Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

PEMERIKSAAN FORENSIK PADA KASUS TRAUMA AKIBAT


TEKANAN (BAROTRAUMA)

Oleh:

Annisa Fadhila Aurelia Rambe 200070200011083


Cahya Pandya Astami 200070200011070

Pembimbing:
dr. Eriko Prawestiningtyas, Sp.F

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
DAFTAR GAMBAR 3

BAB I PENDAHULUAN 4
1.1. Latar Belakang 4
1.2. Rumusan Masalah 5
1.3. Tujuan Penulisan 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6


2.1 Definisi Barotrauma 6
2.2. Etiologi Barotrauma 6
2.3. Patofisiologi Barotrauma 7
2.4. Manifestasi Klinis Barotrauma 9
2.5. Pemeriksaan Forensik pada Kasus Barotrauma 10
2.5.1 Investigasi 10
2.5.2 Penyimpanan Tubuh 11
2.5.3 Pemeriksaan Radiologi 12
2.5.4 Pemeriksaan Luar dan Autopsi 14

BAB III LAPORAN KASUS 19

BAB IV PEMBAHASAN KASUS 20

BAB V KESIMPULAN 23

DAFTAR PUSTAKA 24

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hukum Boyle 7


Gambar 2.2 Gelembung gas dan edema pada parenkim otak karena proses
kembali ke permukaan air yang terlalu cepat 15
Gambar 2.3 Potongan melintang serebelum dan pons, menunjukkan petekie
terkonsentrasi di basis pontis dan sebagian besar tegmentum 16
Gambar 2.4 Vakuola Intraserebral 17
Gambar 2.5 Infark akut pada kolumna lateral dan dorsalis 18
Gambar 3.1 Gambar yang menunjukkan contoh tes air perikardial positif sesuai
dengan kasus 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Barotrauma adalah kerusakan jaringan yang terjadi akibat kegagalan


untuk menyamakan tekanan udara antara ruang berudara pada tubuh dan
tekanan pada lingkungan. Kerusakan jaringan dapat terjadi pada telinga, wajah
(sinus), dan paru, dimana merupakan bagian tubuh yang memiliki udara di
dalamnya (Vij, K., 2011; Edmond et al., 2013). Barotrauma dapat terjadi saat
menyelam ataupun saat terbang. (Edmond et al., 2013).
Perubahan tekanan pada kedalaman 17 kaki di bawah air setara dengan
perubahan tekanan pada ketinggian 18.000 kaki di atas bumi. Dengan demikian,
perubahan tekanan lingkungan terjadi lebih cepat pada saat menyelam
dibandingkan pada saat terbang. Hal ini dapat menjelaskan insiden barotrauma
relatif lebih tinggi pada saat menyelam (Edmond et al., 2013). Kegiatan
menyelam banyak dilakukan di Indonesia, karena lebih dari 70 persen wilayah
Indonesia merupakan lautan sehingga sebagian besar penduduknya
mempunyai sumber penghasilan utazma pada subsektor perikanan, termasuk
menjadi nelayan penyelam tradisional (Badan Pusak Statistik, 2016).
Dilaporkan terdapat 2,28 kasus barotrauma berat per 10.000 penyelaman
di Amerika Serikat, sedangkan kasus ringan tidak dilaporkan karena umumnya
penyelam tidak mencari pertolongan. Resiko barotrauma meningkat 2,5 kali lipat
pada penyelam dengan riwayat asma. Selain itu, riwayat medis lain seperti
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan kurang mahirnya seorang penyelam
dapat meningkatkan risiko barotrauma (Battisti et al., 2021). Sedangkan untuk
kasus kematian karena barotrauma penerbangan di suatu negara dilaporkan
sebesar 82 insiden per juta jam waktu terbang (Edmond et al., 2013).
Kegiatan menyelam semakin populer dan banyak dilakukan oleh
masyarakat, baik untuk rekreasi, olahraga, kompetisi, pekerjaan komersial,
maupun pelatihan militer. Kasus kematian akibat penyelaman pun mengalami
peningkatan. Meninggalnya korban penyelam dapat diakibatkan oleh tenggelam
atau barotrauma. Investigasi korban penyelam melibatkan proses yang
kompleks. Pemeriksa korban memiliki peran penting dalam menafsirkan temuan

4
dan otopsi, sehingga pengetahuan dan pemahaman yang mumpuni terkait
kemungkinan perubahan patologis yang terkait dengan penyelaman diperlukan
(Lawrence dan Cooke, 2021; Whitwell et al., 2021).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari barotrauma ?
2. Apa etiologi dari barotrauma ?
3. Bagaimana patofisiologi pada barotrauma ?
4. Apa saja manifestasi klinis dari barotrauma ?
5. Bagaimana pemeriksaan forensik pada kasus barotrauma?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami definisi dari barotrauma.
2. Untuk memahami etiologi dari barotrauma.
3. Untuk memahami patofisiologi pada barotrauma.
4. Untuk memahami manifestasi klinis dari barotrauma.
5. Untuk memahami pemeriksaan forensik pada kasus barotrauma.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Barotrauma

Barotrauma adalah cedera yang dihasilkan pada jaringan sebagai akibat


dari ketidakmampuan rongga tubuh yang berisi gas seperti paru-paru, telinga
tengah, dan sinus untuk menyamakan tekanan internalnya dengan perubahan
tekanan lingkungan (Vij, K., 2011). Barotrauma paling sering menyebabkan
cedera sinus atau cedera telinga tengah, tetapi juga dapat menyebabkan cedera
wajah, cedera gigi, ruptur gastrointestinal, pneumotoraks, perdarahan paru,
emfisema mediastinum dan emfisema subkutan. Robekan di jaringan paru dapat
memungkinkan gas masuk ke sirkulasi. Hal ini dapat menyebabkan
pembentukan emboli yang dapat masuk ke sirkulasi dan menyebabkan
penyumbatan di organ yang jauh dan mengganggu fungsi organ. Kerusakan ini
disebabkan oleh gaya tekan/ekspansi dan geser, yang menyebabkan
peregangan jaringan yang berlebihan (Battisti et al., 2021).

