Anda di halaman 1dari 75

Tuberkulosis dengan ISPA dan Hipertensi pada Pria Usia 49 Tahun dengan

Faktor Resiko Transmisi dari Keluarga (Merawat Anak-anak Penderita TB)


disertai Riwayat HNP dan GERD

Disusun Oleh:

Maret 2023
Periode 13 Maret - 9 April 2023
Aisha Putri Setiowati
NIM 200070200011045

KEPANITERAAN KLINIK MADYA KEDOKTERAN KELUARGA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
Tanggal kunjungan pasien : 18 Maret 2023
Wahana : Puskesmas Dinoyo

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Usia : 49 Tahun
Tempat,Tanggal Lahir : 4 Mei 1974
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Mayjend Haryono No. 1204, Malang
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status Pendidikan : SMK
Status Perkawinan : Sudah Menikah

ANAMNESIS
 Keluhan Utama / Alasan Kedatangan:
o Pasien datang untuk kontrol pengobatan TB.
 Riwayat keluhan saat ini
o Pasien datang untuk control mengambil hasil Uji Mantoux dan Uji
TCM pada 18 Maret 2023. Awal pertama kali datang ke puskesmas
dengan keluhan batuk sejak Februari 2023. Batuk berdahak. Batuk
darah disangkal. Pasien juga mengeluh pilek dan hidung tersumbat
sejak 2 hari yang lalu dan tidak ada demam. Mual dan muntah
tidak ada. Pasien sering mengeluh keringat dingin di malam hari,
nafsu makan normal, tidak mengalami penurunan berat badan.
Pasien mengaku merawat kedua anaknya yang menderita TB.
Setelah sekitar 1 bulanan pasien terus mengalami batuk-batuk,
akhirnya keluarga pasien menyarankan untuk pergi berobat. Pasien
akhirnya memeriksakan diri ke Puskesmas Dinoyo. Pasien datang
dengan mengambil hasil uji dahak TCM dan Uji Mantoux karena
ada riwayat kontak erat dengan pasien TB yaitu anak pertama TB
Paru. Di Puskesmas Dinoyo dilakukan pemeriksaan TCM dan Uji
Mantoux dan hasilnya terinfeksi kuman TB. Saat ini pasien
mengatakan keluhan batuknya sudah membaik. Namun, pasien
kadang-kadang masih batuk-batuk kecil. Demam (-), Sesak (-),
Nyeri perut (-), Nyeri dada (-), Mual (-), Muntah (-), BAB warna
merah (+) dan BAK dalam batas normal.

 Keluhan lain yang dirasakan saat ini dan riwayat perjalanannya:


 Riwayat Penyakit Dahulu:
o Pasien mengaku sebelumnya tidak pernah mengalami batuk-batuk
lama seperti ini.
o Pasien melakukan Uji Mantoux dan Uji TCM dan hasil tes (+)
pada 17 Maret 2023 dengan hasil MTB Detected Very Low.
o Pasien mengatakan memiliki riwayat sakit syaraf kejepit sejak
tahun 2018. Pasien pernah jatuh 2 kali dari atap dalam posisi
duduk. Pada awalnya pasien mengatakan masih bisa jalan, dan
hanya mengalami luka di kepala, lalu di bawa ke IGD RS Unisma
dan dilakukann jahit luka di kepala. Pasien mengatakan tiba-tiba
tidak bisa berjalan dan nyeri di kaki kanan dan kiri menjalar
sampai ke punggung, pasien pergi berobat ke pijat alternative,
keluhan tidak membaik. Kemudian pasien pergi ke dokter syaraf,
terdiagnosis HNP dan disarankan untuk operasi namun pasien
menolak, sehingga dilakukan fisioterapi. Pasien juga mengalami
sakit lambung sejak 3 bulan yang lalu.
o Pasien mempunyai riwayat Hipertensi terkontrol namun pasien
lupa sejak kapan terdiagnosis Hipertensi.
o Pada 19 September 2022 pasien mengeluh keringat dingin di
malam hari, nyeri ulu hati, sering bersendawa, dengan diagnosis
dyspepsia.
o Pada 23 September 2022 pasien datang control dengan keluhan
keringat dingin di malam hari masih sama, nyeri kepala (+), nyeri
ulu hati disertai rasa panas menjalar ke dada sejak 1 bulan yang
lalu, mulut terasa pahit dan terdiagnosis GERD.
o Pada 12 Januari 2022 pasien datang control dengan keluhan nyeri
di kaki, tidak bisa berjalan dan dirujuk ke spesialis syaraf RS
UNISMA dengan diagnosis HNP.
o Riwayat alergi / obat: Pasien mengaku tidak memiliki riwayat
alergi terhadap obat-obatan maupun makanan.

 Riwayat Keluarga (Family History)


o Pasien mengatakan di dalam keluarga tidak ada yang mengalami
keluhan yang sama berupa batuk-batuk lama. Ayah dan ibu pasien
meninggal dan ada riwayat DM (+). Pasien tinggal bersama istri, 2
orang anak yang menderita TB paru dan TB kelenjar. Pasien tidak
paham riwayat penyakit saudara/i nya, ayah dan ibu istri pasien,
kakak dan adik ayah pasien, kakak dan adik ibu pasien, serta kakak
dan adiknya orangtua istri pasien.
o Anak pertama, 16 tahun, dengan riwayat TB Paru, pertama kali
muncul keluhan batuk darah lebih dari 2 minggu, penurunan berat
badan, keringat dingin di malam hari (+), demam (-), datang ke
Puskesmas Dinoyo terdiagnosis TB pada Oktober 2021 dan telah
selesai menjalani terapi pada April 2022. Pada Juli 2022, anak
pasien mengalami kekambuhan, batuk berulang yang terus-
menerus, penurunan berat badan. Pasien pergi berobat ke RS UM,
dengan hasil Uji Mantoux (+) dan Uji TCM (-) dan dianjurkan
dokternya untuk melanjutkan terapi. Hingga saat ini anak masih
mejalani terapi. BB anak: 40 kg, TB: 153 cm. IMT: 17,1 kg/m2
(Underweight). Riwayat pengobatan anak pertama: OAT Kategori
1 2RHZE dalam KDT sebanyak 14 dosis, 1 x 5 tablet.
o Anak kedua, 10 tahun, mempunyai riwayat TB kelenjar dengan
benjolan yang muncul di bawah ketiak kiri berjumlah 2 buah sejak
Juli 2022, kemudian keluarga membawa anak ke RS UM,
dilakukan biopsy dan hasilnya terdiagnosis TB Kelenjar sejak
Agustus 2022. Dokter memberikan terapi oral minum 1 hari sekali,
setiap minum 5 tablet yang dilarutkan ke air, dan control setiap 2
minggu. Hingga saat ini anak masih menjalani terapi. BB anak: 25
kg, TB: 131 cm. IMT: 14,6 kg/m2 (Underweigh). Riwayat
pengobatan OAT Rifampicin dan Isoniazid 1x4 tablet.
o Ibu mengatakan tidak ada keluhan, Uji Mantoux (-) Uji TCM (-).
BB: 45 kg. TB: 144 cm. IMT: 21,7 kg/m2 (Normal).

 Riwayat sosial (eksplorasi faktor risiko internal dan eksternal)


Identifikasi riwayat aktivitas social keseharian
1. Aktivitas keseharian : untuk sehari-hari pasien hanya berada
dirumah saja dan tidak melakukan aktivitas berat. Pasien sudah
tidak bekerja, dulunya pasien adalah seorang tukang bangunan.
Pasien sehari-hari membantu pekerjaan di rumah seperti mencuci
piring dan menyapu. Pasien bangun jam 04.00 dan tidur jam 21.00
setiap hari.
2. Internal : pasien mengkonsumsi makanan seimbang sayur, nasi,
lauk porsi makanan cukup. Pasien mandi 2x sehari. Pasien tidur 6
hingga 7 jam sehari. Pasien berolahraga hanya jalan pagi.
3. Eksternal : pasien sehari-hari tidak bekerja, merokok sejak
lama, pasien mengatakan interaksi di dalam keluarga baik-baik
saja. Pasien juga berhubungan baik dengan tetangga samping
kanan dan kiri rumah. Pasien dulu sering mengikuti kegiatan yang
dilakukan oleh RT setempat, namun sejak sakit, pasien jarang
melakukan interaksi dengan warga sekitar. Rumah pasien
berdempetan dengan rumah tetangga, dan kurang akses matahari.
Rata-rata rumah disekitar tempat tinggal pasien berdempetan.
Jendela di rumah pasien tidak setiap hari dibuka. Di kamar tidur
pasien tidak terdapat jendela dan ventilasi. Pasien memiliki 1
burung dirumahnya.
 Riwayat pengobatan:
Pasien terdiagnosis TB Paru pada tanggal 17 Maret 2023. Pasien memulai
pengobatan TB sejak tanggal 18 Maret 2023. Berikut rincian pengobatan
pasien:
 30 Agustus 2022  pasien mendapatkan obat NAC 3x20 mg,
Nerofa 1x1, Zinc 1x1, Vit. D 500 IU 1x1, Paracetamol 3x500mg
 19 September 2022  Antasida 3x1, Ranitidin 2x1,
 23 September 2022  Scopma 3x1, Ranitidine 2x1,
Metoclopramid 3x10. Dirujuk ke Poli IPD RS UMM.
 9 Maret 2023  Molexdryl 3x2 cth, Vit. D 1x1, Amoxicillin
3x500 m, Vit. D 1x1.
 18 Maret 2023  pasien mendapatkan OAT Kategori 1 2RHZE
dalam KDT sebanyak 14 dosis, 1 x 5 tablet. Pasien juga diberikan
Vit. B6 1x1 tab, dan Amlodipin 5 mg 0-0-1. Pasien disuruh kontrol
kembali tanggal 31 Maret 2023.
 31 Maret 2023  pasien mengambil OAT kembali sesuai tanggal
kontrol dan mendapatkan 28 dosis, 1 x 5 tablet beserta Vit. B6.
Pasien disuruh kontrol kembali tanggal 5 Mei 2023.

