labirin membranasea.
Makula disusun oleh 2 jenis sel neuroepitel (disebut sel rambut) yaitu tipe I dan II serta
sel penyokong yang duduk di lamina basal.Serat-serat saraf dari bagian vestibular nervus
vestibulo-akustikus (N.VIII) akan mempersarafi sel-sel neuroepitel ini.
Sel rambut I berbentuk seperti kerucut dengan bagian dasar yang membulat berisi inti
dan leher yang pendek. Sel ini dikelilingi suatu jala terdiri atas badan akhir saraf dengan
beberapa serat saraf eferen, mungkin bersifat penghambat/ inhibitorik. Sel rambut tipe II
berbentuk silindris dengan badan akhir saraf aferen maupun eferen menempel pada bagian
bawahnya. Kedua sel ini mengandung stereosilia pada apikal, sedangkan pada bagian tepi
stereosilia terdapat kinosilia. Sel penyokong (sustentakular) merupakan sel berbentuk
silindris tinggi, terletak pada lamina basal dan mempunyai mikrovili pada permukaan apikal
dengan beberapa granul sekretoris.
Pada permukaan makula terdapat suatu lapisan gelatin dengan ketebalan 22 mikrometer
yang dikenal sebagai membran otolitik. Membran ini mengandung banyak badan-badan
kristal yang kecil yang disebut otokonia atau otolit yang mengandung kalsium karbonat dan
suatu protein. Mikrovili pada sel penyokong dan stereosilia serta kinosilia sel rambut
terbenam dalam membran otolitik. Perubahan posisi kepala mengakibatkan perubahan
dalam tekanan atau tegangan dalam membran otolitik dengan akibat terjadi rangsangan
pada sel rambut. Rangsangan ini diterima oleh badan akhir saraf yang terletak di antara sel-
sel rambut.
KANALIS SEMISIRKULARIS
Kanalis semisirkularis membranasea mempunyai penampang yang oval. Pada permukaan
luarnya terdapat suatu ruang perilimf yang lebar dilalui oleh trabekula.
Pada setiap kanalis semisirkularis ditemukan sebuah krista ampularis, yaitu badan akhir
saraf sensorik yang terdapat di dalam ampula (bagian yang melebar) kanalis. Tiap krista
ampularis di bentuk oleh sel-sel penyokong dan dua tipe sel rambut yang serupa dengan sel
rambut pada makula. Mikrovili, stereosilia dan kinosilianya terbenam dalam suatu massa
gelatinosa yang disebut kupula serupa dengan membran otolitik tetapi tanpa otokonia.
Dalam krista ampularis, sel-sel rambutnya di rangsang oleh gerakan endolimf akibat
percepatan sudut kepala. Gerakan endolimf ini mengakibatkan tergeraknya stereosilia dan
kinosilia. Dalam makula sel-sel rambut juga terangsang tetapi perubahan posisi kepala dalam
ruang mengakibatkan suatu peningkatan atau penurunan tekanan pada sel-sel rambut oleh
membran otolitik.
KOKLEA
Koklea tulang berjalan spiral dengan 23/4 putaran sekiitar modiolus yang juga
merupakan tempat keluarnya lamina spiralis. Dari lamina spiralis menjulur ke dinding luar
koklea suatu membran basilaris. Pada tempat perlekatan membran basilaris ke dinding luar
koklea terdapat penebalan periosteum yang dikenal sebagai ligamentum spiralis. Di samping
itu juga terdapat membran vestibularis (Reissner) yang membentang sepanjang koklea dari
lamina spiralis ke dinding luar. Kedua membran ini akan membagi saluran koklea tulang
menjadi tiga bagian yaitu
Pada pertemuan antara lamina spiralis tulang dengan modiolus terdapat ganglion spiralis
yang sebagian diliputi tulang. Dari ganglion keluar berkas-berkas serat saraf yang menembus
tulang lamina spiralis untuk mencapai organ Corti. Periosteum di atas lamina spiralis
menebal dan menonjol ke dalam duktus koklearis sebagai limbus spiralis. Pada bagian
bawahnya menyatu dengan membran basilaris.
Membran basilaris yang merupakan landasan organ Corti dibentuk oleh serat-serat
kolagen. Permukaan bawah yang menghadap ke skala timpani diliputi oleh jaringan ikat
fibrosa yang mengandung pembuluh darah dan sel mesotel.
Membran vestibularis merupakan suatu lembaran jaringan ikat tipis yang diliputi oleh
epitel selapis gepeng pada bagian yang menghadap skala vestibuli.
DUKTUS KOKLEARIS
Epitel yang melapisi duktus koklearis beragam jenisnya tergantung pada lokasinya,
diatas membran vestibularis epitelnya gepeng dan mungkin mengandung pigmen, di atas
limbus epitelnya lebih tinggi dan tak beraturan. Di lateral epitelnya selapis silindris rendah
dan di bawahnya mengandung jaringan ikat yang banyak mengandung kapiler. Daerah ini
disebut stria vaskularis dan diduga tempat sekresi endolimf.
ORGAN CORTI
Organ Corti terdiri atas sel-sel penyokong dan sel-sel rambut. Sel-sel yang terdapat di
organ Corti adalah
1. Sel tiang dalam merupakan sel berbentuk kerucut yang ramping dengan bagian basal
yang lebar mengandung inti, berdiri di atas membran basilaris serta bagian leher yang
panjang. Di antara sel tiang dalam dan luar terdapat terowongan dalam.
3. Sel falangs luar merupakan sel berbentuk silindris yang melekat pada membrana
basilaris. Bagian puncaknya berbentuk mangkuk untuk menopang bagaian basal sel
rambut luar yang mengandung serat-serat saraf aferen dan eferen pada bagian
basalnya yang melintas di antara sel-sel falangs dalam untuk menuju ke sel-sel rambut
luar. Sel-sel falangs luar dan sel rambut luar terdapat dalam suatu ruang yaitu
4. Sel falangs dalam terletak berdampingan dengan sel tiang dalam. Seperti sel falangs
6. Sel Hansen membatasi sisi luar organ Corti. Sel ini berbentuk silindris terletak antara
sel falangs luar dengan sel-sel Claudius yang berbentuk kuboid. Sel-sel Claudius ter-
Permukaan organ Corti diliputi oleh suatu membran yaitu membrana tektoria yang
merupakan suatu lembaran pita materi gelatinosa. Dalam keadaan hidup membran ini
menyandar di atas stereosilia sel-sel rambut.
GANGLION SPIRALIS
Ganglion spiralis merupakan neuron bipolar dengan akson yang bermielin dan berjalan
bersama membentuk nervus akustikus. Dendrit yang bermielin berjalan dalam saluran-
saluran dalam tulang yang mengitari ganglion, kehilangan mielinnya dan berakhir dengan
memasuki organ Corti untuk selanjutnya berada di antara sel rambut. Bagian vestibular N
VIII memberi persarafan bagian lain labirin. Ganglionnya terletak dalam meatus akustikus
internus tulang temporal dan aksonnya berjalan bersama dengan akson dari yang berasal dari
ganglion spiralis. Dendrit-dendritnya berjalan ke ketiga kanalikulus semisirkularis dan ke
makula sakuli dan ultrikuli.
Telinga luar menangkap gelombang bunyi yang akan diubah menjadi getaran-getaran oleh
membran timpani. Getaran-getaran ini kemudian diteruskan oleh rangkaian tulang –tulang
pendengaran dalam telinga tengah ke perilimf dalam vestibulum, menimbulkan gelombang
tekanan dalam perilimf dengan pergerakan cairan dalam skala vestibuli dan skala timpani.
Membran timpani kedua pada tingkap bundar (fenestra rotundum) bergerak bebas sebagai
katup pengaman dalam pergerakan cairan ini, yang juga agak menggerakan duktus koklearis
dengan membran basilarisnya. Pergerakan ini kemudian menyebabkan tenaga penggunting
terjadi antara stereosilia sel-sel rambut dengan membran tektoria, sehingga terjadi stimulasi
sel-sel rambut. Tampaknya membran basilaris pada basis koklea peka terhadap bunyi
berfrekuensi tinggi , sedangkan bunyi berfrekuensi rendah lebih diterima pada bagian lain
duktus koklearis.
3. Fisiologi
a. Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan
mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya,
stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala
vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe
dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak
sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar.
Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan terdorongnya
membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah
menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang
diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis. Kemudian meneruskan
rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di
lobus temporalis.
b. Keseimbangan
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan equilibrium baik statis maupun
dinamis tubuh ketika ditempatkan pada berbagai posisi.
Keseimbangan Statis
Kemampuan untuk mempertahankan posisi dimana center of gravity tidak berubah.
Contohnya saat kita berdiri dengan satu kaki.
Keseimbangan Dinamis
Kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana center of gravity selalu
berubah. Contohnya saat berjalan dan berputar.
Informasi keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibular, visual, dan
proprioseptik. Dari ketiga reseptor tersebut, reseptor vestibuler mempunyai kontribusi yang
besar, yaitu lebih dari 50%.
Bila ada gerakan atau perubahan dari kepala atau tubuh, akan ada perpindahan cairan
endolimfe di labirin, dan menyebabkan hair cells menekuk. Tekukan dari hair cells ini akan
menyebabkan permeabilitas membran sel berubah sehingga ion kalsium langsung menerobos
masuk ke dalam sel / influks. Influks dari kalsium ini menyebabkan depolarisasi dan juga
merangsang pelepasan NT eksitator / glutamat sehingga merangsang pusat-pusat
keseimbangan di otak melalui saraf aferen.
Reseptor visual memberi informasi pada otak tentang posisi tubuh terhadap
lingkungan berdasarkan sudut dan jarak terhadap objek di sekitarnya. Sedangkan reseptor
proprioseptik memberi informasi dan kesadaran akan posisi dari berbagai bagian tubuh kita.
2. Garis Gravitasi
Merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas
tubuh ditentukan oleh hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi, dan base of
support (bidang tumpul).
3. Base of Support
Merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika
garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh akan dalam keadaan seimbang.
Semakin lebar luas permukaan bidang tumpuan, maka akan semakin seimbang tubuh
kita. Contohnya, berdiri dengan dua kaki lebih seimbang daripada ketika kita berdiri
dengan satu kaki.
4. Kekuatan otot
Merupakan kemampuan untuk menghasilkan ketegangan otot sehingga dapat menopang
tubuh kita.
4. Tuli
Gangguan pada telinga luar, tengah, dan dalam dapat menyebabkan ketulian. Tuli dibagi atas
tuli konduktif, tuli sensorineural, dan tuli campur. Tuli konduktif terjadi akibat kelainan
telinga luar, seperti infeksi, serumen atau kelainan telinga tengah seperti otitis media atau
otosklerosis.
Tuli sensorineural melibatkan kerusakan koklea atau saraf vestibulokoklear. Salah satu
penyebabnya adalah pemakaian obat-obat ototoksik seperti streptomisin yang dapat merusak
stria vaskularis. Selain tuli konduksi dan sensorineural, dapat juga terjadi tuli campuran. Tuli
campuran adalah tuli baik konduktif maupun sensorineural akibat disfungsi konduksi udara
maupun konduksi tulang.
Ada tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural, dan campuran. Menurut
Centers for Disease Control and Prevention pada gangguan pendengaran konduktif terdapat
masalah di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran
sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Sedangkan,
tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural. Menurut
WHO-SEARO (South East Asia Regional Office) Intercountry Meeting (Colombo, 2002)
factor penyebab gangguan pendengaran adalah otitis media suppuratif kronik (OMSK), tuli
sejak lahir, pemakaian obat ototoksik, pemaparan bising, dan serumen prop.
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai
telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi pada kanal
telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda,
dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan
pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan pendengaran nervus vestibulokoklearis
(N.VIII).
Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga sebelumnya.
2. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan perubahan
posisi kepala.
Menurut Lalwani, pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal
telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal
telinga luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis
terdapat gangguan pada rantai tulang pendengaran.
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara
bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada rendah.
Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif.
Dengan menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran
udara dan tes Weber didapati lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan menggunakan garputala
512 Hz, tes Scwabach didapati Schwabach memanjang.
Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada gangguan
pendengaran jenis ini adalah seperti berikut:
1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan penderita
biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang dibanding orang
normal. Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita
gangguan
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam suasana
gaduh dibanding suasana sunyi.
3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obatobat ototoksik,
ataupun penyakit sistemik sebelumnya. Menurut Soetirto, Hendarmin dan Bashiruddin, pada
pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang telinga tampak
normal.
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar
percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar katakata yang mengundang
nada tinggi (huruf konsonan).
Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang. Tes
Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran
tulang.
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala gangguan
pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-
tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes
bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar
mendengar kata-kata baik yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala
Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat. Schwabach memendek.
Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga, hidung dan
tenggorok, tes pendengarn, yaitu tes bisik, tes garputala dan tes audiometric dan pemeriksaan
penunjang. Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara bisik
berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu. Hasil tes berupa jarak
pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih dapat
didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 – 6/6.
Tes garputala merupakan tes kualitatif. Garputala 512 Hz tidak terlalu dipengaruhi suara
bising disekitarnya. Menurut Guyton dan Hall, cara melakukan tes Rinne adalah penala
digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar penala
dipegang di depan teling kira-kira 2 ½ cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif. Bila
tidak terdengar disebut Rinne negatif.
Cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di garis
tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu). Apabila bunyi garputala
terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut.
Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber
tidak ada lateralisasi.
Cara melakukan tes Schwabach adalah garputala digetarkan, tangkai garputala diletakkan
pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala segera
dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila
pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat
mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi
disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama
mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa.
Manfaat dari tes ini adalah dapat mengetahui keadaan fungsi pendengaran masing-masing
telinga secara kualitatif (pendengaran normal, gangguan pendengaran jenis hantaran,
gangguan pendengaran jenis sensorineural, dan gangguan pendengaran jenis campuran).
Dapat mengetahui derajat kekurangan pendengaran secara kuantitatif (normal, ringan,
sedang, sedang berat, dan berat).
Penyakit telinga dapat menyebabkan tuli konduktif atau tuli sensorineural. Tuli konduktif,
disebabkan kelainan terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Telinga luar yang
menyebabkan tuli konduktif adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis
eksterna sirkumskripta dan osteoma liang telinga.
Kelainan di telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif adalah sumbatan tuba
eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan dislokasi tulang
pendengaran.
Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirintitis (oleh bakteri atau
virus) dan intoksikasi obat (streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal, atau
alcohol). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma
kapitis, trauma akustik dan pajanan bising.
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons
serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya.
Kerusakan telinga oleh obat, pengaruh suara keras, dan usia lanjut akan menyebabkan
kerusakan pada penerimaan nada tinggi di bagian basal koklea. Presbikusis ialah penurunan
kemampuan mendengar pada usia lanjut. Pada trauma kepala dapat terjadi kerusakan di otak
karena hematoma, sehingga terjadi gangguan pendengaran.
Inflamasi aurikula merupakan suatu reaksi tubuh terhadap invasi bahan infeksi, antigen atau
karena cedera fisik terdapat pada kulit, kartilago serta lapisan jaringan ikat sekitarnya atau
perikondrium aurikula.
ETIOLOGI
a. Impetigo
Impetigo merupakan infeksi kontagiosa yang mengenai lapisan epidermis
superfisial. Sering disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus, atau yang
lebih jarang Streptococcus pyogenes. Impetigo canalis aurikularis umumnya
ditemukan pada anak-anak, dan sering juga pada bagian lain seperti sudut
mulut. Walaupun infeksi ini sering terjadi pada anak-anak terlantar tetapi
dapat juga terjadi pada setiap orang.
b. Erysipelas
Erysipelas merupakan selulitis akut yang terlokalisasi namun meluas secara
superfisial pada aurikula, erysipelas disebabkan oleh Streptococcus β
hemolitikus grup A, ini dapat diakibatkan karena menggaruk atau self-
inoculation oleh pasien yang mencoba untuk membersihkan telinganya. Tidak
seperti pada swimmer’s ear dan impetigo yang merupakan infeksi epidermal,
erysipelas menginfeksi dermis dan dengan bertambahnya waktu akan
mengenai jaringan yang lebih dalam.
c. Herpes Zooster Otikus
Herpes zoster otikus merupakan infeksi virus pada telinga yang disebabkan
oleh virus varicella zoster. Virus tersebut menyebabkan infeksi sepanjang
dermatome satu atau lebih nervus cranialis.
d. Eczema
Eczema atau dermatitis pada telinga merupakan suatu peradangan kulit
(epidermis dan dermis) yang melibatkan liang telinga, meatus dan concha di
dekatnya (sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen seperti bahan
kimia (detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar, suhu), mikroorganisme
(bakteri, jamur) dan atau faktor endogen, misalnya dermatitis atopik.
Sebagian lain tidak diketahui etiologinya yang pasti.
e. Ot Hematoma
Ot Hematoma merupakan hematoma daun telinga akibat suatu rudapaksa
yang menyebabkan tertimbunnya darah dalam ruangan antara perikondrium
dan kartilago. Keadaan ini biasanya terdapat pada remaja atau orang dewasa
yang mempunyai kegiatan memerlukan kekerasan, namun bisa saja dijumpai
pada usia lanjut dan anak-anak.
f. Perikondritis
Infeksi bacterial pada perikondrium atau kartilago umumnya disebabkan oleh
trauma dan kecelakaan pada aurikula. Bakteri yang sering menyebabkan
perikondritis adalah Pseudomonas aeruginosa. Selain itu, bakteri mikrokokus
jenis virulen seperti Stafilococcus, Streptococcus juga dilaporkan sebagai
penyebab perikondritis. Pada kasus-kasus dimana perikondritis muncul secara
spontan, kecurigaan paling tinggi harus ditingkatkan pada pasien dengan
diabetes melitus.