2.2 Etiologi Barotrauma


Barotrauma paling sering terjadi saat Self-Contained Underwater
Breathing Apparatus (SCUBA) diving, tetapi juga dapat terjadi saat terbang,
mendaki gunung, atau bermain ski. Selama SCUBA diving, barotrauma dapat
disebabkan oleh proses turun atau naik terlalu cepat (Battisti et al., 2021).
Barotrauma pulmoner dapat terjadi selama menyelam, baik dengan
SCUBA atau menyelam bebas. Hal ini dapat terjadi selama turun (barotrauma
pulmoner negatif) atau selama naik ke permukaan (barotrauma pulmoner positif,
juga dikenal sebagai sindrom overinflasi paru). Barotrauma pulmoner paling
sering terjadi selama naik dan disebabkan oleh ekspansi paru yang berlebihan
saat penyelam kembali ke permukaan tanpa menghembuskan napas atau ketika
udara terperangkap di dalam paru-paru (Kennedy-Little & Sharman, 2021).
Faktor risiko barotrauma yaitu asma, sinusitis, abses gigi dan karies,
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), kejang, masalah telinga, sinkop,
gangguan panik, vertigo, pelatihan yang buruk, kurang pengalaman, dan
disfungsi tuba Eustachius (Battisti et al., 2021).

6
2.3 Patofisiologi Barotrauma
Menurut Hukum Gas Boyle, jika suhu gas dipertahankan konstan, ada
hubungan terbalik antara volume gas dan tekanannya. Balon yang naik ke
atmosfer akan memuai volumenya seiring dengan menurunnya tekanan
lingkungan. Demikian pula, udara terkompresi yang ditahan di paru-paru seorang
penyelam, jika dia menahan napas, akan mengembang saat tekanan air di
sekitarnya menurun pada saat naik. Tekanan atmosfer di permukaan laut rata-
rata adalah 760 mmHg (1 Atm atau 1 Barr). Kedua pengukuran ini setara dengan
satu atmosfer (1 Atm atau 1 Barr). Karena densitas air, tekanan selama
menyelam meningkat 1 Atm untuk setiap 33 kaki (10 meter) kedalaman air laut
(Battisti et al., 2021).

Gambar 2.1 Hukum Boyle (Murphy-Lavoie & LeGros, 2013)

Tekanan di ruang intratoraks sebanding dengan perubahan tekanan


lingkungan yang mengenai tubuh. Volume paru-paru orang dewasa berukuran
sekitar 6 liter. Semakin dalam lingkungan sekitar tubuh (misalnya saat
menyelam), tekanan akan meningkat dan volume udara di paru-paru akan
menurun. Proses saat naik kembali ke permukaan air adalah proses yang paling

7
berisiko, karena saat ini tekanan lingkungan berkurang dan gas akan dilepaskan
oleh jaringan. Selanjutnya gas dalam rongga tubuh yang berisi udara akan
memuai sesuai hukum Boyle. Kerusakan paru-paru lebih disebabkan karena
distensi berlebihan daripada oleh efek langsung dari peningkatan tekanan
(Oehmichen et al., 2006).
Barotrauma saat turun disebabkan oleh ketidakseimbangan tekanan di
ruang tertutup, biasanya telinga, gigi, sinus, dan masker wajah. Perbedaan
tekanan yang dihasilkan antara jaringan dan ruang gas menyebabkan cedera.
Pecahnya membran timpani karena tekanan pada telinga biasanya terjadi pada
penyelam dengan disfungsi tuba eustachius. Saat turun, tuba Eustachius harus
dapat berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan antara saluran telinga,
membran timpani dan nasofaring. Namun, jika gradien tekanan melebihi 30
mmHg, rasa sakit akan terasa. Pada gradien 100 mmHg, tuba eustachius tidak
dapat membuka dan terjadi perbedaan tekanan antara telinga tengah dan air,
yang menghasilkan mekanisme vakum dan tekanan negatif pada kavitas tertutup
sehingga mengakibatkan membran timpani merenggang dan terjadi pendarahan,
ruptur membran timpani, gangguan pendengaran, vertigo, dan tinnitus. Pada
saat ini terjadi penurunan rasa sakit yang tiba-tiba. Apabila perbedaan tekanan
telinga kiri dan kanan melebihi 45 mmHg, penyelam dapat merasakan
disorientasi, mual, muntah, vertigo, dan tinnitus. Sakit gigi disebabkan oleh efek
tekanan pada di gigi yang ditambal, abses, atau gigi karies. Gigi yang karies bisa
meledak saat proses turun. Tekanan pada sinus dapat menyebabkan epistaksis
dan akan terasa sangat nyeri, biasanya terjadi pada penyelam dengan sinusitis
kronis, alergi, penebalan mukoperiosteal, polip hidung, dan oklusi ostium.
Tekanan pada masker dapat menyebabkan ekimosis kulit, perdarahan
konjungtiva, hingga perdarahan orbital. (Vij, K., 2011; Battisti et al., 2021)
Barotrauma pada saat naik juga dapat menyebabkan cedera telinga,
sinus, gigi, dan yang paling serius adalah cedera paru. Konsekuensi paling serius
dari barotrauma adalah ruptur alveolar paru dengan emboli gas udara (Payne-
James et al., 2006; Battisti et al., 2021). Emboli perifer dari gelembung gas dapat
menyumbat sirkulasi dan berpotensi menimbulkan cedera serebrovaskular dan
iskemia jantung.
Barotrauma saat naik disebabkan oleh peningkatan volume udara dalam
organ. Barotrauma pulmoner pada saat naik berpotensi mengancam jiwa.