 Review of sistem (Mereview keluhan lain mulai dari kepala sampai


kaki)
o Head / neck : pusing (-) nyeri/sulit menelan (-) nyeri tenggorokan
(-), lemas (-), mata kabur (-), gangguan telinga (-),ngorok/mengi (-)
o Respirasi : batuk berdahak (+) pilek (+), sesak (-), keringat malam
(+), demam(-)
o Kardiovaskular : berdebar (-), nyeri dada (-)
o Gastrointestinal : mual muntah (-), nafsu makan turun (-)
diare/konstipasi (-), BAB normal
o Genitouria : BAK berwarna merah (+), retensi (-),
o Musculoskeletal: linu/nyeri di kedua kaki (-), kesemutan (-), edema
(-)
PEMERIKSAAN FISIK (20 Maret 2023)
 Status gizi : BB : 90 kg, TB : 162 cm, BMI: 34,3 kg/m2(Obesitas)

Keadaan Baik
umum
Kesadaran GCS 456, Compos mentis
Tanda-tanda  TD : 154/101 mmHg
vital  Nadi : 105x/min, reguler, kuat angkat
 RR : 18x/min
 Suhu : 36,6oC
 SpO2 : 96% on RA
Kepala/Leher Normosefal, deformitas (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), pandangan kabur (-), pupil bulat
isokor 3mm/3mm, refleks cahaya (+), gangguan
pendengaran (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-), JVP R+2cm H2O
Thoraks Cor
 Inspeksi : Iktus tidak tampak
 Palpasi : Iktus teraba ICS V MCL sinistra
 Perkusi : Tidak terdapat pembesaran jantung
 Auskultasi : S1-S2 regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo
 Simetris, retraksi (-)
 Statis : D=S
 Dinamis : D=S
 Palpasi Stem Fremitus
Ant Post
N N
NN NN
NN NN
 Perkusi
Ant Post
DS DS
SS SS
SS SS
 Auskultasi
Ant Post
V V
VV VV
VV VV
Rh: Ant Post
+- +-
-- --
-- --
Wh: Ant Post
-- --
-- --
-- --
Abdomen Soefl, bising usus (+) normal, shifting dullness (-),
hepatomegaly (-), traubes space timpani, hepatojugular
reflux (-)
Ekstremitas Akral hangat kering merah, Edema (-/-), CRT <2 detik,
kesemutan di kedua kaki (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang saat datang ke pelayanan kesehatan:
- Pemeriksaan TCM (17 Maret 2023)  MTB Detected very low
- Pemeriksaan HIV (20 Maret 2023)  Non Reaktif
FAMILY ASSESSMENT
 Family genogram
o Nama keluarga adalah Keluarga Tn. Budi Didik

25 Maret 2023
DM DM

Menikah th 2005

Ny. W
Kakak 1 Pasien Suami kakak 1 Tn. A
c Ny. R
Ny. T
Istri Suami Suami
55 thn Kakak 2 Pasien Pasien, 49 Ny. R, Istri pasien Adik Pasien
kakak 2 Kakak 3 Adik
53 thn kakak 3 thn 41 thn 47 thn
Pasien Pasien
51 thn

Anak 2 Pasien,
10 thn
An. M An. N
An. P An. T Anak 1
An. S An. R An. B An. Y An. F An. K
Pasien, 16 thn

Keterangan :

: Laki – Laki : Keluarga tinggal 1 rumah


: Perempuan
: Menikah
: Tb Paru
: Harmonis
: Tes Mantoux (+)
: Kontak Erat pasien TB
: Pasien
X : Meninggal
: Diabetes Mellitus
: TB Kelenjar
; : Hipertensi

 Bentuk keluarga
O Pasien tinggal bersama istri dan 2 orang anak  keluarga inti (nuclear
family).
 Tahap keluarga
o Tahapan keluarga berdasarkan Duvall’s Eight Stage Family Life
Cycle adalah tahap V yaitu Family with Teenagers, karena anak
pertama berusia 17 tahun dan anak kedua berusia 10 tahun.

 Family APGAR

Skor
Hampir
Hampir Kadang-
No Item Penilaian Tidak
Selalu kadang
pernah
(2) (1)
(0)
1 Adaptation
Saya merasa puas karena saya
dapat meminta pertolongan 
kepada keluarga saya ketika
saya menghadapi permasalahan
2 Partnership
Saya merasa puas dengan cara
keluarga saya membahas 
berbagai hal dengan saya dan
berbagi masalah dengan saya
3 Growth
Saya merasa puas karena
keluarga saya menerima dan
mendukung keinginan-keinginan 
saya untuk memulai kegiatan
atau tujuan baru dalam hidup
saya
4 Affective

Saya merasa puas dengan cara
keluarga saya mengungkapkan
kasih sayang dan menanggapi
perasaan-perasaan saya, seperti
kemarahan, kesedihan, dan cinta
5 Resolve
Saya merasa puas dengan cara

keluarga saya dan saya berbagi
waktu bersama
Skor total : 6

 Berdasarkan dari kondisi keluarga Tn. Budi dan dari Family


APGAR, didapatkan nilai 6. Dan nilai 6 tersebut, keluarga dari Tn.
Budi masuk dalam kategori Fungsi Keluarga Kurang Baik
(Moderately Functional Family).

 Family SCREEM
Resource Patologis
Social Pasien jarang mengikuti kegiatan
warga dan jarang bersosialisasi
dengan tetangga
Cultural Pasien dan keluarga adalah orang
suku jawa. Tidak ada
perbedaan budaya yang bermakna
Religious Pasien dan keluarganya beragama
Islam. Ibadah wajib pasien
lakukan setiap hari di rumah.
Economic Pasien hidup di dalam keluarga Pasien merasa
dengan taraf ekonomi menengah kesulitan mendapatkan
ke bawah. Pasien merupakan pendapatan karena
tukang bangunan dan sekarang hanya berasal dari istri
tidak bekerja, dan istri pasien dan istri berjualan
hanya berjualan gorengan. makanan dan minuman
di pinggir jalan.
Education Tingkat pendidikan pasien Tingkat pemahaman
adalah tamatan SMK. Istri pasien serta kesadaran pasien
merupakan tamatan SMP. dan keluarga tentang
kesehatan masih
kurang, khususnya
terakit penyakit pasien
yaitu TB. Pasien masih
kurang memahami
bagaimana penularan
TB, skrinning TB, dan
juga dampak apabila
anak-anak pasien
terkena TB.
Medical Pasien memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang ada dengan baik
karena sudah memiliki kartu
BPJS sehingga pasien jika
mengalami masalah kesehatan
cepat berobat ke Puskesmas
Dinoyo.

 Family coping score


Family coping score dari pasien adalah 4 keluarga sudah mau untuk
berpartisipasi dalam membantu pasien berobat, namun sesekali harus
diingatkan oleh provider kesehatan.
Mandala of Health

Budaya

Komunitas

Gaya Hidup
Pasien merokok dan jarang berolahraga.

Personal Behavior
Keluarga
Pasien tinggal bersama istri, dan 2
Pasien masih sering tidak
orang anak dengan TB. Lingkungan Psiko Sosio
menggunakan masker meskipun
terdiagnosis TB. Ekonomi
Kondisi ekonomi pasien golongan
. menengah kebawah. Pasien merasa
Body stress karena kondisi keuangannya.
Pria, usia 49 tahun
dengan TB Paru.

Mind Pekerjaan
Pengetahuan pasien Pasien saat ini
tentang penyakitnya tidak bekerja.
masih kurang.

Lingkungan Fisik
Biologi Manusia Lingkungan tempat tinggal
Pasien obesitas pasien berada di lingkungan
dan hipertensi.. yang padat penduduk. Di dalam
kamar pasien tidak ada jendela
dan ventilasi. Kedua anak
pasien terdiagnosis TB Paru
dan TB Kelenjar

Lingkungan Buatan Manusia

Biosphere
DIAGNOSIS HOLISTIK
o Aksis 1 - Aspek Personal:
Alasan kedatangan : Pasien datang untuk kontrol mengambil hasil Uji
Mantoux dan Uji TCM pada 18 Maret 2023.
o Persepsi :
Pasien menduga batuknya disebabkan karena ketularan anaknya yang
terdiagnosis TB paru.
o Harapan :
Pasien berharap bisa sembuh dari penyakitnya dan tidak ada anggota
keluarga yang terinfeksi bakteri TB.
o Kekhawatiran :
Pasien saat ini khawatir jika penyakit TB yang dialaminya menular ke
istrinya dan orang-orang disekitarnya.
o Upaya :
Pasien datang untuk berobat terkait keluhan yang dideritanya.

o Aksis 2 - Aspek Biomedis:

o Diagnosis Kerja : Tuberkulosis Paru, ISPA, Hipertensi

o Diagnosis Banding: Pneumonia, bronkiolitis, bronkitis akut,


penyakit paru obstruktif kronis

o Aksis 3 - Aspek Risiko Internal:


o Genetik: Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan
serupa seperti yang dialami oleh pasien.
o Gaya hidup/ Perilaku: Pasien tidak rutin menggunakan masker
terutama di lingkungan sekitar rumah. Saat ini pasien hanya
menggunakan masker jika akan pergi ke tempat tertentu, seperti ke
Puskesmas dan ke Pasar. Di dalam rumah pasien tidak pernah
menggunakan masker. Pasien sudah tidak bekerja sejak 4 tahun
yang lalu.
o Kondisi Biologis: Status gizi pasien adalah Obesitas dengan BMI
34,3 Kg/m2. Pasien menderita Hipertensi.
o Psikologis: Pasien stress dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini
kemungkinan karena kondisi ekonomi yang bermasalah.

o Aksis 4 - Aspek Risiko Eksternal:


o Transmisi: adanya transmisi dari anak pasien karena tinggal satu
rumah.
o Ekonomi: Kondisi ekonomi pasien golongan menengah kebawah.
Pasien merasa stress karena kondisi keuangannya.
o Lingkungan Sosial: -
o Lingkungan Budaya: -
o Lingkungan Fisik: Pasien tinggal di daerah yang jarak antar
rumah warganya sempit dan penduduknya padat. Dinding rumah
pasien kanan-kiri berhimpitan langsung dengan rumah
tetangganya. Di lingkungan rumah pasien, sinar matahari tidak
langsung menembus rumah warga-warganya. Kamar pasien sendiri
tidak memiliki jendela dan ventilasi.
o Lingkungan Kimia: -
o Lingkungan Biologi: -

o Aksis 5 - Derajat Fungsional:


o Derajat fungsional 1  pasien masih bisa melakukan pekerjaan
sehari-sehari seperti sebelum sakit (membersihkan rumah,
mencuci, memasak, mengurus anak). Pasien masih bisa mandiri
dalam melakukan perawatan diri.
ANALISIS PENEGAKAN DIAGNOSA (mencantumkan referensi dan
literature)

1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA).
Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan
menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi
organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan
organ ekstra paru lainnya (PNPK, 2020).

1.2 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi tertua yang


melekat sepanjang sejarah peradaban manusia dan masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang penting di dunia hingga hari ini. Pada tahun 1993,
World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global
Emergency.

Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2020 yang diterbitkan oleh WHO,


diperkirakan pada tahun 2019 terdapat:

 Insidens kasus : 10 juta (8,9 – 11 juta)


 Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,2 juta (1,1 – 1,3 juta
 Kasus meninggal (HIV positif) : 208.000 (177.000-242.000)

Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio Asia Tenggara (44%), Afrika
(25%) dan regio Pasifik Barat (18%). Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus TB
terbanyak yang mencakup dua pertiga dari seluruh kasus TB global yaitu India
(26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%), Nigeria
(4,4%), Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%). Sebanyak 8,2% kasus TB
adalah HIV positif. Pada tahun 2019, diperkirakan sebanyak 3,3% dari TB Paru
kasus baru dan 18% dari TB Paru dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya
merupakan TB multidrug-resistant atau rifampicin-resistant (TB MDR/RR)
dengan jumlah absolut sebanyak 465.000 (400.000 – 535.000) kasus TB
MDR/RR baru (PNPK, 2020).

