Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL BLOK TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN

SKENARIO I
OTITIS MEDIA SUPURATIVA KRONIS (OMSK)

OLEH: KELOMPOK 16

Anindya Nur Qurani Desrina Pungky Evi Kusumawati Karla Kalua Nisaul Amalia R. Windy Monica

(G0011026) (G0011066) (G0011088) (G0011124) (G0011150) (G0011210)

Vania Nur Amalina Adiptya Cahya M. Cakradenta Yudha Poetera Moch. Fairuz Z. Ismael

(G0011204) (G0011004) (G0011056) (G0011140) (G0011217)

Tutor: dr. Widana Primaningtyas

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013
1

BAB I

PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG Otorhinolaryngology adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan telinga (Otos), hidung (Rhinos), dan tenggorokan (Laryng). Adanya keterkaitan antara ketiga organ ini membuat mereka dijadikan satu dalam cabang ilmu kedokteran. Walaupun sering dijadikan sebagai satu kesatuan cabang ilmu, setiap organ nyatanya memiliki fungsi yang berbeda-beda. Telinga berfungsi sebagai organ auditorik dan equilibrium; hidung berfungsi sebagai organ respiratorik dan olfaktorik; dan tenggorokan berfungsi untuk respirasi, menelan, resonansi, dan artikulasi. Karena ketiga organ ini memiliki fungsi yang penting, maka dapat diperkirakan disfungsi ketiga organ ini dapat menyebabkan akibat fisiologik yang merugikan. Selain itu, letak dari ketiga organ ini yang berada di dalam atau di dekat cranium membuat kelainan anatomic mereka dapat pula menyebabkan akibat yang merugikan. Karena adanya hubungan anatomic diantara telinga, hidung, tenggorokan ini, maka kelainan pada salah satu organ dapat pula mengakibatkan permasalahan pada organ yang lainnya. Misalnya, rhinitis allergic dapat menyebabkan otitis media supurativa.

II. KASUS Aduh, telingaku bau! Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek dokter umum dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan kuning, kental, dan berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan encer, jernih, dan ada sedikit darah. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk dan pilek. Pada pemeriksaan otoskopi telingan kana didapatkan : discharge mukopurulen dan granuloma. Rhinoskopi anterior terdapat : discharge seromukous, konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan : mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan pemeriksaan penunjang.

III. TUJUAN 1. 2. 3. 4. Mengetahui anatomi telinga Mengetahui fisiologi pendengaran Mengetahui penyakit-penyakit pada auris externa, media, dan interna Mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis 5. 6. 7. Mengetahui diagnosis differensial dari kasus yang ada Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi dari kasus yang ada Memahami penatalaksanaan dari kasus yang ada

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Telinga 1. Telinga Luar (Auris Externa)

Auricula. Auricula merupakan lipatan kulit dengan cartilago yang juga ikut membentuk meatus acusticus externus. Tepi auricula yang melengkung disebut helix. Pada bagian anterior helix terdapat lengkungan disebut antihelix. Bagian superior antihelix membentuk dua buah crura antihelicis, dan bagian di kedua crura ini disebut fossa triangularis. Di depan antihelix terdapat concha, yang berseberangan dengan tonjolan kecil berbentuk segitiga tumpul yang disebut tragus. Bagian di seberang tragus disebut antitragus. Lobulus merupakan bagian daun yang terletak dibawah antihelix yang tidak mempunyai cartilago dan terdiri dari jaringan ikat dan jaringan lemak. Meatus Acusticus Externus. Meatus acusticus externus merupakan suatu struktur berbentuk S dengan panjang kirakira 2,5 cm, membentang dari concha sampai membrana
Gambar 1: Auricula (Gray, 2000)

tympani. Bagian cartilago meatus acusticus externus sedikit mengarah ke atas dan ke belakang. Penarikan auricula kearah supero-posterior, akan membuat meatus acusticus externus cenderung lurus sehingga memungkinkan terlihatnya membrana tympani pada kebanyakan liang telinga. Pada dinding meatus acusticus externus terdapat glandula sebasea dan glandula ceruminosa. Glandula ceruminosa berfungsi menghasilkan serumen yang berfungsi sebagai sistem pertahanan alami pada telinga. 2. Telinga Tengah (Auris Media)

Membrana Tympani. Membrana tympani dibentuk dari dinding lateral cavum tympani yang memisahkan meatus acusticus externus dari cavum tympani. Membrana tympani ini berbentuk oval tipis, licin dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007). Secara anatomis membrana tympani dibagi dalam dua bagian yaitu: 1. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membrana tympani merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal. 2. Pars flaccida (membrana sharpnell), letaknya di bagian atas dan lebih tipis dari pars tensa, dibatasi oleh dua lipatan yaitu plica maleolaris anterior et posterior (Dhingra, 2007).

Cavum Tympani. Cavum tympani terdiri dari tiga bagian yaitu epitympani atau atik yang terletak di tepi superior dari membrana tympani. Sejajar membran tympani adalah mesotympani dan di tepi inferior membrana tympani disebut hipotympani (Yates & Anari, 2008). Atap cavum tympani dibentuk oleh tegmen tympani yang memisahkan auris media dari fossa cranii (Dhingra, 2007). Lantai cavum tympani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan cavum tympani dari bulbus vena jugularis. Dinding medial cavum tympani memisahkan cavum tympani dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotympani menonjol kearah cavum tympani yang disebut promontorium akibat pendesakan cochlea (Dhingra, 2007). Dinding posterior cavum tympani dekat ke atap, mempunyai satu saluran disebut aditus yang menghubungkan cavum tympani dengan antrum mastoid melalui epitympani. Isi cavum tympani terdiri dari: Tulang-tulang pendengaran

(maleus, incus, stapes) Dua otot, yaitu m. tensor tympani dan m. Stapedius Syaraf chorda tympani,

merupakan cabang dari n. facialis masuk ke cavum tympani dari kanalikulus posterior yang
Gambar 2: Anatomi Telinga (A.D.A.M. Inc., 2011)

menghubungkan dinding lateral dan posterior

Syaraf plexus tympanikus adalah berasal dari n. tympanicus cabang dari n. glosofaringeus dan dengan n. caroticotympanicus di sekitar a. carotis interna (Dhingra, 2007).

Tuba Eustachius. Tuba eustachius (tuba auditori / tuba faringotympani) merupakan saluran yang menghubungkan antara cavum tympani dengan nasofaring. Tuba eustachius terdiri dari dua pars yaitu pars ossea di bagian belakang dan pendek (sepertiga bagian) dan pars cartilaginea di bagian depan dan panjang (duapertiga bagian). Fungsi tuba eustachius adalah sebagai ventilasi telinga yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara di dalam cavum tympani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari cavum tympani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke cavum tympani. 3. Telinga Dalam (Auris Interna)

Telinga dalam terdiri dari labyrinthus osseus dan labyrinthus membranaceus (Drake, et al., 2009). Labyrinthus osseus terdiri dari vestibulum, canalis semicircularis dan cochlea yang
5

berisi cairan perilimfe. Labyrinthus membranaceus terdiri dari ductus semicircularis, ductus cochlearis, utriculus dan sacculus yang berisi cairan endolimfe. Struktur dari telinga dalam membantu penyampaian informasi ke otak tentang keseimbangan dan pendengaran yaitu: Ductus cochlear sebagai organ pendengaran Ductus semisircularis, utriculus dan sacculus sebagai organ keseimbangan.