8
Menghirup gas pada saat menyelam menyebabkan gas yang masuk di paru-paru
memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada tekanan atmosfer. Seorang penyelam
bebas (non-SCUBA) dapat menyelam hingga kedalaman 10 meter dan naik
dengan aman tanpa menghembuskan napas karena gas di paru-paru telah
diinhalasi di permukaan pada tekanan atmosfer. Namun, seorang penyelam
SCUBA yang menghirup gas terkompresi dari tangkinya dibawah 10 meter dan
naik tanpa menghembuskan napas (menahan napas) dapat memecahkan paru-
parunya dan mengalami barotrauma paru yang luas (Pulmonary Overpressure
Syndrome). Cedera yang terjadi dapat berupa pneumotoraks, emfisema
subkutan, mediastinum, atau interstitial, dan mungkin emboli gas arteri. Ruptur
alveolar saat naik dapat menyebabkan emboli gas arteri dengan mekanisme
udara memasuki sirkulasi paru, kemudian memasuki jantung kiri, lalu emboli
udara beredar ke sirkulasi sistemik, dan mengobstruksi pembuluh darah otak,
koroner, atau pembuluh darah penting lainnya (Payne-James et al., 2006; Battisti
et al., 2021).
Cedera pada paru-paru dari ventilasi positif merupakan kasus khusus
barotrauma. Setiap pasien yang menerima ventilasi mekanis berisiko mengalami
barotrauma, tetapi paling sering terlihat pada pasien dengan sindrom distres
pernapasan akut (Battisti et al., 2021).

2.4 Manifestasi Klinis Barotrauma


● Manifestasi Sistem Saraf Pusat
Dalam kasus barotrauma, perubahan jaringan otak ditandai dengan
hipoksia sistemik dan edema ekstrim (Oehmichen et al., 2006). Gejala serebral
meliputi rasa pusing hingga penurunan kesadaran. Manifestasi klinis medula
spinalis yaitu paraesthesia / rasa kebal. Kerusakan pada medula spinalis dapat
bersifat permanen (Whitwell et al., 2021).
● Barodontalgia
Kantong udara kecil terdapat pada beberapa kondisi gigi seperti
periodontitis apikal, gigi yang rusak, karies gigi, gigi impaksi, kista mukosa,
kantong periodontal, nekrosis pulpa, dan pulpitis. Perbedaan tekanan
menyebabkan ruang udara ini berkontraksi atau mengembang, dan
menyebabkan rasa sakit (Aggrawal, 2021).
● Barosinusitis

9
Barosinusitis ditemukan pada orang dengan sinusitis atau polip
nasofaring. Tekanan menyebabkan penyumbatan ostium sehingga tidak dapat
terjadi pemerataan tekanan saat penyelam turun/naik. Tekanan yang tidak
seimbang menyebabkan nyeri (Aggrawal, 2021).
● Barotrauma telinga
Tekanan dapat mempengaruhi telinga luar, tengah, atau dalam, dan
dapat memunculkan manifestasi klinis barotalgia (nyeri pada telinga).
Barotrauma telinga tengah adalah yang paling umum dan dialami oleh antara
10% dan 30% penyelam (Aggrawal, 2021).
● Epistaksis (Aggrawal, 2021)
● Barotrauma paru
Manifestasi klinisnya antara lain pneumomediastinum dan emfisema
interstisial paru. Ruptur alveolar dapat menyebabkan pneumotoraks, edema paru
akut, hemoptisis, dan emboli udara (Oehmichen et al., 2006; Aggrawal, 2021).
● Batuk
● Nyeri dada
● Nyeri perut (Aggrawal, 2021)

2.5 Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Barotrauma


2.5.1 Investigasi
Sebagian besar kematian terkait menyelam disebabkan oleh tenggelam,
walaupun barotrauma juga dapat menjadi penyebab. Otopsi harus berfokus
dahulu untuk menginvestigasi adanya kemungkinan tenggelam, kemudian dapat
dilanjutkan melihat adanya tanda-tanda barotrauma (Saukko & Knight, 2015).
Segera memulai pemeriksaan post mortem penting untuk meminimalkan
bias pada temuan patologis. Oleh karena itu, harus ada komunikasi yang terbuka
dan dini antara berbagai ahli yang terlibat dalam penyelidikan, seperti penyidik;
petugas yang memeriksa peralatan selam dan penyelam polisi. Dalam
kebanyakan kasus, penting untuk memperoleh hal-hal berikut sebelum
memberikan pendapat akhir mengenai penyebab kematian (Sens & Hughes,
2021):
1. Pernyataan polisi & saksi
● Laporan polisi
● Pernyataan dari penyelam dan awak kapal lain

10
● Profil penyelaman, kedalaman, durasi, cuaca dan kondisi
penyelaman saat ini
● Kapan penyelam mulai mengalami masalah? Apakah saat turun,
di bawah, saat naik, atau setelah menyelam?
● Apakah penyelam naik dengan cepat?
2. Riwayat penyelam
● Catatan dan pengalaman menyelam
● Sertifikat menyelam
● Rekam medis menyelam / riwayat medis sebelumnya terutama
penyakit jantung iskemik, asma, diabetes & epilepsi
3. Pemeriksaan peralatan
● Berapa banyak udara yang tersisa di dalam tangki? Komposisi?
Apakah ada karbon monoksida?
● Regulator / tangki
● Apakah penyelam menggunakan terlalu banyak beban pada
weight belt?
4. Otopsi (lebih disukai oleh ahli patologi terkait kematian akibat
menyelam)
● CT scan tubuh harus dilakukan dalam waktu 8 jam setelah
kematian
● Temuan otopsi termasuk deskripsi lokasi dan perkiraan volume
gas
● Histologi organ yang relevan khususnya paru-paru, jantung dan
otak
● Toksikologi termasuk karbon monoksida, alkohol dan skrining obat