Di Indonesia sendiri diperkirakan pada tahun 2019 terdapat 845.000


(770.000 – 923.000) kasus baru TB Paru, sebanyak 19.000 kasus baru di
antaranya merupakan kasus TB-HIV positif. Diperkirakan terdapat 92.000
kematian pada kasus TB-HIV negatif dan 4.700 kematian pada pasien TB-HIV
positif (PNPK, 2020).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih


dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang
dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB, dan biakan.

a. Pemeriksaan TCM
Uji TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,
dengan menggunakan amplifikasi polymerase chain reaction (PCR) real-time
multiplex. Metode ini dapat mengidentifikasi bakteri berdasarkan teknik DNA
molekular. Pemeriksaan ini merupakan tes diagnostik yang cepat dengan
sensitivitas mencapai 98%, terutama dalam mendeteksi resistensi rifampisin.
Pemeriksaan yang menggunakan RNA ribosom dan PCR DNA ini dapat selesai
dalam waktu 24 jam.

b. Tes tuberkulin kulit atau tes Mantoux dilakukan dengan menginjeksi


purified protein derivate (PPD)
o Pasien dengan risiko paparan rendah (pasien yang tidak memiliki risiko
terpapar TB) memiliki hasil Mantoux positif  indurasi pada kulit ukuran
15 mm.
o Pasien dengan risiko sedang (pasien yang berasal dari negara endemik TB,
tenaga kesehatan, dan sebagainya)  hasil Mantoux positif bila indurasi
berukuran >10 mm.
o Pasien dengan risiko tinggi (pasien dengan HIV positif, riwayat TB, dan
kontak erat dengan pasien TB lain)  hasil Mantoux positif bila indurasi
berukuran >5 mm.
o Pembacaan hasil dilakukan 48–72 jam setelah injeksi 0,1 ml PPD secara
intradermal. Suntikan akan menimbulkan gelembung kulit pucat
berdiameter 6–10 mm.

Pasien datang untuk control hasil uji TCM dan uji mantoux dengan
hasil positif, yang didukung dengan gejala klinis. Pasien terkena TBC karena
adanya sumber infeksi yakni pasien merawat anaknya yang menderita TB paru
dan TB kelenjar, sehingga terjadi kontak yang bersifat terus-menerus karena
tinggal dalam satu rumah.

1.3 Etiologi dan transmisi TB (PNPK, 2020)

Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium


tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium
microti and Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular antar manusia
melalui rute udara.
Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan M.TB.
Namun, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan melakukan
penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan limfe orofaring saat
seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi tersebut. Angka kejadian
infeksi M.bovis pada manusia sudah mengalami penurunan signifikan di negara
berkembang, hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah
diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak. Infeksi
terhadap organisme lain relatif jarang ditemukan (PNPK, 2020).
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang
yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik
juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang
menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan
jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter
1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius, dan
dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil,
percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru,
dimana bakteri kemudian melakukan replikasi (PNPK, 2020).

Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :


1. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang
dan ventilasi.
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.

Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang
paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien dengan hasil
pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB ekstra paru
hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru.
Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang
menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melalukan transmisi ke
organisme lain (PNPK, 2020).
Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB
aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal. 50- 60% orang
dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang aktif.
Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami
penekanan seperti pada kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan
kortikosteroid atau obat-obat imunosupresan lain dalam jangka panjang.
1.4. Faktor risiko TB (Kemenkes, 2019)
Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :
1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang.
3. Perokok
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberculosis (contoh: lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan

Faktor Risiko Utama Lainnya:

1. Faktor sosial ekonomi: Kemiskinan, kekurangan gizi, perang

2. Imunosupresi: HIV/AIDS, terapi imunosupresif kronis (steroid, antibodi


monoklonal terhadap faktor nekrotik tumor), sistem kekebalan yang kurang
berkembang (anak-anak, gangguan imunodefisiensi primer)

3. Pekerjaan: Pertambangan, pekerja konstruksi, pneumoconiosis (silikosis)

1.5 Patogenesis TB (PNPK, 2020)


Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-
bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana
nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian
akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi
bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag
alveolus yang mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme
pertahanan awal ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag (PNPK,
2020).
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun
eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi.
Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan
mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan
sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin
skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk
berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon
imun (PNPK, 2020).
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar
melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah
dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki
resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan
hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di
bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi organ-organ
tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa
kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun
seluler spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya (PNPK, 2020).
Gambar 1. Patofisiologi tuberkulosis.

1.5.1 TB primer (PNPK, 2020)


Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal
ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai TB
anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada individu yang
belum pernah terpapar M.TB sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili
yang terhirup dan menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di
bagian bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian
mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu
menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga
bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain
bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus infeksi
dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian disebut sebagai
Ghon focus.
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui
jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon)
primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di
dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan
mengaktivasi makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang
terfagositosis. Fokus primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian
terus melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan
dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag yang
mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host adekuat.
Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk beberapa bulan atau
tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer biasanya bersifat
asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu
setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk
menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan menyebar dari sistem
limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit
TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer progresif pada parenkim paru
menyebabkan membesarnya fokus primer, sehingga dapat ditemukan banyak area
menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas,
menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post primer (PNPK, 2020).

1.5.2 TB pasca primer


TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang
memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat
dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem imun
host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang pernah
mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang
terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan
bagian dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer,
perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak
dibanding pada orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan
gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-
primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan
organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah ditemukannya
kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan
sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan
limfadenopati intratorakal.

1.6 Gejala klinis TB paru (PNPK, 2020)


Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan
manifestasi klinis sebagai berikut:
1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Batuk berdahak
3. Batuk berdahak dapat bercampur darah
4. Dapat disertai nyeri dada
5. Sesak napas
Dengan gejala lain meliputi :
1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari

1.7 Klasifikasi TB (PNPK, 2020)


Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan
berdasarkan :
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :
a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial.
TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. Pasien
yang mengalami TB paru dan ekstra paru harus diklasifikasikan sebagai kasus TB
paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru
seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitorurinaria, kulit,
sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakkan secara
klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi
bakteriologis (PNPK, 2020).

1.7.1 TB Kelenjar
Gejala konstitusional hanya terjadi pada 33%-85% pasien. Sekitar 57%
pasien tidak menunjukan adanya gejala sistemik, seperti tanpa didasari adanya
demam, namun terkadang terdapat subfebril, Pada keadaan tertentu ditemukannya
demam yang tinggi pada orang dewasa sehingga diperlukan pemeriksaan foto
toraks untuk menunjukan adanya pembesaran kelenjar limfe dileher.
Diagnosis ditegakkan melalui aspirasi jarum halus dan biopsi kelenjar.
Pada biopsi dapat ditemukan inflamasi granulomatous kaseosa dengan sel
Langerhans.

Gejala klinis:
- Tidak nyeri tekan.
Pembesaran kelenjar dengan perabaan keras atau padat serta multiple dan
berhubungan satu sama lain
- Tanda-tanda radang yang minimal
Terdapat pengkejuan seluruh kelenjar sehingga melunak seperti abses. Gejala lain
seperti nyeri sekitar 4.7%, demam 2.91% , dan penurunan berat badan 5.1% .

Mayoritas penularan TB anak berasal dari orang terdekat atau keluarga


yang tinggal satu rumah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena anak-anak lebih
sering mengahabiskan waktu di dalam rumah sehingga sangat mudah berinteraksi
dengan keluarga baik orangtua, saudara kandung, nenek dan kakek yang memiliki
riwayat maupun sedang terinfeksi TB paru. Dapat juga disebabkan karena anak-
anak memiliki sistem imun yang rendah sehingga lebih mudah tertular dari orang-
orang terdekatnya. Riwayat TB paru pada keluarga merupakan salah satu faktor
terjadinya limfadenitis TB pada anak. Hal ini menunjukkan adanya kontak erat
dengan penderita TB dewasa semakin tinggi.
Riwayat kontak erat merupakan proses transmisi bakteri TB ke dalam tubuh yang
pada akhirnya akan terinfeksi bakteri TB

Faktor-faktor lain yang memungkinkan terjadinya limfadenitis TB pada


anak yaitu faktor kondisi lingkungan dan faktor orang tua. Pada penelitian ini
tidak mengukur faktor-faktor di atas. Hal ini dikarenakan faktor-faktor di atas
tidak didapatkan pada data rekam medis yang diteliti. Kondisi rumah seperti
ventilasi, pencahayaan, kelembapan dan kepadatan hunian juga menjadi salah satu
faktor terjadinya limfadenitis TB. Faktor pengetahuan orang tua dan riwayat
imunisasi BCG juga berpengaruh. Syarat ventilasi rumah yang baik yaitu
perbandingan luas ventilasi dengan luas rumah  10% sedangkan tingkat
kelembapan rumah yang baik yaitu minimal 40-70% dengan suhu ideal 18-30C.
Pencahayaan rumah yang cukup dapat dikatakan bahwa cahaya yang masuk ke
dalam rumah tidak kurang ataupun tidak lebih, terutama cahaya matahari.
Kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah akan menyebabkan
kelembapan yang tinggi sehingga mendukung berkembangnya berbagai macam
bakteri, termasuk bakteri TB. Syarat luas rumah yang baik adalah luas rumah
yang memiliki luas minimum 8 m2 /orang. Hal tersebut diupayakan agar penghuni
rumah memiliki kebutuhan oksigen yang cukup dan untuk mencegah terjadinya
penularan penyakit.
Anak yang memiliki orang tua dengan tingkat pengetahuan yang kurang
memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk terinfeksi TB [17]. Semakin rendah
tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh penderita atau keluarganya, maka semakin
besar pula peluang mereka menjadi sumber penularan penyakit baik di luar
maupun di dalam rumah. Penelitian lain menyebutkan bahwa riwayat imunisasi
BCG juga berpangaruh terhadap kejadian limfadenitis TB anak. Imunisasi BCG
tidak dapat menjamin sepenuhnya seorang anak untuk tidak terinfeksi limfadenitis
TB dikarenakan terdapat beberapa faktor lain yang lebih dominan menyebabkan
terjadinya limfadenitis TB
1.7.2 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau
riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis bila memakai
obat program).
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah mendapatkan
OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat program). Kasus ini
diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut
c. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini
ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru
yang disebabkan reinfeksi).
d. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
e. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan OAT 1
bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut
dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil
akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan
dalam salah satu kategori di atas

Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan sebelumnya karena


terdapat risiko resistensi obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat menggunakan tercepat yang telah
disetujui WHO (TCM TB MTB/Rif atau LPA (Hain test dan genoscholar) untuk
semua pasien dengan riwayat pemakaian OAT.

1.7.3 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Berdasarkan hasil uji kepekaan, klasifikasi TB terdiri dari :
a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional),
dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam
kelompok TB RR adalah semua bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR
yang terbukti resistan terhadap rifampisin.

1.7.4 Klasifikasi berdasarkan status HIV


a. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil tes HIV-positif, baik yang
dilakukan pada saat penegakan diagnosis TB atau ada bukti bahwa pasien telah
terdaftar di register HIV (register pra ART atau register ART).
b. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang
dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV
positif di kemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak
memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini
diketahui HIV positif dikemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.