PATOFISIOLOGI
Inflamasi adalah reaksi tubuh yang kompleks terhadap invasi bahan infeksi, tantangan
antigen atau bahkan hanya cedera fisik. Inflamasi meliputi ikut sertanya aktifitas banyak tipe
sel dan mediator. Secara normal cedera jaringan atau adanya bahan asing menjadi pemicu
kejadian yang mengikut sertakan partisipasi dari enzim, mediator, cairan ekstravasasi,
migrasi sel, kerusakan jaringan dan mekanisme penyembuhan. Hal tersebut menimbulkan
tanda inflamasi berupa : kemerahan, pembengkakan, panas, nyeri dan hilangnya fungsi.
Terjadi 3 proses utama selama reaksi inflamasi ini yaitu, aliran darah ke daerah itu
meningkat, permeabilitas kapiler meningkat, leukosit, mula-mula neutrofil dan makrofag, lalu
limfosit keluar dari kapiler menuju ke jaringan sekitarnya.selanjutnya bergerak ke tempat
yang cedera dibawah pengaruh stimulus-stimulus kemotaktik.
Bila ada antigen menyerang, maka rentetan respon imun nonspesifik dan spesifik diaktivasi
untuk menangkis antigen tersebut. Mula-mula, respons imun nonspesifik bekerja untuk
mengeliminasi antigen tersebut. Bila ini berhasil, inflamasi akut berhenti. Apabila respons
imun nonspesifik tidak berhasil, maka respons imun spesifik diaktivasi untuk menangkis
antigen tersebut. Inflamasi berhenti apabila usaha ini berhasil, bila tidak maka inflamasi ini
menjadi kronik dan seringkali menyebabkan destruksi yang ireversibel pada jaringan.
MANIFESTASI KLINIS
a. Impetigo
Impetigo tidak disertai gejala umum, lebih sering terjadi pada anak-anak. Impetigo
umumnya ditularkan ke telinga melalui jari yang kotor. Untuk alasan ini, bentuk lesi
awal ditemukan pada pintu masuk kanalis eksterna. Tidak seperti furunkulosis,
impetigo merupakan infeksi yang menyebar pada daerah superficial yang mana dapat
meluas sampai ke choncha bahkan seluruh aurikula. Lesi awal terbentuk suatu bula
kecil yang bila ruptur atau pecah akan mengeluarkan eksudat infektif berwarna
kekuningan. Eksudat mengering menjadi krusta keemasan. Seiring dengan
penyebaran infeksi, daerah yang terkena meluas dan terlihat krusta.
b. Erysipelas
Bentuk klinis erysipelas adalah nyeri dan pembengkakan. Lesi berupa penyebaran
selulitis yang berwarna merah dengan suatu perimeter iregular yang meninggi dan
berbatas jelas dari kulit normal disekitarnya. Bila erysipelas mulai pada MAE atau
pada aurikula, lesi secara khusus menyebar pada anterior wajah tanpa terpengaruh
batasan-batasan anatomis. Erysipelas disertai gejala konstitusi seperti pasien merasa
sakit, menggigil, demam dan malaise. Keterlibatan sistemik tidak terlihat pada banyak
infeksi superfisial.
c. Herpes Zoster Otikus
Gejala awal berupa nyeri terbakar pada salah satu telinga, yang mungkin disertai sakit
kepala, malaise dan demam selama 2 hari. Vesikel umumnya muncul pada hari ke 3
sampai hari ke 7 setelah onset nyeri, dan biasanya timbul pada antiheliks, concha dan
posterior lateral MAE. Infeksi pada ganglion genikulatum juga dapat muncul disertai
parese facialis atau paralisis komplit.
d. Eczema
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Pada stadium akut kelainan kulit
berupa eritema, edema, vesikel atau bula erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah
(madidans). Stadium subakut, edema dan eritema berkurang, eksudat mengering
menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis lesi tampak kering, skuama,
hiperpigmentasi, papul dan likenifikasi, mungkin juga terdapat erosi atau ekskoriasi
karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, biasanya suatu dermatitis
sejak awal memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium kronis.
e. Ot hemathoma
Pada ot hemathoma aurikula dapat terbentuk penumpukan bekuan darah diantara
perikondrium dan tulang rawan. Bila bekuan darah ini tidak segera dikeluarkan maka
dapat terjadi organisasi dari hemathoma, sehingga tonjolan menjadi padat dan
permanen.
f. Perichondritis
Tampak daun telinga membengkak, merah, panas, dirasakan nyeri, dan nyeri tekan.
Pembengkakan ini dapat menjalar ke bagian belakang daun telinga, sehingga sangat
menonjol. Terdapat demam, pembesaran kelenjar linfe regional dan leukositosis.
Serum yang terkumpul dilapisan subperikondrial menjadi purulen, sehingga terdapat
fluktuasi diffuse atau terlokalisasi.
DIAGNOSA
TERAPI
a. Impetigo
Impetigo pada telinga sebaiknya dirawat dengan debridement pada daerah yang
terkena. Hal ini dapat dikerjakan dengan menggunakan lidi kapas yang sudah
dibasahi dengan cairan antiseptik atau hidrogen peroksidase. Daerah yang terinfeksi
kemudian ditutup dengan salep antibiotik. Salep yang mengandung neomycin sangat
berguna, juga mucopirin (bactroban), suatu salep single-agent dengan aktifitas anti-
Stafilokokkus. Antibiotik sistemik umumnya tidak diperlukan, walaupun daerah
yang terinfeksi meluas. Bila impetigo gagal diatasi dengan terapi lokal, perlu
dikonsulkan pada bagian dermatologi
b. Erysipelas
Terapi erysipelas meliputi antibiotik topikal dan sistemik. Obat anti-streptokokkal
dosis tinggi dapat dicoba, tapi bila pasien gagal menunjukkan respon yang signifikan
dalam 48 jam, harus disadari pemberian antibiotik intravena yang efektif melawan β
sterptokokkus.
c. Herpes Zoster otikus
Oral steroid secara umum diberikan dan di tappering off bila diberikan diatas 10-14
hari. Pengobatan dengan acyclovir, famcyclovir dan valacyclovir telah ditunjukkan
keevektifannya dalam memperpendek fase penyebaran virus dan mengurangi
otalgia.
d. Eczema
Pengobatan yang tepat didasarkan kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya. Tetapi,
karena eczema disebabkan oleh multi faktorial, kadang juga tidak diketahui dengan
pasti. Jadi pengobatan bersifat simptomatis yaitu dengan mengurangi atau
menghilangkan gejala dan keluhan, dan menekan keradangan. Bila aurikula terlibat
cukup luas dan lesi tampaknya meluas, maka dapat dianjurkan kompres basah
larutan solusio Burowi selama 24-48 jam, setelah itu gunakan salep dan solusio
steroid fluorinasi. Dengan sendirinya bila infeksi dicurigai, dapat diberikan
antibiotik topikal.
e. Ot Hematoma
Mengeluarkan isi hematoma yaitu bisa secara aspirasi atau insisi. Aspirasi dilakukan
dengan jarum aspirasi nomor 18 untuk mencegah reakumulasi dari hematoma.
Prinsip selanjutnya setelah dilakukan aspirasi atau insisi dilakukan penekanan untuk
mencegah reakumulasi antara lain dengan cara: pembalutan seperti pemasangan
perban, penekanan paksa mastoidektomi, penekanan lokal dengan bloster yang
dijahit. Menggunakan penekanan gips yang dipasang di depan dan dibelakang.
Menggunakan perban gipsona yang melingkari daun telinga. Disamping kedua tahap
ini, juga penting pemberian antibiotik yang adekuat
f. Perikondritis
Kasus mild perikondritis dapat diterapi dengan debridement dan antibiotik topikal
atau oral. Tetapi pengobatan dengan antibiotik sering gagal karena kuman yang
dituju yaitu, Pseudomonas aeruginosa sering resisten terhadap sebagian besar
antibiotik. Yang paling efektif adalah Tobramisin diberikan bersama-sama Tikarsilin
secara sistemik, selama 2 minggu, dengan memantau fungsi ginjal. Bila infeksi
menyebar mengenai jaringan ikat dan jaringan linfe regional, pasien harus dirawat
dan diberikan antibiotik parenteral. Bila terjadi infeksi subakut atau kronis pada
perikondrium atau kartilago dan tetap berlanjut walaupun sudah diberi perawatan,
intervensi surgical dibawah kontrol dapat diindikasikan. Pembedahan meliputi eksisi
jaringan nekrotik, kemudian dilakukan lokal skin flap. Irigasi dengan drain kecil
sebaiknya ditempatkan dibawah flaps dan diirigasi dengan cairan antibiotik tiga kali
sehari. Drain dapat diteruskan sesuai perbaikan kondisi.
PROGNOSA
Pada umumnya prognosis inflamasi aurikula ini baik bila diagnosa ditegakkan secara tepat
dan penatalaksanaan diberikan secara dini.
7. Fistula Preaurikular
Fistula preaurikular terjadi ketika pembentukan daun telinga pada masa embrio.
Kelainan ini berupa gangguan embrional pada arkus brakial 1 dan 2. sering ditemukan pada
suku bangsa di Asia dan Afrika dan merupakan kelainan herediter yang dominan. Fistula
preaurikular merupakan kelainan kongenital umum yang pertama kali digambarkan oleh
Heusinger pada tahun 1864.
Kelainan ini seringkali ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin berupa lubang
kecil yang mengarah ke telinga luar, biasanya pada tepi anterior dari bagianascend ing
helix. Bagaimanapun, kelainan ini sering dilaporkan terjadi pada permukaan lateral crus
helicix dan tepi posterosuperior dari helix, tragus atau lobulus. Secara anatomi, ini
terletak pada lateral dan superior dari nervus fasialis dan kelenjar parotis. Fistula dapat
ditemukan didepan tragus atau di sekitarnya dan sering terinfeksi. Pada keadaan tenang
tampak muara fistula berbentuk bulat atau lonjong, berukuran seujung pensil. Dari muara
fistula sering keluar sekret yang berasal dari kelenjar sebasea
Fistula preaurikular diturunkan secara autosomal dominan inkomplit. Kelainan ini
dapat muncul secara spontan. Fistula dapat terjadi secara bilateral pada 25-50% kasus dan
fistula preaurikular bilateral lebih sering herediter. Pada kasus yang terjadi secara unilateral,
preaurikular kiri lebih sering terkena.
.Biasanya pasien datang berobat oleh karena terdapat obstruksi dan infeksi fistula,
sehingga terjadi pioderma atau selulitis fasial. Bila tidak ada keluhan, operasi tidak perlu
dilakukan. Akan tetapi apabila terdapat abses berulang dan pembentukan sekret kronis, maka
perlu dilakukan pengangkatan fistula itu seluruhnya, oleh karena bila tidak bersih akan
menyebabkan kekambuhan.
Patofisiologi
Selama embriogenesis, daun teliga (aurikula) muncul dari arkus branchial 1 dan 2
pada minggu keenam kehamilan. Arkus branchial adalah struktur mesoderm yang dibungkus
oleh ektoderm and mengelilingi endoderm. Arkus-arkus ini terpisah satu dengan lainnya oleh
celah branchial ektoderm kearah luar dan oleh kantong faringeal endoderm kearah dalam.
Arkus branchial 1 dan 2 branchial masing-masing membetuk 3 tonjolan (hillocks); struktur
ini disebut hillocks of His. Tigahil locks muncul dari tepi bawah arkus branchial 1 dan 3 lagi
dari batas atas arkus branchial kedua.Hillo cks ini seharusnya bergabung selama beberapa
minggu kemudian pada masa embriogenesis. Fistula preaurikular terjadi sebagai akibat dari
kegagalan penggabungan tonjolan- tonjolan ini.
Fistula preaurikular biasanya terbatas, panjangnya bervariasi (biasanya pendek) dan
salurannya biasanya kecil. Fistula preaurikular biasanya ditemukan pada lateral, superior dan
posterior dari nervus fasialis dan kelenjar parotis. Pada hampir semua kasus, salurannya
terhubung ke perikondrium dari kartilago daun telinga. Salurannya dapat mengarah ke
kelenjar parotis.
Epidemiologi
Dalam sebuah studi, insidensi fistula preaurikular di Amerika Serikat sekitar 0- 0.9%
dan insidensinya di kota New York sekitar 0.23%. Di Taiwan, insidensinya sekitar 1.6-2.5%;
di Skotlandia sekitar 0.06% dan di Hungaria sekitar 0.47%. Di beberapa bagian Asia dan
Afrika, insidensinya sekitar 4-10%.
Mortalitas/ Morbiditas
•Fistula preaurikular tidak berhubungan dengan denga mortalitas.
•Morbiditas termasuk infeksi rekurren pada bagian tersebut, ulserasi, jaringan parut,
pioderma dan sellulitis fasial. Secara spesifik, kondisi ini dapat diikuti oleh terjadinya: abses
pada dan anterior dari telinga yang terlibat, drainage kronik dan rekurren dari lubang fistula,
malar ulceration, otitis externa dan sellulitis fasial unilateral.
•Terapi dengan operasi dihubungkan dengan angka kejadian morbiditas ini,
dengan kemungkinan kekambuhan postoperasi.
Insidensi fistula preaurikular pada orang kulit putih adalah 0.0-0.6% and insidensinya
pada ras Amerika, Afrika dan Asia adalah 1-10%. Baik laki-laki maupun perempuan
memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita kelainan ini. Fistula preaurikular muncul
pada masa antenatal dan terlihat pada saat lahir.
Gejala Klinis
1. Sebagian orang dengan kelainan ini asimptomatik. Hanya sepertiga orang menyadari
adanya kelainan ini. Dalam sebuah studi terhadap 31 pasien, suatu lesi menjadi jelas, sekitar
9,2 tahun (rata-rata) sebelum mereka mencari pertolongan medis.
2. Beberapa pasien datang dengan drainase kronik yang intermitten berupa material purulen
dari tempatnya yang terbuka. Drainase fistula ini menjadi mudah mengalami infeksi. Sekali
infeksi, fistula-fistula ini jarang mengalami asimptomatik, sering berkembang menjadi
eksaserbasi akut yang rekurren.
3. Pasien mungkin datang dengan sellulitis fasial atau ulserasi yang berlokasi pada
bagian depan telinga. Ulserasi ini sering diobati tanpa mengetahui sumber
primernya dan fistula preaurikular menjadi tidak ketahuan.
4. Perkembangan dari adanya infeksi, pasien mungkin dapat berkembang menjadi
scarring.
5. Bayi dari ibu yang DM memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinyaoculo-
auriculo-vertebral, termasuk fistula.
Pemeriksaan Fisik
Fistula preaurikular biasanya muncul sebagai sebuah celah kecil kearah tepi depan
dari helix bagian ascending. Kecuali fistula ini mengalami infeksi yang aktif atau sebelumnya
telah mengalami infeksi dengan gejala sisa berupa scarring, kelainan ini hanya berupa lubang
kecil di depan daun telinga. Jika dihubungkan dengan kondisi yang ada, salah satunya
mungkin terlihat anomali telinga luar, seperti kegagalan pembentuka telinga. Pemeriksaan
fisik dapat ditemukan fistula branchiogenik dan/atau penurunan pendengaran.
Pada tahun 2006, Saltzmann dan Lissner melaporkan sebuah kasus yang tidak
biasanya dari familial punctal atresia yang berhubungan secara genetik dengan fistula
preaurikular bilateral yang mengalami pengurangan beberapa gambaran syndrome yang
komorbid, dimana biasanya ini jarang terjadi.
Choi et al, pada tahun 2007, mencatat bahwa apa yang dikenal sebagai fistula
preaurikular dapat terjadi di area postaurikula. Fistula terjadi pada area postaurikula
memperlihatkan angka kekambuhan yang rendah setelah operasi (0%) daripada area
preaurikular (2.2%).
Etiologi
Fistula preaurikular adalah kelainan yang terjadi akibat kegagalan penggabungan 2
dari 6 hillocks yang muncul dari arkus branchial 1 dan 2
Diagnosis Banding
Basal Cell Carcinoma, Epidermal Inclusion Cyst
Terapi
Terapi Medis
Dalam sebuah studi yang besar, 52% pasien mengalami peradangan pada fistulanya,
34% mengalami abses dan 18% dari fistulanya mengalami infeksi. Agen infeksius yang
teridentifikasi adalah Staphylococcus epidermidis (31%), Staphylococcus aureus(31%),
Streptococcus viridans(15%), Peptococcus sp. (15%) dan Proteus sp. (8%). Sekali pasien
mengalami infeksi pada fistulanya, pasien tersebut harus diberikan antibiotic sistemik. Jika
terdapat abses, abses tersebut harus di insisi dan di drainase dan eksudat harus dikirim untuk
dilakukan pengecatan Gram dan kultur untuk dapat memilih antibiotik yang tepat.
Operasi
Sekali infeksi terjadi, kemungkinan terjadinya kekambuhan eksaserbasi akut sangat
tinggi dan saluran fistula harus diangkat dengan cara operasi. Operasi perlu sekali dilakukan
ketika infeksi yang telah diberikan antibiotik dan peradangan pasti memiliki waktu untuk
sembuh. Indikasi operasi masih menjadi perdebatan. Beberapa percaya bahwa saluran fistula
harus di ektirpasi dengan cara operasi pada pasien yang asimptomatik karena onset gejala dan
infeksi yang berikutnya menyebabkan pembentukan jaringan parut (scarring), yang
memungkinakan pengangkatan yang tidak sempurna dari saluran fistula dan kekambuhan
setelah operasi. Angka kekambuhan setelah operasi adalah 13-42%.
Sebagian besar kekambuhan setelah operasi terjadi karena pengangkatan yang tidak
sempurna pada saat dioperasi. Salah satu jalan untuk mencegah kekambuhan adalah dengan
mengetahui gambarn jelas dari saluran tersebut ketika operasi. Beberapa ahli bedah measang
kanul mulut dan menginjeksi biru metilen kedalam saluran 3 hari sebelum operasi di bawah
kondisi yang steril. Membuka saluran dan kemudian melakukan jahitan pada sutura. Teknik
ini memperbesar saluran dan ini diperpanjang oleh sekresinya sendiri dengan memasukkan
biru metilen.
Selama operasi, beberapa ahli bedah menggunakan sebuah probe atau memasukkan
metilen blue ke dalam saluran untuk kanulasi mulut. Teknik standar untuk ekstirpasi saluran
sinus meliputi insisi sekeliling fistula dan sekaligus pembedahan traktus dekat helix.