2.5.2 Penyimpanan Tubuh


Setelah dinyatakan meninggal, tubuh jenazah harus ditempatkan dalam
wadah tertutup kantong mayat dan diangkut ke tempat otopsi. Jenazah korban
umumnya diangkut ke kamar mayat bersama dengan peralatan menyelam yang
masih melekat seperti pakaian selam, sirip, masker,dan sabuk pemberat.
Kehilangan peralatan apa pun harus diperhatikan. Perlengkapan harus disegel
dengan katup tertutup untuk kepentingan analisis dan diangkut sesegera
mungkin untuk pemeriksaan. Efek isolasi dari pakaian selam menunjukkan

11
perubahan dekomposisi post mortem awal pada tubuh korban, meskipun
didinginkan. Ahli patologi harus mempertimbangkan untuk meninjau dan
mendokumentasikan dengan tepat (termasuk: fotografi) penampilan luar tubuh
pada saat penerimaan pertama. Pakaian selam kemudian dapat dilepas
sehingga memungkinkan untuk mendinginkan tubuh jenazah (Sens & Hughes,
2021).
Ahli patologi memiliki peran penting untuk menafsirkan temuan otopsi,
dan penting untuk memiliki pengetahuan dan memahami risiko fisiologis dan
kemungkinan perubahan patologis yang terkait dengan penyelaman. Selain itu,
sebelum pemeriksaan post mortem, ahli patologi harus mengetahui aspek lain
dari penyelidikan, termasuk hasil pemeriksaan peralatan selam yang digunakan
oleh korban (Lawrence dan Cooke, 2021).

2.5.3 Pemeriksaan Radiologi


Peran pemeriksaan CT scan tubuh penting karena tingginya insiden
artefak gas post-mortem. Akumulasi dari gas dapat ditunjukkan melalui kista
paru, pneumotoraks, emfisema mediastinum dan gas intravaskular (PBT/CAGE).
Pencitraan harus dilakukan dalam waktu 8 jam setelah kematian (Sens &
Hughes, 2021).
● CT Scan
CT Scan merupakan pemeriksaan yang sangat sensitif untuk mendeteksi
jumlah kecil gas dalam tubuh. Dibutuhkan akses ke CT scan dalam waktu
8 jam setelah kematian. CT Scan akan menunjukkan gas di arteri serebral
dan di ventrikel kanan dan kiri jantung. Sejumlah kecil gas di jantung,
pembuluh darah, sendi dan jaringan lunak biasanya merupakan artefak
(Sens & Hughes, 2021).

● X-ray dada dan abdomen


Dapat digunakan jika CT scan tidak tersedia. Pencitraan ini akan
menunjukkan jumlah gas yang relatif besar di ventrikel kanan (air fluid
level di ventrikel kanan atau arteri pulmonal), aorta dan vena leher. X-ray
kepala akan menunjukkan gas di pembuluh serebral, sedangkan X-ray di
tungkai akan menunjukkan gas di pembuluh darah, sendi dan jaringan
lunak (Sens & Hughes, 2021).

12
Pada barotrauma paru dan emboli gas arteri serebral (PBT/CAGE)
terdapat gas di arteri serebral dan ventrikel kiri jantung. CT Scan atau MRI dapat
berguna untuk mendeteksi gelembung akibat penyakit dekompresi pada sumsum
tulang belakang. Sayangnya, keberadaan gas intra-vaskular sangat umum dalam
aotopsi penyelaman dan tidak spesifik untuk kasus barotrauma paru dan emboli
gas arteri serebral (PBT/CAGE) (Sens & Hughes, 2021).

Gas intra-vaskular juga dapat disebabkan oleh: (Sens & Hughes, 2021):
● Dekomposisi
Bakteri dalam tubuh menghasilkan gas setelah kematian. Ini dapat terlihat
di vena portal/hepatik paling lambat 12 jam setelah kematian. Jika tidak
didinginkan, tubuh akan menunjukkan gas yang luas baik intra-vaskular
maupun jaringan lunak dalam waktu 36 jam.
● Resusitasi
Setelah resusitasi dengan pipa endotrakeal dan ventilasi positif, gas
secara signifikan terdeteksi di jantung pada rontgen di 5 dari 13 kematian
bukan akibat menyelam.
● Dekompresi post-mortem atau 'off-gassing'
Ketika melakukan penyelaman, jaringan akan menyerap nitrogen. Jika
penyelam kemudian naik dengan cepat dan mati, atau mati dibawah dan
dibawa dengan cepat ke permukaan, gelembung nitrogen akan terbentuk
di jaringan dan pembuluh darah. Proses ini akan menghasilkan gas intra
vaskular dan jaringan lunak, secara teoritis dapat dibedakan dari CAGE
dengan adanya gas di otot dan sendi. Dalam prakteknya sulit untuk
mengidentifikasi PBT / CAGE dengan adanya post mortem dekompresi.

Diagnosis PBT/CAGE mungkin hanya dibuat dengan adanya riwayat naik


ke permukaan dengan cepat dan kehilangan kesadaran yang cepat setelah
muncul ke permukaan (Sens & Hughes, 2021).

Kriteria mayor untuk barotrauma paru & emboli gas udara serebral (PBT/CAGE) :
(Sens & Hughes, 2021)

13
1. Riwayat naik ke permukaan yang cepat diikuti dengan penurunan
kesadaran yang cepat saat sudah berada di permukaan.
2. Emfisema mediastinum atau subkutan terbatas pada daerah peri-torak
(misalnya daerah supra-klavikula) dan/atau pneumotoraks
3. Gas di sisi kiri jantung, Circle of Willis, koroner dan arteri retina, di
mana ada kemungkinan kecil dari "off gasing" post-mortem atau
dekomposisi.

Kriteria minor untuk barotrauma paru & emboli gas udara serebral
(PBT/CAGE) : (Sens & Hughes, 2021)
1. Situasi kekurangan udara atau situasi panik.
2. Pelajar atau penyelam pemula.
3.Jaket Buoyancy yang digelembungkan berlebihan atau sabuk pemberat
yang dibuang
4. bukti komputer penyelam terdapat proses naik ke permukaan sangat
cepat.
5. Bukti lain dari barotrauma, emfisema subkutan atau pneumotoraks.