Menentukan dan menuliskan status HIV sangat penting dilakukan untuk


mengambil keputusan pengobatan, pemantauan dan menilai kinerja program.
Dalam kartu berobat dan register TB, WHO mencantumkan tanggal pemeriksaan
HIV, kapan dimulainya terapi profilaksis kotrimoksazol, dan kapan dimulainya
terapi antiretroviral.
1.8 Diagnosis Tuberculosis (PNPK, 2020)
Diagnosis untuk kasus tuberkulosis dapat diawali dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi. Namun, penemuan pada
pemeriksaan fisik tidak bersifat spesifik dan tidak dapat menggambarkan seberapa
parah kondisi pasien. Radiografi paru merupakan metode sederhana dan dapat
digunakan untuk mendiagnosis pasien TB. Hasil pemeriksaan radiologi pasien
dengan tuberkulosis umumnya menunjukkan adanya gambaran konsolidasi atau
kavitasi pada apeks paru.

Gambar 2. Radiografi paru pada pasien dengan TB, terlihat gambaran


infiltrat dan kavitas pada apeks paru kanan.

Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis


untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada
pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain),
pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik cepat
yang telah mendapat rekomendasi WHO.
Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya melalui sistem
pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen. Pada daerah dengan
laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus TB BTA positif
bila paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif.

Gambar 3. Hasil pewarnaan bakteri tahan asam.

WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal


terhadap rifampisin dan isoniazid pada kelompok pasien berikut:
1. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. Hal ini dikarenakan TB
resistan obat banyak ditemukan terutama pada pasien yang memiliki riwayat gagal
pengobatan sebelumnya.
2. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif. Khususnya mereka yang
tinggal di daerah dengan prevalensi TB resistan obat yang tinggi.
3. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan obat.
4. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer >3%.
5. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada akhir fase
intensif. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum BTA pada bulan berikutnya.

1.9 Patogenesis Limfadenitis Tuberkulosis


Patogenesis limfadenitis TB masih belum dipahami secara keseluruhan,
masih menjadi perdebatan antara pernyakit lokal atau penyakit sistemik. Pada
Limfadenitis non-tuberkulosis penyebaran bisa melalui gigi karies, mukosa
ororfaring, kelenjar salifa, tonsil, ginggiva, dan conjutiva.18 Mikobakterium bisa
masuk melalui pencernaan karena meminum susu dari sapi yang terinfeksi M.
bovis.
Limfadenitis TB dapat terjadi selama TB primer atau merupakan reaktifasi
dari fokus infeksi dorman di paru-paru, kemudian menyebar secara limfogen ke
kelenjar getah bening regional. Dari nodul limfatikus regional dapat terus
menyebar melalui sistem limfatik ke kelenjar getah bening yang lain.
Penyebaran ke organ lain dapat terjadi secara hematogen, dibawa oleh sel
monosit. dan melalui kelenjar getah bening dapat mencapai aliran darah,
kemudian dapat menyebar ke seluruh organ. Kelenjar getah bening hillus,
mediastinal, dan paratrakheal merupakan kelenjar getah bening pertama tempat
penyebaran M. tuberculosis dari parenkim paru-paru.
Limfadenitis TB supraklavikula merupakan manifestasi penyebaran
melalui limfogen dari paru, karena drainase limfatik dari parenkim paru.
Sedangkan limfadenitis TB servikalis dapat merupakan penyebaran dari fokus
primer dari tonsil, adenois sinusoid atau osteomyelitis dari tulang ethmoid. Pada
TB yang tidak diobati, pembesaran kelenjar getah bening hillus dan para trakheal
memberikan gambaran yang jelas pada rontgen dada.
Pada tahap awal keterlibatan kelenjar getah bening superficial,
menunjukan terjadi multiplikasi progesif dari M. tuberculosis, hipersensitif tipe
lambat atau respon imun seluler, disertai oleh hiperemia, pembengkakan,
nekrosis, dan kaseasi di pusat nodus. Keadaan tadi diikuti oleh inflamasi,
pembengkakan yang progresif, dan saling menempel dengan nodus yang saling
berdekatan dalam satu grup. Adhesi dengan kulit di sekitarnya dapat
menyebabkan indurasi dan perubahan warna kulit menjadi keunguan. Bagian
tengah nodus menjadi lembek dan dapat pecah, keluar masuk ke jaringan
sekitarnya atau membentuk fistula keluar menembus kulit.
Granuloma pada limfadinitis merupakan kumpulan beberapa sel
radang, terutama makrofag yang matur yang membentuk agregat sebagai respon
terhadap sebuah antigen. Antigen dapat berasal dari sebuah bakteri, jamur, benda
asing, dan kompleks imun. Tujuan terbentuknya granuloma adalah untuk
mengisolasi antigen tersebut dari tubuh host dan memfasilitasi eradikasi antigen
tersebut. Reaksi imun penting ini memberikan perlidungan tubuh dari pengenalan
antigen, sangat penting dalam kasus infeksi mikobakteri.9
Nekrosis pada granuloma menunjukkan agresifitas agen infeksi 21. Daerah
nekrosis tersebut merupakan kumpulan dari sel fagosit yang mengalami nekrosis
dan matriks ekstraseluler yang mengalami kerusakan. Nekrosis makrofag
merupakan salah satu jalur kematian sel makrofag, dan menunjukkan kegagalan
makrofag untuk mengeliminasi M. tuberculosis 14,22–24. Nekrosis juga
merupakan salah satu mekanisme respon imun seluler atau hipersensitif tipe
lambat, untuk mengeliminasi bakteri intraseluler.25
Penilaian terhadap lesi granuloma telah dilakukan oleh Ramanathan sejak
tahun 1999, yang mencakup identifikasi komponen seluler dari komplek inflamasi
dan penilaian keberadaan nekrosis jaringan. Komponen seluler yang dinilai
adalah: adanya epitheloid cells (Ecs), giant langerhans cells (GLCs), dan
nekrosis.

1.9.1 Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dapat dilakukan dengan 2


metode:

1. Metode konvensional uji kepekaan obat


Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan menggunakan 2 macam
medium padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair MGIT
(Mycobacterium growth indicator tube). Biakan M.TB pada media cair
memerlukan waktu yang singkat minimal 2 minggu, lebih cepat dibandingkan
biakan pada medium padat yang memerlukan waktu 28-42 hari.

2. Metode cepat uji kepekaan obat (uji diagnostik molekular cepat)


Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi DNA M.TB saat ini merupakan
metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan di Indonesia. Metode
molekuler dapat mendeteksi M.TB dan membedakannya dengan Non-
Tuberculous Mycobacteria (NTM).
Selain itu metode molekuler dapat mendeteksi mutasi pada gen yang
berperan dalam mekanisme kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2. WHO
merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi resistan
rifampisin. Resistan obat antituberkulosis lini 2 direkomendasikan untuk
menggunakan second line line probe assay (SL-LPA) yang dapat mendeteksi
resistensi terhadap obat antituberkulosis injeksi dan obat antituberkulosis
golongan fluorokuinolon. Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen pengkode
resistensi OAT lainnya saat ini dapat dilakukan dengan metode sekuensing, yang
tidak dapat diterapkan secara rutin karena memerlukan peralatan mahal dan
keahlian khusus dalam menganalisisnya. WHO telah merekomendasi pemeriksaan
molekular line probe assay (LPA) dan TCM, langsung pada specimen sputum.
Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan gen
pengkode resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam waktu 2
(dua) jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode
konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan
TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan uji kepekaan konvensional
yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis definitif TB, terutama pada pasien
dengan pemeriksaan mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji kepekaan OAT
untuk mengetahui resistensi OAT selain rifampisin.
Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan sputum secara ekspektorasi
spontan maka dapat dilakukan tindakan induksi sputum atau prosedur invasif
seperti bronkoskopi atau torakoskopi.
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi
bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan HIV dan gula darah.
Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dan
lain-lain.
Gambar 4. Alur Diagnosa TB

Keterangan alur:
1. Prinsip penegakan diagnosis TB:
a. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
b. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi over diagnosis ataupun under diagnosis.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

2. Fasyankes yang mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM) TB:


a. Fasyankes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis TB
pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana
pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM melampaui
kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll.), penegakan
diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b. Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan terduga TB dengan HIV
positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis TB dengan
TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan tes cepat molekuler
terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan contoh uji.
c. Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM sebanyak 2
(dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk diperiksa TCM, satu
contoh uji untuk disimpan sementara dan akan diperiksa jika diperlukan (misalnya
pada hasil indeterminate, pada hasil Rif Resistan pada terduga TB yang bukan
kriteria terduga TB RO, pada hasil Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim
ke Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji kepekaan lini-2 dengan metode
cepat)
d. Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri atas cairan
serebrospinal (cerebro spinal fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan lambung (gastric
lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric aspirate).
e. Pasien dengan hasil M.tb resistan rifampisin tetapi bukan berasal dari kriteria
terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika terdapat perbedaan
hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang menjadi acuan tindakan
selanjutnya.
f. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil tetap
sama, berikan pengobatan TB lini 1, lakukan biakan dan uji kepekaan.
g. Pengobatan standar TB-MDR segera diberikan kepada semua pasien TB-RR,
tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika
hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR. Bila ada
tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan harus disesuaikan dengan
hasil uji kepekaan OAT.
h. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (line probe assay) lini-2
atau dengan metode konvensional
i. Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB pre XDR
atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
j. Pasien dengan hasil TCM M.TB negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks. Jika
gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter, pasien dapat
didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks
tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.

3. Fasyankes yang tidak mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM) TB


a. Fasyankes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM,
penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.
b. Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua)
dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak sewaktu-sewaktu
atau sewaktu-Pagi.
c. BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil
pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada
pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien
dengan BTA (+)
d. BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif.
Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis
dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter.
Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak
memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi
antibiotika spektrum luas (NonOAT dan Non-kuinolon) terlebih dahulu selama 1-
2 minggu.

Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu
dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat
didiagnosis sebagai TB Klinis.
Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
1) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
2) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
3) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi,
daerah kumuh, dll.

1.10 Skrinning TB

1.10.1 Tes Mantoux

Reaksi Mantoux setelah penyuntikan dosis PPD (purified protein derivative)


adalah tes skrining untuk paparan Tuberkulosis. Hasilnya diinterpretasikan
dengan mempertimbangkan risiko pajanan pasien secara keseluruhan. Pasien
diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok berdasarkan risiko paparan dengan tiga titik
batas yang sesuai. 3 kelompok utama yang digunakan yakni sebagai berikut.

 Resiko rendah

Individu dengan kemungkinan paparan minimal dianggap memiliki tes


Mantoux positif hanya jika terdapat indurasi yang sangat signifikan setelah injeksi
PPD intradermal. Titik batas untuk kelompok orang ini (dengan risiko pajanan
minimal) diambil sebesar 15 mm.
 Risiko Menengah

Individu dengan probabilitas menengah dianggap positif jika indurasi lebih


besar dari 10 mm.

 Berisiko tinggi

Individu dengan risiko tinggi kemungkinan paparan dianggap positif jika


indurasi lebih besar dari 5 mm.