Pendekatan insisi supraauricular lebih sering berhasil dan diperpanjang insisi sampai post
aurikular. Sekali fasia temporalis didentifikasi, pembedahan traktus dimulai. Kartilago
aurikularyang menempel pada saluran diangkat untuk menurunkan angka kekambuhan
sampai dengan 5%.
Follow Up
- Perawatan pasien Rawat Inap
Jika fistula ternbentuk kembali, fistula tersebut harus dingkat secara penuh.
- Perawatan pasien Rawat Jalan
Jika fistula preaurikular mengalami infeksi yang berulang dan pasien tidak ingin di operasi,
sekret yang dihasilkan pada fistula tersebut dapat di kultur untuk mengetahui pemberian
antibiotik yang tepat yang dapat mengkover kuman penyebabnya.
- Pengobatan Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan
Biasanya, tidak ada obat yang harus diberikan, tetapi jika infeksi terjadi, antibiotik dapat
diberikan. Sekret dari fistula harus di kultur sebelum pemberian antibiotik.
- Pencegahan
Jika fistula mengalami infeksi yang berulang, ini dapat diangkat dengan cara operasi.
Komplikasi
1. Pasien dapat mengalami infeksi pada salurannya dengan pembentukan abses.
2. Infeksi dan ulserasi dapat terjadi pada bagian may occur at a site jauh dari
tempatnya yang terbuka.
3. Kekambuhan postoperasi merupakan komplikasi dari ekstirpasi salauran fistula.
Beberapa faktor yang berkontribusi untuk terjadinya kekambuhan setelah operasi adalah:
o Usaha pengangkatan sebelumnya pada saat dioperasi
o Operasi dengan menggunakan anestesi lokal
o Pengangkatan yang tidak sempurna dari saluran fistula
o Infeksi yang aktif pada saat operasi
o Drainase abses sebelum operasi
o Kurangnya gambaran yang jelas dari traktus ketika dilakukan operasi
o Kegagalan mengangkat kartilago aurikula pada dasar fistula
o Kegagalan untuk mengidentifikasi nervus fasialis karena letaknya yang
dekat dengan fistula.
4.Sebagian kekambuhan terjadi masa-masa awal setelah operasi, berlangsung
dalam 1 bula prosedur. Kekambuhan harus dicurigai ketika discharge dari
saluran sinus tetap ada. Insidensi kekambuhan terjadi sekitar 5-42%.
Prognosis
• Fistula preaurikular umumnya memiliki prognosis yang baik
8. Miringitis
Merupakan salah satu jenis kelainan yang menyebabkan gangguan penndengaran dan
menimbulkan sensasi kongesti serta nyeri telinga.
Miringitis Bulosa
Suatu keadaan yang ditandai dengan nyeri akut pada telinga yang disebabkan oleh
pembentukan bula pada membran timpani. Ini merupakan bentuk peradangan yang
jarang pada telinga yang dapat menyertai selasma dan influenza.
Etiologi:
Insiden tertinggi adalah karena mycoplasma pneumoniae. Dapat juga sebagai infeksi
streptococcus pneumoniae atau infeksi virus seperti influenza, herpes zoster, dll.
Gejala:
Nyeri yang terletak di dalam telinga, dapat menyebar ke ujung mastoid, tengkuk, dan
temporomandibula
Peradangan dengan satu atau lebih bula. Bula penuh dengan cairan bening, namun
juga dapat agak kekuningan bahkan bisa juga disertai perdarahan
Peningkatan suhu tubuh
Gangguan pendengaran, tuli sensorineural pada nada-nada tinggi
Miringitis infeksiosa
Suatu peradangan pada gendang telinga / membran timpani karena infeksi.
Etiologi:
Infeksi bakteri atau virus, biasanya infeksi dimulai pada membran timpani. ISPA dapat
menhadi fakktor predisposisi.
Gejala:
Membran timpani meradang
Terdapat vesikel di membran timpani
Nyeri tiba-tiba yang bisa berlangsung 24-48 jam
Gangguan pendengaran
Jika terdapat demam dan hilang pendengaran maka kemungkinan infeksi oleh bakteri.
Diagnosis:
Anamnesis
Pemeriksaan otoskopi
Tympanomimetri untuk menemukan bukti adanya cairan di belakang membran timpani
Tatalaksana:
Pembersihan kanalis auditoris eksterna
Miringotomi
Timpanostomi
Medikamentosa (analgetik, antibiotika, antihistamin, kortikosteroid)
9. Trauma Akustikus
Definisi
Trauma akustik sering dipakai untuk menyatakan ketulian akibat pajanan bising, maupun tuli
mendadak akibat ledakan hebat, dentuman, tembakan pistol, serta trauma langsung ke kepala
dan telinga akibat satu atau beberapa pajanan dalam bentuk energi akustik yang kuat dan
tiba-tiba.
Etiologi
Trauma akustik dapat disebabkan oleh bising yang keras dan secara tiba-tiba atau secara
perlahan-lahan yang dapat dikarenakan oleh suara ledakan bom, petasan, tembakan, konser,
dan telepon telinga (earphone).
Patofisiologi
Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi suara yang
sangat besar. Efek ini terjadi akibat dilampauinya kemampuan fisiologis telinga dalam
sehingga terjadi gangguan kemampuan meneruskan getaran ke organ corti. Kerusakan dapat
langsung organ corti. Pada trauma akustik,cedera koklea terjadi akibat rangsangan fisik
berlebihan berupa getaran yang sangat besar sehingga merusak sel-sel rambut. Namun pada
pajanan berulang kerusakan bukan hanya semata-mata akibat proses fisika berupa mekanik
semata, namun juga proses kimiawi berupa rangsang metabolik yang secara berlebihan
menyebabkan robeknya membran Reissner dan terjadi percampuran cairan perilimfe dan
yang begitu keras menyebabkan rusaknya organ korti sehingga terjadi percampuran cairan
perilimfe dan endolimfe akhimya terjadi kerusakan sel-sel rambut. Pada proses metabolik
juga dapat merusak sel-sel rarnbut melalui cara vasikulasi dan vakuolasi pada retikulum
rusaknya membran sel dan hilangnya sel-sel rambut. Selama paparan trauma akustik,
jaringan di telinga dalam memerlukan oksigen dan nutrisi lain dalam jumlah besar. Oleh
sebab itu terjadi penurunan tekanan O2 di dalam koklea, sehingga konsumsi O2 akan
meningkat. Peneliti lain mengatakan pada kondisi tersebut akan terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah di dalam koklea. Akibat rangsangan ini dapat terjadi disfungsi sel-sel
permanen.
Pada trauma akustik yang menyebabkan gangguan pendengaran sementara terjadi perubahan
fisiologi dari metabolisme sel yang mengakibatkan gangguan dari sel rambut. Sel rambut
menjadi edema dan mengganggu arah putaran dari stereosilia ke membrana tektoria.
Pada trauma akustik yang mengakibatkan penurunan pendengaran permanen terjadi edema
sel rambut sampai terjadi ruptur sehingga gangguan pendengaran diakibatkan karena sel
rambut akan menjadi distorsi dan arah stereosilia tidak dapat kembali ke membrana tektoria.
Apabila terjadi kerusakan yang progresif dapat terjadi degenerasi syaraf pendengaran dan
perubahan dari pusat pendengaran. Apabila penurunan ambang dengar terjadi dalam
beberapa minggu, maka gangguan dengar tersebut bersifat permanen, dan bila penurunan
ambang dengar mencapai 70 dB serta mencakup pula frekuensi percakapan, maka dipastikan
telah terjadi kerusakan pada serabut saraf pendengaran dan telinga dalam (James, 2009).
Gambar 1. Kerusakan hair cell pada trauma akustik (Mayo klinik, 2010)
Suatu trauma akustik dengan frekuensi tinggi akan mengakibatkan rusaknya sel sel rambut
bagian basal, sedangkan trauma akustik dengan frekuensi rendah akan mengakibatkan
rusaknya sel sel rambut bagian apex. Bila kerusakan akibat frekuensi nada tinggi akan di
dekat foramen ovale, dan frekuensi nada rendah di daerah apex. Lokasi kerusakan terletak 10
– 15 mm dari foramen ovale yakni pada reseptor frekuensi 4000 Hz (James, 2009).
Perubahan fisiologis dalam tubuh hanya mulai terjadi pada tingkat tekanan suara yang lebih
besar . Pada sekitar 120 dB ketidaknyamanan dimulai di telinga dan nyeri terjadi ketika
tingkat tekanan suara mencapai gendang telinga sekitar 140 dB. Gendang telinga bisa pecah/
rusak jika tekanan suara sekitar 160 dB. Penelitian telah menyimpulkan bahwa dengan suara
frekuensi rendah di wilayah 50 – 100 Hz dengan tingkat suara 150 dB atau lebih, sensasi
getarannya berpengaruh buruk pada dada dan organ thorax walaupun telinga terlindungi dari
getaran tersebut. Perubahan fisiologis lain yang terjadi meliputi getaran di dada dan
perubahan irama pernafasan, serta sensasi getaran hipofaring (sesak nafas).
Rentang frekuensi antara 50-100 Hz pada tingkat tekanan suara 150-155 dB berakibat mual
ringan dan pusing. Pada level tekanan 150 -155 dB (0,63-1,1 kPa); berpengaruh pada
respirasi. Hal ini termasuk juga ketidaknyamanan sub costal, batuk, tekanan substernal
parah, respirasi tersedak, dan ketidaknyamanan hipofaring. Pada tingkat tekanan yang cukup
tinggi di wilayah 140 dB maka efeknya bisa menghilangnya pendengaran bersifat sementara
atau permanen bila tekanan suara di level atasnya 140 dB ke atas. Pada tingkat akustik di
atas 185 dB membran timpani bisa pecah .Pada tingkat akustik dari sekitar 200 dB, paru-
paru mulai pecah, dan di atas sekitar 210 dB berakibat pada kematian.
Gejala Klinis
Gejala ketulian akibat trauma akustik adalah tinnitus (suara mendenging), ringing
(suara berisik di telinga), gejala sensasi penuh (fullness), nyeri telinga, kesulitan melokalisir
suara, dan kesulitan mendengar di lingkungan bising.
Penelitian Covel dan kawan kawan (Davis et al, 1953 ; Eldrege et al, 1958 1961)
menetapkan skala derajat kerusakan di dalam telinga dalam
1 Normal.
Diagnosis
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada trauma akustik ini dapat diberikan secepatnya setelah trauma. Trauma
akustik akut sebaiknya diobati sebagai kedaruratan medis. Apabila penderita sudah sampai
pada tahap gangguan pendengaran yang dapat menimbulkan kesulitan berkomunikasi maka
dapat dipertimbangkan menggunakan ABD (alat bantu dengar). Latihan pendengaran dengan
alat bantu dengar dibantu dengan membaca ucapan bibir, mimik, anggota gerak badan, serta
bahasa isyarat agar dapat berkomunikasi.
Komplikasi
Kehilangan pendengaran progresif itu adalah komplikasi utama dari trauma akustik.
Pencegahan
Pencegahan terhadap trauma akustik antara lain dengan menghindari suara bising dan gaduh
(mendengarkan musik yang terlalu keras dalam jangka waktu yang lama), berhati-hati dalam
aktivitas yang berisiko seperti menembak, epelindung pendengaran. Langkah terakhir dalam
pengendalian kebisingan adalah dengan menggunakan alat pelindung pendengaran (earplug,
earmuff, dan helmet). Pencegahan kebisingan dapat dilakukan juga dengan pencegahan
secara medis yaitu dengan cara pemeriksaan kesehatan secara teratur
Ada 3 jenis alat pelindung pendengaran. Bentuk yang pertama berupa sumbat telinga
(earplug) dapat mengurangi kebisingan 8-25 dB. Biasanya digunakan untuk proteksi sampai
dengan 100 dB. Beberapa tipe dari sumbat telinga antara lain: Formable type, Costum-
molded type, Premolded type. Bentuk kedua berupa tutup telinga (earmuff) dapat
menurunkan kebisingan 25-40 dB. Digunakan untuk proteksi sampai dengan 110 dB. Bentuk
ketiga berupa helm (helmet) dapat mengurangi kebisingan 40-50.
Prognosis
Jenis ketulian pada trauma akustik ini merupakan ketulian saraf koklea yang sifatnya
menetap dan tidak dapat diobati, maka prognosisnya kurang baik sehingga faktor
pencegahan lebih diutamakan.
10. Keratosis
Definisi
Keratosis obturans adalah akumulasi atau penumpukan deskuamasi lapisan keratin epidermis
pada liang telinga, berwarna putih seperti mutiara, sehingga membentuk gumpalan dan
menimbulkan rasa penuh serta kurang dengar. Penyakit ini tidak mengenai bagian
kartilagenous meatus auditorius eksternus. Secara khas, lesi ini hanya terbatas pada meatus,
tanpa menyebabkan destruksi tulang. Bila tidak ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi
kulit dan destruksi bagian tulang meatus auditorius eksternus.
Keratosis obturans sebenarnya telah diperkenalkan oleh Wreden pada tahun 1874 untuk
membedakannya dengan impaksi serumen. Penyakit ini juga harus dibedakan dari
kolesteatoma primer yang ditandai dengan invasi jaringan skuamosa dari telinga bagian
tengah yang disertai dengan erosi dan destruksi tulang. Piepergerdes dan rekannya pada tahun
1980 menyatakan bahwa keratosis obturans dihasilkan oleh penyakit pada kulit meatus
auditorius eksternus sedangkan penyakit pada tulang meatus auditorius eksternus merupakan
dasar bagi kolesteatoma pada meatus auditorius eksternus.
Prevalensi
Keratosis obturans pada umumnya terjadi pada pasien usia muda antara umur 5-20 tahun dan
dapat menyerang satu atau kedua telinga. Morrison melaporkan bahwa terdapat 50 kasus
keratosis obturans pada tahun 1956 dimana 20 pasien berumur 5-9 tahun, 15 pasien berumur
antara 9 ± 19, dan 15 pasien berumur antara 20 ± 59 tahun. Black and Clayton melaporkan
terjadinya keratosis obturans pada anak-anak pada tahun 1958 dengan insidens 90% terjadi
secara bilateral.
Etiologi
Etiologi keratosis obturans hingga saat ini belum diketahui. Namun, mungkin disebabkan
akibat dari eksema, seboroik dan furonkulosis. Penyakit ini kadang-kadang dihubungkan
dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik
Patogenesis
Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal epitel pada lapisan kulit liang telinga.
Secara normal, epitel dari permukaan membran timpani pars flaksida bermigrasi turun ke
pars tensa dan kemudian bergerak secara inferior melewati membran timpani. Namun,
pergerakan sel epitel pada penyakit ini nampak terbalik. Kegagalan migrasi ini atau adanya
obstruksi pada saat migrasi yang disebabkan oleh lapisan keratin menyebabkan akumulasi
debris epitel pada meatus bagian dalam. Hal ini sesuai dengan studi tentang kulit normal pada
telinga luar yang dilakukan oleh Alberti (1964) menunjukkan bahwa secara normal terdapat
migrasi epitel dari membran timpani ke meatus auditorius eksternus.
Menurut Paparella dan Shumrick, keratosis obturans dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain : produksi berlebihan dari sel epitel, kegagalan migrasi epitel kulit dan
ketidakmampuan mekanisme pembersihan diri oleh meatus auditorius eksternus. Mekanisme
pembersihan diri oleh meatus auditorius eksternus merupakan hasil dari kordinasi proses
maturasi keratin dan migrasi sel ke luar. Pada keratosis obturans, mekanisme ini tidak
berfungsi.
Hubungan bronkiektasis dan sinusitis dengan kejadian keratosis obturans (secara frekuensi
muncul ipsilateral) telah dilaporkan sebelumnya (Morrison, 1956; Black 1964). Berkaitan
dengan penemuan ini menyebabkan munculnya hipotesis bahwa adanya pus menstimulasi
sistem refleks simpatis dari cabang trakeobronkial untuk merangsang refleks sekresi serumen
yang menyebabkan obstruksi oleh keratin dan pembentukan sumbat epidermal (Morrison,
1956).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul pada penyakit ini adalah tuli konduktif ringan-sedang, nyeri
telinga yang hebat, liang telinga yang lebih lebar, membran timpani yang utuh tapi lebih tebal
dan tinnitus serta jarang ditemukan otorea. Gangguan pendengaran dan nyeri telinga yang
hebat disebabkan oleh desakan gumpalan epitel berkeratin di liang telinga. Keratosis obturans
disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik serta bilateral.
Diagnosis
Anamnesis
Sejarah otologi harus diperoleh dalam rangka untuk mengetahui gejala awal keratosis
obturan. Gejala yang paling umum adalah kehilangan pendengaran, otalgia yang hebat, otorea
dan tinnitus yang bilateral disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik.
Pemeriksaan Fisis
Selain pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan otologi menjadi perhatian khusus.
Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya penilaian demam, perubahan status mental
dan penilaian lainnya yang dapat memberikan petunjuk kearah komplikasi. Pada inspeksi,
tampak terlihat adanya obstruksi di sepanjang membrane timpani pada meatus auditorius
eksternus oleh gumpalan debris keratin berwarna putih yang berisi serumen berwarna coklat
pada bagian tengah. Adanya gumpalan keratin dalam meatus auditorius eksternus
meningkatkan tekanan pada dinding meatus sehingga terjadi remodeling tulang. Hal ini
menyebabkan pelebaran tulang pada MAE yang disertai oleh inflamasi epithelium. Tes Rinne dan Weber dengan
menggunakan garputala 512 Hz dilakukan untuk mengetahui tuli konduksi dan dibandingkan dengan
pemeriksaan audiometri.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi:
Pada CT-Scan tulang temporal dapat memperlihatkan erosi dan pelebaran meatus.
Patologi:
Sumbatan keratin pada keratosis obturans terlihat seperti garis geometric di dalam meatus
auditorius eksternus yang terlihat seperti gambaran onion skin. Gambaran patologi ini dihubungkan
denagan adanya hyperplasia di bawah epithelium dan adanya inflamasi kronik pada jaringan
subepitelium.