2.5.4 Pemeriksaan Luar dan Autopsi


Autopsi atau membuka jenazah tidak boleh dimulai sampai peralatan
selam sudah diperiksa dan difoto oleh ahli (Saukko & Knight, 2015; Aggrawal,
2021). Hal ini penting untuk dilakukan, sesuai hasil analisis dari Australian Diving
Incident Monitoring Study (DIMS) yang dimulai pada tahun 1989, menunjukkan
bahwa ada 426 dari 1000 insiden berkaitan dengan peralatan. Radiologi kepala,
leher, dada, perut dan sendi sangat penting sebelum diseksi. Untuk analisis kimia
dari isi paru-paru, misalnya untuk menentukan rasio oksigen:nitrogen,
laboratorium toksikologi yang bersangkutan harus dikonsultasikan sebelum
otopsi untuk menjamin metode pengambilan sampel optimal (Saukko & Knight,
2015).

● Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar, penting untuk mengamati warna kulit. Tanda
linier merah dapat terlihat dikarenakan tekanan mengenai pakaian renang.
Tanda Liebermeister yaitu bintik putih pada dorsum lidah merupakan temuan

14
pada barotrauma. Krepitasi kulit yang biasanya ditemukan pada kepala, leher
dan dada merupakan indikasi barotrauma. Membran timpani harus diperiksa
dengan otoskop untuk mendeteksi adanya ruptur (Saukko & Knight, 2015; Sens
& Hughes, 2021).
Gumpalan busa putih yang mencolok di sekitar hidung dan mulut sering
terlihat pada tenggelam. Ini mungkin hilang dengan cepat, jadi pemeriksaan awal
tubuh sangat penting. Tanda kompresi di sekitar mata / hidung dan perdarahan
konjungtiva kecil menunjukkan tekanan masker. Lecet disertai bintik pendarahan
dan memar di wajah dan anggota badan menunjukkan cedera yang terjadi
sebelum sirkulasi berhenti. Hal tersebut mungkin termasuk trauma karena batu
atau gigitan binatang (Sens & Hughes, 2021).

● Pemeriksaan Kepala dan Leher


Otak harus dikeluarkan sebelum membuka rongga tubuh. Kemudian,
udara di arteri serebral dideteksi. Sebelum dipotong, forceps arteri harus
ditempatkan pada arteri serebral tengah, basilar dan vertebral. Otak kemudian
harus ditempatkan di dalam air dan klem dilepas untuk mengamati apakah
gelembung udara keluar dari ujung pembuluh yang terpotong (Saukko & Knight,
2015). Gelembung udara di vena serebral tidak penting dan apabila terdeteksi
merupakan artefak (Itabashi et al., 2011; Saukko & Knight, 2015).
Jika dada dibuka sebelum kepala, arteri karotis harus diikat di pangkal
leher. Gendang telinga harus diperiksa untuk adanya perforasi menggunakan
otoskop. Jika ada bukti cedera pada gendang telinga atau bukti lain dari bagian
tengah atau dalam yang signifikan maka telinga tengah harus diperiksa atau
idealnya diangkat, diperbaiki kemudian didekalsifikasi dan dipotong secara serial
untuk menunjukkan kerusakan pada bagian tengah dan dalam telinga. Seorang
ahli bedah THT mungkin dapat membantu dalam hal penyelidikan ini (Sens &
Hughes, 2021).
Pemeriksaan neuropatologi otak dianjurkan (dan tulang belakang jika
dicurigai penyakit dekompresi tulang belakang). Di beberapa kasus PBT/CAGE,
kadang-kadang ada perdarahan perivaskular kecil di batang otak pada lantai
ventrikel keempat, dengan signifikansi yang tidak pasti. Waktu minimum fiksasi
formalin otak untuk memungkinkan pemeriksaan neuropatologi yang optimal
yaitu sekitar 48 jam perendaman dalam formalin 20%. Secara alami, bila

15
resusitasi awalnya berhasil dan penyelam bertahan untuk beberapa waktu,
kemungkinan mengidentifikasi perubahan patologis dalam otak dan sumsum
tulang belakang meningkat (Sens & Hughes, 2021).
Gelembung ekstravaskular dalam parenkim otak dan sumsum tulang
belakang dapat diamati di bagian histologis. Edema otak mungkin merupakan
hasil dari proses hipoksik-iskemik (Oehmichen et al., 2006).

Gambar 2.2 Gelembung gas dan edema pada parenkim otak karena proses kembali ke
permukaan air yang terlalu cepat (Oehmichen et al., 2006).

● Pemeriksaan Tulang Belakang


Pada sistem saraf pusat, petekie dapat terlihat di manapun, termasuk
sumsum tulang belakang (Itabashi et al., 2011; Saukko & Knight, 2015). Jika
korban bertahan hidup selama satu hari atau lebih, dapat terlihat infark. Secara
histologis, perdarahan berbentuk cincin di sekitar pembuluh darah dapat terlihat
pada substansia alba. Pada korban yang bertahan hidup hingga beberapa
minggu, dapat ditemukan pelunakan kolumna lateral dan dorsal medula spinalis
toraks apabila terdapat emboli udara (Saukko & Knight, 2015).

16
Gambar 2.3 Potongan melintang serebelum dan pons, menunjukkan petekie terkonsentrasi
di basis pontis dan sebagian besar tegmentum (Itabashi et al., 2011).