Contoh Pasien dalam Berbagai Kategori Risiko:

 Risiko Rendah/Kemungkinan Rendah: Pasien yang tidak diketahui


berisiko terpapar TB. Contoh: Tidak ada riwayat perjalanan, dinas militer,
HIV-negatif, tidak ada kontak dengan pasien batuk kronis, tidak ada
paparan pekerjaan, tidak ada riwayat steroid. Bukan penduduk daerah
endemik TB.
 Risiko/Probabilitas Menengah: Penduduk negara endemik TB (Amerika
Latin, Afrika Sub-Sahara, Asia), pekerja atau penghuni tempat
penampungan, personel departemen Medis atau mikrobiologi.
 Risiko/Probabilitas Tinggi: Pasien HIV-positif, pasien dengan bukti TB
sebelumnya seperti bekas luka yang sembuh pada x-ray), kontak dengan
pasien batuk kronis.

Perhatikan bahwa tes Mantoux menunjukkan paparan atau tuberkulosis


laten. Namun, tes ini kurang spesifik, dan pasien memerlukan kunjungan
berikutnya untuk menginterpretasikan hasil serta rontgen dada untuk
konfirmasi. Meskipun relatif sensitif, reaksi Mantoux tidak terlalu spesifik
dan dapat memberikan reaksi positif palsu pada individu yang telah
terpapar vaksin BCG.
1.10.2 Interferon release assays (IGRA, Quantiferon Assays)

Ini adalah tes skrining tuberkulosis yang lebih spesifik dan sama
sensitifnya dengan tes Mantoux. Tes ini menguji tingkat sitokin inflamasi,
terutama interferon gamma. Keuntungan Quantiferon, terutama pada mereka yang
sebelumnya divaksinasi dengan vaksin BCG, antara lain, tes ini memerlukan
pengambilan darah tunggal, sehingga tidak perlu kunjungan berulang untuk
menginterpretasikan hasil. Selain itu, pemeriksaan tambahan seperti skrining HIV
dapat dilakukan (setelah persetujuan pasien) pada pengambilan darah yang sama.
Kelemahan Quantiferon meliputi biaya dan keahlian teknis yang diperlukan untuk
melakukan tes.

1.10.3 Skrining pada Pasien Immunocompromised

Pasien immunocompromised mungkin menunjukkan tingkat reaksi yang


lebih rendah terhadap PPD atau Mantoux negatif palsu karena alergi kulit.
Kecurigaan tingkat tinggi terjadi ketika meninjau tes skrining TB yang negatif
pada orang HIV-positif.

1.10.4 Pentingnya Skrining

Tes skrining positif menunjukkan paparan tuberkulosis dan kemungkinan


besar mengembangkan tuberkulosis aktif di masa mendatang. Insiden tuberkulosis
pada pasien dengan tes Mantoux positif rata-rata antara 2% sampai 10% tanpa
pengobatan. Pasien dengan tes positif harus menjalani rontgen dada sebagai tes
diagnostik minimal. Dalam beberapa kasus, pasien ini harus menjalani tes
tambahan. Pasien yang memenuhi kriteria tuberkulosis laten harus menerima
profilaksis dengan isoniazid.

1.10.5 Skrinning melalui Kuesioner untuk Resource-Poor Settings

Beberapa kuesioner skrining telah divalidasi untuk memungkinkan petugas


layanan kesehatan yang bekerja di lingkungan terpencil dan miskin sumber daya
menyaring tuberkulosis. Kuesioner ini menggunakan algoritme yang
menggabungkan beberapa tanda dan gejala klinis tuberkulosis. Beberapa gejala
yang umum digunakan adalah:

 Batuk kronis
 Penurunan berat badan
 Demam dan keringat malam
 Riwayat kontak
 Berstatus HIV
 Batuk berdarah

Beberapa penelitian telah mengkonfirmasi manfaat penggunaan beberapa


kriteria daripada fokus hanya pada batuk kronis atau penurunan berat badan.

1.11 Pengobatan tuberkulosis paru (Kemenkes, 2019)


1. Tujuan pengobatan TB adalah :
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat

Prinsip Pengobatan TB :
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :


a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu pertama.
b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4
bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.

 Regimen pengobatan TB-SO

Paduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah:

2RHZE / 4 RH

Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa Rifampisin (R),
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) selama 2 bulan dilanjutkan
dengan pemberian Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan pada fase
lanjutan. Pemberian obat fase lanjutan diberikan sebagai dosis harian (RH) sesuai
dengan rekomendasi WHO.

Pasien dengan TB-SO diobati menggunakan OAT lini pertama. Dosis OAT lini
pertama yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Dosis OAT lini pertama untuk pengobatan TB-SO

Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini pertama telah


dikombinasikan dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Satu tablet KDT
RHZE untuk fase intensif berisi Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid
400 mg, dan Etambutol 275 mg. Sedangkan untuk fase lanjutan yaitu KDT RH
yang berisi Rifampisin 150 mg + Isoniazid 75 mg diberikan setiap hari. Jumlah
tablet KDT yang diberikan dapat disesuaikan dengan berat badan pasien. Secara
ringkas perhitungan dosis pengobatan TB menggunakan OAT KDT dapat dilihat
pada Tabel di bawah ini.

Tabel 2. Dosis OAT dalam tablet kombinasi dosis tetap (KDT)

1.12 Pemantauan respon pengobatan


Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapinya.
Pemantauan reguler akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata
laksana reaksi obat yang tidak diinginkan.
Semua pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta untuk
melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping
OAT atau terhentinya pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan
dan dosis OAT disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respon pengobatan
TB paru dipantau dengan sputum BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang
berisi seluruh obat yang diberikan, respons terhadap pemeriksaan bakteriologis,
resistensi obat dan reaksi yang tidak diinginkan untuk setiap pasien pada kartu
berobat TB.
WHO merekomendasi pemeriksaan sputum BTA pada akhir fase intensif
pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik kasus baru
maupun pengobatan ulang. Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada akhir bulan
kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga
(2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang. Rekomendasi ini juga
berlaku untuk pasien dengan sputum BTA negatif.

Sputum BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal
berikut ini:
a. Supervisi yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan .pasien yang buruk.
b. Kualitas OAT yang buruk.
c. Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
d. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang
banyak
e. Adanya penyakit komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons
terapi.
f. Penyebab TB pada pasien adalah M. tuberculosis resistan obat yang tidak
memberikan respons terhadap terapi OAT lini pertama.

Pada kasus yang tidak konversi disarankan mengirimkan sputum ke fasilitas


pelayanan kesehatan yang mempunyai TCM atau biakan.

Bila hasil sputum BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir
pengobatan menandakan pengobatan gagal dan perlu dilakukan diagnosis cepat
TB MDR sesuai alur diagnosis TB MDR. Pada pencatatan, kartu TB 01 ditutup
dan hasil pengobatan dinyatakan “Gagal”. Pengobatan selanjutnya dinyatakan
sebagai tipe pasien “Pengobatan setelah gagal”. Bila seorang pasien didapatkan
TB dengan galur resistan obat maka pengobatan dinyatakan “Gagal” kapanpun
waktunya.
Hasil pengobatan ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang
dilakukan pada akhir pengobatan, seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Definis Hasil Pengobatan


1.13 Efek samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa


mengalami efek samping yang bermakna. Namun, sebagian kecil dapat
mengalami efek samping yang signifikan sehingga mengganggu pekerjaannya
sehari-hari. Penting dilakukannya pemantauan gejala klinis pasien selama
pengobatan sehingga efek tidak diinginkan tersebut dapat dideteksi segera dan
ditata laksana dengan tepat.

Neuropati perifer menunjukkan gejala kebas atau rasa seperti terbakar


pada tangan atau kaki. Hal ini sering terjadi pada perempuan hamil, orang dengan
HIV, kasus penyalahgunaan alkohol, malnutrisi, diabetes, penyakit hati kronik,
dan gagal ginjal. Pada pasien seperti ini sebaiknya diberikan pengobatan
pencegahan dengan piridoksin 25 mg/hari diberikan bersama dengan OAT.

Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi efek mayor
dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT minor sebaiknya
melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik. Pada pasien yang
mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT penyebab
sebaiknya dihentikan pemberiannya.

Tata laksana efek samping dapat dilihat pada Tabel 3. Efek samping dibagi
atas 2 klasifikasi yaitu efek samping berat dan ringan. Bila terjadi efek samping
yang masuk ke dalam klasifikasi berat, maka OAT dihentikan segera dan pasien
dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.

Tabel 3. Pendekatan berdasarkan gejala untuk mengobati efek samping


dari OAT
1.14 Pengawasan dan ketaatan pasien dalam pengobatan OAT

Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk mencapai


kesembuhan, mencegah penularan dan menghindari kasus resistan obat. Pada
“Stop TB Strategy” mengawasi dan mendukung pasien untuk minum OAT
merupakan landasan DOTS dan membantu pencapaian target keberhasilan
pengobatan 85%.

Kesembuhan pasien dapat dicapai hanya bila pasien dan petugas


pelayanan kesehatan bekerjasama dengan baik dan didukung oleh penyedia jasa
kesehatan dan masyarakat. Pengobatan dengan pengawasan membantu pasien
untuk minum OAT secara teratur dan lengkap. Directly Observed Treatment Short
Course (DOTS) merupakan metode pengawasan yang direkomendasikan oleh
WHO dan merupakan paket pendukung yang dapat menjawab kebutuhan pasien.
Pengawas menelan obat (PMO) harus mengamati setiap asupan obat bahwa OAT
yang ditelan oleh pasien adalah tepat obat, tepat dosis dan tepat interval,
disamping itu PMO sebaiknya adalah orang yang telah dilatih, dapat diterima baik
dan dipilih bersama dengan pasien. Pengawasan dan komunikasi antara pasien
dan petugas kesehatan akan memberikan kesempatan lebih banyak untuk edukasi,
identifikasi dan solusi masalah-masalah selama pengobatan TB. Directly observed
treatment short course sebaiknya diterapkan secara fleksibel dengan adaptasi
terhadap keadaan sehingga nyaman bagi pasien.

1.15 Pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB


Pencatatan dan pelaporan adalah komponen penting dalam program
nasional TB, hal ini dilakukan agar bisa didapatkannya data yang kemudian dapat
diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan serta kemudian disebarluaskan. Data
yang dikumpulkan harus merupakan data yang akurat, lengkap dan tepat waktu
sehingga memudahkan proses pengolahan dan analisis data. Data program TB
diperoleh dari pencatatan yang dilakukan di semua sarana pelayanan kesehatan
dengan satu sistem baku yang sesuai dengan program TB, yang mencakup TB
sensitif dan TB RO.
1.16 Pencegahan TB

1. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)

Vaksin BCG masih sangat penting untuk diberikan, meskipun efek


proteksi sangat bervariasi, terutama untuk mencegah terjadinya TB berat (TB
milier dan meningitis TB). Sebaliknya pada anak dengan HIV, vaksin BCG tidak
boleh diberikan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata.
Hal ini sering menjadi dilema bila bayi mendapat BCG segera setelah lahir pada
saat status HIV-nya belum diketahui. Bila status HIV ibu telah diketahui dan
Preventing Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT) telah dilakukan maka
vaksinasi BCG dapat diberikan pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif, kecuali
jika ada konfirmasi bayi telah terinfeksi HIV.