Penatalaksanaan
Sebenarnya serumen atau kotoran ini merupakan produksi alami dari telinga. Serumen
diproduksi oleh kelenjar seruminosa yang terletak di sepertiga liang telinga luar. Sifatnya
yang kental, lengket, dan berbau khas menyebabkan ia mempunyai fungsi khusus yaitu,
mencegah masuknya mikroorganisme, menonaktifkan kuman, dan menjaga kelembaban liang
telinga. Serumen secara alami akan keluar sendiri dengan gerakan mengunyah, tapi banyak
dari kita yang mengoreknya terlalu dalam sehingga serumen tidak dapat keluar, tapi malah
terdorong ke telinga tengah. Selain itu, pada beberapa orang ada yang produksi serumennya
berlebih, sehingga menyebabkan serumen tertumpuk, mengeras, dan terjadilah serumen
impaksi atau serumen prop.
b. Etiologi
c. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi yang mungkin didapati pada penderita serumen impaksi antara
lain:
Pendengaran menurun
Nyeri telinga akibat terdorong oleh serumen
Kadang dapat ditemui tinitus dan vertigo
d. Tata Laksana
Tata laksana dari serumen prop adalah mengeluarkan serumennya. Jika serumen
terlalu keras, maka dapat dilembekkan terlebih dahulu dengan karbogliserin 10% 3-5 tetes
sehari selama 3-5 hari. Jika sudah lembek, serumen dapat dikeluarkan menggunakan pengait.
Selain itu dapat juga dilakukan tindakan irigari menggunakan air hangat. Namun irigasi ini
dikontraindikasikan pada penderita dengan perforasi membran timpani, karena dapat
menyebabkan inflamasi lebih dalam.
12. Otitis
a. Eksterna
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis disebabkan oleh bakteri dapat
terlogalisir atau difus, telinga rasa sakit. Faktor ini penyebab timbulnya otitis eksterna ini,
kelembaban,penyumbatan liang telinga, trauma lokal dan alergi. Faktor ini menyebabkan
berkurangnya lapisan protektif yang menyebabkan edema dari epitel skuamosa. Keadaan ini
menimbulkan trauma lokal yang mengakibatkan bakteri masuk melalui kulit, inflasi dan
menimbulkan eksudat. Bakteri patogen pada otitis eksterna akut adalah pseudomonas (41
%),strepokokus (22%), stafiloko kus.aureus (15%) dan bakteroides (11%).
ETIOLOGI
Swimmer’s ear (otitis eksterna) sering dijumpai, didapati 4dari 1000 orang, kebanyakan pada
usia remaja dan dewasa muda.Terdiri dari inflamasi,iritasi atau infeksi pada telinga bagian
luar.Dijumpai riwayat pemaparan terhadap air, trauma mekanik dan goresan atau benda asing
dalam liang telinga.Berenang dalam air yang tercemar merupakan salah satu cara terjadinya
otitis eksterna (swimmer’s ear).
FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG
Faktor epidemiologis timbulnya penyakit ini disebabkan perubahan kelembaban
lingkungan,suhu yang tinggi,maserasi kulit liang telinga yang terpapar lama oleh
kelembaban,trauma lokal serta masuknya bakteri sebagian keadaan yang sering berkaitan
dengan penyakit ini.Banyak penelitian menyokong timbulnya infeksi karena masuknya
bakteri dari luar.
Kelembaban merupakan foktor yang penting untuk terjadinya otitis eksterna.Agaknya air
kolam renang menyebabkan maserasi kulit dan merupakansumber kontaminasi yang sering
dari bakteri. Hoadley dan Knight memperlihatkan bahwa sakit telinga terjadi 2,4 kali lebih
sering pada perenang dari pada yang bukan perenang.
Jumlah terbesar otitis eksterna terjadi pada lingkungan panas dan lembabdan jarang dijumpai
pada iklim sejuk dan kering. Kandungan air pada lapisan permukaan luar kulit diduga
memegang peranan yang nyata didalam mudahnya terjadinya infeksi telinga luar.Stratum
korneum menyerap kelembaban dari lingkungan yang mempunyai derajat kelembaban yang
Diduga bahwa suhu yang tinggi ,kembaban yang tinggi dan kontaminasi kulit (kolonisasi)
dengan basil gram negatif merupakan tiga faktor terpenting yang menunjang didalam hal
patogenesis otitis eksterna difusa. Berdasarkan kepustakaan bahwa peningkatan yang cepat
dari insiden otitis eksterna terjadi apabila suhu menaik pada lingkungan yang kelembaban
relatif tinggi. Kulit yang normal mengandung lapisan lemak yang tipis pada permukaan yang
diduga mempunyai kerja antibakteri dan fungistatik. Lapisan lemak ini mempunyai fungsi
penting dalam pencegahan maserasi kulit serta menghalangi masuknya bakteri kedalam
dermis melalui unit-unit apopilo sebasea. Apabila lapisn lemak dari tulang rawan liang
telinga dibuang, pada umumnya ia menggantikan dirinya dalam waktu yang singkat. Namun
apabila berulang-ulang dicuci maka lapisan lemak tersebut akan menghilang dan bakteri
oksogen yang tertanam disini bisa berkembang.
GEJALA KLINIS
Rasa sakit didalam telinga bisa bervariasi dari yang hanya berupa rasa tidak enak sedikit,
perasaan penuh didalam telinga, perasaan seperti terbakar hingga rasa sakit yang hebat, serta
berdenyut.pada suatu penelitian multisenter yang melibatkan 239 pasien yang dilakukan oleh
Cassisi dkk, rasa sakit yang hebat 20%, sedang 27%, ringan 36% dan tidak ada rasa sakit
17%. Meskipun rasa sakit sering merupakan gejala yang dominan, keluhan ini juga sering
merupakan gejala sering mengelirukan. Kehebatan rasa sakit bisa agaknya tidak sebanding
dengan derajat
peradangan yang ada. Ini diterangkan dengan kenyataan bahwa kulit dari liang telinga luar
langsung berhubungan dengan periosteum dan perikondrium,sehingga edema dermis
menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa sakit yang hebat. Lagi pula, kulit dan tulang
rawan 1/3 luar liang telinga bersambung dengan kulit dan tulang rawan daun telinga sehingga
gerakan yang sedikit saja dari daun telinga akan dihantarkan kekulit dan tulang rawan dari
liang telinga luar dan mengkibatkan rasa sakit yang hebat dirasakan oleh penderita otitis
eksterna.
Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap awal dari otitis
eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga.
Gatal merupakan gejala klinik yang sangat sering dan merupakan pendahulu rasa sakit yang
berkaitan dengan otitis eksterna akut. Rasa gatal yang hebat 9%, sedang 23%, ringan 35%,
tidak didapat rasa gatal 33%. Pada kebanyakan penderita rasa gatal disertai rasa penuh dan
rasa tidak enak merupakan tanda permulaan peradangan suatu etitis eksterna akuta. Pada
otitis eksterna kronik merupakan keluhan utama.
Kurang pendengaran mungkin terjadi pada akut dan kronik dari otitis eksterna akut. Edema
kulit liang telinga, sekret yang sorous atau purulen, penebalan kulit yang progresif pada otitis
eksterna yang lama, sering menyumbat lumen kanalis dan menyebabkan timbulnya tuli
konduktif.30 Keratin yang deskuamasi, rambut, serumen, debris, dan obat -obatan yang
digunakan kedalam telinga bisa menutup lumen yang mengakibatkan peredaman hantaran
suara.
Stadium “Pre inflammatory“
Stadium ini bermula dengan hilangnya lapisan lemak yang normal dan dapat disebabkan
oleh masuknya air sewaktu berenang, membersihkan paka i kapas lidi, dan mengorek liang
telinga dengan alat-alat yang tumpul. Bila lapisan lemak menghilang pada waktu cuaca panas
dan lembab maka kandungan air dari stratum korneum meningkat sehingga terjadi edema
interseluler. Edema itu menyebabkan pengeluaran sekret melalui orifisum apopilosebasea dan
lapisan lemak. Bila terpapar cuaca panas dan lembab dan berlama-lama maka kulit liang
telinga yang tidak terlindungi mengalami maserasi dan ekfoliasi yang wajar dari sel-sel epitel
dari stratum korneum tidak akan terjadi. Ini akan menimbulkan perasaan gatal sehingga
berusaha untuk menguranginya dengan menggaruk atau menggosok hingga terjadilah siklus :
gatal, korek ( itch scratch cycle). Ini akan menimbulkan trauma terhadap stratum korneum,
sehingga terdapat predisposisi utnuk infeksi.
Stadium ini terjadi dalam 3 tingkat yaitu : ringan, sedang dan berat
Ringan
Pada stadium ini, pasien mengalami rasa tidak enak yang ringan bila menyentuh tragus atau
menggerakan daun telinga. Pada pemeriksaan kulit liang telinga akan tampak eritema dan
edema. Bila dijumpai lapisan sekret yang jernih tidak berbau ataupun akumulasi bahan-bahan
yang berekfoliasi atau keduanya. Gendang telinga terlihat kurang berkilat.
Sedang
Dijumpai rasa gatal dan sakit yang sedang. Lumen liang telinga sebagian tertutup oleh
edema dan eksudat. Tampak massa „debris“ seropurulen menutupi lumen dan juga terlihat
adanya edema peri aurikular yang sedang, tetapi tidak ada adenopati.
Berat
pada kasus yang lebih berat, penderita mengeluh rasa sakit yang hebat bila mengunyak dan
bila telinga luar dimanipulasi. Walaupun tampaknya daun telinga tidak terlibat, ada ditemui
edema periaurikuler yang jelas dan penutupan yang menyeluruh dari lumen liang telinga.
Sekret seropurulen berwarna abu-abu atau hijau dan massa yang bereksfoliasi terlihat dalam
lumen. Kulit liang telinga tampak edema, menebal dan bisa kelihatan seperti papula, terutama
pada dinding atas belakang. Secara karakteristik terdapat turun nya kulit dinding belakang
atas liang
telinga ( convex sagging), dengan permukaan licin dan cembung. Turunnya ini meluas hingga
kegendang telinga. Pada otoskopi dengan menggunakan pembesaran, maka bisa dilihat
papula berwarna putih susu serta permukaan menonjol dari permukaan, dapat juga vesikel
keabu-abuan yang diselenggarakan oleh daerah-daerah eritema.
Histopatologi menunjukan epidermis yang terinfeksi dan edema. Basil gram negatif terutama
pseudomonas spesies dapat dikultur dari hampir 100% telinga seperti ini. Bila terinfeksi
diatasi, maka akan muncul papula kecil dan pustula yang timbul dari sekret purulen. Dalam
keadaan komplikasi ini banyak neutrofil dapat diperoleh dari hasil hapusan sekret tersebut.
Disamping kulit daun telinga dalam derajat bervariasi, akan menebal (hiperkeratosis,
akantosis) dan edema, yang meluas kedalam laing telinga sehingga akan terjadi penyempitan
dari orifisium liang telinga dan liang telinga keseluruhan, lecet dan adanya laserasi pada daun
telinga dan konka. Massa kering dan bereksfoliasi sering menutupui liang telinga dan bisa
ditemui pula sekret berwarna abu coklat atau kehijau-hijauan yang bau busuk dan mengisi
resesus timpani. Gendang telinga tidak berkilat dan menebal. Kultur dari liang telinga akan
menghasilkan adanya pertumbuhan basil gram negatif ( terutama proteus) dan kadang-kadang
didapati jamur. Hapusan yang diwarnai akan menunjukan adanya sel-sel epitel dan basil yang
sangat besar jumlahnya.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari keadaan yang serupa dengan otitis eksterna antara lain meliputi :
- Kondritis
b. Media Akut
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media akut (OMA) adalah peradangan
telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan
tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa
otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi
membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman,
2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran
timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.
Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga
terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika.
Otitis media yang lain adalah otitis media adhesive.
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status
sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan
merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi,
infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba
Eustachius dan lain-lain.
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi dan
anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba
Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih
rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan
anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga
berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan
penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan
terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anakanak.
ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya
asupan ASI banyak menderita OMA. . Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak
mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya
riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak,
insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital
mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita
penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi
saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).
Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang
sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu
tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih
besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa
penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA
adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan
sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi rupture membran timpani, maka sekret mengalir ke
liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang.
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit.
Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak
yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan
membengkak atau bulging.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang, suhu
lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak
hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rectal.
Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium
hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi (Djaafar, 2007).
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh
membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya secret eksudat serosa
yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah
dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari.
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga
tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di
kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga
luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri
di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat
disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai
muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia
membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani.
Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat
tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini
kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar
dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membrane timpani akan
menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit
menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang
jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh
terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak
berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung
melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua
keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan,
maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan
akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa
pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman
rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif
kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret
yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis
media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi
membran timpani .
Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah.
Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya
membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani,
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari
telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya
salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani,
nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-
sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah,
mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran
timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga
terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan
pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membrane timpani. Tahap berat meliputi
semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0°C, dan
disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.
Penatalaksanaan
Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan
lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk
menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala,
memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan
memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin
0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam
larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi
harus diobati dengan pemberian antibiotic.
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi,
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan
eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat
dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3
dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
rupture.
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau
pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta
antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan
menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar
melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi dapat
dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau
ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat
terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotic meningkat.
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga
tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri
telinga ringan dan demam kurang dari 39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat
adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39°C. Pilihan\ observasi selama 48-72 jam
hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala
ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan
pada masa observasi.
Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi.
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase
sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat
dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik.
Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior Bila terapi yang diberikan sudah
adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah.
Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA
seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap
dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap
terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada
membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat
komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah.
Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti
otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan disbanding dengan
plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA
rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis,
tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah
didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi
jalan napas dan rinosinusitis rekuren.
Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut
biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam
Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi
membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis),
ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).
Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi dan
anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI
minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain.
c. Media Kronik
Otitis Media
Kronik
Otitis Media Kronik adalah suatu infeksi menahun pada telinga tengah, yakni dari
membran timpani sampai promontorium.
Diagnosis
o Berdasarkan gejala klinik
o Pemeriksaan otoskopi
o Pemeriksaan penala mengetahui adanya gangguan pendengaran
o Pemeriksaan audiometri
o Rontgen mastoid
o Kultur uji resistensi
Terapi
Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak
= tipe rhinogen aman = tipe tulang
Pembedahan: Mastoidektomi dengan
Konservatif atau dengan atau tanpa timpanoplasti
medikamentosa Terdapat abses Subperiosteal
Sekret keluar terus menerus: obat retroaurikuler:
pencuci telinga berupa lar H2O2 Insisi abses sebaiknya dilakukan
slama 3-5 hari tersendiri sebelum mastoidektomi
Sekret berkurang: dilanjutkan obat
tetes telinga (kortikosteroid dan
antibiotik)
Oral: antibiotik gol ampisilin atau
eritromisin (alergi penisilin)
Resisten ampisilin: ampisilin asam
klavulanat
Sekret telah kering tapi perforasi
masih ada: miringoplasti atau
timpanoplasti
Infeksi berulang atau sekret tetap ada:
sumber infeksi diobati terlebih dahulu
kalau perlu dilakukan pembedahan:
adenoidektomi, tonsilektomi
Komplikasi
o Telinga tengah: Perforasi persisten, erosi tulang pendengaran dan
paralisis nervus fasial.
o Telinga dalam: Fistel labirin, labirinitis supuratif dan tuli saraf
(sensorineural).
o Ekstradural: Abses ekstradural, trombosis sinus lateralis dan petrositis.
o SSP: Meningitis, abses otak dan hidrosefalus otitis
d. Media Serosa
Definisi
Otitis media efusi adalah inflamasi pada telinga tengah yang ditandai dengan adanya
penumpukan cairan efusi di telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa adanya tanda
dan gejala inflamasi akut.
Untuk memahami terjadinya OME, anatomi dan fungsi tuba Eustachius memegang peranan
penting. Tuba Eustachius merupakan bagian dari system yang paling berhubungan termasuk
hidung, nasofaring, telinga tengah, dan rongga mastoid. Tuba Eustachius tidak hanya berupa
tabung melainkan sebuah organ yang mengandung lume dengan mukosa, kartilago,
dikelilingi jaringan lunak, muskulus peritubular seperti veli palatine, levator veli palatine,
salpingofaringeus, dan tensor timpani dan di bagian superior didukung tulang. Perbedaan
tuba Eustachius pada anak dan dewasa yang menyebabkan meningkatnya insiden otitis media
pada anak-anak.
Panjang tuba pada anak setengah panjang tuba dewasa, sehingga sekret nasofaring lebih
mudah refluks ke dalam telinga tengah melalui tuba yang pendek. Arah tuba bervariasi pada
anak, sudut antara tuba dengan bidang horizontal adalah 100. Sedangkan pada dewasa 450.
Sudut antara tensor veli palatine dengan kartilago bervariasi pada anak-anak tetapi relatif
stabil pada dewasa. Perbedaan ini dapat membantu menjelaskan pembukaan lumen tuba (
kontraksi tensor veli palatini ) yang tidak efisien pada anak-anak. Masa kartilago bertambah
dari bayi sampai dewasa. Densitas elastin pada kartilago lebih sedikit pada bayi tetapi
densitas kartilago lebih besar. Ostmann fat pad lebih kecil volumenya pada bayi. Pada anak-
anak banyak lipatan mukosa di lumen tuba Eustachius, hal ini dapat menjelaskan
peningkatan compliance tuba pada anak-anak.
Etiologi dan patogenesis OME bersifat multifaktorial antara lain infeksi virus atau bakteri,
gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor lingkungan dan sosial.
Walaupun demikian tekanan telinga tengah yang negatif, abnormalitas imunologi, atau
kombinasi dari kedua faktor tersebut diperkirakan menjadi faktor utama dalam pathogenesis
OME. Faktor penyebab lainnya termasuk hipertropi adenoid, adenoiditis kronis, palatoskisis,
tumor nasofaring, barotrauma, terapi radiasi, dan radang penyerta seperti sinusitis atau rinitis.