● Pemeriksaan Dada dan Perut

Pemeriksaan ditujukan untuk mencari gas, dan untuk dicocokkan dengan


hasil pencitraan. Blok leher ditempatkan di bawah bahu, untuk membuat gas
terkumpul di aliran keluar ventrikel kanan dan aorta proksimal. Tulang dada
diangkat dengan memotong kartilago kosta dengan pisau bedah dan kantung
perikardial dibuka dengan gunting. Empat ruang jantung kemudian diaspirasi,
dan dilakukan pencatatan volume gas di setiap ruang jantung. Volume gas
kemudian dicocokkan dengan temuan CT scan atau X-ray. Jika terdapat gas di
jantung, maka ventrikel kanan akan menonjol keluar dari kantung perikardial
(Sens & Hughes, 2021).
Dada harus dilakukan pemeriksaan radiologi / Computed Tomography
(CT) untuk melihat adanya pneumotoraks. Jika tidak memungkinkan, dapat
dilakukan pembedahan ruang interkostal hingga pleura parietal dan dan
mengamati adanya paru yang kolaps saat menginsisi pleura dengan skalpel.
Paru-paru dapat dipompa dengan udara di bawah air untuk menemukan
kebocoran udara. Jantung juga harus dilakukan pemeriksaan radiologis untuk
melihat adanya gelembung udara. Hampir tidak ada gunanya mencoba
membuka jantung di bawah perikardium yang penuh air, karena buih di bilik akan
segera terlihat jika dalam volume yang cukup untuk menyebabkan kematian.

17
Sebelum mengeluarkan organ thoraks, dianjurkan untuk memasang klem pada
semua pembuluh darah toraks utama dan trakea. Organ kemudian ditempatkan
di bawah air dan klem dilepaskan untuk melihat apakah dan dari mana
gelembung udara muncul (Saukko & Knight, 2015).
Sangat penting untuk mencari emfisema subkutan, mediastinum,
retroperitoneal dan subpleural. Di paru-paru, pecahnya membran alveolar dapat
menyebabkan udara masuk ke sirkulasi atau mencapai pinggiran paru-paru dan
membentuk bula subpleural. Udara dapat menyeberang ke paru-paru lainnya
melalui hilus. Apabila terdapat stenosis bronkial, udara dapat terperangkap
dalam satu lobus dan menyebabkan distensi lokal (Payne-James et al., 2006;
Saukko & Knight, 2015).
Secara histologis, pada jaringan adiposa dan korteks adrenal dapat
ditemukan gelembung mikro yang tampak berbusa yang mungkin disebabkan
karena emboli udara. Pada pemeriksaan makroskopik, paru-paru akan terlihat
edema dan ditemukan perdarahan luas, alveoli robek dan emfisema fokal. Pada
miokardium dapat ditemukan sedikit nekrosis. Penyelam yang dibiarkan hidup
selama beberapa jam mungkin menunjukkan patologi yang signifikan di jantung
dan sistem saraf pusat termasuk infark kecil di otot jantung dan sumsum tulang
belakang. Emboli lemak dapat ditemukan di paru-paru, miokardium, otak dan
ginjal. Penyebab adanya emboli lemak masih belum jelas, beberapa berpendapat
bahwa hal tersebut disebabkan oleh gangguan gelembung udara pada jaringan
lemak (Saukko & Knight, 2015).

18
Gambar 2.4 Vakuola Intraserebral. A) Otak korban penyelaman yang menunjukkan
banyak vakuola intraserebral. B) Pewarnaan hematoksilin & eosin menunjukkan vakuola. C)
Sel endotel menunjukkan bahwa vakuola terletak di intravaskular. Namun, harus ditekankan
bahwa vakuola dapat dihasilkan ketika jenazah dilepaskan ke permukaan dari kedalaman
yang sangat dalam sehingga tidak membuktikan adanya fenomena vital dan penyebab
kematian (Saukko & Knight, 2015).

Gambar 2.5 Infark akut pada kolumna lateral dan dorsalis (Whitwell et al., 2021).

BAB III
LAPORAN KASUS

Berdasarkan laporan teknis, polisi mencantumkan bahwa orang yang


meninggal adalah seorang pria berusia 57 tahun, dengan riwayat medis yang
tidak diketahui, melakukan penyelaman SCUBA di perairan terbuka. Dia
tergabung dalam grup penyelaman rekreasi. Profil penyelaman dari komputer
menunjukkan kedalaman maksimum 20 m. Pada kedalaman 12 m, ia bergerak

19
naik ke permukaan dengan kecepatan lebih tinggi dari yang direncanakan. Ketika
naik ke kapal, dia memuntahkan busa dan secara cepat kehilangan kesadaran.
Manuver CPR tidak berhasil dilakukan dan pasien meninggal di lokasi
kecelakaan.
Berdasarkan pemeriksaan autopsi internal didapatkan emfisema
subkutan pada dada bagian atas dan pneumotoraks kiri, dan massa gelembung
udara di sisi kiri jantung dan arteri koroner. Berat jantung 472 g dan tidak ada
hipertrofi ventrikel kiri. Paru-paru memiliki berat 580 g dan 185 g. Pemeriksaan
otak didapatkan gelembung udara pada Circle of Willis. Terdapat aterosklerosis
di aorta abdominal, hepatomegali dan splenomegali. Pemeriksaan histologis
menunjukkan edema alveolar, emfisema paru interstisial dan aterosklerosis
koroner sedang hingga berat pada arteri koroner kanan. Hasil toksikologi positif
untuk alkohol (0,10 g/L) dan antidepresan trisiklik. Kadar karboksihemoglobin
adalah nol. Penyebab kematian kasus ini adalah barotrauma pulmoner / emboli
gas arteri serebral (udara) karena menyelam (Casadesús et al., 2018).