2. Pengobatan pencegahan dengan INH

Sekitar 50-60% anak kecil yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa
dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB. Kira-kira 10% dari jumlah
tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi
menjadi TB diseminata yang berat (misalnya TB meningitis atau TB milier)
sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah sakit TB.

Profilaksis primer diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak


dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi
dengan tidak didapatkan Indikasi gejala dan tanda klinis TB. Obat yang diberikan
adalah INH dengan dosis 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan, dengan pemantauan
dan evaluasi minimal satu kali per bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis
dengan INH selesai dan anak belum atau tidak terinfeksi (uji tuberkulin negatif).
Pada anak dengan kontak erat TB yang imunokompromais seperti pada HIV,
keganasan, gizi buruk dan lainnya, profilaksis INH tetap diberikan meskipun usia
di atas 5 tahun. Profilaksis sekunder diberikan kepada anak-anak dengan bukti
infeksi TB (uji tuberkulin atau IGRA positif) namun tidak terdapat gejala dan
tanda klinis TB. Dosis dan lama pemberian INH sama dengan pencegahan primer.
Pengobatan pencegahan terhadap anak yang berkontak dengan kasus
indeks TB RO menggunakan ethambutol 15 - 25 mg/kgBB/hari dan levofloksasin
15 – 20 mg/KgBB/hari pada anak balita dan anak imunokompromis disegala usia
yang kontak erat dengan pasien TB RO. Obat diminum 1-2 jam sebelum makan.
Durasi pemberian selama 6 bulan (PNPK, 2020).

2. Tuberkulosis Laten

2.1 Definisi

Tuberkulosis laten adalah seseorang yang terinfeksi kuman M.tb tetapi


tidak menimbulkan tanda dan gejala klinik serta gambaran foto toraks normal
dengan hasil uji imunologik seperti uji tuberkulin atau Interferon Gamma Release
Assay (IGRA) positif.

Identifikasi TB laten diutamakan dilakukan pada kelompok berisiko terutama


terdapat kontak dengan pasien TB menular. WHO menetapkan untuk negara
berkembang kelompok berisiko TB adalah :

1. Kontak erat dengan pasien TB aktif atau terduga TB


2. Berada pada tempat dengan risiko tinggi untuk terinfeksi tuberkulosis
(misalnya, lembaga pemasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang,
dan tempat penampungan tunawisma)
3. Kelompok berisiko tinggi diantaranya HIV, kanker dalam kemoterapi,
pasien dengan steroid jangka panjang, pasien diabetes melitus, pasien
dengan imunosupresan lain, pasien yang menjalani hemodialisa, pasien
yang menjalani transplantasi organ, pasien yang mendapat anti Tumor
Necrosis Factor Alfa (TNF)
4. Petugas kesehatan yang melayani pasien tuberkulosis.
5. Bayi, anak-anak, dan dewasa muda terpajan orang dewasa yang berisiko
tinggi terinfeksi TB aktif.

Data menunjukkan hanya 10% TB laten menjadi TB aktif disebut juga proses
reaktivasi. Proses reaktivasi TB laten menjadi penyakit TB lebih berisiko terjadi
pada kelompok berikut:
1. Infeksi HIV

2. Bayi dan anak usia < 5 tahun

3. Pasien yang mendapat pengobatan immunoterapi misal antagonis Tumor


Necrosis Factor-alfa terapi immunosupresi pada transplantasi organ.

4. Pasien dengan riwayat terinfeksi tuberkulosis pada 2 tahun terakhir

5. Pasien dengan riwayat TB aktif tidak berobat atau berobat tidak adekuat
termasuk pasien yang pada foto toraks terlihat fibrotik

6. Kelompok berisiko tinggi ( diantaranya HIV, kanker dalam kemoterapi, pasien


dengan steroid jangka panjang, pasien diabetes melitus, pasien dengan
imunosupresan lain, pasien yang menjalani hemodialisa, pasien yang menjalani
transplantasi.

7. Pasien yang telah dilakukan operasi gastrektomi atau bypass usus halus.

8. Pasien dengan berat badan < 90% berat ideal

9. Tuna wisma, perokok, peminum alkohol atau penyalahgunaan obat

10. Warga binaan lapas

11. Petugas kesehatan

2.2 Diagnosis TB laten

Diagnosis TB laten dilakukan menggunakan uji tuberkulin atau IGRA.


Diagnosis TB laten juga harus diikuti upaya membuktikan tidak terdapat TB aktif
melalui anamnesis riwayat pengobatan, foto toraks, pemeriksaan fisis dan bila
diperlukan pemeriksaan sputum mikrobiologi, selain uji tuberkulin (TST) atau
IGRA. Uji tuberkulin dilakukan dengan menyuntikan intradermal 0,1 ml PPD 5
TU dengan teknik Mantoux selanjutnya pembacaan hasil uji tuberkulin dilakukan
dalam 48-72 jam oleh tenaga kesehatan terlatih. Pemeriksaan IGRA yang dapat
digunakan saat ini adalah 2 jenis pemeriksaan IGRA yaitu: quantiFERON®-TB
Gold-in-Tube test (QFT-GIT) plus dan T-SPOT®.TB

2.3 Tata laksana TB laten

Pengobatan TB laten tidak diberikan kepada semua orang dengan hasil


pemeriksaan TB laten positif. Penentuan pengobatan individu dengan TB laten
tergantung kebijakan masing-masing negara, dipengaruhi oleh epidemi TB dan
kemampuan negara tersebut. WHO merekomendasikan pengobatan TB Laten di
negara berpendapatan rendah atau sedang atau sumber daya terbatas pada anak
usia dibawah 5 tahun yang kontak dengan pasien TB dan pasien HIV. Pengobatan
diberikan setelah dilakukan evaluasi klinik dengan cermat dan tidak ditemukan
TB aktif.

Pelayanan kesehatan sebaiknya memilih jenis pengobatan yang tepat berdasarkan:

1. Hasil uji kepekaan obat kasus indeks (sumber penularan, jika diketahui)
2. Penyakit lain yang menyertai
3. Kemungkinan adanya interaksi obat

Beberapa pilihan pengobatan yang direkomendasikan untuk pengobatan TB laten


pada kelompok berisiko tinggi menjadi TB aktif yaitu:

1. Isoniazid selama 6 bulan


2. Isoniazid selama 9 bulan
3. Isoniazid dan Rifapentine (RPT) sekali seminggu selama 3 bulan
4. 3-4 bulan Isoniazid dan Rifampisin
5. 3-4 bulan Rifampisin (PNPK, 2020).

3. ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut)

Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA adalah infeksi yang terjadi di
saluran pernapasan, baik saluran pernapasan atas maupun bawah. Infeksi ini dapat
menimbulkan gejala batuk, pilek, dan demam (Nabovati, E., et al. (2021).
3.1 Penyebab ISPA

ISPA disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri di saluran pernapasan.


Saluran pernapasan yang dapat terserang infeksi bisa saluran pernapasan atas atau
bawah. Meski demikian, ISPA paling sering disebabkan oleh infeksi virus dan
paling sering terjadi di saluran pernapasan bagian atas (Nabovati, E., et al. (2021).

Beberapa jenis virus yang sering menyebabkan ISPA adalah:

 Rhinovirus
 Respiratory syntical viruses (RSVs)
 Adenovirus
 Parainfluenza virus
 Virus influenza
 Virus Corona

Sementara itu, beberapa jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan ISPA adalah:

 Streptococcus
 Haemophilus
 Staphylococcus aureus
 Klebsiella pneumoniae
 Mycoplasma pneumoniae
 Chlamydia

Adapun beberapa penyakit yang termasuk ke dalam ISPA adalah:

 Batuk pilek (common cold)


 Sinusitis
 Radang tenggorokan akut (faringitis akut)
 Laringitis akut
 Pneumonia
 COVID-19
Penularan virus atau bakteri penyebab ISPA dapat terjadi melalui kontak
dengan percikan air liur orang yang terinfeksi. Virus atau bakteri dalam percikan
liur akan menyebar melalui udara kemudian masuk ke hidung atau mulut orang
lain.

Selain kontak langsung dengan percikan liur penderita, virus juga dapat
menyebar melalui sentuhan dengan benda yang terkontaminasi atau berjabat
tangan dengan penderita (Nabovati, E., et al. (2021).

3.2 Gejala ISPA

Gejala ISPA berlangsung antara 1–2 minggu. Pada sebagian besar kasus,
penderita gejala akan mereda setelah minggu pertama (Nabovati, E., et al. (2021).

Gejala infeksi saluran pernapasan akut di saluran pernapasan atas dan


bawah bisa berbeda. Pada penderita ISPA yang terjadi di saluran pernapasan atas,
gejala yang dapat timbul adalah:

 Batuk
 Bersin
 Hidung tersumbat
 Pilek
 Demam
 Mudah lelah
 Sakit kepala
 Nyeri menelan
 Mengi
 Pembesaran kelenjar getah bening

Sementara itu, gejala ISPA yang terjadi di saluran pernapasan bawah antara
lain:

 Batuk berdahak
 Sesak napas
 Demam (Nabovati, E., et al. (2021).
4. HIPERTENSI

Hipertensi atau darah tinggi adalah kondisi ketika tekanan darah berada
pada angka 130/80 mmHg atau lebih. Pada kondisi normal, tekanan darah orang
dewasa adalah 120/80 mmHg. Artinya, tekanan sistoliknya adalah 120 mmHg dan
diastoliknya 80 mmHg (Al-Makki, A., et al., 2022).

Tekanan darah tinggi yang terjadi terus-menerus dapat membuat jantung


bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Kondisi ini lama-
kelamaan bisa membuat jantung membesar, merusak pembuluh darah, dan
membuat ginjal tidak bisa bekerja dengan baik.

Oleh karena itu, hipertensi perlu segera ditangani. Setelah tekanan darah
kembali normal pun, perlu terus dilakukan pemantauan dan bahkan penggunaan
obat rutin agar tekanan darah selalu terkontrol (Al-Makki, A., et al., 2022).

4.1 Penyebab Hipertensi

Penyebab hipertensi bisa bermacam-macam, bisa juga tidak diketahui.


Berdasarkan penyebabnya, hipertensi bisa dibedakan menjadi hipertensi primer
dan sekunder.

Hipertensi primer adalah jenis darah tinggi yang penyebabnya tidak


diketahui dengan pasti, dan biasanya berkembang perlahan dalam waktu bertahun-
tahun. Hipertensi primer merupakan jenis darah tinggi yang paling sering
ditemukan.

Sementara itu, hipertensi sekunder adalah jenis tekanan darah tinggi yang
disebabkan oleh berbagai kondisi atau penyakit lain, dan bisa terjadi secara
mendadak, termasuk pada anak-anak (Al-Makki, A., et al., 2022)..

Kondisi atau penyakit yang bisa menyebabkan hipertensi sekunder antara lain:

 Penyakit ginjal
 Hipertiroidisme
 Penyakit jantung bawaan
 Kelainan bawaan pada pembuluh darah
 Penyalahgunaan NAPZA
 Penggunaan obat-obat tertentu, seperti dekongestan, pil KB, atau
kortikosteroid
 Sleep apnea
 Kecanduan alcohol (Al-Makki, A., et al., 2022).