Merokok dapat menginduksi hiperplasi limfoid nasofaring dan hipertropi adenoid yang juga
merupakan patogenesis timbulnya OME.
Gangguan fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga tengah terganggu,
drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring terganggu dan gangguan mekanisme
proteksi rongga telinga tengah terhadap refluks dari rongga nasofaring. Akibat gangguan
tersebut rongga telinga tengah akan mengalami tekanan negatif. Tekanan negatif di telinga
tengah menyebabkan peningkatan permaebilitas kapiler dan selanjutnya terjadi transudasi.
Selain itu terjadi infiltrasi populasi sel-sel inflamasi dan sekresi kelenjar. Akibatnya terdapat
akumulasi sekret di rongga telinga tengah. Inflamasi kronis di telinga tengah akan
menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis dan destruksi tulang.
Obstruksi tuba Eustachius ytang menimbulkan terjadinya tekanan negatif di telinga tengah
akan diikuti retraksi membran timpani. Orang dewasa biasanya akan mengeluh adanya rasa
tak nyaman, rasa penuh atau rasa tertekan dan akibatnya timbul gangguan pendengaran
ringan dan tinnitus. Anak-anak mungkin tidak muncul gejala seperti ini. Jika keadaan ini
berlangsung dalam jangka waktu lama cairan akan tertarik keluar dari membran mukosa
telinga tengah, menimbulkan keadaan yang kita sebut dengan otitis media serosa. Kejadian
ini sering timbul pada anak-anak berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas dan sejumlah
gangguan pendengaran mengikutinya.
Infeksi
Infeksi bakteri merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya OME sejak
dilaporkan adanya bakteri di telinga tengah. Streptococcus Pneumonia, Haemophilus
Influenzae, Moraxella Catarrhalis dikenal sebagai bakteri pathogen terbanyak ditemukan
dalam telinga tengah. Meskipun hasil yang didapat dari kultur lebih rendah. Penyebab
rendahnya angka ini diduga karena :
- Sekresi immunoglobulin dan lisosim dalam efusi telinga tengah akan menghambat
proliferasi patogen,
Status Imunologi
Faktor imunologis yang cukup berperan dalam OME adalah sekretori Ig A. immunoglobulin
ini diproduksi oleh kelenjar di dalam mukosa kavum timpani. Sekretori Ig A terutama
ditemukan pada efusi mukoid dan di kenal sebagai suatu imunoglobulin yang aktif bekerja
dipermukaan mukosa respiratorik. Kerjanya yaitu menghadang kuman agar tidak kontak
langsung dengan permukaan apitel, dengan cara membentuk ikatan komplek. Kontak
langsung dengan dinding sel epitel adalah tahap pertama dari penetrasi kuman untuk infeksi
jaringan. Dengan demikian Ig A aktif mencegah infeksi kuman.
Alergi
Bagaimana faktor alergi berperan dalam menyebabkan OME masih belum jelas. Akan tetapi
dari gambaran klinis di percaya bahwa alergi memegang peranan. Dasar pemikirannya adalah
analogi embriologik, dimana mukosa timpani berasal sama dengan mukosa hidung. Setidak-
tidaknya manifestasi lergi pada tuba Eustachius merupakan penyebab okulasi kronis dan
selanjutnya menyebabkan efusi. Namun demikian dari penelitian kadar Ig E yang menjadi
kriteria alergi atopik, baik kadarnya dalam efusi maupun dalam serum tidak menunjang
sepenuhnya alergi sebagai penyebab.
Etiologi dan patogenesis otitis media oleh karena alergi mungkin disebabkan oleh satu atau
lebih dari mekanisme di bawah ini :
- Mukosa telinga tengah sebagai organ sasaran ( target organ )
- Aspirasi bakteri nasofaring yang terdapat pada sekret alergi ke dalam ruang
telinga tengah.
Gejala klinis
Penderita OME jarang memberikan gejala sehingga pada anak-anak sering terlambat
diketahui. Gejala OME ditandai dengan rasa penuh dalam telinga, terdengar bunyi
berdengung yang hilang timbul atau terus menerus, gangguan pendengaran dan rasa nyeri
yang ringan. Dizziness juga dirasakan penderita-penderita OME. Gejala kadang bersifat
asimtomatik sehingga adanya OME diketahui oleh orang yang dekat dengan anak misalnya
orang tua atau guru.
Anak-anak dengan OME juga kadang-kadang sering terlihat menarik-narik telinga mereka
atau merasa seperti telinganya tersumbat.
Pada kasus yang lanjut sering ditemukan adanya gangguan bicara dan perkembangan
berbahasa. Kadang-kadang juga ditemui keadaan kesulitan dalam berkomunikasi dan
keterbelakangan dalam pelajaran.
Diagnosis
Diagnosis OME pada anak tidak mudah dan terdapat perbedaan yang bermakna sesuai
dengan kecakapan klinisi, khususnya di tingkat pelayanan primer atau dokter anak yang
mendiagnosisnya. Gejala tidak ada sensitif maupun spesifik, banyak anak justru tanpa gejala.
Pemeriksaan fisik pada anak penderita OME berpotensi tidak akurat kerena kesan subjektif
gambaran membran timpani sulit dinilai. Belum lagi anak-anak yang tidak kooperatif saat
dilakukan pemeriksaan. Namun enamnesis dan pemeriksaan fisik tetap sangat berperan dalam
mendiagnosis OME.
Anamnesis
Dalam mendiagnosis OME diperlukan kejelian dari pemeriksa. Ini disebabkan keluhan yang
tidak khas terutama pada anak-anak. Biasanya orang tua mengeluh adanya gangguan
pendengaran pada anaknya, guru melaporkan bahwa anak mempunyai problem pendengaran,
kemunduran dalam pelajaran di sekolah, bahkan dalam gangguan wicara dan bahasa. Sering
kali OME ditemukan secara tidak sengaja pada saat skrining pemeriksaan telinga dan
pendengaran di sekolah-sekolah.
Pada anak-anak dengan OME dari anamnesis keluhan yang paling sering adalah penurunan
pendengaran dan kadang merasa telinga merasa penuh sampai dengan merasa nyeri telinga.
Dan pada anak-anak penderita OME biasanya mereka juga sering didapati dengan riwayat
batuk pilek dan nyeri tenggorokan berulang. Pada anak-anak yang lebih besar biasanya
mereka mengeluhkan kesulitan menengarkan pelajaran di sekolah, atau harus membesarkan
volume saat menonton televisi di rumah. Orang tua juga sering mendengarkan keluhan
telinga anaknya terasa tidak nyaman atau sering melihat anaknya menarik-narik daun
telinganya.
Pemeriksaan fisik
Untuk mendiagnosis OME pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan pemeriksaan otoskopi,
timpanogram, audiogram dan kadang tindakan miringotomi untuk memastikan adanya cairan
dalam telinga tengah.
Otoskopi
Pemeriksaan otoskopi dilakukan untuk kondisi, warna, dan translusensi membrana tempani.
Macam-macam perubahan atau kelainan yang terjadi pada membran timpani dapat dilihat
sebagaimana berikut. :
a) Membrana timpani yang suram dan berwarna kekuningan yang menggati gambaran
tembus cahaya selain itu letak segitiga reflek cahaya pada kuadran antero inferior memendek,
mungkin saja didapatkan pula peningkatan pembuluh darah kapier pada membran timpani
tersebut. Pada kasus dengan cairan mukoid atau mukupurulen membrana timpani berwarna
lebih muda ( krem ).
b) Membrana timpani retraksi yaitu bila manubrium malei terlihat lebih pendek dan lebih
horizontal, membran kelihatan cekung dan reflex cahaya memendek. Warna mungkin akan
berubah agak kekuningan.
c) Atelektasis, membrana timpani biasanya tipis, atropi dan mungkin menempel pada inkus,
stapes dan promontium, khusunya pada kasus-kasus yang sudah lanjut, biasanya kasus yang
seperti ini karena disfungsi tuba Eustachius dan otitis media efusi yang sudah berjalan lama.
d) Membrana timpani dengan sikatrik, suram sampai retraksi berat disertai bagian yang atropi
didapatkan pada otitis media adesiva oleh karena terjadi jaringan fibrosis ditelinga tengah
sebagai akibat proses peradangan sebelumnya yang berlangsung lama.
e) Gambaran air fluid level atau bubles biasanya ditemukan pada OME yang berisi cairan
serus.
Membrana timpani berwarna biru gelap atau ungu diperlihatkan pada kasus
hematotimpanum yang disebabkan oleh fraktur tulang temporal, leukemia, tumor vaskuler
telinga tengah. Sedangkan warna biru yang lebih muda mungkin disebabkan oleh
barotraumas.
b) Terdapat perubahan warna membrana timpani akibat refleksi dari adanya cairan
didalam kavum timpani.
Otoskop pneumatik diperkenalkan pertama kali oleh Siegle, bentuknya relatif tidak berubah
sejak pertama diperkenalkan pada tahun 1864. Pemeriksaan otoskopi pneumatik selain bisa
melihat jenis perforasi, jaringan patologi, dan untuk membrana timpani yang masih utuh bisa
juga di lihat gerakanya ( mobilitas ) dengan jalan memberi tekanan positif maka membrana
timpani akan bergerak ke medial dan bila diberi tekanan negatif maka membrana timpani
akan bergerak ke leteral. Pemeriksaan otoskopi pneumatik merupakan standar fisik
diagnostik pada OME.
Timpanometri
Timpanometer adalah suatu alat untuk mengetahui kondisi dari sistem telinga tengah.
Pengukuran ini memberikan gambaran tentang mobilitas membrana timpani, keadaan
persediaan tulang pendengaran, keadaan dalam telinga tengah termasuk tekanan udara
didalamnya, jadi berguna dalam mengetahui gangguan konduksi dan fungsi tuba Eustachius.
Grafik hasil pengukuran timpanometeri atau timpanogram dapat untuk mengetahui gambaran
kelainan di telinga tengah. Meskipun ditemukan banyak variasi bentuk timpanogram akan
tetapi pada prinsipnya hanya ada tiga tipe, yakni tipe A, tipe B, dan tipe C.
Pada penderita OME gambaran timpanogram yang sering didapati adalah tipe B. Tipe B
bentuknya relatif datar, hal ini menunjukan gerakan membrana timpani terbatas karena
adanya cairan atau pelekatan dalam kavum timpani. Grafik yang sangat datar dapat terjadi
akibat perforasi membrana timpani, serumen yang banyak pada liang telinga luar atau
kesalahan pada alat yaitu saluran buntu.
Audiogram
Dari pemeriksaan audiometrik nada murni didapatkan nilai ambang tulang dan udara.
Gangguan pendengaran lebih sering ditemukan pada pasien OME dengan cairan yang kental
(glue ear). Meskipun demikian beberapa studi mengatakan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara cairan serus dan kental terhadap gangguan pendengaran, sedangkan volume
cairan yang ditemukan di dalam telinga tengah adalah lebih berpengaruh.
Pasien dengan OME ditemukan gangguan pendengaran dengan tuli konduksi ringan sampai
sedang sehingga tidak begitu berpengaruh dengan kehidupan sehari-hari. Tuli bilateral
persisten lebih dari 25 dB dapat mengganggu perkembangan intelektual dan kemampuan
berbicara anak. Bila hal ini dibiarkan bisa saja ketulian bertambah berat yang berakibat buruk
bagi pasien. Akibat buruk ini dapat berupa gangguan local pada telinga maupun gangguan
yang lebih umum, seperti gangguan perkembangan bahasa dan kemunduran dalam pelajaran
sekolah. Pasien dengan tuli konduksi yang lebih berat mungkin sudah didapatkan fiksasi atau
putusnya rantai osikel.
Garis pedoman OME yang disusun bersama oleh AAFP, AAOHNS dan AAP menyatakan
bahwa audiologi merupakan salah satu komponen pemeriksaan pasien OME. Pemeriksaan
audiometrik direkomendasikan pada pasien dengan OME selama 3 bulan atau lebih ,
kelambatan berbahasa, gangguan belajar atau dicurigai terdapat penurunan pendengaran
bermakna. Berdasarkan beberapa penelitian, tuli konduksi sering berhubungan dengan OME
dan berpengaruh pada proses mendengar kedua telinga, lokalisasi suara, persepsi bicara
dalam kebisingan. Penurunan pendengaran yang disebabkan oleh OME akan mengahalangi
kemampuan awal berbahasa yang didapat
Radiologi
Pemeriksaan radiologi foto mastoid dahulu efektif digunakan untuk skrining OME, tetapi
sekarang jarang dikerjakan. Anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik banyak
membantu diagnosis penyakit ini.
CT Scan sangat sensitive dan tidak diperlukan untuk diagnosis. Meskipun CT scan penting
untuk menyingkirkan adanya komplikasi dari otitis media missal mastoiditis, trombosis sinus
sigmoid ataupun adanya kolesteatoma. CT scan penting khususnya pada pasien dengan OME
unilateral yang harus dipastikan adanya massa di nasofaring telah disingkirkan.
Penatalaksanaan
Diagnosis dan pengobatan sedini mungkin memegang peranan penting. Keberhasilan dari
penatalaksanaan ditentukan dengan mencari faktor penyebab dan mengatasinya guna
mencegah akibat lanjut penyakit tersebut. Sumbatan tuba dan infeksi saluran nafas atas yang
kronis serta berulang merupakan salah satu faktor yang penting diperhatikan.
Namun penatalaksanaan OME sendiri masih menjadi perdebatan, ini disebabkan oleh karena
baik pengobatan yang bersifat konservatif maupun tindakan operatif, masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengobatan OME secara konservatif ada yang belum
terbukti menyembuhkan penderita dengan OME, namun pada pokoknya dapat mengurangi
morbiditas ketika terapi konservatif dianggap gagal atau tidak memuaskan.
Pengobatan pada OME meliputi pengobatan konservatif dan tindakan operatif. Pengobatan
konservatif secara local ( obat tetes hidung atau spray ) dan sistemik antara lain antibiotika
spektrum luas, antihistamin, dekongestan, dengan atau tanpa kortikosteroid. Pengobatan dan
control terhadap alergi dapat mengurangi atau menyembuhkan otitis media efusi.
Pengobatan secara operatif dilakukan pada kasus dimana setelah dilakukan pengobatan
konservatif selam lebih dari 3 bulan tidak sembuh. Untuk memberikan hasil yang baik
terhadap drainase dilakukan miringotomi dan pemasangan pipa ventilasi. Pipa ventilasi
dipasang pada daerah kuadran antero inferior atau antero superior. Pipa ventilasi akan
dipertahankan sampai fungsi tuba ini paten.16 Penatalaksanaan secara operatif meliputi
mirigotomi dengan atau tanpa pemasangan pipa ventilasi dan adenoidektomi dengan atau
tanpa tonsilektomi.
Tujuan pemasangan pipa ventilasi adalah menghilangkan cairan pada telinga tengah,
mengatasi gangguan pendengaran yang terjadi, mencegah kekambuhan, mencegah gangguan
perkembangan kognitif, bicara, bahasa dan psikososial.
13. Presbiakusis
Definisi
Presbiakusis adalah tuli sensorineural pada usia lanjut akibat proses degenerasi organ
pendengaran, simetris (terjadi pada kedua sisi telinga) yang terjadi secara progresif lambat,
dapat dimulai pada frekuensi rendah atau tinggi serta tidak ada kelainan yang mendasari
selain proses menua secara umum.1
Etiologi
Etiologi kurang pendengaran akibat degenerasi ini dimulai terjadinya atrofi di bagian epitel
dan saraf pada organ corti. Lambat laun secara progresif terjadi degenerasi sel ganglion spiral
pada daerah basal hingga ke daerah apeks yang pada akhirnya terjadi degenerasi sel-sel pada
jaras saraf pusat dengan manifestasi gangguan pemahaman bicara. Kejadian presbiakusis
diduga mempunyai hubungan dengan faktor-faktor herediter, metabolisme, aterosklerosis,
bising, gaya hidup, atau bersifat multifaktor. 7
Faktor risiko
Prevalensi terjadinya presbiakusis rata – rata pada usia 60 – 65 tahun keatas. Proses
bertambahnya usia semakin banyak penderita mengalami gangguan pendengaran. Faktor
risiko usia terhadap kurangnya pendengaran berbeda antara laki-laki dengan perempuan. Laki
– laki lebih banyak mengalami penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi dan hanya
sedikit penurunan pendengaran pada frekuensi rendah bila dibandingkan dengan perempuan.
Hal ini disebabkan laki – laki lebih sering terpapar bising di tempat kerja dibandingkan
perempuan.2,8
Beberapa ahli menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin ini tidak seluruhnya disebabkan
karena adanya perubahan di koklea. Perempuan memiliki bentuk daun telinga dan liang
telinga yang lebih kecil sehingga dapat menimbuljan masking noise effect pada frekuensi
rendah. Penggunaan earphone selama pemeriksaan audiometric menjadi kurang efektif akibat
pengaruh bentuk anatomi tersebut.8
Hipertensi
Diabetes melitus
Glukosa yang terikat pada protein dalam proses glikosilasi akan membentuk advanced
glicosilation end product (AGEP) yang tertimbun dalam jaringan tubuh penderita diabetes
mellitus. Bertambahnya AGEP akan mengurangi elastisitas dinding pembuluh darah
(arteriosklerosis). Dinding pembuluh darah akan semakin menebak dan lumen menyempit
sehingga terjadi mikroangiopati.10
Akibat mikroangiopati organ koklea akan terjadi atrofi dan berkurangnya sel rambut.
Neuropati terjadi akibat mikroangiopati pada vasa nervosum nervus VIII, ligamentum dan
ganguon spiral ditandai kerusakan sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan akson.