Gambar 3.1 Gambar yang menunjukkan contoh tes air perikardial positif sesuai
dengan kasus. 1)Kantung perikardial; 2) Rongga perikardial; panah: gelembung di dalam
kantung perikardial setelah menusuk ventrikel kiri. (Casadesús et al., 2018)
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Dari laporan kasus korban meninggal tersebut, berdasarkan laporan


teknis polisi, jenazah berjenis kelamin laki-laki dan berusia 57 tahun. Usia tua
pada seorang penyelam berhubungan dengan peningkatan kejadian kecelakaan
penyelaman (Battisti, 2021). Dari laporan bahwa korban melakukan penyelaman,

20
pemeriksa dapat memikirkan penyebab kematian tersering pada penyelam, yaitu
karena tenggelam dan barotrauma (Saukko & Knight, 2015). Akan lebih baik
apabila riwayat medis korban diketahui, karena beberapa kondisi seperti asma,
sinusitis, abses gigi dan karies gigi, Penyakit Paru Obstruktif Pronik (PPOK),
kejang, masalah telinga, sinkop, gangguan panik, vertigo, dan disfungsi tuba
Eustachius berisiko lebih tinggi mengalami barotrauma (Battisti et al., 2021).
Berdasarkan laporan kasus, korban tergabung dalam grup penyelaman
rekreasi. Dalam hal ini sangat penting untuk mengetahui riwayat pelatihan dan
kemahiran penyelam, karena pelatihan yang buruk dan kurangnya pengalaman
menyelam dapat meningkatkan risiko barotrauma pada penyelam. Penyelaman
yang dilakukan dengan kedalaman 20 meter dapat menggambarkan tekanan
pada lingkungan yang dialami pasien, yaitu sekitar 2 atm. Pada kedalaman
tersebut apabila seorang penyelam naik tanpa menghembuskan napas
(menahan napas), dapat menyebabkan terjadinya barotrauma paru yang luas
(Battisti et al., 2021). Berdasarkan profil penyelaman yang dilihat dari komputer,
korban memulai kenaikan secara cepat ke permukaan pada kedalaman 12
meter, dengan kecepatan lebih cepat dari yang direncanakan. Kenaikan tersebut
berisiko menyebabkan terjadinya barotrauma (Sens & Hughes, 2021).
Pada korban didapatkan riwayat memuntahkan busa yang menunjukkan
manifestasi klinis dari tenggelam (Sens & Hughes, 2021). Korban juga
mengalami penurunan kesadaran yang merupakan gejala serebral dari
barotrauma, dimana terjadi perubahan jaringan otak karena hipoksia sistemik
(Oehmichen et al., 2006; Whitwell et al., 2021).
Berdasarkan pemeriksaan autopsi pada jenazah, didapatkan emfisema
subkutan pada dada bagian atas, pneumothoraks kiri, dan gelembung udara di
sisi kiri jantung. Temuan ini merupakan temuan klinis dari barotrauma paru yang
luas (Pulmonary Overpressure Syndrome) (Battisti et al., 2021; Diaz & Heller,
2021). Berat jantung didapatkan lebih dari normal yaitu seberat 472 gram
(normal 370 + 70 gram), temuan tersebut mengindikasikan adanya cardiomegali
yang dapat ditemukan pada jenazah tenggelam (Gemp et al., 2013). Paru-paru
jenazah ditemukan berat di salah satu sisi (580 gram dibanding 185 gram), hal ini
dapat disebabkan oleh adanya aspirasi air, kerusakan alveolar paru, dan gagal
jantung pada sisi paru yang lebih berat (Tse et al., 2018). Pada jenazah juga

21
ditemukan gelembung udara pada Circle of Willis, temuan tersebut dapat
disebabkan oleh emboli udara (Battisti et al., 2021).
Pada pemeriksaan histologis ditemukan edema alveolar, emfisema paru
interstisial dan aterosklerosis koroner sedang hingga berat pada arteri koroner
kanan. Temuan tersebut memperkuat barotrauma sebagai sebab kematian
penyelam pada kasus ini. Pada kasus ini didapatkan hasil positif pada uji
toksikologi alkohol dan antidepresan trisiklik. Konsumsi alkohol pada saat akan
melakukan aktivitas di air dapat meningkatkan risiko cedera serta dapat
menurunkan keterampilan penyelam saat beraktivitas di air (Dowse et al., 2012).
Penggunaan antidepresan sebelum melakukan aktivitas menyelam dapat
menyebabkan penyelam mengantuk (Querido, 2017). Kadar karboksihemoglobin
merupakan pemeriksaan toksikologi yang sesuai pada barotrauma, apabila
ditemukan maka penyelam mengalami keracunan karbonmonoksida. Pada kasus
ini didapatkan pemeriksaan kadar karboksihemoglobin nol, sehingga korban tidak
mengalami keracunan karbonmonoksida (Fujihara et al., 2013).
Pada kasus ini telah dikonfirmasi bahwa penyebab kematian penyelam
adalah barotrauma pulmoner / emboli gas arteri serebral (udara) akibat kenaikan
yang terlalu cepat ke permukaan saat menyelam. Hal ini sudah sesuai, karena
pada temuan pemeriksaan ditemukan kriteria mayor untuk barotrauma paru dan
emboli gas udara serebral, yaitu riwayat naik ke permukaan yang cepat diikuti
dengan penurunan kesadaran yang cepat saat sudah berada di permukaan,
emfisema subkutan terbatas pada daerah peri-torak dan pneumotoraks, dan gas
di sisi kiri jantung dan Circle of Willis. Berdasarkan cara kematiannya kasus ini
dimasukkan ke dalam kematian tidak wajar karena kematian disebabkan oleh
kecelakaan saat menyelam. 
Emboli gas arteri (emboli udara) karena barotrauma paru dapat menjadi
penyebab kematian penyelaman SCUBA pada 13-24% kasus (Casadesús et al.,
2018). Berdasarkan profil penyelaman yang dilihat dari komputer, korban
memulai kenaikan secara cepat ke permukaan pada kedalaman 12 meter,
dengan kecepatan lebih cepat dari yang direncanakan. Ketika korban naik ke
permukaan terlalu cepat, tekanan di lingkungan juga akan menurun dengan
cepat. Apabila tidak dilakukan ekspirasi udara yang adekuat, gas yang tertahan
di alveolus paru akan mengembang berlebihan dan menyebabkan over ekspansi
paru (Dolinak et al., 2005; Casadesús et al., 2018; Battisti et al., 2021).