Hipertensi juga bisa dipicu oleh emosi. Contoh yang paling sering
ditemukan adalah white coat hypertension, yaitu hipertensi yang disebabkan oleh
rasa takut atau cemas saat menjalani tes kesehatan. Hipertensi ini hanya terjadi
saat pemeriksaan di klinik atau rumah sakit oleh dokter, perawat, atau tenaga
kesehatan, dan akan kembali normal ketika pasien di rumah (Al-Makki, A., et al.,
2022).

4.2 Faktor Risiko Hipertensi

Beberapa faktor di bawah ini dapat meningkatkan risiko seseorang


mengalami tekanan darah tinggi:

 Berusia di atas 65 tahun


 Jarang berolahraga atau jarang melakukan aktivitas fisik
 Sedang hamil
 Memiliki keluarga yang juga menderita tekanan darah tinggi
 Menderita obesitas, sleep apnea, diabetes, atau penyakit ginjal
 Sering mengonsumsi makanan tinggi garam dalam jumlah banyak
 Merokok
 Sering minum alcohol (Al-Makki, A., et al., 2022).

4.3 Gejala Hipertensi

Tekanan darah tinggi dikenal dengan istilah the silent killer atau penyakit
yang membunuh secara diam-diam. Hal ini karena sering kali hipertensi tidak
menimbulkan gejala atau tidak disadari sampai tekanan darah sudah sangat tinggi
atau hipertensi sudah menimbulkan komplikasi.

Kondisi ini mana tekanan darah sudah sangat tinggi disebut krisis
hipertensi, yaitu ketika tekanan darah sudah mencapai 180/120 mmHg atau lebih.
Gejala yang dapat muncul ketika tekanan darah terlalu tinggi adalah:

 Mual dan muntah


 Sakit kepala
 Mimisan
 Nyeri dada
 Gangguan penglihatan
 Telinga berdenging
 Gangguan irama jantung
 Kencing berdarah

4.4 Klasifikasi Hipertensi

Gambar. 5 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 8

Jika pasien sudah dipastikan menderita hipertensi, dokter akan mencari tahu
penyebab tekanan darah tinggi dan mendeteksi kerusakan organ yang mungkin
terjadi akibat kondisi ini. Beberapa pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan
untuk memeriksa tekanan darah tinggi adalah:

 Tes fungsi ginjal


 Tes kadar kolesterol dan gula darah untuk memeriksa adanya faktor risiko
hipertensi
 Tes urine, untuk menilai fungsi ginjal serta kadar hormon kortisol
 Elektrokardiogram, untuk mengetahui kondisi denyut jantung dari
aktivitas listrik jantung
 Ekokardiogram, untuk melihat kondisi katup jantung dan fungsi pompa
jantung
 USG ginjal, untuk melihat kondisi ginjal
 CT scan ginjal, untuk mengetahui kondisi ginjal dan kelenjar adrenal
secara lebih rinci

4.5 Pengobatan Hipertensi

Pengobatan hipertensi akan disesuaikan dengan hasil pemeriksaan,


penyebab hipertensi, dan kondisi kesehatan pasien. Pengobatan untuk darah tinggi
ini terdiri dari perbaikan gaya hidup dan pemberian obat-obatan. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:

4.5.1 Perbaikan gaya hidup

Perbaikan gaya hidup mencakup hal-hal yang perlu dilakukan pasien hipertensi
dalam kehidupannya sehari-hari untuk menurunkan darah tinggi dan menjaga
tekanan darahnya tetap normal.

Beberapa hal yang akan dianjurkan oleh dokter untuk penderita darah tinggi
adalah:

 Menurunkan berat badan bila mengalami kelebihan berat badan


(overweight) atau obesitas, dan menjaga berat badan dalam batas ideal
 Mengonsumsi makanan sehat, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran
 Membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak dalam makanan sehari-hari
 Mengurangi konsumsi garam, atau membatasi asupan garam paling
banyak 1 sendok teh per hari
 Memperbanyak aktivitas fisik dan rutin berolahraga
 Berhenti merokok dan menghindari asap rokok
 Mengurangi konsumsi minuman berkafein
 Melakukan terapi relaksasi untuk meredakan stres, seperti yoga atau
meditasi
 Pemberian obat-obatan

Selain melakukan perubahan gaya hidup, penderita hipertensi juga


memerlukan obat untuk mengontrol tekanan darahnya. Obat antihipertensi ini
umumnya perlu dikonsumsi seumur hidup dengan dosis yang secara berkala akan
diturunkan atau dinaikkan sesuai kondisi pasien. Namun, perubahan dosis obat
darah tinggi harus berdasarkan pertimbangan dokter.

Beberapa jenis obat antihipertensi yang sering diresepkan dokter adalah:

 ACE inhibitor, seperti captopril dan ramipril


 Angiotensin-2 receptor blocker (ARB), seperti irbesartan, losartan,
eprosartan, dan valsartan
 Antagonis kalsium, seperti amlodipine dan nifedipine
 Diuretik, seperti hydrochlorothiazide atau indapamide
 Penghambat beta, seperti atenolol dan bisoprolol
 Diuretik hemat kalium, seperti spironolactone
 Penghambat renin, seperti aliskiren
 Vasodilator, seperti minoxidil
 Penghambat alfa, seperti reserpine

INTERVENSI KOMPREHENSIF
 Patient centered
Aspek 1 : Aspek Personal
o Alasan kedatangan: Pasien di monitor apakah pengobatan
dilakukan rutin dan memberi edukasi bahwa pengobatan harus
dilakukan sampai selesai hingga pasien dinyatakan sembuh.
o Kekhawatiran: Menjelaskan kepada pasien bahwa potensi
penularan TB bisa dicegah dengan cara pasien diobati sampai
sembuh dan pasien mematuhi perilaku untuk cegah transmisi yaitu
dengan etika batuk.
o Persepsi: Membenarkan pemahaman pasien bahwa penyakit TB
yang dideritanya menular melalui kontak erat dengan anaknya
yang terinfeksi TB sehingga persepsi pasien benar.
o Harapan: Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit TB ini
dapat sembuh apabila pasien dan keluarga patuh minum obat dan
mau menyelesaikan pengobatan sampai pasien dinyatakan sembuh.
o Upaya: Mengapresiasi upaya pasien karena sudah berusaha
berobat ke dokter.

Aspek 2 : Aspek Biomedis


o Terapi ISPA

Terapi Non Farmakologis :


- Memperbanyak istirahat dan konsumsi air putih untuk mengencerkan
dahak agar lebih mudah untuk dikeluarkan
- Mengonsumsi minuman lemon hangat atau madu, untuk meredakan batuk
- Berkumur dengan air hangat yang diberi garam jika mengalami sakit
tenggorokan
- Menghirup uap dari semangkuk air panas yang telah dicampur dengan
minyak kayu putih atau mentol, untuk meredakan hidung tersumbat
- Memosisikan kepala lebih tinggi ketika tidur dengan menggunakan bantal,
untuk melancarkan pernapasan

Terapi Farmakologis
Pasien tidak menerima pengobatan ISPA, sebaiknya diusulkan untuk obat
simtomastis seperti :
 Ibuprofen atau paracetamol untuk meredakan demam dan nyeri otot,
 Diphenhydramine dan pseudoephedrine untuk mengatasi pilek dan hidung
tersumbat,
 Guaifinesin untuk meredakan batuk
 Antibiotik untuk mengatasi ISPA yang disebabkan oleh bakteri
o Terapi Tuberculosis Paru

Terapi Non Farmakologis :


Pasien disarankan untuk menjalankan pola hidup sehat, memakai masker di rumah
atau diluar rumah, melalukan etika batuk yang benar.

Terapi Farmakologis

Tahap Waktu Obat Monitor obat


30/8/2022 NAC 3x20mg
Nerofa 1x1
Zinc 1x1
Vit D 500 IU 1x1
PCT 3x500mg
19/9/2022 Antasida 3x1
Ranitidin 2x1
23/8/2022 Scopma 3x1
Ranitidine 2x1
Metoclopramid 3x10
Rujuk poli IPD RS
UMM
9/3/2023 Molexdryl 3x2cth
Vit D 1x1
Amoxicillin 3x500mg
Vit D 1x1
Awal 18/3/23 2RHZE sebanyak 14 Efek samping obat:
dosis 1x5 tablet potensi urin berwarna
Vit B6 1x1 merah
Amlodipin 5mg 0-0-1
Kontrol 31 Maret 2023
31/3/2023 2RHZE sebanyak 28 Efek samping obat:
dosis potensi urin berwarna
Vit B6 1x3 tab merah
Kontrol 5 Mei 2023

Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :


a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.

b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4
bulan.
Panduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah 2RHZE/4RH.
Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini pertama telah
dikombinasikan dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Untuk fase lanjutan
yaitu KDT RH yang berisi Rifampisin 150 mg + Isoniazid 150 mg diberikan
setiap hari (Kemenkes RI, 2019). Jumlah tablet KDT yang diberikan dapat
disesuaikan dengan berat badan pasien. BB pasien 90kg, sehingga pada tahap
lanjutan pasien mendapatkan terapi OAT 4RH yaitu Rifampicin 150 mg dan
Isoniazid 150 mg dalam 3 kali seminggu, selama 4 bulan. Pasien kontrol setiap 2
minggu sekali.
o Terapi Hipertensi

Terapi Non Farmakologis


Pasien disarankan untuk memperbaiki gaya hidup dengan cara:
 Menurunkan berat badan bila mengalami kelebihan berat badan
(overweight) atau obesitas, dan menjaga berat badan dalam batas ideal
 Mengonsumsi makanan sehat, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran
 Membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak dalam makanan sehari-hari
 Mengurangi konsumsi garam, atau membatasi asupan garam paling
banyak 1 sendok teh per hari
 Memperbanyak aktivitas fisik dan rutin berolahraga
 Berhenti merokok dan menghindari asap rokok
 Mengurangi konsumsi minuman berkafein
 Melakukan terapi relaksasi untuk meredakan stres, seperti yoga atau
meditasi

Terapi Farmakologis
Pasien diberikan tablet Amlodipin 5 mg diminum 1x sehari diminum setiap
malam sebelum tidur.

Aspek 3 : Aspek Resiko Internal


o Perilaku/ gaya hidup: Menyarankan kepada pasien untuk
mencegah penularan TB berulang dengan memakai masker dan
etika batuk yang benar.
o Biologis: menyarankan pasien untuk menurunkan berat badan
karena kondisi obesitas pada pasien dapat menurunkan sistem
imun, dan mengonsumsi obat antihipertensi secara rutin.
o Psikologis:
- Meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri pada Tuhan
dan berupaya tetap mengembangkan fungsi kepala keluarga
- Pasien diminta untuk segera mencari alternatif pekerjaan
agar dapat tetap bekerja untuk meningkatkan kondisi
ekonomi keluarga, sehingga dapat mengurangi stress.