Vestibulum. Vestibulum adalah bagian pusat dari labirin tulang. Vestibulum berhubungan dengan cochlea di bagian anterior dan dengan canalis semisirkularis di bagian posterosuperior. Pada dinding lateral vestibulum terdapat fenestra ovale yang ditutupi basis os stapes beserta ligamentum anulare (Drake, et al., 2009). Canalis Semicircularis. Terdapat tiga buah canalis yaitu canalis semicircularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan belakang vestibulum. Ujung masing-masing canalis ini melebar disebut ampula dan mengandung struktur reseptor yang disebut crista ampularis dan terbuka ke vestibulum. (Barrett, 2010). Cochlea. Cochlea terletak di depan vestibulum dan berbentuk seperti rumah siput yang mengarah ke dasar dari canalis auditorius internus. Di sepanjang cochlea, membrana basilaris dan membrana Reissner membagi cochlea menjadi tiga skala. Di atas terdapat skala vestibuli dan di bawah terdapat skala tympani yang mengandung cairan perilimfe dan berhubungan satu sama lain di puncak cochlea melalui sebuah lubang terbuka yang disebut helicotrema. Di dasar cochlea, skala vestibuli berakhir pada fenestra ovale yang ditutupi oleh basis os stapes. Skala tympani berakhir pada fenestra rotundum, sebuah foramen di dinding medial dari telinga dalam. Skala media, ruang tengah cochlea, berlanjut ke labyrinthus membranaceus dan tidak berhubungan dengan kedua skala lainnya (Barrett, 2010). Sacculus dan Utriculus. Utriculus terletak di bagian belakang lekukan dinding atas vestibulum, sacculus bentuknya jauh lebih kecil tetapi strukturnya sama dan terletak di dalam lekukan bagian bawah dan di depan utriculus. Sacculus berhubungan dengan utriculus melalui suatu duktus yang sempit yang juga merupakan saluran menuju saccus endolimfatikus. Makula utriculus terletak pada bidang tegak lurus terhadap macula sacculus. Utriculus dan sacculus seluruhnya dikelilingi oleh perilimfe kecuali pada tempat masuknya saraf di daerah makula. Makula mengandung sel pendukung dan sel rambut yang serabut syarafnya bergabung dengan crista dari n. vestibularis. Ductus Semicircularis. Ductus semicircularis terletak di dalam canalis semicircularis dan mempunyai struktur yang hampir sama. Duktus Cochlearis. Duktus cochlearis atau skala media terbentuk mengikuti bentuk labyrinthus osseus cochlea berupa dua setengah sampai dua tiga perempat putaran spiral.
6

Duktus cochlearis meluas mulai dari basis cochlea sampai ke apeks cochlea kemudian akan berakhir sebagai saluran buntu pada apeks yang disebut caecum cupulare (Barrett, 2010).

II. Fisiologi Pendengaran dan Keseimbangan Proses pendengaran terjadi mengikuti alur sebagai berikut: gelombang suara mencapai membran tympani, membran tympani bergetar menyebabkan tulang-tulang pendengaran bergetar. Tulang stapes yang bergetar masuk - keluar dari foramen ovale menimbulkan getaran pada perilimfe di skala vestibuli (Sherwood, 2001). Karena luas permukaan membran tympani 22x lebih besar dari luas foramen ovale, maka terjadi penguatan 15-22 x pada foramen ovale. Membrana basilaris yang terletak dekat telinga tengah lebih pendek dan kaku, akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Hal ini dapat diibaratkan dengan senar gitar yang pendek dan tegang, akan beresonansi dengan nada tinggi. Getaran yang bernada tinggi pada perilimfe skala vestibuli akan melintasi membrana vestibularis yang terletak dekat telinga tengah. Sebaliknya nada rendah akan menggetarkan bagian membrana basilaris di daerah apeks. Getaran ini kemudian akan turun ke perilimfe skala tympani, kemudian keluar melalui foramen rotundum ke telinga tengah untuk diredam. Sewaktu membrana basilaris bergetar, rambut pada hair cells bergetar terhadap membrana tectoria, hal ini menimbulkan suatu potensial aksi yang akan berubah menjadi impuls (Rinalti, 2012). Impuls dijalarkan melalui saraf otak statoacustikus (saraf pendengaran) ke medulla oblongata kemudian ke colliculus. Persepsi auditif terjadi setelah proses sensori auditif. Sensori auditif diaktifkan oleh adanya rangsang bunyi atau suara. Persepsi auditif berkaitan dengan kemampuan otak untuk memproses dan menginterpretasikan berbagai bunyi yang didengar oleh telinga. Pengaturan keseimbangan pada telinga dalam diatur oleh aparatus vestibularis yang memberikan informasi penting untuk sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan mata dan posisi tubuh. Aparatus vetibularis terletak di dalam tulang temporalis di dekat cochlea - canalis semicircularis dan organ otolit yaitu sacculus dan utriculus. Canalis semicircularis berfungsi mendeteksi akselerasi, deselerasi rotasional atau angular. Utriculus mempunyai fungsi mendeteksi perubahan kepala menjauhi sumbu vertikal dan mengarahkan akselerasi dan deselerasi linear secara horizontal. Sedangkan sacculus mempunyai fungsi mendeteksi perubahan posisi kepala menjauhi sumbu horizontal dan mengarahkan akselerasi dan deselerasi linear secara vertikal (Sherwood, 2001).

III. Penyakit dan Kelainan Telinga 1. Kelainan Telinga Luar A. Kelainan Kongenital a. Atresia Liang Telinga dan Mikrotia

Selain liang telinga yang tidak terbentuk biasanya disertai kelainan daun telinga dan tulang pendengaran. Kelainan ini jarang disertai kelainan telinga dalam karena perkembangan embriologik yang berbeda. Atresia telinga kongenital merupakan kelainan yang jarang ditemukan penyebabnya belum diketahui dengan jelas, diduga oleh faktor genetik seperti infeksi virus atau intoksikasi bahan kimia pada kehamilan muda (Sosialisman, et al., 2007). Diagnosis hanya dengan melihat daun telinga yang tidak tumbuh dan liang telinga yang atresia saja, keadaan liang telinganya tidak mudah dievaluasi. Sebagai indikator untuk meramalkan keadaan telinga tengah adalah dengan melihat keadaan daun telinganya. Makin buruk keadaan daun telinga makin buruk pula keadaan telinga tengah. Pemeriksaan audiometrik dan radiologik sangat membantu menentukan berhasilnya rekonstruksi kelainan di telinga luar dan tengah. b. Fistula Preaurikular Fistula preaurikular terjadi ketika pembentukan daun telinga dalam masa embrio yang merupakan kelainan herediter yang dominan (Sosialisman, et al., 2007). Fistula dapat ditemukan di depan tragus atau disekitarnya, dan sering terinfeksi. Pada keadaan tenang tampak muara fistula berbentuk bulat atau lonjong, berukuran seujung pensil. Dari muara fistula sering keluar sekret yang berasal dari kelenjar sebasea. Biasanya pasien berobat karena terdapat obstruksi dan infeksi fistula, sehingga terjadi pioderma atau selulitis fasial. Dengan memasukkan biru metilen kedalam muara fistula dapat diduga panjang fistula. Cara ini dipakai pada aktu melakukan operasi. Cara lain adalah dengan fistulografi, yaitu dengan memasukkan zat kontras kedalam muara fistula, lalu dilakukan pemeriksaan radiologik. c. Loop Ear (Bats Ear)

Kelainan ini merupakan kelainan kongenital yaitu bentuk abnormal daun telinga. Tampak daun telinga lebih lebar dan lebih berdiri. Secara fisiologik tidak terdapat gangguan pendengaran tetapi dapat menyebabkan gangguan psikis. B. Kelainan Daun Telinga a. Hematoma

Hematoma daun telinga disebabkan oleh trauma, sehingga terdapat penumpukan bekuan darah diantara perikondrium dan tulang rawan. Bila bekuan darah ini tidak
8

dikeluarkan dapat terjadi pemadatan dan kemudian menjadi permanen. Cara mengeluarkan bekuan darah itu ialah dengan melakukan insisi secara steril. b. Perikondritis Radang cartilago daun telinga terjadi karena trauma, pasca operasi telinga (mastoiditis) dan sebagai komplikasi pseudokista. Pengobatan dengan antibiotik sering gagal. Dapat terjadi komplikasi, yaitu tulang rawan hancur dan menciut serta keriput, sehingga terjadi telinga lisut (cauliflower ear). c. Pseudokista

Pada kelainan ini terdapat cairan kekuningan diantara tulang rawan daun telinga dan perikondrium. Pasien tidak merasakan nyeri, datang ke dokter karena ada benjolan di daun telinga yang tidak diketahui penyebabnya. Sebagai terapi dilakukan pungsi secara steril, kemudian dilakukan balut tekan atau dengan gips selama seminggu supaya perikondrium melekat pada tulang rawan (Sosialisman, et al., 2007). C. Kelainan Liang Telinga a. Serumen

Sumbatan serumen adalah gangguan pendengaran yang timbul akibat penumpukan serumen di liang telinga dan menyebabkan rasa tertekan yang mengganggu. Faktor predisposisi terjadinya kelainan ini diantaranya dermatitis kronik liang telinga luar, liang telinga sempit, produksi serumen banyak dan kental, adanya benda asing di liang telinga, eksostosis di liang telinga, terdorongnya serumen oleh jari tangan atau ujung handuk setelah mandi, atau kebiasaan mengorek telinga (Sosialisman, et al., 2007). Penderita akan mengeluh pendengaran berkurang, rasa nyeri apabila serumen keras dan membatu dan menekan dinding liang telinga, serta tinitus dan vertigo bila serumen menekan membran tympani. Pengeluaran serumen harus dilakukan dalam kedaan terlihat jelas. Bila serumen cair, maka dibersihkan dengan mempergunakan kapas yang dililitkan pada pelilit kapas. Bila serumen terlalu dalam, sehingga mendekati membran timpani, dilakukan irigasi telinga dengan air yang suhunya sesuai dengan suhu tubuh agar tidak timbul vertigo kecuali terdapat riwayat perforasi. b. Otitis Eksterna Akut 1. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel / Bisul)

Infeksi oleh kuman pada kulit di sepertiga luar liang telinga yang mengandung adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar serumen sehingga membentuk furunkel. Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus
9

aureus atau Staphylococcus albus. Penderita mengeluh rasa nyeri yang hebat, apalagi bila daun telinga disentuh atau dipegang, gangguan pendengaran bila furunkel besar dan menyumbat liang telinga, bahkan liang telinga tampak bengkak pada tempat tertentu (Sosialisman, et al., 2007). 2. Otitis Eksterna Difus

Dapat terjadi sekunder pada Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau Otitis Media Akut (OMA). Biasanya disebabkan oleh Pseudomonas, Staphylococcus albus, E.coli, dan Enterobacter aerogenes. Gejala sama denga Otitis Media sirkumskripta. Tampak 2/3 dalam liang telinga sempit, hiperemis, dan edema tanpa batas yang jelas, serta tidak ditemukan furunkel. Kadang terdapat sekret berbau tidak mengandung lendir dan dapat disertai demam dan pembesaran kelenjar getah bening regional 3. Otitis Eksterna Maligna

Adalah tipe khusus dari infeksi akut difus di liang telinga luar berupa peradangan yang meluas secara progresif ke lapisan subkutis dan organ sekitar yang disebabkan oleh Pseudomonas (Sosialisman, et al., 2007). Sering terjadi pada penderita dengan riwayat DM dalam keluarga khususnya orang tua. Gejalanya berupa rasa gatal di liang telinga, unilateral, diikuti nyeri hebat dan sekret yang banyak serta pembengkakan liang telinga. Nyeri akan menghebat dan liang telinga tertutup jaringan granulasi yang subur. c. Otitis Eksterna Kronik 1. Otomikosis (Otitis Eksterna Difus Kronik)

Disebabkan oleh jamur di liang telinga yang dipermudah kelembaban yang tinggi di daerah tersebut. Yang tersering jamur Aspergillus niger. Dapat juga Pityrosporum, aktinomises atau Candida albicans (Sosialisman, et al., 2007). Gejalanya berupa rasa gatal dan tersumbat di liang telinga. Pada pemeriksaan tampak liang telinga terisi oleh filamen jamur berwarna keputihan. Seringkali juga terjadi infeksi oleh bakteri akibat trauma mengorek liang telinga. d. Keratosis Obliterans dan Kolesteatom Eksterna Keratosis obliterans adalah kelainan yang jarang terjadi. Biasanya secara kebetulan dijumpai pada pasien dengan rasa penuh ditelinga. Penyakit ini ditandai dengan penumpukan deskuamasi epidermis di liang telinga, sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta kurang pendengaran (Sosialisman, et al., 2007). Bila tidak ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi kulit dan bagian tulang liang telinga (kolesteatoma eksterna) yang biasanya disertai rasa nyeri hebat
10

akibat peradangan setempat. Erosi bagian tulang liang telinga dapat sangat progresif memasuki rongga mastoid dan cavum timpani. 2. Kelainan Telinga Tengah

Terdapat beberapa kelainan yang bisa kita temukan di telinga tengah, seperti gangguan fungsi tuba eustachius, barotrauma (aerotitis), otitis media, otosklerosis, dll. Namun dalam blog ini hanya akan di bahas otitis media karena kelainan inilah yang paling sering ditemukan di klinik. Otitis Media Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. A. Otitis Media Supuratif a. Otitis Media Supuratif Akut (OMSA)

Otitis Media Supuratif Akut (OMSA) adalah otitis media yang berlangsung selama 3 minggu atau kurang karena infeksi bakteri piogenik. Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim, dan antibodi. Otitis media akut terjadi karena pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor utama dari otitis media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Dikatakan juga, pencetus terjadinya OMSA adalah infeksi saluran napas atas. Kuman penyebab utama ialah bakteri piogenik, seperti Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokkus. Selain itu kadang ditemukan juga hemofilus influenza, Escheria coli, Streptokokus anhemolitikus (Departemen Kesehatan RI, 2007). Stadium 1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Tanda adanya oklusi tuba eustachius adalah gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, karena adanya absorbsi udara. Hal ini diakibatkan oleh adanya radang di mukosa hidung dan nasofaring karena infeksi saluran napas atas berlanjut ke mukosa tuba eustachius. Akibatnya mukosa tuba eustachius mengalami edema yang akan menyempitkan lumen tuba eustachius. Kadang-kadang membran timpani tampak normal, atau berwarna keruh (pucat). Keluhan yang dirasakan : telinga terasa penuh (seperti kemasukan air), pendengaran terganggu, nyeri pada telinga (otalgia), tinnitus. Pada pemeriksaan
11

otoskopi didapat gambaran membran timpani berubah menjadi retraksi / tertarik ke medial dengan tanda-tanda lebih cekung, brevis lebih menonjol, manubrium mallei lebih horizontal dan lebih pendek, plika anterior tidak tampak lagi, dan refleks cahaya hilang atau berubah (memendek). 2. Stadium Hiperemis (Pre Supurasi)

Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani. Seluruh mukosa membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat. 3. Stadium Supurasi (Bombans)

Edem yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, terbentuk eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah berat. Apabila tekanan di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke liang telinga luar. Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali. 4. Stadium Perforasi

Tekanan yang tinggi pada cavum timpani akibat kumpulan mucous dapat menimbilkan perforasi pada membran timpani. Terlambatnya pemberian antibiotik atau virulensi kuman yang tinggi dapat mengakibatkan terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Keluhan yang dirasakan sudah banyak berkurang (karena tekanan di kavum timpani berkurang), keluar cairan di telinga, penurunan pendengaran, keluhan infeksi saluran napas atas masih dirasakan. Pada pemeriksaan otoskopi meatus eksternus masih didapati banyak mukopus dan setelah dibersihkan akan tampak membran timpani yang hiperemis dan perforasi paling sering terletak di sentral. 5. Stadium Resolusi

Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan akan kembali normal. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan
12

akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walau tanpa pengobatan. b. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) OMSK adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari liang telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin kental, bening, atau berupa nanah. Beberapa faktor yang menyebabkan OMSA menjadi OMSK antara lain : terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk. OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa (Mansjoer, 2001). Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba eustachius. a. Berdasarkan letak perforasi di membran timpani, OMSK terbagi atas : Perforasi sentral: perforasi terdapat di pars tensa (tengah) membran timpani. Bisa antero-inferior, postero-inferior, dan postero-superior, kadang-kadang sub total. Sedangkan di seluruh tepi perforasi masih ada membran timpani. Perforasi marginal: sebagian dari tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus timpanikum. Referensi lain menuliskan perforasi marginal merupakan perforasi pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus. b. Perforasi atik: perforasi yang terletak di pars flasida.

Berdasarkan jenis serangan, OMSK terbagi atas: OMSK tipe benigna (= tipe mukosa = tipe jinak = tipe aman): Proses peradangan terbatas pada mukosa, biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral (pars tensa) yang umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya serta tidak terdapat kolesteatom OMSK tipe maligna ( = tipe tulang = tipe ganas = tipe bahaya): OMSK yang disertai dengan kolesteatom dengan perforasi terletak di marginal atau atik. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe maligna

c.

Berdasarkan aktivitas sekret, OMSK terbagi atas : OMSK aktif: OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif.
13

OMSK tenang: OMSK dengan keadaan kavum timpani yang terlihat basah atau kering.

Etiologi (Penyebab) Lingkungan Genetik Otitis media sebelumnya Infeksi saluran napas atas Autoimun Alergi Gangguan fungsi tuba eustachius

Gejala Klinis 1. Telinga berair (otore)

Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe jinak (tipe benigna), cairan yang keluar berupa mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Pada OMSK tipe ganas (tipe maligna) unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret berbentuk nanah dan berbau busuk (aroma kolesteatom). Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan adanya kolesteatom yang mendasarinya. Pada OMSK tipe inaktif (tipe tenang) tidak dijumpai adanya sekret telinga. 2. Gangguan pendengaran

Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapatkan tuli konduktif berat. 3. Otalgia (nyeri telinga)

Keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Namun bila OMSK telah berlangsung lama, biasanya penderita sudah tidak merasakan nyeri telinga lagi. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya duramater atau dinding sinus lateralis, atau ancaman terbentuknya abses otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis, abses subperiosteal, atau trombosis sinus lateralis.

14

4.

Vertigo

Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada penderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perubahan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan menyebabkan keluhan vertigo. Keluhan vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebellum. B. Otitis Media Non Supuratif (Otitis Media Serosa) Sinonim: otitis media serosa, otitis media musinosa, otitis media efusi, otitis media sekretoria, otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret nonpurulen di telinga tengah, sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan di telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat atau plasma yang mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik. Pada Otitis media mukoid, cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba eustachius, dan rongga mastoid. Otitis media serosa / otitis media sekretoria / otitis media mukoid / otitis media efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum timpani dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut berbentuk pus, disertai tanda-tanda radang maka disebut otitis media akut (OMA). Otitis media serosa dibagi 2 jenis: otitis media serosa akut dan otitis media serosa kronik (glue ear) a. Otitis Media Serosa Akut

Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain: Sumbatan tuba, dimana terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan oleh tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti pada barotrauma. Virus, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan infeksi virus pada jalan napas atas. Alergi, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan keadaan alergi pada jalan napas atas.

15

Gejala Klinis Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya pendengaran berkurang. Rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda pada telinga yang sakit (diplacusis binauralis). Kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga pada saat posisi kepala berubah. Rasa sedikit nyeri dalam telinga dapat terjadi pada saat awal tuba terganggu, yang menyebabkan timbul tekanan negatif pada telinga tengah (misalnya pada barotrauma), tetapi setelah sekret terbentuk tekanan negatif ini pelan-pelan hilang. Rasa nyeri dalam telinga tidak pernah ada bila penyebab timbulnya sekret adalah virus atau alergi. Tinitus, vertigo, atau pusing kadang-kadang ada dalam bentuk yang ringan.

b. Otitis Media Serosa Kronik (Glue Ear) Batasan antara kondisi otitis media serosa akut dengan otitis media serosa kronik hanya pada cara terbentuknya sekret. Pada otitis media serosa akut, sekret terbentuk secara tiba-tiba di telinga tengah dengan disertai rasa nyeri pada telinga. Pada otitis media serosa kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama. Otitis media serosa kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa. Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem, maka disebut glue ear. Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media akut (OMA) yang tidak sembuh sempurna. Penyebab lain diperkirakan adanya hubungan infeksi virus, keadaan alergi, atau gangguan mekanis pada tuba. Gejala klinik: Perasaan tuli pada otitis media serosa kronik lebih menonjol (40-50 dB), oleh karena sekret kental atau glue ear. Pada otoskopi terlihat membran timpani utuh, retraksi, suram, kuning kemerahan, atau keabu-abuan. 3. Kelainan Telinga Dalam Otitis Interna (Otosklerosis) Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami spongiosis di daerah kaki stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin dengan baik . Manifestasi baru timbul bila penyakit sudah cukup luas mengenai ligament annulus konduktif dan dapat terjadi tuli campur atau tuli saraf bila penyakit
16

telah menyebar ke koklea. Penyabab penyakit ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan beberapa factor ikut sebagai penyabab seperti, faktor keturunan dan gangguan pendarahan pada stapes. Gejala berupa pendengaran terasa kurang secara progresif. Kelhan ini paling sering adalah tinitus dan kadang vertigo, sebagian besar pasien datang disebabkan karena gangguan tinnitus dan ketulian mencapai 30 - 40 dB. Penyakit ini lebih sering terjadi bilateral dan perempuan lebih banyak dari lelaki, umur pasien antara 11 - 45 tahun. Pada pemeriksaan ditemukan membran timpani utuh, normal atau dalam batas normal. Tuba biasanya paten dan tidak terdapat riwayat penyakit telinga atau trauma kepala atau telinga sebelumnya. Kemungkinan terlihat gambaran membranna timpani yang kemerahan oleh karena pelebaran pembuluh darah promontium (schwartes sign). Pasien merasa pendengaran terdengar lebih baik dalam ruangan bising (paracusis willisii). Pengobatan penyakit ini adalah operasi stapedektomi atau stapedotomi, yaitu stapes diganti dengan bahan protesis. Operasi ini merupakan salah satu operasi bedah mikro yang sangat rumit dalam bidang THT. Pada kasus yang tidak dapat dioperasi, alat bantu dengar (ABD) dapat sementara membantu pendengaran pasien (Djaafar, et al., 2007).

IV. Pemeriksaan Penunjang Pada Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) 1. Pemeriksaan Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi ini dilakukan dengan mengambil sampel discharge dari pasien, dan hal ini untuk mengetahui karakteristik dari bakteri penyebab yang selanjutnya untuk menentukan antibiotik yang akan diberikan kepada pasien. Karakteristik dari bakteri ini diketahui melalui morfologinya, karakteristik dari hasil pemeriksaan kultur, dan hasil reaksi pemeriksaan biokimia yang dilakukan dengan teknik yang standar. a. Pemeriksaan Langsung

Pemeriksaan langsung ini menggunakan metode pengecatan bakteri Gram. Pemeriksaan pengecatan bakteri Gram untuk mengetahui morfologi bakteri, ada tidaknya sel inflamasi, dan ada tidaknya sel epitel squamous pada sampel (Shyamala, et al., 2012). b. Pemeriksaan Kultur Bakteri (Aerobik) Media kultur yang digunakan antara lain Mac Conkey, agar darah, agar coklat, agar nutrisi untuk mengisolasi organisme. Untuk media McConkey dan agar darah

diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37C, untuk mengetahui pertumbuhan dari coloni. Sedangkan untuk pemeriksaan dengan agar coklat dilakukan inkubasi selama 48 jam dengan suhu 37C (Shyamala, et al., 2012).

17

c.

Uji Reaksi Biokimia

Dalam pemeriksaan bertujuan mengetahui sifat bakteri dari hasil reaksi fermentasi, apakah bakteri tersebut meragi glukosa, laktosa, sukrosa maltosa atau mannitol. Uji reaksi biokimia yang dilakukan antara lain reaksi indol, methyl merah, VogesProskaver, sitrat, dan urease. Semua pemeriksaan fermentasi gula dan biokimia dilakukan dari pembuatan sukultur dari koloni yang diisolasi dari media isolasi primer. Semua subkultur diinkubasi sebelum membuat uji fermentasi dan uji biokimia. Setelah subkultur mencapai derajat 3 kekeruhan MC Farland, kemudian dapat dilakukan uji fermentasi gula dan biokima yang kemudian diinkubasi dengan suhu 37C selama 24 48 jam (Shyamala, et al., 2012). d. Uji Sensitivitas Media yang digunakan adalah disk Kirby Bauer. Antibiotik yang digunakan dalam uji sensitivitas antara lain; Amoxicillin, Cephexime, Cephtazidine, Ciprofloxacin, Chloramphenicol, Sporfloxacin, Amoxiclav, Ampicillin, Cefaperazone with Sulbactum, Penicillin, Cefataxime, Oxacillin,

Erythromycin,

Vancomycin,

Cephaxoline, Azithromycin (Shyamala, et al., 2012). 2. CT Scan dan MRI

Jika kolesteatoma atau komplikasi lain (seperti pada pasien demam atau pasien dengan vertigo atau otalgia, CT scan dan MRI dapat dilakukan. Tes ini dapat memberi informasi adanya proses intratemporal atau intracranial seperti labirintitis, erosi ossicular atau temporal, dan abses (Wiranita, 2010). 3. Pemeriksaan Audiometri

Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran suara di telinga tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang secara temporer / permanen yang pada fase awal terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan (audiometri atau test berbisik) (Premraj, 2011).

18

V. Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Prinsip penanganan OMSK tipe amam ialah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Secara oral diberikan antibiotika golongan ampisilin, atau eritromisin (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat. Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timbanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran. Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu, mungkin juga perlu melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi. Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembedahan, yaitu mestoidektomi. Bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timbanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi. Jenis Pembedahan Pada OMSK 1. Matoidektomi Sederhana

Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan mastoid dari jaringan patologik. Tujuannya ialah supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidap diperbaiki (Rusmarjono & Soepardi, 2007). 2. Mastoidektomi Radikal Operasi ini dilakukan pada OMSK bahaya dengan infeksi atau kolesteatoma yang sudah meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah dan mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan. Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Kerugian operasi ini ialah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur hidupnya. Pasien harus datang secara teratur untuk kontrol, supaya tidak terjadi infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali, sehingga dapat
19

menghambat pendidikan atau karier pasien. Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga operasi serta membuat meatoplasti yang lebar, sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus liang telinga luar menjadi lebar (Rusmarjono & Soepardi, 2007). 3. Mastoidektomi Radikal Dengan Modifikasi (Operasi Bondy)

Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatoma di daerah atik, tetapi belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior liang telinga direndahkan. Tujuan operasi ialah untuk membuang semua jaringan patologik dari rongga mastoid, dan mempertahankan pendengaran masih ada (Rusmarjono & Soepardi, 2007). 4. Miringoplasti

Operasi ini merupakan jenis timbanoplasti yang paling ringan, dikenal juga dengan timbanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya dilakukan pada membran timpani. Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada OMSK tipe aman dengan perforasi yang menetap. Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran timpani (Rusmarjono & Soepardi, 2007). 5. Timbanoplasti

Operasi ini dikerjakan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran. Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali harus dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukan maka dikenal istilah timbanoplasti tipe I, II, III, IV, dan V. Sebelum rekonstruksi dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak jarang pula operasi ini terpaksa dilakukan dua tahap dengan jarak waktu 6 s/d 12 bulan (Rusmarjono & Soepardi, 2007). 6. Timbanoplasti Dengan Pendekatan Ganda (Combined Approach Tympanoplasty)

Operasi ini merupakan teknik operasi timbanoplasti yang dikerjakan pada kasus OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang telinga). Membersihkan kolesteatoma dan jaringan granulasi di kavum timpani, dikerjakan melalui dua jalan (combined approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Teknik operasi ini pada OMSK tipe bahaya belum disepakati para
20

ahli, oleh karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali (Rusmarjono & Soepardi, 2007).

VI. Diagnosa Banding C. Rhinitis Alergi Rinitis alergi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan reaksi alergi pada mukosa hidung, dapat terjadi secara bertahun-tahun atau musiman (Dorland, 2002). Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen. Hipersensitifitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik, dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu (Adams & Highler, t.thn.). Reaksi alergi terjadi bilamana suatu antigen terhadap pasien sudah mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung : reseptor histamin H1, adrenoreseptor-, adrenoseptor-2, kolinoseptor, reseptor histamin H2 dan reseptor iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah reseptor histamin H1 yang apabila terangsang oleh histamin akan meningkatkan tahanan jalan napas hidung, menyebabkan bersin, gatal dan rinore. Klasifikasi dari rhinitis alergi yang terbaru dari WHO dilihat dari segi frekuensi dan durasi dari gejalanya, yaitu: A. Intermitten: apabila gejala rinitis alergi < 4 hari / minggu atau 4 minggu berturut-turut. B. Persisten: apabila gejala rhinitis alergi > 4 hari / minggu dan > 4 minggu berturut-turut. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : o o o o Alergen inhalan, masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya tungau debu rumah Alergen ingestan, masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur, dll. Alergen injektan, masuk melalui suntikan maupun tusukan, misal suntik penisilin atau sengatan lebah. Alergen kontaktan, masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan. Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi terhadap alergen. Sel penyaji yaitu makrofag atau monosit akan menangkap alergen dan membentuk komplek peptida MHC kelas II yang akan dipresentasikan kepada T helper untuk kemudian sel penyaji menghasilkan sitokin-sitokin. Beberapa sitokin, yaitu IL 4 dan IL 13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga dapat aktif dan menghasilkan imunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi akan ditangkap oleh reseptor mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi. Apabila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka igE akan
21

mengikat alergen tersebut, diikuti dengan degranulasi sel mastosit dan basofil, yang menyebabkan terlepasnya mediator kimia seperti histamin, prosraglandin, leukotrien, bradikinin, PAF, dan sitokin. Ini disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal dan bersin-bersin. Selain itu histamin juga menyebabkan rinore akibat hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet. Hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Sedangkan pada Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL), terjadi penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi serta peningkatan sitokin, sehingga apabila pada fase ini terjadi iritasi non spesifik dapat memperberat gejala yang ditimbulkan. Pemeriksaan fisik Rinitis alergi dapat terjadi pada semua usia, baik anak-anak maupun dewasa. Biasanya pada anak-anak yang terjadi adalah rhinitis alergi yang kronis. Gambaran klinis yang terjadi biasanya kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, dan postnasal drip. Pada anak-anak sering ditandai dengan menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan uji klinis alergi untuk mengetahui jenis alergen apa yang diderita oleh pasien. Terdapat uji in vitro yaitu menghitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik menggunakan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA ( Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).Selain itu juga terdapat pemeriksaan in vivo untuk mencari alergen penyebab dengan menggunakan cara pemeriksaan test cukit kulit. Untuk alergi makanan dapat dilakukan uji Intracutaneus Provocative Dillutional Food Test. Penatalaksanaan Terapi yang dilaksanakan yang pertama adalah eliminasi alergen yang dapat menyebabkan pasien menderita alergi. Sedangkan medikamentosa dapat diberikan antihistamin yang merupakan inhibitor kompetitif pada reseptor histamin H1. Antihistamin dibagi menjadi dua golongan yaitu generasi 1 yang klasik seperti difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, atau siprometadin, dan generasi 2 yang non sedatif seperti loratadin, setirisin, serta desloratadin. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Preparat kortikosteroid dipilih apabila sumbatan hidung akibat respon fase lambat yang tidak dspat diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal seperti budesonid atau biklometason (Alyasin & Amin, 2007).
22

D. Polip Hidung Polip hidung sering dihubungkan dengan alergi hidung. Dapat terjadi pada anak-anak namun lebih sering ditemukan pada orang dewasa. Karena menyumbat jalan napas, polip seringkali dirasa sangat mengganggu. Apabila lesi tersebut jinak dapat dilakukan pengangkatan lesi. Pasien harus diperingatkan apabila lesi dapat tumbuh kembali apabila terpapar alergen kembali (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Patofisiologi Terdapat beberapa teori tentang timbulnya polip hidung. Salah satu teori mengatakan apabila terjadi ketidakseimbangan saraf vasomotor akan meningkatkan permeabilitas kapiler da gangguan regulasi vaskuler yang menyebabkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast yang akan menyebabkan edema, lama-lama menjadi polip. Bila proses makin berlanjut mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai. Polip umumnya berasal dari penonjolan keluar dari mukosa yang menutup sinus maksillaris atau ethmoidalis. Pembesaran mukosa tersebut membentuk massa bundar, lunak, basah, seringkali gelatinosa, dan terkadang seperti berdaging, seperti kantung yang terisi serum yang melekat pada suatu pedikel sempit yang semakin panjang, menjulur melalui sinus, melalui ostium, sampai ke rongga hidung. Anamnesis Keluhan utama penderita polip adalah hidung terasa tersumbat dari ringan hingga berat. Rinorea mulai jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Bila terdapat infeksi sekunder mungkin terjadi postnasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder dapat timbul ialah bernafas melalui mulut maupun suara sengau, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Pemeriksaan Fisik Polip umumnya berwarna kekuningan atau biru keabuan, namun kadang-kadang menjadi merah akibat iritasi lokal atau infeksi sekunder. Pembagian stadium polip stadium 1 yaitu polip masih terbatas di meatus medius, stadium 2 yaitu polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3 yaitu polip yang masif. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi berupa foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas air dan udara pada sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer sangat bermanfaat pada kasus polip untuk melihat keadaan sinus paranasal apzkah ada peradangan, kelainan anatomis maupun polip itu sendiri. Pemeriksaan nasoendoskopi sangat membantu

23

diagnosis kasus polip yang baru, biasanya tidak dapat terlihat melalui pemeriksaan rinoskopi anterior. Penatalaksanaan Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat dilakukan dengan cara topikal maupun sistemik. Apabila kasus polip tidak membaik maka dapat dilakukan dengan terapi bedah polipektomi. Sebelum polipektomi hidung dilakukan, perlu diberikan pramedikasi dan anastesia lokal yang memadai. Kawat pengait kemudian dilingkarkan pada tangkai polip tanpa perlu diikatkan erat-erat, kemudian polip dengan tangkai dan dasar pedikel seluruhnya ditarik bersamaan.

VII. Komplikasi Otitis Media Akut Apabila tidak diobati secara adekuat, maka akan mengakibatkan komplikasi berupa abses periosteal sampai meningitis serta abses otak. Namun dengan pemberian antibiotik yang tepat akan mencegah komplikasi diatas. Otitis Media Supuratif Kronis Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya yang dapat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Tendensi otitis media mendaptkan komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore. Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan suatu komplikasi. Komplikasi OMSK antara lain perforasi membrane tympani, erosi tulang pendengaran, paralisis nervus facialis, fistula labyrinth, labirintis supuratif, tuli saraf sensoneural, abses ekstradural, trombosis sinus lateralis, meningitis, abses otak dan hidrocefalus otitis (Helmi, et al., 2007). Rinitis Alergi Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: 1. Polip hidung. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasal. Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung sehingga menghambat drainase (Irawati, et al., 2001). Polip Hidung
24

Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi, tapi dalam ukuran besar atau dalam jumlah banyak (polyposis) dapat mengarah pada akut atau infeksi sinusitis kronis, mengorok dan bahkan sleep apnea kondisi serius nafas dimana akan stop dan start bernafas beberapa kali selama tidur. Dalam kondisi parah, akan mengubah bentuk wajah dan penyebab penglihatan ganda / berbayang. Selain itu juga dapat menyebabkan komplikasi intrakranial, seperti meningitis dan radang otak.

25

BAB III

PEMBAHASAN
Dari kasus dalam skenario, didapatkan beberapa keluhan yang dikemukakan pasien. Keluhan pada telinga meliputi : a. Keluarnya cairan kuning, kental, dan berbau busuk pada telinga kanan (Otorrhea). Satu tahun lalu keluar cairan encer, jernih, dan sedikit darah. Normalnya, terdapat pembatas antara meatus auditus externus pada auris externa dengan cavum timpani pada auris media, yaitu membrane timpani. Pembatasan ini mengakibatkan komponen yang terdapat dalam auris externa tidak dapat masuk ke dalam auris media, begitu pula sebaliknya. Namun, pada kasus ini telah terjadi rupture membran timpani yang ditandai dengan keluarnya cairan kuning, kental, dan berbau busuk yang merupakan tanda terjadinya rupture membrane timpani. Mekanisme hingga terjadinya rupture dalam kasus ini : 1. Berawal dari tersumbatnya tuba auditiva eustachii karena alergi dan infeksi yang terus menerus sehingga system pertahanan yang 2. Terjadi oklusi tuba auditiva eustachii, mengakibatkan disfungsi tuba sebagai ventilator (penyeimbang tekanan antara cavum timpani dengan dunia luar) dan menyebabkan teradinya perbedaan tekanan ke arah negative dalam cavum timpani dari dunia luar dan berakibat pada retraksi membrane timpani (terjadi absorbsi udara keluar). 3. Adanya allergen dan infeksi ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi pada pembuluh darah sekitar membrane timpani sebagai respon inflamasi. Hal ini membuat membrane hiperemis dan edem serta mengakibatkan keluarnya cairan serous (berasal dari sel epitel kelenjar) dan sedikit darah, seperti riwayat keluhan pasien 1 tahun yang lalu. 4. Edem yang semakin bertambah dan diperparah dengan terbentuknya eksudat yang mukopurulen dalam cavum timpani yang terus menerus mengakibatkan membrane timpani menonjol (bulging). Adapun cairan mucous berasal dari sel goblet, dan cairan purulen akibat dari adanya respon inflamasi akibat infeksi kronis. 5. Membrane timpani yang bulging tidak dapat mengkompensasi lagi penambahan volume cairan mukopurulen (cairan kuning, kental, berbau busuk) dalam cavum timpani, sehingga akhirnya rupture. b. Telinga berdenging sehingga terjadi gangguan pendengaran

Karena adanya penambahan volume cairan mukopurulen pada cavum timpani, mengakibatkan pendesakan tidak hanya terjadi ke auris externa, tetapi juga auris interna. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan tinnitus. Gangguan pendengaran dan tinnitus dapat pula disebabkan karena mikroorganisme (bakteri) telah menginvaasi hingga ke auris interna dan
26

mengganggu organ auditorik (cochlea) beserta sarafnya. Selain itu, tinnitus juga dihubungkan dengan gangguan konduksi suara akibat adanya cairan berlebih pada auris media. c. Kepala pusing Pemakaian kata pusing dalam bahasa Indonesia sangat luas pemakaiannya, karena dapat merujuk pada pusing berputar (vertigo) maupun pusing tidak berputar (pening/cephalgia), sehingga dapat membingungkan apabila tidak dilakukan anamnesis secara mendetil. Pada kasus skenario, apabila pusing yang dimaksud adalah vertigo, maka dapat diduga telah terjadi gangguan pada system vestibuler yang berfungsi untuk keseimbangan. Sistem vestibuler sangat sensitive terhadap perubahan konsentrasi oksigen darah, oleh karena itu perubahan aliran darah dapat menimbulkan vertigo. Perubahan aliran darah pada kasus ini mungkin disebabkan karena adanya respon inflamasi yang membuat pemenuhan kebutuhan tubuh di daerah yang mengalami peradangan. Selain itu mungkin juga disebabkan karena invasi mikroorganisme ke dalam organ equilibrium (vestibuler dan kanalis semisirkularis). Biasanya gejala vertigo disertai dengan rasa mual dan muntah. Namun, apabila pusing yang dimaksud adalah cephalgia, dapat diduga gangguan tidak sampai kepada system vestibuler. Karena auris media terletak pada os temporal yang juga merupakan bagian dari cranium, maka perubahan tekanan intratimpani (atau dapat pula disebutkan perubahan tekanan intracranial) dapat mengakibatkan cephalgia. Selain itu, cephalgia juga dapat disebabkan oleh invasi mikroorganisme ke dalam cavum cranii. d. Pilek disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri jika terpapar debu. Respon hipersensitivitas I (alergi) terhadap allergen menjadi penyebab tersumbatnya tuba auditiva eustachii. Allergen pada kasus ini adalah debu. Hal ini diketahui dari riwayat penyakit yang relapse setiap kali pilek atau batuk. Pilek ini terjadi setiap kali terpapar debu, menandakan adanya rhinitis allergic yang dialami pasien dengan debu sebagai allergennya. Pilek merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh terhadap benda asing (debu) oleh mucous blanket yang dapat menyebabkan penyumbatan pada hidung apabila terus menerus terpapar pada benda asing atau apabila pasien memang memiliki hipersensitivitas terhadap benda asing tersebut, walaupun terpapar dalam jumlah yang sedikit. Sumbatan pada hidung ini umumnya bersifat bilateral, bergantian kanan dan kiri. Sumbatan unilateral pada hidung justru mengarah kepada kelainan kongenital seperti deviasi septum bahkan kemungkinan adanya benda asing ataupun massa. Sementara itu, batuk merupakan refleks tenggorokan untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam respiratory tract (pada keadaan tidak sedang makan, oesophagus beada dalam kondisi tertutup). Refleks batuk ini dibawa oleh nervus vagus. Dalam kasus ini, pasien mengalami hipersensitivitas terhadap debu yang berawal dari hidung ( Rhinitis Allergic) dan berkomplikasi pada obstruksi tuba auditiva. Obstruksi tuba auditiva yang berkepanjangan mengakibatkan fungsi ventilasi tuba terganggu dan selain itu juga mengakibatkan disfungsi
27

system imun yang terdapat dalam tuba yang mengakibatkan mudahnya invasi benda asing ke dalam auris media. Selain itu obstruksi tuba yang berkepanjangan mengakibatkan cavum timpani menjadi lembab dan menjadi habitat nyaman bagi mikroorganisme. Invasi benda asing ke dalam auris media mengakibatkan peradangan pada auris media ( Otitis media). Karena bersifat purulen dan kronis (lebih dari 2 bulan), keadaannya disebut Otitis media supurativa kronis (OMSK). e. Interpretasi dari hasil pemeriksaan. 1. Otoskopi auris dextra Discharge mukopurulen : campuran antara cairan mucous (cairan tebal, kental seperti gel, mengandung glycoprotein, hasil dari produksi sel goblet) dan purulen (cairan pus yang mengandung leukosit, jaringan nekrotik, dan bakteri; merupakan tanda terjadinya infeksi). Discharge ini berasal dari auris media yang dapat keluar akibat adanya perforasi membrane timpani. Granuloma: Menandakan terjadinya respon peradangan. Terlihatnya jaringan granulasi (granuloma) yang terlihat ketika otoskopi merupakan tanda klinik dari otitis media supurativa kronis tipe maligna. 2. Rhinoskopi anterior 3. Discharge seromukous: merupakan respon pertahanan tubuh yang terdapat dalam hidung (mucous blanket) sebagai akibat dari adanya paparan debu. Konka hipertrofi: tanda dari adanya rhinitis allergic. Disebabkan karena reaksi inflamasi akibat hipersensitivitas terhadap debu. Livid: tanda dari adanya rhinitis allergi. Mukosa berwarna pucat.

Pemeriksaan faring Mukosa hiperemi : penigkatan jumlah aliran darah ke dalam faring akibat respon inflamasi yang dilakukan oleh system imun tubuh terhadap benda asing (debu).

28

BAB IV

PENUTUP
I. KESIMPULAN 1. Diagnosis pasien adalah otitis media supurativa kronis (OMSK) pada auris dextra yang ditandai dengan keluhan keluarnya cairan kuning, kental, berbau busuk dari telinga; telinga berdenging; gangguan pendengaran; dan kepala pusing. Pada pemeriksaan otoskopi auris dextra juga didapatkan granuloma dan discharge mukopurulen. Etiologi OMSK pada kasus ini adalah infeksi dan alergi pada hidung (rhinitis allergic) yang diketahui dari riwayat OMSK yang relapse jika batuk dan pilek. Dari anamnesis didapatkan debu sebagai allergennya. 2. Prinsip penatalaksanaan pasien dengan OMSK adalah konservatif dan medikamentosa. Pembedahan (Mastoidectomy) perlu dilakukan pada OMSK tipe maligna. Miringoplasty / Tympanoplasty idealnya perlu dilakukan pada pasien OMSK dengan perforasi yang tidak kunjung sembuh setelah diobservasi selama 2 bulan. II. SARAN 1. Pasien sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter apabila terdapat gejala batuk atau pilek. Penanganan yang tidak tepat maupun pengobatan yang tidak adekuat dapat menyebabkan komplikasi pada daerah telinga. 2. Apabila pasien alergi terhadap debu, sebisa mungkin alergen tersebut dihindari agar tidak terjadi kekambuhan. Dapat mengunakan masker atau kain untuk menutup mulut dan hidung agar terlindung dari debu. 3. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang yang sudah direncanakan agar lebih mengetahui keadaan pasien secara mendetil. 4. Setelah dipastikan terapi yang sesuai, sebaiknya pasien mengikuti anjuran dokter mengenai obat yang diberikan. Pengobatan yang adekuat dapat mencegah resistensi kuman dan dapat memperbaiki prognosis penyakitnya.

29

BAB V

DAFTAR PUSTAKA
A.D.A.M. Inc., 2011. A.D.A.M. Inc. :: Health Content :: Visual Asset Upgrade. [Online] Available at: http://adam.com/vau/index.html#ear%20anatomy [Diakses 31 Agustus 2013]. Adams, B. & Highler, t.thn. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Ke-6 penyunt. Jakarta: EGC. Alyasin, S. & Amin, R., 2007. The Evaluation of New Classification of Allergic Rhinitis in Patients Referred to a Clinic in the City of Shiraz. [Online] Available at: http://journal.tums.ac.ir/ [Diakses 31 Agustus 2013]. Barrett, K. C. e. a., 2010. Ganongs Review if Medical Physiology: Hearing and Equilibrium. Ke-23 penyunt. United States of America: The Mc-Graw Hill Company Inc. Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta: Ditjen Binfar & Alkes. Dhingra, P., 2007. Diseases of Ear Nose and Throat. Ke-4 penyunt. New Delhi: Elsevier. Djaafar, Z. A., Helmi & Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp. 64-77. Dorland, 2002. Kamus Saku Kedokteran. Ke-28 penyunt. Jakarta: EGC. Drake, R. L., Vogl, W. A. & Mitchell, A. W., 2009. Gray's Anatomy for Students. Ke-2 penyunt. London: Churchill Livingstone. Gray, H., 2000. Gray's Anatomy of the Human Body. [Online] Available at: http://bartleby.com/107/ [Diakses 31 Agustus 2013]. Helmi, Djaafar, Z. A. & Restuti, R. D., 2007. Komplikasi Otitis Media Supuratif. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp. 78-86. Irawati, N., Kasakeyan, E. & Rusmono, N., 2001. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp. 128-134. Mangunkusumo, E. & Wardani, R. S., 2007. Polip Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp. 123-125. Mansjoer, A., 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Ke-1 penyunt. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FK UI.
30

Premraj, P., 2011. Gambaran Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronik yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2009, Medan: Repository USU. Rinalti, R. N., 2012. [Online] Available at: http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197511182005012RIKSMA_NURAHMI_RINALTI_A/Anatomi_Fisiologi_pendengaranx.pdf [Diakses 1 September 2013]. Rusmarjono & Soepardi, E., 2007. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp. 10-93. Sherwood, L., 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC. Shyamala, R., Reddy & Sreenivasulu, P., 2012. The Study Of Bacteriological Agents Of Chronic Suppurative Otitis Media - Aerobic Culture And Evaluation, India: Department of Microbiology Narayana Medical College. Sosialisman, Hafil, A. P. & Helmi, 2007. Kelainan Telinga Luar. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp. 57-77. Wiranita, H. A., 2010. Hubungan Antara Otitis Media Supuratif Kronis dengan Terjadinya Vertigo di RSUD dr. Moewardi Surakarta, Surakarta: Pustaka UNS. Yates, P. & Anari, S., 2008. Otitis media. Dalam: A. Lalwani, penyunt. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. New York: McGraw-Hil, pp. 655665.

31

Anda mungkin juga menyukai