22
Overekspansi paru akan menyebabkan ruptur jaringan alveolus yang
memungkinkan lebih banyak udara masuk ke dalam tubuh dan terbentuklah
gelembung ekstravaskular dan intravaskular (Battisti et al., 2021). Udara
intravaskular akan masuk ke sistem vena pulmonalis dan mengalir ke sisi kiri
jantung, yang ditunjukkan oleh ditemukannya massa gelembung udara di sisi kiri
jantung pada pemeriksaan autopsi jenazah. Gelembung udara akhirnya
mencapai sirkulasi arteri serebral yaitu pada kasus ini Circle of Willis, dan udara
akan mengganggu aliran darah ensefalik. Kurangnya aliran darah
mengakibatkan iskemia dan anoksia otak sehingga menimbulkan kematian
dalam waktu singkat pada korban (Casadesús et al., 2018). 

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

23
Barotrauma adalah cedera yang dihasilkan pada jaringan sebagai akibat
dari ketidakmampuan rongga tubuh yang berisi gas seperti paru-paru, telinga
tengah, dan sinus untuk menyamakan tekanan internalnya dengan perubahan
tekanan lingkungan. Barotrauma dapat muncul sewaktu melakukan perjalanan
dengan pesawat terbang atau pada saat menyelam. Menurut Hukum Gas Boyle
didapatkan hubungan terbalik antara volume gas dan tekanannya. Balon yang
naik ke atmosfer akan memuai volumenya seiring dengan menurunnya tekanan
lingkungan. Demikian pula, udara terkompresi yang ditahan di paru-paru seorang
penyelam, jika dia menahan napas, akan mengembang saat tekanan air di
sekitarnya menurun pada saat naik. Pada kasus barotrauma dapat ditemukan
manifestasi klinis antara lain: pusing, penurunan kesadaran, barosinusistis,
barotrauma telinga, epistaksis, barotrauma paru, batuk, nyeri dada, dan nyeri
perut. Pemeriksaan forensik pada korban kasus barotrauma melibatkan proses
yang kompleks. Pemeriksaan tersebut meliputi: investigasi, proses penyimpanan
jenazah korban, pemeriksaan radiologi dan autopsi. Oleh sebab itu, pemeriksa
memiliki peran penting dalam menafsirkan temuan otopsi, sehingga harus
memiliki pengetahuan dan pemahaman terkait kemungkinan perubahan
patologis yang terkait dengan kasus barotrauma.

DAFTAR PUSTAKA

Aggrawal, A., 2021. APC Textbook of Forensic Medicine and Toxicology-Avichal


Publishing Company. Avichal publishing company.
Badan Pusat Statistik, 2016. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2016.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.

24
Battisti, A.S., Haftel, A. and Murphy-Lavoie, H.M., 2021. Barotrauma. StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482348/
Casadesús, Josep M., Fernando Aguirre, Ana Carrera, Pere Boadas-Vaello,
Maria T. Serrando, and Francisco Reina. "Diagnosis of arterial gas
embolism in SCUBA diving: modification suggestion of autopsy
techniques and experience in eight cases." Forensic Science,
Medicine and Pathology 14, no. 1 (2018): 18-25.
Diaz R, and Heller D. Barotrauma And Mechanical Ventilation. StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545226/?report=classic
Dolinak, D., Matshes, E. and Lew, E.O., 2005. Forensic pathology: principles and
practice. Elsevier.
Dowse, M.S.L., Cridge, C., Shaw, S. and Smerdon, G., 2012. Alcohol and UK
recreational divers: consumption and attitudes. Diving Hyperb Med,
42, pp.201-7.
Edmonds, Carl MD,et al. 2013. Diving medicine for SCUBA Divers 5th Edition.
Australia: National Library of Australia.
Fujihara, J., Hasegawa, M., Kato, T., Miura, M., Iida, K., Kinoshita, H., Tanaka, N.
and Takeshita, H., 2013. A case of drowning lacking typical autopsy
findings of carbon monoxide poisoning despite the high CO
concentration. Forensic Toxicology, 31(1), pp.180-182.
Gempp, E., Sbardella, F., Cardinale, M. and Louge, P., 2013. Pulmonary oedema
in breath-hold diving: an unusual presentation and computed
tomography findings. Diving and hyperbaric medicine, 43(3), pp.162-
163.
Itabashi, H.H., Andrews, J.M., Tomiyasu, U., Erlich, S.S. and Sathyavagiswaran,
L., 2011. Forensic neuropathology: a practical review of the
fundamentals.
Kennedy-Little D, Sharman T, 2021. Pulmonary Barotrauma.StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559293/
Lawrence, C and Cooke, C., 2021. Autopsy and the Investigation of Scuba Diving
Fatalities. The Royal College of pathologists of Australasia.

25
Murphy-Lavoie, H. and LeGros, T.L., 2013. 133 Dysbarisms, Dive Injuries, and
Decompression Illness.
Oehmichen, M., Auer, R.N. and König, H.G., 2006. Forensic neuropathology and
associated neurology. Springer Science & Business Media.
Payne-James, J., Byard, R.W. and Corey, T.S., 2006. Encyclopedia of forensic
and legal medicine. The Journal of Legal Medicine, 27, pp.361-366.
Querido, A.L., 2017. Diving and antidepressants. Diving and hyperbaric medicine,
47(4), p.253.
Saukko, P. and Knight, B., 2015. Knight's forensic pathology 4th Edition. CRC
press.
Sens, M.A. and Hughes, R., 2021. Diagnostic Pathology: Forensic Autopsy E-
Book. Elsevier Health Sciences.
Tse, R., Garland, J., Kesha, K., Morrow, P., Lam, L., Elstub, H., Cala, A., Spark,
A., Palmiere, C. and Stables, S., 2018. The potential diagnostic
accuracy of autopsy lung weights, lung-heart ratio, and lung-body ratio
in drowning deaths. The American journal of forensic medicine and
pathology, 39(3), pp.223-228.
Vij, K., 2011. Textbook of forensic medicine and toxicology: principles and
practice, 5/e. Elsevier India.
Whitwell, H., Milroy, C. and du Plessis, D., 2021. Forensic neuropathology. CRC
Press.

26

Anda mungkin juga menyukai