Aspek 4: Aspek Resiko Eksternal


o Transmisi: Melakukan terapi kepada seluruh anggota keluarga
yang terkena TB.
o Lingkungan Fisik: merekayasa kondisi rumah yang mempunyai
ventilasi dan pencahayaan matahari yang kurang, salah satunya
dengan membuat atap baru dengan menggunakan fibre glass
bening
o Ekonomi: Mendorong pasien untuk membangun hubungan relasi
atau networking dengan lingkungan tetangga sekitar untuk
mendapat support social.

Aspek 5: Derajat Fungsional


o Pasien disarankan untuk tetap menjaga kondisinya dan rutin
mengkonsumsi obat TB sampai pengobatan selesai dan dinyatakan
sembuh.

 Family focused
o Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa penyakit TB ini
merupakan penyakit yang bisa ditularkan dari manusia ke manusia
lain lewat udara melalui percik renik atau droplet nucleus
berukuran sangat kecil yang keluar ketika seorang yang terinfeksi
TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Sehingga
keluarga harus menggunakan masker saat berada di dalam rumah.
o Memberitahu pasien dan keluarga pasien tentang etika batuk yang
benar dengan cara menutut mulut dan hidung menggunakan
lengan bagian dalam, menutup mulut dan hidung dengan tissue,
membuang tissue ke tempat sampah, dan selalu mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir serta mendorong penggunaan
masker.
o Mendukung pengobatan pasien yaitu seluruh anggota keluarga
yang terdiagnosis TB harus rutin meminum obat hingga selesai dan
dinyatakan sembuh, tidak boleh putus obat karena dapat
menyebabkan efek resistant.
o Mengedukasi kepada keluarga pasien untuk selalu menerapkan
perilaku hidup bersih dan sehat.
o Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa seluruh anggota
keluarga di dalam satu rumah merupakan kontak erat dengan
pasien TB, sehingga harus dilakukan skrinning TB meskipun tidak
ada gejala yang muncul pada anggota keluarga lainnya. Apabila
hasil skrinning menunjukkan terinfeksi bakteri TB, maka akan
diobati dengan obat TB juga. Apabila keluarga tidak mau
dilakukan skrinning maka penularan infeksi TB akan terus
berlanjut dan membahayakan orang-orang sekitar.

 Community oriented
o Melakukan advokasi kepada sekolah untuk tidak memberikan izin
kepada anak pasien yang menderita TB untuk masuk sekolah
selama masa infeksius agar tidak menularkan ke orang lain.
o Bekerja sama dengan stakeholder atau pihak organisasi warga
setempat atau RT/RW atau membuat tim kader pelatihan terkait
penyuluhan penyakit Tuberkulosis, pemantauan pada warga
setempat yang terinfeksi TB, melakukan skrining untuk seluruh
anggota rumah di keluarga tersebut yang terduga terinfeksi TB atau
sudah terdiagnosis TB.
o Aktivasi peran puskesmas unuk penanggulangan TB di lingkungan
setempat sebagai penanggung jawab TB. Puskesmas harus tetap
aktif menjaga keluarga tersebut agar tidak tertular ke lingkungan
sekitar.
o Optimalisasi peran RT/RW dan warga setempat untuk pencegahan
transmisi daerah tempat tinggal pasien.
HASIL HOME VISIT ( minimal dua kali )
Waktu Keluhan Hasil temuan Saran intervensi
(Hari/Tanggal)
Sabtu, 25 Maret  Pasien mengatakan KU: pasien  Menyarankan pasien untuk
2023 keluhan batuk sudah tampak sehat tetap melanjutkan OAT yang
membaik, namun GCS: 456 sudah diberikan dengan patuh
TTV: dan tepat waktu.
pasien sesekali masih
TD = 155/101
batuk-batuk kecil. mmHg
N: 85 bpm
RR: 18 rpm
SpO2: 98% on
RA
Rh -/- Wh -/-

Rabu, 5 April  Pasien mengatakan KU: pasien - Menyarankan pasien untuk


2023 keluhan batuk sudah tampak sehat tetap melanjutkan OAT seperi
membaik. GCS: 456 biasa dan menjelaskan bahwa
 Pasien mengeluhkan TTV: pipis berwarna merah itu
pipisnya berwarna TD = 152/102 merupakan salah satu efek
merah mmHg samping dari OAT sehingga
N: 85 bpm OAT tidak perlu dihentikan.
 Pasien mengeluhkan
RR: 18 rpm
kedua kaki sering SpO2: 99% on - Memberitahu pasien bahwa
kesemutan RA Vit. B6 yang diberikan
Rh -/- Wh -/- bersamaan dengan OAT
merupakan vitamin untuk
mengobati efek samping kebas,
kesemutan dan rasa terbakar di
kaki, sehingga vitaminnya
harus selalu dikonsumsi.

- Menenangkan pasien agar


tidak perlu khawatir, karena
TB bukanlah penyakit kutukan
dan dapat sembuh dengan
pengobatan teratur.
- Memberikan pasien motivasi
untuk semangat dalam
pengobatan sampai tuntas
sehingga perlahan-lahan berat
badan pasien juga dapat
kembali seperti dulu.
LAMPIRAN DOKUMENTASI HOME VISIT
LAMPIRAN REKAM MEDIS
DAFTAR PUSTAKA

Adigun R, Singh R. Tuberculosis. [Updated 2023 Jan 2]. In: StatPearls [Internet].

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

Boudville DA, Joshi R, Rijkers GT. Migration and tuberculosis in Europe. J Clin

Tuberc Other Mycobact Dis. 2020 Feb;18:100143.

Dharmadhikari AS, Mphahlele M, Venter K, Stoltz A, Mathebula R, Masotla T, et

al. Rapid impact of effective treatment on transmission of multidrug-

resistant tuberculosis. The International Journal of Tuberculosis and Lung

Disease. 2014;18(9):1019–1025.

Escombe AR, Moore DA, Gilman RH, Pan W, Navincopa M, Ticona E, et al. The

infectiousness of tuberculosis patients coinfected with HIV. PLoS Medical.

2008;5(9):e188.

Heemskerk D, Caws M, Marais B, et al. Tuberculosis in Adults and Children.

London: Springer; 2015. Chapter 2, Pathogenesis. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK344406/

Mbuh TP, Ane-Anyangwe I, Adeline W, Thumamo Pokam BD, Meriki HD,

Mbacham WF. Bacteriologically confirmed extra pulmonary tuberculosis

and treatment outcome of patients consulted and treated under program

conditions in the littoral region of Cameroon. BMC Pulm Med. 2019 Jan

17;19(1):17.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran., 2020. Tatalaksana Tuberkulosis.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2021.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Pan Z, Zhang J, Bu Q, He H, Bai L, Yang J, Liu Q, Lyu J. The Gap Between

Global Tuberculosis Incidence and the First Milestone of the WHO End

Tuberculosis Strategy: An Analysis Based on the Global Burden of Disease

2017 Database. Infect Drug Resist. 2020;13:1281-1286.

Singh M, Mynak ML, Kumar L, Mathew JL, Jindal SK. Prevalence and risk

factors for transmission of infection among children in household contact

with adults having pulmonary tuberculosis. Archives of Disease in

Childhood. 2005;90(6):624–628.

Sri, Wahyuni Deni., Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Karakteristik Individu

Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif di Puskesmas Ciputat

Kota Tangerang Selatan Tahun 2012, Jurnal Berkala Ilmiah Mahasiswa

Kesehatan Masyarakat Indonesia (BIMKMI) Vol.1.

Terracciano E, Amadori F, Zaratti L, Franco E. [Tuberculosis: an ever present

disease but difficult to prevent]. Ig Sanita Pubbl. 2020 Jan-Feb;76(1):59-66.

Telly Rosalina Paat, Yozua Toar Kawatu, Anselmus Kabuhung. Faktor Risiko

Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tb Paru Di Wilayah Kerja


Puskesmas Tikala Baru Kota Manado. 2013. JKL Volume 3 No. 1 Oktober

2013.

McAdam AJ, Milner DA, Sharpe AH. Infectious diseases. In: Kumar V, Abbas

AK, Aster JC. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. 9th ed.

Philadelphia: Elsevier; 2015. p. 371–6.

Raviglione MC. Tuberculosis. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,

Jameson JL, Loscalzo J, eds. Harrison’s principles of internal medicine.

20th ed. New York: McGraw-Hill; 2019. p. 1236–59.

Fitzgerald DW, Sterling TR, Haas DW. Mycobacterium tuberculosis. In: Bennett

JE, Dolin R, Blaser MJ, eds. Mandell, Douglas, and Bennett’s principles

and practice of infectious diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019. p.

2985–3005.

Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical microbiology. 8th ed.

Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 218–25.

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor

HK.01.07/MENKES/755/2019.

M. Laghari, S. A. S. Sulaiman, A. H. Khan, and N. Memon, “A prospective study

of socio- demographic, clinical characteristics and treatment outcomes of

children with tuberculosis in Sindh, Pakistan,” BMC Infect. Dis., vol. 19,

no. 1, pp. 1–11, 2019, doi: 10.1186/s12879-019-3702-3.

A. Nurwitasari and C. U. Wahyuni, “Pengaruh Status Gizi dan Riwayat Kontak

terhadap kejadian Tuberkulosis Anak di Kabupaten Jember,” Berk.

Epidemiol., vol. 3, no. 2, pp. 158–169, 2015.


N. Hajarsjah, R. M. Daulay, O. R. Ramayani, W. Dalimunthe, R. S. Daulay, and

F. Meirina, “Tuberculosis risk factors in children with smear-positive

tuberculosis adult as household contact,” Paediatr. Indones., vol. 58, no. 2,

pp. 66–70, 2018, doi: 10.14238/pi58.2.2018.66-70.

D. I. Yani, N. A. Fauzia, and Witdiawati, “Faktor-Faktor yang Berhubungan

dengan TBC Pada Anak Di Kabupaten Garut,” J. Keperawatan BSI, vol. 6,

no. 2, pp. 105–112, 2018.

M. A. Febrian, “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru anak

di wilayah Puskesmas Garuda Kota Bandung,” J. Ilmu Keperawatan

Unversitas BSI Bandung, vol. III, no. 2, pp. 64–79, 2015.

Nabovati, E., et al. (2021). Information Technology Interventions to Improve

Antibiotic Prescribing for Patients with Acute Respiratory Infection: A

Systematic Review. Clinical Microbiology and Infection, 27(6), pp. 838–45.

Al-Makki, A., et al. (2022). Hypertension Pharmacological Treatment in Adults:

A World Health Organization Guideline Executive Summary. Hypertension,

79(1), pp. 293–301.

Oparil, S., et al. (2018). Hypertension. Nature Reviews Disease Primers, 4, pp.

18014.

World Health Organization (2023). Newsroom. Hypertension.

National Health Service UK (2023). Health A to Z. High blood pressure

(Hypertension).

National Institutes of Health (2020). MedlinePlus. High Blood Pressure.

Cleveland Clinic (2023). Diseases & Conditions. High Blood Pressure

(Hypertension).
Mayo Clinic (2022). Diseases & Conditions. High Blood Pressure

(Hypertension).

Medscape (2022). Hypertension Guidelines. WebMD (2021). Tests for High Blood

Pressure.

Anda mungkin juga menyukai