Akibat proses ini, akan terjadi penurunan pendengaran.11
Hiperkolesterol
Pola makan dengan komposisi lemak berlebih seperti pada penyakit hiperkolesterol,
hiperlipidemia, dan hipertrigliserida merupakan faktor risiko terjadinya penurunan
pendengaran. Patogenesis aterosklerosis adalah ateroma dan arteriosklerosis. Arteroma
merupakan degenerasi lemak dan infiltrasi zar lemak pada dinding pembuluh darah.
Sedangkan arteriosklerosis adalah kelainan dinding arteri yang ditandai dengan penebalan
dan hilangnya elastisitas pembuluh darah.12
Merokok
Riwayat bising
Gangguan pendengaran akibat bising adalah penurunan pendengaran tipe sensorineural yang
awalnya tidak disadari karena belum menganggu percakapan sehari – hari. Sifatnya tuli
sensori neural tipe koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga. Faktor risiko yang
berpengaruh pada derajat parahnya ketulian adalah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan
perhari, lama masa kerja, kepekaan indivisu, umur, dan faktor lain dapat berpengaruh.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energy bising yang
diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat.12
Gangguan fisiologis dapat berupa peningkatan tekanan darah, percepatan denyut nadi,
peningkatan metabolism basal, vasokonstriksi pembuluh darah, penurunan peristaltik usus,
serta peningkatan ketegangan otot. Efek fisiologi tersebut disebabkan oleh peningkatan
rangsang sistem saraf otonom. Pemajanan yang terus- menerus terhadap suara yang bising
dapat merusak sel – sel rambut di dalam koklea.12
Patogenesis
Degenerasi koklea12,14
Analisis dinding lateral dengan kontras pada pembuluh darah menunjukkan hilangnya stria
kapiler. Perubahan patologi vaskular terjadi berupa lesi fokal yang kecil pada bagian apikal
dan bawah basal yang meluas pada regio ujung koklea. Area stria yang tersisa memiliki
hubungan yang kuat dengan mikrovaskular normal dan potensial endokolear. Analisis
ultrastructural menunjukkan ketebalan membran basal yang signifikan, diikuti dengan
pertambahan deposit laminin dan akumulasi imunoglobulin yang abnormal pada pemeriksaan
histokimia. Pemeriksaan histopatologis pada hewan dan manusia menunjukkan hubungan
antara usia dengan degenerasi stria vaskularis.
Degenerasi stria vaskularis akibat penuaan berefek pada potensial endolimfe yang berfungsi
sebagai amplifikasi koklea. Potensial endolimfatik yang berkurang secara signifikan akan
berpengaruh pada amplifikasi koklea. Nilai potensial endolimfatik yang menurun menjadi
20mV atau lebih, maka amplifikasi koklea dianggap kekurangan voltage dengan penurunan
maksimum. Penambahan 20 dB di apeks koklea akan terjadi peningkatan potensial sekitar 60
dB didaerah basis.
Degenerasi stria yang melebihi 50% , maka potensial endolimfe akan menurun drastis.
Gambaran khas degenerasi stria pada hewan yang mengalami penuaan, terdapat penurunan
pendengaran sebesar 40 50 dB dan potensial endolimfe 20 mV (normal = 90 mV). Ambang
dengar ini dapat diperbaiki dengan cara menambahkan 20 25 dB pada skala media. Cara
mengembalikan nilai potensial endolimfe untuk mendekati normal adalah mengurangi
penurunan pendengaran yang luas yang dapat meningkatkan ambang suara compound action
potensial (CAP) sehingga menghasilkan sinyal moderate high. Degenerasi stria vaskularis,
yang disebut sebagai sumber energi (battery) pada koklea, menimbulkan penurunan potensial
endolimfe yang disebut teori dead battery pada presbikusis.
B. Degenerasi sentral12
Degenerasi sekunder terjadi akibat degenerasi sel organ corti dan saraf-saraf yang dimulai
pada bagian basal koklea hingga apeks. Perubahan yang terjadi akibat hilangnya fungsi
nervus auditorius akan meningkatkan nilai ambang CAP dari nervus. Penurunan fungsi input-
output dari CAP pada hewan percobaan berkurang ketika terjadi penurunan nilai ambang
sekitar 5 10 dB. Intensitas sinyal akan meningkatkan amplitudo akibat peningkatkan CAP
dari fraksi suara yang terekam. Fungsi input-output dari CAP akan terefleksi juga pada fungsi
input-output dari potensial saraf pusat. Pengurangan amplitudo dari potensial aksi yang
terekam pada proses penuaan memungkinkan terjadinya asinkronisasi aktifitas nervus
auditorius.
C. Mekanisme molekuler
Penelitian tentang penyebab presbikusis sebagian besar menitikberatkan pada abnormalitas
genetik yang mendasarinya, dan salah satu penemuan yang paling terkenal sebagai penyebab
potensial presbikusis adalah mutasi genetik pada DNA mitokondrial.
Faktor genetik14
Dilaporkan bahwa salah satu strain yang berperan terhadap terjadinya presbikusis, yaitu
C57BL/6J sebagai penyandi saraf ganglion spiral dan sel stria vaskularis pada koklea. Strain
ini sudah ada sejak lahir pada tikus yang memiliki persamaan dengan gen pembawa
presbikusis pada manusia. Awal mula terjadinya kurang pendengaran pada strain ini dimulai
dari frekuensi tinggi kemudian menuju frekuensi rendah. Teori aging pada mitokondria,
menyatakan bahwa ROS ( Reactice Oxygen Species ) sebagai penyebab rusaknya komponen
mitokondria.
Anggota dari family Bcl-2, proapoptosis protein Bak dan Bax berperan dalam fase promotif
apoptosis pada mitokondria. Protein Bcl-2 ini meningkatkan permeabilitas membran terluar
mitokondria, memicu aktivasi enzim kaspase dan kematian sel.
Radikal bebas14
Sistem biologik dapat terpapar oleh radikal bebas baik yang terbentuk endogen oleh proses
metabolisme tubuh maupun eksogen seperti pengaruh radiasi ionisasi. Membran sel terutama
terdiri dari komponen-komponen lipid. Serangan radikal bebas yang bersifat reaktif dapat
menimbulkan kerusakan terhadap komponen lipid dan menimbulkan reaksi peroksidasi lipid
yang menghasilkan produk bersifat toksik terhadap sel, seperti malondialdehida (MDA), 9-
hidroksineonenal, hidrokarbon etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Bahkan dapat terjadi
ikatan silang (cross linking) antara dua rantai asam lemak dan rantai peptida (protein) yang
menyebabkan kerusakan parah membran sel sehingga membahayakan kehidupan sel.
Kerusakan sel akibat stress oksidatif tadi menumpuk selama bertahun – tahun sehingga
terjadi penyakit-penyakit degeneratif, keganasan, kematian sel – sel vital tertentu yang pada
akhirnya akan menyebabkan proses penuaan.
Patofisiologi
Penurunan sensitivitas ambang suara pada frekuensi tinggi merupakan tanda utama
presbiakusis. Perubahan dapat terjadi pada dewasa muda, terutama pada usia 60 tahun ke
atas. Terjadi perluasan ambang suara dengan bertambahnya waktu terutama pada frekuensi
rendah. Kasus yang banyak terjadi adalah kehilangan sel rambut luar pada basal koklea.
Presbiakusis sensori memiliki kelainan spesifik, seperti akibat trauma bising. Pola konfigurasi
audiometri presbikusis sensori adalah penurunan frekuensi tinggi yang curam, seringkali
terdapart notch (takik) pada frekuensi 4 kHz.12
Faktor lain seperti genetik, usia, ototoksis dapat memperberat penurunan pendengaran.
Perubahan usia akan mempercepat proses kurangnya pendengaran. Interaksi efek bising dan
usia belum dapat dimengerti sepenuhnya, oleh karena kedua faktor awalnya mempengaruhi
frekuensi tinggi pada koklea. Kerusakan akibat bising ditandai kenaikan ambang suara pada
frekuensi 3-6 kHz, walaupun awalnya dimulai pada frekuensi tinggi ( biasanya 8 kHz).12
Klasifikasi Presbiakusis2
Presbiakusis neural
Terjadi atrofi pada sel-sel saraf di koklea dan pada jalur hantaran suara ke saraf pusat. Jadi
gangguan primer terdapat pada sel-sel saraf, sementara sel-sel rambut di koklea masih
dipertahankan. Pada tipe ini, diskriminasi kata-kata relatif lebih terganggu dengan hanya
sedikit gangguan sel rambut. Tidak didapati adanya penurunan ambang terhadap bunyi
frekuensi tinggi. Efeknya tidak disadari sampai seseorang berumur lanjut karena gejala tidak
akan timbul sampai 90% neuron akhirnya hilang. Pengurangan junlah sel-sel neuron ini
sesuai dengan normal speech discrimination. Bila jumlah neuron berkurang di bawah yang
dibutuhkan untuk transmisi getaran, terjadilah presbiakusis neural. Prevalensi sekitar 30,7%.
Derajat
Derajat kurang pendengaran dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu :
Menentukan derajat kurang pendengaran yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udara
( Air Conduction /AC) saja. Derajat menurut Jerger, yaitu :
0 – 25 dB : normal
>25 – 40 dB : tuli ringan
>40 – 55 dB : tuli sedang
>55 – 70 dB : tuli sedang berat
>70 – 90 dB : tuli berat
>90 dB : tuli sangat berat
Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang timbul adalah penurunan ketajaman pendengaran pada usia lanjut, bersifat
sensorineural, simetris bilateral dan progresif lambat. Umumnya terutama terhadap suara atau
nada yang tinggi. Tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan telinga hidung tenggorok,
seringkali merupakan kelainan yang tidak disadari. Penderita menjadi depresi dan lebih
sensitif. Kadang – kadang disertai dengan tinnitus.3
Faktor risiko presbiakusis adalah 1) Paparan bising 2) merokok 3) obat – obatan 4) hipertensi
5) riwayat keluarga. Orang dengan riwayat bekerja di tempat bising, tempat rekreasi yang
bising, dan penembak (tentara) akan mengalami kehilangan pendengaran pada frekuensi
tinggi. Penggunaan obat – obatan antibiotic golongan aminoglikosid, cisplatin, diuretik, atau
anti inflamasi dapat berpengaruh terhadap terjadinya presbiakusis.3,12
Pemeriksaan fisik6
Penderita tuli sensorineural cenderung berbicara lebih keras dan mengalami gangguan
pemahaman kata sehingga pemeriksa sudah dapat menduga adanya suatu gangguan
pendengaran sebelum dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut. Pada pemeriksaan otoskop,
liang telinga dan membrana timpani tidak ada kelainan. Pemeriksaan lain yang biasa
digunakan adalah :
Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif dengan menggunakan garpu tala 512 Hz. Terdapat
beberapa macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber dan tes Schwabach.
Tes Rinne
Tujuan : membandingkan hantaran melalui udara dengan hantaran melalui tulang pada satu
telinga penderita. Cara kerja : garpu tala digetarkan, letakkan tangkainya tegak lurus pada
prosesus mastoid penderita sampai penderita tidak mendengar, kemudian cepat pindahkan ke
depan liang telinga penderita kira-kira 2,5 cm. Interpretasi : Bila penderita masih mendengar
disebut Rinne positif, Bila penderita tidak mendengar disebut Rinne negatif . Pada tuli
sensorineural, Tes Rinne positif.
Tes Weber
Tujuan : Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita. Cara kerja : Garpu
tala digetarkan, letakkan di garis tengah kepala (verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-
tengah gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi garpu tala terdengar keras padasalah satu telinga
disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan, kearah mana bunyi
terdengar lebih keras disebut weber tidak ada leteralisasi. Pada tuli sensorineural, lateralisasi
kearah telinga yang sehat.
Tes Schwabach
Tujuan : Membandingkan hantaran tulang penderita denganpemeriksa yang pendengarannya
normal. Cara kerja : Garpu tala digetarkan, letakkan garpu tala pada prosesus mastoideus
penderita sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa. Interpretasi : Bila pemeriksa masih mendengar getaran garpu
tala, disebut schwabach memendek. Ini mempunyai arti klinis tuli semsorineural. Bila
pemeriksa tidak mendengar getaran garpu tala, maka pemeriksaan diulangi dengan garpu tala
diletakkan terlebih dahulu di prosesus mastoideus pemeriksa. Jika penderita masih dapat
mendengar disebut schwabach memanjang (tuli konduktif) dan jika penderita tidak
mendengar disebut schwabach normal.
Pemeriksaan penunjang3
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan misalnya pemeriksaan audiometri nada murni,
menunjukkan tuli saraf nada tinggi, bilateral, dan simetris. Penurunan yang tajam (slooping)
pada tahap awal setelah frekuensi 2000 Hz. Gambaran ini khas pada presbikusis sensorik dan
neural. Kedua jenis presbikusis ini sering ditemukan. Garis ambang dengar pada tahap
berikutnya berangsur – angsur terjadi penurunan. Semua jenis presbikusis tahap lanjut juga
terjadi penurunan pada frekuensi yang lebih rendah. Audiometri menunjukkan adanya
gangguan diskriminasi wicara dan biasanya keadaan ini jelas terlihat pada presbikusis jenis
neural dan koklear.
Variasi nilai ambang audiogram antara telinga satu dengan lainnya pada presbikusis ini dapat
terjadi sekitar 5-10 dB. Pemeriksaan audiometri tutur pada kasus presbikusis sentral
didapatkan pemahaman bicara normal sampai tingkat phonetically balanced words dan akan
memburuk seiring dengan terjadinya overstimulasi pada koklea. Penderita presbikusis sentral
pada intensitas tinggi menunjukkan penurunan dalam nilai ambang tutur sebesar 20% atau
lebih.
Skrining Pendengaran
Skrining pendengaran dilakukan pada pemeriksaan fisik rutin atau pada penderita dengan
usia diatas 60 tahun. Pertanyaan yang diberikan adalah “adakah masalah dengan
pendengaran?” sangat efektif dan disertai dengan penggunaan alat sensitif untuk mendeteksi
presbiakusis.
Penilaian klinis seperti tes berbisik dan isyarat seringkali tidak jelas dan tidak efektif dalam
skrining. Standar tes skrining audiometri pad level frekuensi 1 kHz, 2 kHz, dan 3 kHz dan
level intensitas 25 dB, 40 dB, dan 60 dB. Kelainan pada frekuensi 25 dB bagi penderita
dewasa muda atau 40 dB bagi usia lanjut merupakan penilaian yang tepat. Indikasi
pemeriksaan metabolik dilakukan pada penderita yang belum pernah melakukan pemeriksaan
kesehatan terutama dengan riwayat diabetes, disfungsi renal, hipertensi, dan hiperlipidemia.12
Penatalaksanaan2
Gangguan pendengaran pada presbiakusis adalah tipe sensorineural yang tidak dapat
disembuhkan, dan tujuan penatalaksanaannya untuk memperbaiki kemampuan
pendengarannya dengan menggunakan alat bantu dengar. Alat ini berfungsi membantu
penggunaan sisa pendengaran untuk berkomunikasi. Alat bantu dengar diperlukan bila
penurunan pendengaran lebih dari 40 dB
Pada presbiakusis terjadi penurunan pendengaran bersifat progresif perlahan yang mulai dari
nada tinggi, pada awalnya tidak terasa pendengaran menurun. Umumnya gangguan
pendengaran disadari jika kegiatan sehari-hari mengalami kesulitan. Pada orang tua
penurunan pendengaran sering disertai juga penurunan diskriminasi bicara akibat perubahan
SSP oleh proses menua yang kemudian mengakibatkan perubahan watak yang bersangkutan
seperti mudah tersinggung, penurunan perhatian, penurunan konsentrasi, cepat emosi, dan
berkurang daya ingat.
Dengan demikian tidak semua presbikusis dapat diatasi dengan baik menggunakan alat bantu
dengar terutama presbikusis tipe neural. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dicoba dengan
cara latihan mendengar atau lip reading yaitu dengan cara membaca gerakan mulut orang
yang menjadi lawan bicaranya. Penting juga dilakukan physiologic counseling yaitu
memperbaiki mental penderita.
Penderita ymengalami perubahan koklear tetapi ganglia spiralis dan jaras sentral masih baik
dapat digunakan koklear implant. Rehabilitasi perlu untuk memperbaiki komunikasi. Hal
ini akan memberikan kekuatan mental karena sering orang tua dengan gangguan dengar
dianggap menderita senillitas, yaitu suatu hal yang biasa terjadi pada orang tua dan tidak
perlu diperhatikan.
Pemasangan alat bantu dengar merupakan salah satu bagian yang penting dalam
penatalaksaanaan gangguan dengar pada presbiakusis agar dapat memanfaatkan sisa
pendengaran semaksimal mungkin.
Alat bantu dengar terdiri dari mikrofon (penerima suara), amplifier (pengeras suara) dan
receiver (penerus), ear mold (pengarah suara ke telinga tengah). Jenis alat bantu dengar
terdiri dari model saku, model belakang telinga (behind the ear), model dalam telinga (in the
ear), model liang telinga (in the canal), model dalam liang telinga seluruhnya (complete in
the canal), model kaca mata.
Fungsi utamanya untuk memperkuat (amplifikasi) bunyi sekitar sehingga dapat
Mengenal lingkungan
Yang terpenting adalah bunyi untuk berkomunikasi antar manusia sehingga alat ini harus
dapat menyaring dan memperjelas suara percakapan manusia yang berkisar antara 30-60 dB
pada frekuensi 500-2000 Hz.
INSIDENSI
Tubair catarh lebih banyak dijumpai pada anak2 karena saluran tubanya relatif pendek dan
lebar sehingga bakteri ataupun virus dari hidung dan tenggorok lebih mudah masuk ke tuba
dan cavum tympani.
GEJALA
didahului infeksi saluran napas atas, batuk,pilek, demam, pendengaran menurun, suara
terdengar bergema seperti kalau kita lagi naik pegunungan, telinga terasa penuh / semumpel /
fullness, kadang2 bisa sampai bliyur / dizziness.
PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan gendang telinga tampak tertarik kedalam, buram, atau sedikit kemerahan,
liang telinga tidak ada kelainan.
Gerakan gendang telinga terhambat.
PENGOBATAN
Decongestan (tetes/oral), anti inflamasi, analgetika dan antibiotika ataupun antiviral, serta
istirahat.
Seandainya yang terkena hanya telinga sebelah maka tidur dianjurkan kearah telinga yang
sehat serta dibelakang telinga yg sakit bisa digosok dengan balsam penghangat.
15. Mastoiditis
Rongga telinga tengah dan rongga mastoid berhubungan langsung melalui aditus ad antrum.
Oleh karena itu infeksi kronis telinga tengah yang sudah berlangsung lama bisanya disertai infeksi
kronis di rongga mastoid. Infeksi rongga mastoid dikenal dengan mastoiditis. Beberapa alhi
menggolongkan mastoiditis ke dalam komplikasi OMSK.
Etiologi
Mastoiditis merupakan hasil dari infeksi yang lama pada telinga tengah, bakteri yang didapat
pada mastoiditis biasanya sama dengan bakteri yang didapat pada infeksi telinga tengah. Bakteri gram
negative dan Streptococcus aureus adalah beberapa bakteri yang paling sering didapatkan pada infeksi
ini.
Selain itu kurang dalam menjaga kebersihan pada telinga seperti masuknya air ke dalam
telinga serta bakteri yang masuk dan bersarang yang kemudian dapat menyebabkan infeksi traktus
respiratorius. Pada pemeriksaan telinga akan menunjukkan bahwa terdapat pus yang berbau busuk
akibat infeksi traktus respiratorius.
Beberapa hal yang mempengaruhi berat dan ringannya penyakit adalah faktor tubuh penderita
(imunitas) dan faktor dari bakteri itu sendiri. Dapat dilihat dari angka kejadian anak-anak yang
biasanya berumur di bawah dua tahun, pada usia inilah imunitas belum baik. Beberapa faktor lainnya
seperti bentuk tulang, dan jarak antar organ juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit. Faktor-
faktor dari bakteri sendiri adalah, lapisan pelindung pada dinding bakteri, pertahanan terhadap
antibiotic dan kekuatan penetrasi bakteri terhadap jaringan keras dan lunak dapat berperan pada berat
dan ringannya penyakit.
Komplikasi serius pada zaman pra-antibiotik ini telah jarang ditemukan kini. Namun karena
beberapa alasan, masih dapat ditemukan satu atau dua kasus demikian per tahun pada institusi-
institusi utama. Diagnosis dapat terluputkan karena pasien telah mendapat antibiotik yang efektif
dalam mengubah temuan fisik klasik tapi tidak mampu membasmi infeksi.
1. Febris / subfebris
4. Bahkan kadang timbul suara berdenging pada satu sisi telinga (dapat juga pada sisi telinga
yang lainnya)
Keluhan nyeri dirasakan cenderung menetap dan berdenyut. Gangguan pendengaran dapat
timbul atau tidak bergantung pada besarnya kompleks mastoid akibat infeksi. Jika tidak diobati dapat
terjadi ketulian yang berkembang secara progresif, sepsis, meningitis, abses otak atau kematian.
Di dalam tulang juga bisa terbentuk abses. Biasanya gejala muncul dalam waktu 2 minggu
atau lebih setelah otitis media akut, dimana penyebaran infeksi telah merusak bagian dalam dari
prosesus mastoideus.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Dengan CT scan bisa
dilihat bahwa sel-sel udara dalam prosesus mastoideus terisi oleh cairan (dalam keadaan normal terisi
oleh udara) dan melebar. Contoh cairan dari telinga dibiakkan di laboratorium untuk mengetahui
organisme penyebabnya.
Mastoiditis dapat terjadi pada pasien-pasien imunosupresi atau mereka yang menelantarkan
otitis media akut yang dideritanya. Penyakit ini agaknya berkaitan dengan virulensi dari organisme
penyebab. Organisme penyebab yang lazim adalah sama dengan penyebab otitis media akut.
Tatalaksana
Pengobatan awal berupa miringotomi yang cukup lebar, biakan dan antibioltik yang sesuai
diberikan intravena. Jika dalam 48 jam tidak didapatkan perbaikan atau keadaan umum pasien
bertambah buruk, maka disarankan untuk dilakukan mastoidektomi sederhana. Bila gambaran
radiologis memperlihatkan hilangnya pola trabekular atau adanya progresi penyakit, maka harus
dilakukan mastoidektomi lengkap dengan segera untuk mencegah komplikasi serius seperti petrosis,
labirintis, meningitis dan abses otak.
16. Korpus Alienum
1. Pengertian
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks
(pendengaran dan keseimbangan) . Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi
seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal
dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara
tergantung pada kemampuan mendengar.
Benda asing merupakan benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh
yang dalam keadaan normal tidak ada. Telinga sering kemasukan benda asing. Kejadian
tersebut kejadian tersebut banyak penyebabnya, pada orang dewasa biasanya dengan
mencoba membersihkan kanalis eksternus atau mengurangi gatal atau pada anak-anak yang
dengan sengaja memasukkan benda tersebut ke dalam telinganya sendiri.benda asing di
telinga dapat memiliki efek atau tidak. Bisa tanpa gejala sampai dengan gejala nyeri berat
sampai dengan terjadinya penurunan pendengaran. Kejadian tersebut terkadang dianggap
remeh oleh penderita atau keluarganya.
Pada anak-anak tidak melaporkan keluhannya sebelum timbul keluhan nyeri akibat
infeksi di telinga tersebut, Lama-lama telinganya berbau. Jika hal ini terjadi, orang tua patut
mencurigainya sebagai akibat kemasukan benda asing. Jangan menanganinya sendiri karena
kemungkinan benda yang masuk malah terdorong ke dalam membrane timpani karena
anatomi liang telinga yang berlekuk. Di telinga banyak terdapat saraf-saraf dan bisa terjadi
luka. Benda yang masuk biasanya hanya bisa dikeluarkan oleh dokter THT dengan
menggunakan peralatan dan keahlian khusus serta menggunakan anestesi umum di kamar
operasi. Pengambilan benda asing dari kanalis auditorius eksternus ada 3 metode. Standar
pengambilan benda asing yaitu irigasi, pengisapan, dan instrumentasi.
Metode pengambilan benda asing dengan cara irigasi bila benda-benda seperti
kerikil, mainan, manik-manik, penghapus, serangga yang masuk ke dalam kanalis auditorius,
kecuali bila terdapat riwayat perforasi membrane timpani. Kemasukkan benda asing seperti
tumbuh-tumbuhan misalkan biji-bijian, kacang-kacangan atau polong-polongan cenderung
menyebabkan bengkak, bila pengambilan benda tersebut menggunakan teknik irigasi akan
membahayakan (termasuk kontraindikasi).
Bila dengan menggunakan teknik irigasi, benda asing belum juga berhasil
dikeluarkan, maka dapat menggunakan teknik pengisapan, serta instrumentasi. Bila memakai
teknik instrumentasi maka kanalis auditorius harus terlihat secara langsung guna menghindari
kerusakkan lebih lanjut organ telinga.
Berikut beberapa benda asing yang sering masuk ke telinga dan penangangan
pertama yang bisa dilakukan:
a. Air
Sering kali saat kita heboh mandi, berenang dan keramas, membuat air masuk ke
dalam telinga. Jika telinga dalam keadaan bersih, air bisa keluar dengan sendirinya. Tetapi
jika di dalam telinga kita ada kotoran, air justru bisa membuat benda lain di sekitarnya
menjadi mengembang dan air sendiri menjadi terperangkap di dalamnya. Segera kunjungi
dokter THT untuk membersihkan kotoran kuping yang ada.
b. Cotton Buds
Cotton buds tidak di anjurkan secara medis untuk membersihkan telinga. Selain kapas
bisa tertinggal di dalam telinga, bahaya lainnya adalah dapat menusuk selaput gendang bila
tidak hati-hati menggunakannya. Basahi cotton buds dengan menggunakan air hangat, jangan
menggunakan cotton buds dalam keadaan kering atau berminyak karena itu memungkinkan
terjadinya iritasi pada telinga.
c. Benda-benda kecil
Anak-anak kecil sering tidak sengaja memasukkan sesuatu ke dalam telinganya.
Misalnya, manik-manik mainan. Jika terjadi, segera bawa ke dokter THT. Jangan coba-coba
mengeluarkannya sendiri, karena bisa menimbulkan masalah baru. Di ruang praktek, dokter
mempunyai alat khusus untuk mengeluarkan benda tersebut dan disertai dengan keterampilan
khusus untuk menangani masalah ini.
d. Serangga
Bila telinga sampai kemasukan semut, berarti ada yang salah dengan bagian dalam
telinga. Pada prinsipnya, telinga punya mekanisme sendiri yang dapat menghambat binatang
seperti semut untuk tidak masuk ke dalam.
3. Patofisiologi
Benda asing yang masuk ke telinga biasanya disebabkan oleh beberapa factor antara
lain pada anak – anak yaitu factor kesengajaan dari anak tersebut, factor kecerobohan
misalnya menggunakan alat-alat pembersih telinga pada orang dewasa seperti kapas, korek
api ataupun lidi serta factor kebetulan yang tidak disengaja seperti kemasukan air, serangga
seperti lalat atau nyamuk .
Masuknya benda asing ke dalam telinga yaitu ke bagian kanalis audiotorius
eksternus akan menimbulkan perasaaan tersumbat pada telinga, sehingga klien akan berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut. Namun, tindakan yang klien lakukan untuk
mengeluarkan benda asing tersebut sering kali berakibat semakin terdorongnya benda
tersebut ke bagian tulang kanalis eksternus sehingga menyebabkan laserasi kulit dan melukai
membrane timpani. Akibat dari laserasi kulit dan lukanya membrane timpanai, akan
menyebabkan gangguan pendengaran , rasa nyeri telinga atau otalgia dan kemungkinan
adanya risiko terjadinya infeksi.
4. Manifestasi klinik
Efek dari masuknya benda asing tersebut ke dalam telinga dapat berkisar dari tanpa
gejala sampai dengan gejala nyeri berat dan adanya penurunan pendengaran.
• Merasa tidak enak ditelinga :
Karena benda asing yang masuk pada telinga, tentu saja membuat telinga merasa tidak enak,
dan banyak orang yang malah membersihkan telinganya, padahal membersihkan akan
mendoraong benda asing yang mauk kedalam menjadi masuk lagi.
• Tersumbat
Karena terdapat benda asing yang masuk kedalam liang telinga, tentu saja membuat telinga
terasa tersumbat.
• Pendengaran terganggu
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian
tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
• Rasa nyeri telinga (otalgia)
Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak.
Nyeri merupakan tanda berkembangnya komplikasi telinga akibat benda asing.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan dengan Otoskopik
Mekanisme :
- Bersihkan serumen
- Lihat kanalis dan membran timpani
Interpretasi :
- Warna kemerahan, bau busuk dan bengkak menandakan adanya infeksi
- Warna kebiruan dan kerucut menandakan adanya tumpukan darah dibelakang gendang.
- Kemungkinan gendang mengalami robekan.
b. Pemeriksaan Ketajaman
Test penyaringan sederhana
1. Lepaskan semua alat bantu dengar
2. Uji satu telinga secara bergiliran dengan cara tutup salah satu telinga
3. Berdirilah dengan jarak 30 cm
4. Tarik nafas dan bisikan angka secara acak (tutup mulut)
5. Untuk nada frekuensi tinggi: lakukan dgn suara jam
c. Uji Ketajaman Dengan Garpu Tala
Uji weber
1. Menguji hantaran tulang (tuli konduksi)
2. Pegang tangkai garpu tala, pukulkan pada telapak tangan
3. Letakan tangkai garpu tala pada puncak kepala pasien.
4. Tanyakan pada pasien, letak suara dan sisi yang paling keras.
Interpretasi
1. Normal: suara terdengar seimbang (suara terpusat pada ditengah kepala)
2.Tuli kondusif: suara akan lebih jelas pada bagian yang sakit (obstruksi: otosklerosis, OM)
akan menghambat ruang hampa.
3. Tuli sensorineural: suara lateralisasi kebagian telinga yang lebih baik.
Uji Rine
1. Membandingkan konduksi udara dan tulang
2. Pegang garpu tala, pukulkan pada telapak tangan
3. Sentuhkan garpu tala pada tulang prosesus mastoid, apabila bunyi tidak terdengar lagi
pindahkan kedepan lubang telinga (2 cm)
4. Tanyakan pasien, kapan suara tak terdengar (hitungan detik)
5. Ulangi pada telinga berikutnya
Interpretasi
1. Normal: terdengar terus suara garpu tala.
2. Klien dengan tuli kondusif udara: mendengar garpu tala lebih jelas melalui konduksi tulang
(Rinne negatif).
6. Pencegahan
Usaha pencegahan
a. Kebiasaan terlalu sering memakai cotton bud untuk membersihkan telinga sebaiknya dijauhi
karena dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti kulit telinga kita yang ditumbuhi
bulu-bulu halus yang berguna untuk membuat gerakan menyapu kotoran di telinga kita akan
rusak, sehingga mekanisme pembersihan alami ini akan hilang. Jika kulit kita lecet dapat
terjadi infeksi telinga luar yang sangat tidak nyaman dan kemungkinan lain bila terlalu dalam
mendorong Cottonbud, maka dapat melukai atau menembus gendang telinga. Sebaiknya
bersihkan telinga 2-3 kali dalam seminggu.
b. Hindarkan memberi mainan berupa biji-bijian pada anak-anak, dapat tejadi bahaya di atas
atau juga dapat tertelan dan yang fatal dapat menyumbat jalan nafas (obstruksi jalan nafas).
7. Penatalaksanaan
• Ekstrasi benda asing dengan menggunakan pengait atau pinset atau alligator (khususnya
gabah). Pada anak yang tidak kooperatif, sebaiknya dikeluarkan dalam narcosis umum, agar
tidak terjadi komplikasi pada membrane timapani.
• Bila benda asing berupa binatang atau serangga yang hidup, harus dimatikan dulu dengan
meneteskan pantokain,xylokain,minyak atau alcohol kemudian dijepit dengan pinset.
Usaha pengeluaran harus dilakukan dengan hati- hati biasanya dijepit dengan pinset dan
ditarik keluar. Bila pasien tidak kooperatif dan beresiko merusak gendang telinga atau
struktur- struktur telinga tengah, maka sebaiknya dilakukan anastesi sebelum dilakukan
penatalaksanaan.
Kemudian benda asing dikait dengan pinset atau klem dan ditarik keluar. Setelah benda
asing keluar, liang telinga dibersihkan dengan larutan betadin. Bila ada laserasi liang telinga
diberikan antibiotik ampisilin selama 3 hari dan analgetik jika perlu.
Benda asing seperti kertas, busa, bunga, kapas, dijepit dengan pinset dan ditarik keluar.
Benda asing yang licin dan keras seperti batu, manik-manik, biji-bijian pada anak yang
tidak kooperatif dilakukan dengan narkose. Dengan memakai lampu kepala yang sinarnya
terang lalu dikeluarkan dengan pengait secara hati-hati karena dapat menyebabkan trauma
pada membran timpani.
Pengambilan benda asing dari kanalis audiotorius eksternus merupakan tantangan bagi
petugas perawatan kesehatan. Banyak benda asing (misalnya : kerikil, mainan, manik-manik,
penghapus) dapat diambil dengan irigasi kecuali ada riwayat perforasi lubang membrana
timpani. Benda asing dapat terdorong secara lengkap ke bagian tulang kanalis yang
menyebabkan laserasi kulit dan melubangi membrana timpani pada anak kecil atau pada
kasus ekstraksi yang sulit pada orang dewasa. Pengambilan benda asing harus dilakukan
dengan anatesia umum di kamar operasi.
19. Vertigo
DEFINISI
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi
pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar. Vertigo tidak selalu sama
dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke
dalan 4 subtipe tergantung gejala yang digambarkan oleh pasien. Dizziness dapat berupa
vertigo, presinkop (perasaan lemas disebabkan oleh berkurangnya perfusi cerebral), light-
headness, disequilibrium (perasaan goyang atau tidak seimbang ketika berdiri).
Vertigo - berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar - merujuk pada
sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan
oleh gangguan pada sistim keseimbangan.
EPIDEMIOLOGI
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan prevalensi
sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk menyelidiki epidemiologi dizziness, yang
meliputi vertigo dan non vestibular dizziness. Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan
yang paling sering diutarakan oleh pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari
keempat jenis dizziness vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada sebuah
studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada wanita disbanding pria (2:1),
sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren. 2
Frekuensi Di Amerika Serikat, sekitar 500.000 orang menderita stroke setiap tahunnya.
Dari stroke yang terjadi, 85% merupakan stroke iskemik, dan 1,5% diantaranya terjadi di
serebelum. Rasio stroke iskemik serebelum dibandingkan dengan stroke perdarahan
serebelum adalah 3-5: 1. Sebanyak 10% dari pasien infark serebelum, hanya memiliki gejala
vertigo dan ketidakseimbangan. Insidens sklerosis multiple berkisar diantara 10-80/ 100.000
per tahun. Sekitar 3000 kasus neuroma akustik didiagnosis setiap tahun di Amerika Serikat.
Jenis kelamin pada insidens penyakit cerebrovaskular sedikit lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita. Dalam satu seri pasien dengan infark serebelum, rasio antara penderita
pria dibandingkan wanita adalah 2:1. Sklerosis multiple dua kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria.
Vertigo sentral biasanya diderita oleh populasi berusia tua karena adanya faktor resiko
yang berkaitan, diantaranya hipetensi, diabetes melitus, atherosclerosis, dan stroke. Rata-rata
pasien dengan infark serebelum berusia 65 tahun, dengan setengah dari kasus terjadi pada
mereka yang berusia 60-80 tahun. Dalam satu seri, pasien dengan hematoma serebelum rata-
rata berusia 70 tahun.
Cedera vaskular dan infark di sirkulasi posterior dapat menyebabkan kerusakan yang
permanen dan kecacatan. Pemulihan seperti yang terjadi pada vertigo perifer akut tidak dapat
diharapkan pada vertigo sentral.
Dalam satu seri, infark serebelum memiliki tingkat kematian sebesar 7% dan 17%
dengan distribusi arteri superior serebelar dan arteri posterior inferior serebelar. Infark di
daerah yang disuplai oleh arteri posterior inferior serebelar sering terkait dengan efek massa
dan penekanan batang otak dan ventrikel ke empat, oleh karena itu, membutuhkan
manajemen medis dan bedah saraf yang agresif. Dalam satu rangkaian 94 pasien, 20
diantaranya datang dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 8 yang mengindikasikan adanya
penurunan kesadaran yang signifikan. Tingkat kematian pasien lainnya, yaitu yang GCSnya
lebih dari 8, adalah 20%.
Neuroma akustik memiliki tingkat kematian yang rendah jika dapat didiagnosis dengan
cepat. Tumor dapat diangkat tanpa mengganggu N VII, namun gangguan pendengaran
unilateral dapat terjadi.
ETIOLOGI
Vertigo merupakan suatu gejala, sederet penyebabnya antara lain akibat kecelakaan,
stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran
darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan
melalui organ keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf
yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di
dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya
sendiri.
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi tentang posisi
tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata. Penyebab umum dari vertigo:6
1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam
telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal positional
4. infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit maniere,
5. peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
6. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis, sklerosis
multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin, persyarafannya atau
keduanya.
7. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya aliran darah
ke salah satu bagian otak ( transient ischemic attack ) pada arteri vertebral dan arteri
basiler.
Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler sampai ke inti
nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII sampai ke korteks.
Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan hilangnya
pendengaran.Obat-obat itu antara lain aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid,
derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung platina. Streptomisin lebih bersifat
vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan kanamisin, amikasin dan netilmisin
lebih bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain
sulfonamid, asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin. Terapi berupa penghentian obat
bersangkutan dan terapi fisik, penggunaan obat supresan vestibuler tidak dianjurkan karena
jusrtru menghambat pemulihan fungsi vestibluer. Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator
dan antiparkinson dapat menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan
vertigo.
KLASIFIKASI
Vertigo dapat berasal dari kelainan di sentral (batang otak, serebelum atau otak) atau di
perifer (telinga – dalam, atau saraf vestibular).
1. Fisiologik : ketinggian, mabuk udara.
Vertigo fisiologik adalah keadaan vertigo yang ditimbulkan oleh stimulasi dari sekitar
penderita, dimana sistem vestibulum, mata, dan somatosensorik berfungsi baik. Yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain :
a. Mabuk gerakan (motion sickness)
Mabuk gerakan ini akan ditekan bila dari pandangan sekitar (visual surround)
berlawanan dengan gerakan tubuh yang sebenarnya. Mabuk gerakan akan sangat
bila sekitar individu bergerak searah dengan gerakan badan. Keadaan yang
memperovokasi antara lain duduk di jok belakang mobil, atau membaca waktu
mobil bergerak.
b. Mabuk ruang angkasa (space sickness)
Mabuk ruang angkasa adalah fungsi dari keadaan tanpa berat (weightlessness).
Pada keadaan ini terdapat suatu gangguan dari keseimbangan antara kanalis
semisirkularis dan otolit.
c. Vertigo ketinggian (height vertigo)
Adalah uatu instabilitas subjektif dari keseimbangan postural dan lokomotor oleh
karena induksi visual, disertai rasa takut jatuh, dang gejala-gejala vegetatif.
2. Patologik :
Vertigo dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang batang otak atau cerebellum
b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus cranialis
vestibulocochlear (N. VIII)
Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah , gula darah yang
rendah, atau gangguan metabolic karena pengobatan atau infeksi sistemik.
Kata kunci untuk vertigo yang berasal dari sentral adalah gejala atau tanda batang otak
lainnya atau tanda onset akut misalnya sakit kepala tuli dan temuan neurologis lainnya
misalnya trigeminal sensory loss pada infark arteri cebellar postero inferior. Pada pasien
seperti ini perlu cepat dirujuk dan diinvestigasi.
Sakit kepala
Gejala neurologis
Tanda neurologis
Penting juga untuk mengklasifikasikan vertigo menjadi akut dan kronik. Vertigo akut
biasanya memiliki mekanisme yang tunggal sedangkan vertigo kronik memiliki mekanisme
multifaktorial. Dizziness yang kronik lebih sering terjadi pada usia tua karena insiden
penyakit komorbid yang lebih besar.
Selain itu kita bisa membedakan vertigo sentral dan perifer berdasarkan nystagmus.
Nystagmus adalah gerakan bola mata yang sifatnya nvolunter, bolak balik, ritmis, dengan
frekuensi tertentu. Nystagmus merupakan bentuk reaksi dari refleks vestibulo oculer terhadap
aksi tertentu. Nystagmus bisa bersifat fisiologis atau patologis dan manifes secara spontan
atau dengan rangsangan alat bantu seperti test kalori, tabung berputar, kursi berputar,
kedudukan bola mata posisi netral atau menyimpang atau test posisional atau gerakan kepala.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala primer, sekunder
ataupun gejala non spesifik. Gejala primer diakibatkan oleh gangguan pada sensorium. Gejala
primer berupa vertigo, impulsion, oscilopsia, ataxia, gejala pendengaran. Vertigo, diartikan
sebagai sensasi berputa. Vertigo dapat horizontal, vertical atau rotasi. Vertigo horizontal
merupa tipe yang paling sering, disebabkan oleh disfungsi dari telinga dalam. Jika bersamaan
dengan nistagmus, pasien biasanya merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan
dengan komponen lambat. Vertigo vertical jarang terjadi, jika sementara biasanya disebabkan
oleh BPPV. Namun jika menetap, biasanya berasal dari sentral dan disertai dengan nistagmus
dengan gerakan ke bawah atau ke atas. Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang
ditemukan. Jika sementara biasnaya disebabakan BPPV namun jika menetap disebabakan
oleh sentral dan biasanya disertai dengan rotator nistagmus.
Impulsi diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya dideskrepsikan sebagai sensais
didorong atau diangkat. Sensasi impulse mengindikasi disfungsi apparatus otolitik pada
telinga dalam atau proses sentral sinyal otolit.
Oscilopsia ilusi pergerakan dunia yang dirovokasi dengan pergerakan kepala. Pasien
dengan bilateral vestibular loss akan takut untuk membuka kedua matanya. Sedangkan
pasien dnegan unilateral vestibular loss akan mengeluh dunia seakan berputar ketika pasien
menoleh pada sisi telinga yang mengalami gangguan.
Ataksia adalah ketidakstabilan berjalan, biasnaya universal pada pasien dengan vertigo
otologik dan sentral. Gejala pendengaran biasanya berupa tinnitus, pengurangan pendengaran
atau distorsi dan sensasi penuh di telinga. Gejala sekunder meliputi mual, gejala otonom,
kelelahan, sakit kepala, dan sensiivitas visual.
Gejala nonspesifik berupa giddiness dan light headness. Istilah ini tidak terlalu
memiliki makna pada penggunaan biasanya. Jarang dignkan pada pasien dengan disfungsi
telinga namun sering digunakan pada pasien vertigo yang berhubungan dengan problem
medis.
PATOFISIOLOGI
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan
ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat kesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam
sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus
menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem
optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei
N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis. Informasi yang berguna
untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik;
reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul
kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri
akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih
lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam
keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap
lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi
tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka
proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul
gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan
dan gejala lainnya.
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian ketidakseimbangan tubuh :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi
kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan timbul vertigo,
nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai
reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau
ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan
tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang
dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan
vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal).
Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses
pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini otak
mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika pada suatu
saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah
tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru
tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga
berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi
gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin (Lucat)
yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam
mempengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan neurotransmisi
dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan
daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF
(corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan
susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala
penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi
setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan kepala dan leher serta
system cardiovascular.
Pemeriksaan Neurologik
Pemeriksaan neurologic meliputi : pemeriksaan nervus cranialis untuk mencari tanda
paralisis nervus, tuli sensorineural, nistagmus.
Nistagmus vertical 80% sensitive untuk lesi nucleus vestibular atau vermis cerebellar.
Nistagmus horizontal yang spontan dengan atau tanpa nistagmus rotator konsisten dengan
acute vestibular neuronitis.
Gait test
1. Romberg’s sign
Pasien dengan vertigo perifer memiliki gangguan keseimbangan namun masih dapat
berjalan, sedangkan pasien dengan vertigo sentral memilki instabilitas yang parah dan
seringkali tidak dapat berjalan. walaupun Romberg’s sign konsisten dengan masalah
vestibular atau propioseptif, hal ini tidak dapat dgunakan dalam mendiagnosis vertigo.
Pada sebuah studi, hanya 19% sensitive untuk gangguan vestibular dan tidak
berhubungan dengan penyebab yang lebih serius dari dizziness (tidak hanya erbatas
pada vertigo) misalnya drug related vertigo, seizure, arrhythmia, atau
cerebrovascular event.
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata
terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus
dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan
bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata
tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali
lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan
serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata
tertutup.
Gambar 5. Uji Romberg
- Dix-Hallpike manoeuvre
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-kan ke belakang dengan
cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45º di bawah garis horisontal, kemudian
kepalanya dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya
vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau
sentral.
Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode
laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau
menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral : tidak ada periode
laten, nistagmus dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi
tetap seperti semula (non-fatigue).
Gambar 4. Dix hallpike mhnuever
Test Hiperventilasi
Tes ini dilakukan jika pemeriksaan-pemeriksaan yang lain hasilnya normal. Pasien
diinstruksikan untuk bernapas kuat dan dalam 30 kali. Lalu diperiksa nistagmus dan tanyakan
pasien apakah prosedur ersebut menginduksi terjadinya vertigo. Jika pasien merasakan
vertigo tanpa nistagmus maka didiagnosis sebagai sindrom hiperventilasi. Jika nistagmus
terjadi setelah hiperventilais menandakan adanya tumor pada nervus VIII.
Tes Kalori
Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita diangkat ke belakang
(menengadah) sebanyak 60º. (Tujuannya ialah agar bejana lateral di labirin berada dalam
posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara maksimal oleh aliran konveksi
akibat endolimf). Tabung suntik berukuran 20 mL dengan ujung jarum yang dilindungi oleh
karet ukuran no 15 diisi dengan air bersuhu 30ºC (kira-kira 7º di bawah suhu badan) air
disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 mL/detik, dengan demikian gendang
telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik.
Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak nistagmus
ialah ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang dialiri (karena air yang disuntikkan
lebih dingin dari suhu badan) Arah gerak dicatat, demikian juga frekuensinya (biasanya 3-5
kali/detik) dan lamanya nistagmus berlangsung dicatat.Lamanya nistagmus berlangsung
berbeda pada tiap penderita. Biasanya antara ½ - 2 menit. Setelah istirahat 5 menit, telinga
ke-2 dites.
Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan lamanya nistagmus pada kedua
sisi, yang pada keadaan normal hampir serupa. Pada penderita sedemikian 5 mL air es
diinjeksikan ke telinga, secara lambat, sehingga lamanya injeksi berlangsung ialah 20 detik.
Pada keadaan normal hal ini akan mencetuskan nistagmus yang berlangsung 2-2,5 menit. Bila
tidak timbul nistagmus, dapat disuntikkan air es 20 mL selama 30 detik. Bila ini juga tidak
menimbulkan nistagmus, maka dapat dianggap bahwa labirin tidak berfungsi.
Tes ini memungkinkan kita menentukan apakah keadaan labirin normal hipoaktif atau
tidak berfungsi. Pemeriksaan ini juga dapat ditinjau dengan melakukan :
1. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam
gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis
secara kuantitatif.
2. Posturografi
Dalam mempertahankan keseimbangan terdapat 3 unsur yang mempunyai peranan
penting : sistem visual, vestibular, dan somatosensorik. Tes ini dilakukan dengan 6
tahap :
a. Pada tahap ini tempat berdiri penderita terfiksasi dan pandangan pun dalam
keadaan biasa (normal)
b. pandangan dihalangi (mata ditutup) dan tempat berdiri terfiksasi (serupa dengan
tes romberg)
c. pandangan melihat pemandangan yang bergoyang, dan ia berdiri pada tempat
yang terfiksasi. Dengan bergeraknya yang dipandang, maka input visus tidak
dapat digunakan sebagai patokan untuk orientasi ruangan.
d. pandangan yang dilihat biasa, namun tumpuan untuk berdiri digoyang. Dengan
bergoyangnya tempat berpijak, maka input somatosensorik dari badan bagian
bawah dapat diganggu.
e. mata ditutup dan tempat berpijak digayang.
f. pandangan melihat pemandangan yang bergoyang dan tumpuan berpijak
digoyang.
Fungsi Pendengaran
a. Tes garpu tala: Rinne, Weber, Swabach. Untuk membedakan tuli konduktif dan tuli
perseptif
b. Audiometri : Loudness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay.
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher meliputi :
1. pemeriksaan membrane timpani untuk menemukan vesikel (misalnya herpes zoster
auticus (Ramsay Hunt Syndrome)) atau kolesteaatoma.
2. Hennebert sign (vertigo atau nistagmus yangterjadi ketika mendorong tragus dan
meatus akustikus eksternus pada siis yang bermasalah) mengindikasikan fistula
perikimfatik .
3. Valsava maneuver (exhalasi dengan mulut dan hidung ditutup untuk meningkat
tekanan melawan tuba eusthacius dan telinga dalam) dapat menyebabkan vertigo pada
pasien dengan fistula perilimfatik atau dehiscence kanalis semisirkularis anterior.
Namun nilai diagnostic berdasarkan klinis ini masih terbatas.
4. Head impulses test
Pasien duduk tegak dengan mata terfiksasi pada objek sejauh 3 m dan diinstruksikan
untuk tetap melihat objek ketika pemeriksa menolehkan kepala pasien. Dimulai
dengan pemeriksa menolehkan kepala pasien ke salah satu sisi pelan-pelan setelah itu
pemeriksa menolehkan kepala pasien sisi lainnya horizontal 20 o dengan cepat. Pada
orang yang normal tidak ada saccades mengindikasikan pandangan mereka terfiksasi
di objek. Jika ada sakade setelahnya maka mengindikasikan bahwa terdapat lesi pada
vestibular perifer pada siis itu (Allen, 2008).
Gambar 8. Head impulses test
Pemeriksaan Cardiovascular
Perubahan orthostatic pada tekanan darah sistolik (misalnya turun 20 mmHg atau lebih)
dan nadi (misalnya meningkat 10 denyutan per menit) pada pasien dengan vertigo dapat
menentukan masalah dehidrasi dan disfungsi otonom.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometric, vestibular testing,
evalusi laboratories dan evalusi radiologis.
Tes audiologik tidak selalu diperlukan. Tes ini diperlukan jika pasien mengeluhkan
gangguan pendengaran. Namun jika diagnosis tidak jelas maka dapat dilakukan audiometric
pada semua pasien meskipun tidak mengelhkan gangguan pendengaran.
Vestibular testing tidak dilakukan pada semau pasieen dengan keluhan dizziness .
Vestibular testing membantu jika tidak ditemukan sebab yang jelas.
Pemeriksaan laboratories meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah, funsi thyroid
dapat menentukan etiologi vertigo pada kurang dari 1 persen pasien.
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan vertigo yang memiliki
tanda dan gejala neurologis, ada factor resiko untuk terjadinya CVA, tuli unilateral yang
progresif. MRI kepala mengevaluasi struktur dan integritas batang otak, cerebellum, dan
periventrikular white matter, dan kompleks nervus VIII.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sekitar 20-40% pasien
dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis juga dapat
ditentukan berdasarkan komplek gejala yang terdapat pada pasien.
TATA LAKSANA
Prinsip umum medikasi terapi Vertigo
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa sangat
terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan pengobatan
simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan
setelah beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan :
a. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo. Antihistamin yang dapat
meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin.
Antihistamin yang mempunyai anti vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di
susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya dengan
kemampuannya sebagai obat antivertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi
(mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini memberikan dampak
yang positif. Beberapa antihistamin yang digunakan adalah :
1. Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan sirkulasi di
telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin
ialah gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali “rash” di kulit.
- Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.
- Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi dalam
beberapa dosis.
2. Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan dengan dosis 25 mg – 50 mg (1
tablet), 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.
3. Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50
mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga diberikan parenteral. Efek samping
mengantuk.
b. Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis kalsium Cinnarizine
(Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering digunakan. Merupakan obat supresan
vestibular karena sel rambut vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun,
antagonis kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan antihistamin.
Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.
- Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi respons terhadap
akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15 – 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75
mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau konstipasi,
mulut rasa kering dan “rash” di kulit.
c. Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah). Namun tidak
semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine
(Stemetil) sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun kurang
berkhasiat terhadap vertigo.
- Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati vertigo. Lama aktivitas
obat ini ialah 4 – 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg – 25 mg (1 draze), 4 kali
sehari per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Efek samping
yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan efek samping
ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine lainnya.
- Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat dan akut. Obat ini
dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Dosis
yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi
(mengantuk).
d. Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya obat simpatomimetik
yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah efedrin.
- Efedrin
Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4 kali sehari. Khasiat
obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat anti vertigo lainnya. Efek
samping ialah insomnia, jantung berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah – gugup.
e. Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan yang diderita
yang sering menyertai gejala vertigo.efek samping seperti mulut kering dan penglihatan
menjadi kabur.
- Lorazepam
Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg
- Diazepam
Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg.
f. Obat Anti Kholinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem vestibular dan
dapat mengurangi gejala vertigo.
- Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin dan mempunyai
khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg – 0,6 mg, 3 – 4 kali sehari.
Terapi fisik
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi gangguan
keseimbangan. Namun kadang-kadang dijumpai beberapa penderita yang kemampuan
adaptasinya kurang atau tidak baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya gangguan lain
di susunan saraf pusat atau didapatkan deficit di sistem visual atau proprioseptifnya. Kadang-
kadang obat tidak banyak membantu, sehingga perlu latihan fisik vestibular. Latihan
bertujuan untuk mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri
terhadap gangguan keseimbangan.12
Tujuan latihan ialah :
1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium untuk
meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.
2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.
3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan