Anda di halaman 1dari 20

KONSEP EPIDEMIOLOGI KEPERAWATAN MARITIM

KASUS PENYAKIT BAROTRAUMA

DISUSUSN OLEH:
KELOMPOK 1

ADE NINGSIH CITRA HEDIANA

ADELIA CITRA SELVIA DEWI

AHMAD RAMADHAN DANDI HARDIANTO

ANDI ASRIAWAN DESIANA TASSI

ANDI SELTI ASISKA DESISCA SASMITA SAPUTRI

ANDI UMI KASLUM DESIYANTI

ANDRI MITRA DWI SANTOSO

APRIR SABANA EVI DAMAYANTI

ARNI ANGGRIANI FITRIA NINGSIH

ASNINA GIATNI

AZ ZUBAIR GITA PUTU CHANITYA. D

STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI


T.A 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurahlimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita semua ke jalan kebenaran yang
diridhoi Allah SWT.

Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah yang bersangkutan yang diamanatkan oleh dosen penulis. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangannya baik dalam
cara penulisan maupun dalam isi.

Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis


yang membuat dan umumnya bagi yang membaca makalah ini.

Kendari, 8 Desember 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 4
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 6
2.1. Definisi..................................................................................................... 6
2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 6
2.3 Etiologi..................................................................................................... 7
2.4 Patofisiologi ............................................................................................. 7
2.5 Anatomi dan Fisiologi ............................................................................. 8
2.6 Manifestasi Klinis .................................................................................. 11
2.7 Diagnosis ............................................................................................... 14
2.8 Penatalaksanaan ..................................................................................... 15
2.9 Pencegahan ............................................................................................ 17
2.10 Komplikasi ............................................................................................. 18
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 19
A. Kesimpulan ................................................................................................ 19
B. Saran ........................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Barotrauma adalah kerusakan jaringan yang terjadi akibat kegagalan untuk
menyamakan tekanan udara antara ruang berudara pada tubuh (seperti telinga
tengah) dan tekanan pada lingkungan sewaktu melakukan perjalanan dengan
pesawat terbang atau pada saat menyelam. Barotrauma dapat terjadi pada telinga,
wajah (sinus), dan paru, dalam hal ini bagian tubuh yang memiliki udara di
dalamnya.
Barotrauma merupakan segala sesuatu yang diakibatkan oleh tekanan kuat
yang tiba-tiba dalam ruangan yang berisi udara pada tulang temporal, yang
diakibatkan oleh kegagalan tuba eustakius untuk menyamakan tekanan dari bagian
telinga tengah dan terjadi paling sering selama turun dari ketinggian atau naik dari
bawah air saat menyelam. Barotrauma telinga tengah merupakan cedera terbanyak
yang dapat terjadi pada saat menyelam.
Hukum Boyle menyatakan bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada
tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan suatu volume gas dalam
ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut
dapat rusak karena ekspansi atau kompresi. Barotrauma dapat terjadi bilamana
ruang-ruang berisi gas dalam tubuh (telinga tengah, paru-paru) mejadi ruang
tertututup dengan menjadi buntunya jaras-jaras ventilasi normal.
Data epidemiologi barotrauma menunjukkan bahwa kondisi ini banyak
dialami penyelam, pendaki gunung, dan pasien yang memerlukan ventilasi
mekanik. Mengingat di Indonesia terdapat banyak tempat menyelam kelas dunia,
kondisi ini banyak terjadi di kalangan wisatawan.
Kejadian global barotrauma pada telinga dan sinus didapatkan pada 80%
kasus barotrauma. Selain itu, 15% adalah akibat barotrauma pulmonal, termasuk
emboli arteri pulmonal.
Kerusakan parenkim paru akibat perubahan tekanan udara juga sering
terjadi di intensive care unit (ICU). Insidensi barotrauma pada ventilasi mekanik
bervariasi bergantung pada indikasi pemasangan, dilaporkan dapat mencapai 50%.
Sejak adanya pemasangan ventilasi volume tidal rendah pada pertengahan tahun
2000, angka kejadian barotrauma pada ventilasi mekanik berkurang menjadi kurang
dari 10%. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asthma, dan acute respiratory
distress syndrome (ARDS) adalah faktor risiko barotrauma pada ventilasi mekanik.
Data yang di kumpulkan DepKes. R.I dari 10 Propinsi sampai dengan tahun
2008, sebanyak 93,9%, dari 1.028 penyelam tradisional yang di wawancarai secara
langsung di temukan penyakit dengan gejala klinis akibat penyelaman. 39,7%
diantaranya mengalami gangguan pendengaran ringan sampai ketulian (Sugianto et

4
al.,2017). didalam pembuatan makalah ini kami akan membahas lebih lanjut terkait
tentang barotrauma.

1.2. TUJUAN
Dalam pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui :
1. p e n g e r t i a n b a r o t r a u m a
2. e t i o l o g i b a r o t r a u m a
3. patofisiologi dari penyakit barotrauma
4. m a n i f e s t a s i k l i n i s d a r i p e n y a k i t b a r o t r a u m a
5. diagnosa pada penderita barotrauma
6. penatalaksanaan medis pada klien barotrauma
7. pencegahan barotrauma

5
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Barotrauma telinga adalah cedera jaringan pada telinga yang terjadi akibat
pemerataan tekanan yang tidak memadai antara ruang tubuh yang berisi gas dan
lingkungan eksternal. Dalam berbagai literatur dilaporkan bahwa insiden dan
prevalensi barotrauma telinga berkisar antara 4,1 – 82% (Ariani et al., 2020).
Barotrauma merupakan cedera yang disebabkan oleh perbedaan tekanan
antara didalam tubuh dengan ruang eksternal (Kaplan, 2017).
Barotrauma dapat terjadi pada setiap struktur tubuh, dimana terdapat ruang
tertutup yang dapat ditempati oleh udara, antara lain ruang telinga tengah, sinus,
paru-paru,lambung dan usus (Arbanto etal., 2018). Namun, barotrauma paling
sering terjadi di telinga tengah, yang terutama disebabkan oleh rumitnya fungsi tuba
Eustachius. Barotrauma telinga tengah terjadi ketika tuba Eustachius tidak dapat
dibuka untuk menyeimbangkan tekanan udara (Martinus et al., 2019).
Barotrauma adalah kerusakan jaringan yang terjadi akibat kegagalan untuk
menyamakan tekanan udara antara ruang berudara pada tubuh (seperti telinga
tengah) dan tekanan pada lingkungan sewaktu melakukan perjalanan dengan
pesawat terbang atau pada saat menyelam. Barotrauma dapat terjadi pada telinga,
wajah (sinus), dan paru, dalam hal ini bagian tubuh yang memiliki udara di
dalamnya.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Data yang di kumpulkan DepKes. R.I dari 10 Propinsi sampai dengan tahun
2008, sebanyak 93,9%, dari 1.028 penyelam tradisional yang di wawancarai secara
langsung di temukan penyakit dengan gejala klinis akibat penyelaman. 39,7%
diantaranya mengalami gangguan pendengaran ringan sampai ketulian (Sugianto et
al., 2017).
Dalam berbagai literatur dilaporkan bahwa insiden dan prevalensi
barotrauma telinga berkisar antara 4,1 – 82% (Ariani et al., 2020). Barotrauma
terjadi pada banyak penyelam di dunia termasuk di Indonesia. Insiden barotrauma
cukup banyak di Indonesia terutama pada penyelam tradisional. Hal tersebut
dikarenakan penyelam tradisional umumnya kurang memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga berpotensi terkena
barotrauma telinga tengah (Martinus et al., 2019).
Barotrauma terjadi pada banyak penyelam di dunia. Prevalensi barotrauma
mencapai 0,35% dari 10.000 penyelaman yang dilakukan dengan angka kematian
mencapai 1,3% dari 10.000 penyelam. Angka kejadian barotrauma cukup tinggi di
Indonesia. Kejadian barotrauma telinga mencapai 11,3% di pulau bunging (Salma
et al., 2021).

6
Barotrauma paling sering terjadi pada telinga tengah, hal ini terutamakarena
rumitnya fungsi tuba eustachius. Barotrauma pada telinga tengah dapat terjadi saat
menyelam ataupun saat terbang. Perubahan tekanan pada kedalaman 17 kaki
pertama di bawah air setara dengan perubahan tekanan pada ketinggian 18.000 kaki
pertama di atas bumi, dengan demikian, perubahan tekanan lingkungan terjadi lebih
cepat pada saat menyelam dibandingkan saat terbang. Hal ini dapat menjelaskan
realitf tingginya insidens barotrauma telinga pada saat menyelam.

2.3 ETIOLOGI
Etiologi yang mendasari barotrauma adalah perbedaan tekanan antara ruang
telinga tengah dan lingkungan eksternal. Apabila tekanan melebihi 90mmHg, tuba
eustachius tidak dapat terbuka (Arbanto et al., 2018).
Sesuai hukum boyle, peningkatan tekanan ambien menghasilkan penurunan
volume gas yang proporsional di ruang tubuh. Peningkatan tekanan ambien ini
dapat terjadi ketika seseorang melakukan penyelaman, berada di pesawat terbang,
ruang hiperbarik atau karena trauma benda tumpul. Selain itu terdapat beberapa
kondisi yang menjadi faktor risiko terjadinya barotrauma pada telinga tengah yaitu
riwayat kanker kepala dan leher, saluran koklea yang membesar atau lebih
pendek, saluran vestibular yang membesar serta kondisi anatomis telinga tengah
dan telinga dalam (Sumarna et al., 2018).
Barotrauma paling sering terjadi pada perubahan tekanan yang besar seperti
pada penerbangan, penyelaman misalkan pada penyakit dekompresi yang dapat
menyebabkan kelainan pada telinga, paru-paru, sinus paranasalis serta emboli udara
pada arteri yang dimana diakibatkan oleh perubahan tekanan yang secara tiba-tiba,
misalkan pada telinga tengah sewaktu dipesawat yang menyebabkan tuba eustakius
gagal untuk membuka. Tuba eustakius adalah penghubung antara telinga tengah
dan bagian belakang dari hidung dan bagian atas tenggorokan. Untuk memelihara
tekanan yang sama pada kedua sisi dari gendang telinga yang intak, diperlukan
fungsi tuba yang normal. Jika tuba eustakius tersumbat, tekanan udara di dalam
telinga tengah berbeda dari tekanan di luar gendang telinga, menyebabkan
barotrauma.

2.4 PATOFISIOLOGI
Perbedaan tekanan yang ada memnyebabkan terjadinya tekanan negatif
pada ruang telinga tengah sehingga terjadi peningkatan aliaran darah melalui
pembuluh subkutan pada saluran telinga luar, membran timpani, tuba eustchacius
dan telinga tengah. Hal tersebut menyebabkan pembengkakan pada pembuluh
darah (Hafli, 2019). Saat tekanan terus meningkat, pembuluh darah tersebut
akhirnya pecah dan menyebabkan perdarahan ke dalam atau di belakang membran
timpani. Jika dibiarkan berlanjut, peningkatan tekanan ambien pada akhirnya akan
mengakibatkan perforasi membran timpani dan komplikasi yang terkait.

7
Barotrauma dapat terjadi pada waktu seorang penyelam turun (descent)
maupun naik (ascent). Berdasarkan patogenesisnya dibedakan :
1) Barotrauma waktu turun (descent)
Barotrauma waktu turun lebih sering terjadi daripada waktu naik. Saat
penyelam turun, tubuhnya mendapat penambahan tekanan dari luar.
Penambahan tekanan ini normalnya tidak akan menimbulkan Barotrauma
selama proses equalisasi berjalan lancar. Rongga-rongga fisiologis tubuh
umunya mempunyai dinding yang keras (tulang), sehingga tidak mungkin
kolaps. Kegagalan equalisasi menyebabkan tekanan udara dalam rongga-
rongga fisiologis menjadi relative negative terhadap tekanan sekelilingnya. Hal
ini akan menimbulkan distorsi atau kerusakan jaringan lunak pada rongga, dan
dapat terjadi kongesti vaskuler, oedema mukosa disertai transudasi cairan
tubuh dan bahkan perdarahan kedalam rongga-rongga fisiologis tubuh.

2) Barotrauma waktu naik (ascent Barotrauma)


Sebaliknya, waktu penyelam naik ke permukaan penyelam mengalami
penurunan tekanan di sekelilingnya. Sesuai hukum Boyle penurunan tekanan
mengakibatkan pengembangan (expansion) udara dalam rongga-rongga
fisiologis tubuh. Volume udara yang mengembang, normalnya dapat
dikeluarkan lewat rongga-rongga fisiologis tubuh sehingga tekanan antara
rongga-rongga tubuh dengan tekanan sekelilingnya tetap seimbang. Namun
bila ada obstruksi, udara yang mengembang tadi akan terperangkap dan
meningkatkan tekanan dalam rongga-rongga fisiologis tubuh. Barotrauma
semacam ini umumnya menimbulkan nyeri mendadak akibat kenaikan tekanan
dalam rongga dan ada bahaya emboli vena.

2.5 ANATOMI DAN FISIOLOGI


2.5.1 Anatomi Telinga
Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam. Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga, liang telinga dan bagian lateral
dari membran timpani.

8
Daun telinga di bentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit.
Ke arah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir
sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang
ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani.
Telinga tengah berbentuk seperti kubah dengan enam sisi. Telinga tengah
terbagi atas tiga bagian dari atas ke bawah, yaitu epitimpanum terletak di atas dari
batas atas membran timpani, mesotimpanum disebut juga kavum timpani terletak
medial dari membran timpani dan hipotimpanum terletak kaudal dari membran
timpani. Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal
dari telinga luar kedalam koklea yang berisi cairan
Telinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran.
Telinga dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena
bentuknya yang kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah
sempurna dan hanya mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang
temporal. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin
membranosa. Labirin tulang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars
petrosa os temporalis ( ruang perilimfatik) dan merupakan salah satu tulang
terkeras. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan kohlea.
Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran
panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm.
Ada tiga buah semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior
dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Koklea membentuk
tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi
atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani.

Gambar 2 . Anatomi Telinga Dalam


(dikutip dari kepustakaan 6)

9
2.5.2 Anatomi Sinus Paranasalis
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.[7]

Gambar 3. Anatomi Sinus Paranasalis (dikutip dari kepustakaan 7)

2.5.3 Anatomi Paru-Paru


Paru‐paru adalah organ berbentuk spons yang terdapat di dada. Paru-paru
kanan memiliki 3 lobus, sedangkan paru‐paru kiri memiliki 2lobus. Paru-paru
berfungsi dalam pertukaran gas antara udara luar dan darah yaitu oksigen dari udara
masuk ke darah, dan karbondioksida dari darah ke luar ke udara. Proses pertukaran
gas terjadi melalui lapisan yang terdiri dari epitel alveoli, membran basalis, cairan
antarsel endotel kapiler, plasma, membran sel darah merah, dan cairan intrasel
darah merah.
Alveoli paru-paru/ kantong udara merupakan kantong kecil dan tipis yang
melekat erat dengan lapisan pembuluh darah halus (kapiler) yang mebawa darah
yang bebas oksigen (deoxgenated) dari jantung. Molekul oksigen dapat disaring
melalui dinding pembuluh darah tersebut untuk masuk ke aliran darah. Sama halnya
dengan karbondioksida yang dilepaskan dari darah ke dalam kantong udara untuk
dikeluarkan melalui pernapasan, menentukan jumlah oksigen yang masuk ke dalam
darah dan jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari darah.

10
Gambar 4. Struktur Paru-paru dan pertukaran gas di alveoli
(dikutip dari kepustakaan 8)

2.6 MANIFESTASI KLINIS


2.6.1 Kelainan pada telinga
Tuba eustakius secara normal selalu tertutup namun dapat terbuka pada gerakan menelan,
mengunyah, menguap, dan dengan manuver Valsava. Pilek, rinitis alergika serta berbagai variasi
anatomis individual, semuanya merupakan predisposisi terhadap disfungsi tuba eustakius.
Barotrauma, dengan ruptur membran timpani (MT), dapat terjadi setelah suatu penerbangan
pesawat atau setelah berenang atau menyelam. Mekanisme bagaimana ini dapat terjadi, dijelaskan
dibawah ini.
Saluran telinga luar, telinga tengah, telinga dalam dapat dianggap sebagai 3 kompartemen
tersendiri, ketiganya dipisahkan satu dengan yang lain oleh membran timpani dan membran tingkap
bundar dan tingkap oval Telinga tengah merupakan suatu rongga tulang dengan hanya satu
penghubung ke dunia luar, yaitu melalui tuba Eustachii. Tuba ini biasanya selalu tertutup dan hanya
akan membuka pada waktu menelan, menguap, Valsava maneuver. Valsava maneuver dilakukan
dengan menutup mulut dan hidung, lalu meniup dengan kuat. Dengan demikian tekanan di dalam
pharynx akan meningkat sehingga muara dapat terbuka.
Dari skema diatas ini dapat dilihat bahwa ujung tuba di bagian telinga tengah akan selalu
terbuka, karena terdiri dari massa yang keras/tulang. Sebaliknya ujung tuba di bagian pharynx akan
selalu tertutup karena terdiri dari jaringan lunak, yaitu mukosa pharynx yang sewaktu-waktu akan
terbuka di saat menelan. Perbedaan anatomi antara kedua ujung tuba ini mengakibatkan udara lebih
mudah mengalir keluar daripada masuk kedalam cavum tympani. Hal inilah yang menyebabkan
kejadian barotitis lebih banyak dialami pada saat menurun dari pada saat naik tergantung pada
besamya perbedaan tekanan, maka dapat terjadi hanya rasa sakit (karena teregangnya membrana
tympani) atau sampai pecahnya membrana tympani.
Barotrauma descent dan ascent dapat terjadi pada penyelaman. Imbalans tekanan terjadi
apabila penyelam tidak mampu menyamakan tekanan udara di dalam rongga tubuh pada waktu
tekanan air bertambah atau berkurang

11
 Gangguan telinga pada penyelam
Barotrauma telinga adalah yang paling sering ditemukan pada penyelam. dibagi menjadi
3 jenis yaitu barotrauma telinga luar, tengah dan dalam , tergantung dari bagian telinga yang
terkena. Barotrauma telinga ini bisa terjadi secara bersamaan dan juga dapat berdiri sendiri.
Barotrauma telinga luar berhubungan dengan dunia luar, maka pada waktu menyelam, air
akan masuk ke dalam meatus akustikus eksternus. Bila meatus akustikus eksternus tertutup, maka
terdapat udara yang terjebak. Pada waktu tekanan bertambah, mengecilnya volume udara tidak
mungkin dikompensasi dengan kolapsnya rongga (kanalis akustikus eksternus), hal ini berakibat
terjadinya decongesti, perdarahan dan tertariknya membrana timpani ke lateral. Peristiwa ini
mulai terjadi bila terdapat perbedaan tekanan air dan tekanan udara dalam rongga kanalis
akustikus eksternus sebesar ± 150 mmHg atau lebih, yaitu sedalam 1,5 – 2 meter.
Barotrauma telinga tengah akibat adanya penyempitan, inflamasi atau udema pada mukosa
tuba mempengaruhi kepatenannya dan merupakan penyulit untuk menyeimbangkan tekanan
telinga tengah terhadap tekanan ambient yang terjadi padasaat ascent maupun descent, baik
penyelaman maupun penerbangan. Terjadinya barotrauma tergantung pada kecepatan penurunan
atau kecepatan peningkatan tekanan ambient yang jauh berbeda dengan kecepatan peningkatan
tekanan telinga tengah.
Barotrauma telinga dalam biasanya adalah komplikasi dari barotrauma telinga tengah pada
waktu menyelam, disebabkan karena malakukan maneuver valsava yang dipaksakan. Bila terjadi
perubahan dalam kavum timpani akibat barotrauma maka membran timpani akan mengalami
edema dan akan menekan stapes yang terletak pada foramen ovale dan membran pada foramen
rotunda, yang mengakibatkan peningkatan tekanan di telinga dalam yang akan merangsang labirin
vestibuler sehingga terjadi deviasi langkah pada pemeriksaan “Stepping Test”. Dapat disimpulkan
, gangguan pada telinga tengah dapat berpengaruh pada labirin vestibuler dan menampakkan
ketidakseimbangan laten pada tonus otot melalui refleks vestibulospinal.

 Gangguan telinga pada penerbangan


Barotrauma telinga tengah merupakan masalah medis yang paling sering kita jumpai
dalam dunia penerbangan. Barotrauma telinga tengah atau aerotitis media atau ear block
didefinisikan sebagai proses inflamasi akut di telinga tengah sebagai akibat perubahan tekanan
atmosfer. Berdasarkan patologinya, barotrauma dibagi dua, yaitu barotitis media dan
baromiringitis. Barotitis media adalah keadaan patologis yang ditandai peradangan pada mukosa
telinga tengah, perdarahan dan cairan transudat di telinga tengah. Baromiringitis adalah kerusakan
struktur membran timpani.
Barotrauma telinga tengah terjadi akibat kegagalan tuba Eustachius untuk menyamakan
tekanan antara telinga tengah dan lingkungan saat terjadi perubahan tekanan. Kecepatan dan
besarnya perubahan tekanan berpengaruh terhadap terjadinya barotrauma. Makin cepat perubahan
tekanan yang terjadi dan makin besar perbedaan tekanan yang ada, maka makin mudah
barotrauma terjadi. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan fungsi tuba adalah adanya
proses infeksi saluran napas atas seperti rinitis, sinusitis, faringitis, hipertrofi adenoid dan infeksi
telinga tengah, adanya riwayat alergi, sumbatan jalan napas seperti septum deviasi dan massa
tumor pada daerah telinga, hidung dan tenggorok dan hal lain yang juga penting adalah perasat
Toynbee dan Valsava yang dilakukan kurang optimal.

12
Barotrauma yang terjadi pada penerbang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan.
Peraturan kesehatan standar penerbangan melarang para penerbang yang mengalami barotrauma
untuk bertugas, hal ini membawa dampak terhadap perusahaan penerbangan secara ekonomi. Hal
ini yang mendasari pentingnya suatu pemeriksaan yang dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya
barotrauma pada penerbang, sehingga barotrauma dapat dihindari.

Gejala-gejala klinik barotrauma telinga.


a. Gejala descent barotrauma:
1) Nyeri (bervariasi) pada telinga yang terpapar.
2) Kadang ada bercak darah dihidung atau nasofaring.
3) Rasa tersumbat dalam telinga/tuli konduktif.
b. Gejala ascent barotrauma:
1) Rasa tertekan atau nyeri dalam telinga.
2) Vertigo.
3) Tinnitus/tuli ringan.
4) Barotrauma telinga dalam sebagai komplikasi.

2.6.2 Kelainan pada paru-paru


Barotrauma pada paru-paru dapat diakibatkan oleh menyelam, ketika penyelam hendak naik
dari permukaan bawah laut ke atas maka dapat terjadi barotrauma. Barotrauma paru waktu naik (burst
lung) dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
1. Kerusakan jaringan paru-paru. Penyebabnya adalah penyelam pada waktu naik terlalu cepat,
penyelam pada waktu naik tidak menghembuskan udara. Gejalanya sesak sanaf, batuk disertai
dahak yang berdarah, kepala terasa pusing, sakit dada dan cyanosis.
2. Surgical empiesema adalah penyakit akibat dari pecahnya kantung-kantung udara dalam
paru-paru yang sangat kecil, sehingga gas akan masuk ke dalam jaringan-jaringan disekitar
paru-paru. Penyebabnya adalah penyelam pada waktu naik terlalu cepat, penyelam pada
waktu naik tidak menghembuskan udara, pengembangan paru-paru yang berlebihan sehingga
udara bocor menembus paru-paru dan pembuluh bronchial masuk ke jaringan disekitarnya.
Gejala-gejala perubahan suara tenggorokan terasa penuh, nafas pendek dan sukar menelan,
rasa sakit dibelakang tulang dada (sternum), denyut nadi cepat dan tekanan darah rendah.
3. Pneumothorak (udara dalam rongga dada) adalah penyakit akibat dari pecahnya paru-paru
dekat permukaan paru-paru itu sendiri, sehingga udara dalam tempat ini dilepaskan ke dalam
rongga dada dan dapat menyebabkan kolaps paru-paru. Penyebabnya adalah penyelam pada
waktu naik tidak menghembuskan udara.
4. Emboli udara: (pengembangan paru-paru) adalah keadaan paling berbahaya dari pecahnya
paru-paru dan dapat menyebabkan kerusakan otak yang berat. Penyebabnya adalah penyelam
pada waktu naik terlalu cepat (ketentuan 60 feet/menit), penyelam pada waktu naik tidak
menghembuskan udara / menahan nafas waktu naik.

13
2.6.3 Kelainan pada sinus paranasal
Rongga tubuh yang lain yang sering mendapat gangguan akibat adanya perbedaan tekanan
antara di dalam rongga dan sekitar tubuh adalah sinus paranasalis. Dinding sinus ini dilapisi mukosa
dan muaranya pada cavum nasi. Ada 4 buah sinus pada tubuh kita, tapi yang sering terganggu adalah
2 buah, yaitu sinus maxilaris dan sinus frontalis, sedang yang 2 buah lagi, yaitu sinus ethmoidalis
dan sinus sphenoidalis jarang terganggu. Kelainan di sinus-sinus ini disebut : Barosinusitis.
Prosentase kejadiannya kira-kira 1,17 — 1,5%.
Sinus adalah kantung udara di tulang atau sekeliling hidung. Sinus barotrauma terjadi ketika
terjadi perbedaan tekanan antara udara di dalam sinus dengan tekanan di luar. Penderita dapat
merasakan nyeri di sekitar tulang pipi atau di bagian atas mata, kadang juga dapat terjadi infeksi
sinus, perdarahan dari hidung, dan sakit kepala.

2.7 DIAGNOSIS
Anamnesis yang teliti sangat membantu penegakan diagnosis. Jika dari anamnesis ada
riwayat nyeri telinga atau pusing, yang terjadi setelah penerbangan atau suatu penyelaman, adanya
barotrauma seharusnya dicurigai. Diagnosis dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan telinga, dan
juga tes pendengaran dan keseimbangan.
Jika diperlukan, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan diagnosis
dan akibat yang ditimbulkan. Jenis pemeriksaan lanjutan yang dilakukan adalah:
 Tes pendengaran, untuk memeriksa fungsi pendengaran dan mendeteksi kerusakan
pada telinga
 Foto Rontgen, untuk mendeteksi tumpukan cairan atau udara di bagian tubuh, seperti
sinus atau rongga perut
 CT scan atau MRI, untuk memeriksa kondisi organ yang dicurigai mengalami
barotrauma, misalnya paru-paru atau saluran pencernaan

Diagnosis barotrauma ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, penilaian membran


timpani berdasarkan klasifikasi Wallace Teed, dan ditunjang dengan penilaian tekanan telinga tengah
dan fungsi tuba Eustachius dengan timpanometri.
Wallace Teed menggambarkan klasifikasi untuk derajat barotrauma, yaitu:
a. Derajat 0: tidak ada keluhan dengan membran timpani normal;
b. Derajat 1: membran timpani kemerahan yang difus dan retraksi;
c. Derajat 2: derajat 1 ditambah dengan perdarahan ringan membran timpani;
d. Derajat 3: derajat 1 ditambah dengan perdarahan sedang membran timpani;
e. Derajat 4: membran timpani tampak bulging, terdapat efusi cairan;
f. Derajat 5: perforasi membran timpani.

14
Derajat 0 Deajat I Derajat II

Derajat III Derajat IV Derajat V

Gambar 5. Gambar Derajat Barotrauma Telinga Tengah

Diagnosis dipastikan dengan otoskop. Gendang telinga tampak sedikit menonjol keluar atau
mengalami retraksi. Pada kondisi yang berat, bisa terdapat darah di belakang gendang telinga.
Kadang-kadang membran timpani akan mengalami perforasi. Dapat disertai gangguan perdengaran
konduktif ringan.
Perlu ditekankan bahwa tinnitus yang menetap, vertigo dan tuli sensorineural adalah gejala-
gejala kerusakan telinga dalam. Barotrauma telinga tengah tidak jarang menimbulkan kerusakan
telinga dalam. Kerusakan telinga dalam Merupakan masalah yang serius dan mungkin memerlukan
pembedaham untuk mencegah kehilangan pendengaran yang menetap. Semua orang yang mengeluh
kehilangan pendengaran dengan barotrauma harus menjalani uji pendengaran dengan rangkaian
penala untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran bersifat konduktif dan bukannya
sesorineural. Menegakkan diagnosis pada kelainan sinus paranasal dapat dikonfirmasi dengan x-ray,
ct-scan atau MRI di sinus.

2.8 PENATALAKASANAAN
Pengobatan konservatif barotrauma telinga biasanya cukup, yaitu dengan
memberikan dekongestan lokal atau melakukan manuver Valsava, selama tidak ada
infeksi saluran pernapasan atas. Jika cairan atau cairan bercampur darah tetap berada di
telinga tengah selama beberapa minggu, dianjurkan untuk melakukan miringotomi dan
menggunakan selang ventilasi jika diperlukan. Prosedur miringotomi ini secara klasik
dilakukan di bagian anterior dan inferior membran timpani untuk menghindari potensi
kerusakan pada struktur telinga tengah, terutama bila dilakukan secara darurat dalam
kasus yang ekstrim. Komplikasi yang dapat terjadi terkait dengan prosedur ini yaitu
infeksi, perdarahan, gangguan pendengaran dan perforasi kronis (Hafli, 2019).
Saat ini diketahui ada 4 cara menyeimbangkan tekanan di rongga telinga tengah
yaitu:
 dengan menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan,

15
 meniup perlahan dengan lubang hidung tertutup (teknik Valsava)
 menelan ludah (metode Toynbee) dan
 menguap (Arbanto et al., 2018).

Untuk mengurangi nyeri telinga atau rasa tidak enak pada telinga, pertama-tama yang perlu
dilakukan adalah berusaha untuk membuka tuba eustakius dan mengurangi tekanan dengan
mengunyah permen karet, atau menguap, atau menghirup udara, kemudian menghembuskan secara
perlahan-lahan sambil menutup lubang hidung dengan tangan dan menutup mulut.
Selama pasien tidak menderita infeksi traktus respiratorius atas, membrane nasalis dapat
mengkerut dengan semprotan nosinefrin dan dapat diusahakan menginflasi tuba eustakius dengan
perasat Politzer, khususnya dilakukan pada anak-anak berusia 3-4 tahun. Kemudian diberikan
dekongestan, antihistamin atau kombinasi keduanya selama 1-2 minggu atau sampai gejala hilang,
antibiotic tidak diindikasikan kecuali bila terjadi perforasi di dalam air yang kotor. Perasat Politzer
terdiri dari tindakan menelan air dengan bibir tertutup sementara ditiupkan udara ke dalam salah satu
nares dengan kantong Politzer atau apparatus senturi; nares yang lain ditutup. Kemudian anak
dikejutkan dengan meletuskan balon ditelinganya, bila tuba eustakius berhasil diinflasi, sejumlah
cairan akan terevakuasi dari telinga tengah dan sering terdapat gelembung-gelembung udara pada
cairan.
Untuk barotrauma telinga dalam, penanganannya dengan perawatan di rumah sakit dan
istirahat dengan elevasi kepala 30-400. Kerusakan telinga dalam merupakan masalah yang serius
yang memungkinkan adanya pembedahan untuk mencegah kehilangan pendengaran yang menetap.
Suatu insisi dibuat didalam gendang telinga untu menyamakan tekanan dan untuk mengeluarkan
caioran(myringitomy) dan bila perlu memasang pipa ventilasi. Walaupan demikian pembedahan
biasanya jarang dilakukan. Kadang-kadang, suatu pipa ditempatkan di dalam gendang telinga, jika
seringkali perubahan tekanan tidak dapat dihindari, atau jika seseorang rentan terhap barotrauma.
Biasanya barotrauma sinus sembuh tanpa pengobatan, perdarahan yang signifikan pada sinus
dapat dilakukan drainase secara cepat, jika nasal topikal dan dekongestan oral dapat digunakan.
Pengobatan yang terjadi barotrauma paru-paru dapat diobati dengan menghirup 100% O2
pada tekanan permukaan, pengobatan terpenting adalah rekompresi. Tiba di RUBT maka rekompresi
dengan 100% O2 dengan tekanan paling sedikit kedalaman 18 meter (2,8 ATA) adalah pilihan utama
pada banyak kasus PD. Bila sesudah 10 menit penderita belum sembuh sempurna, maka terapi
diperpanjang sampai 100 menit dengan diselingi tiap 20 menit bernapas 5 menit udara biasa. Setelah
ini dilakukan dekompresi dari 18 meter ke 9 meter selama 30 menit dan mengobservasi penderita
kemungkinan terjadinya deteriorasi. Selanjutnya penderita dinaikan kepermukaan selama 30 menit.
Seluruh waktu pengobatan dapat berlangsung kurang dari 5 jam. Rekompresi mengurangi diameter
gelembung sesuai Hukum Boyle dan ini akan menghilangkan rasa sakit dan mengurangi kerusakan
jaringan. Selanjutnya gelembung larut kembali dalam plasma sesuai Hukum Henry. O2 yang
digunakan dalam terapi mempercepat sampai 10 kali pelarutan gelembung dan membantu oksigenasi
jaringan yang rusak dan iskemik.
Dalam kasus darurat yang jauh dari fasilitas RUBT dapat dilakukan rekompresi dalam
air untuk mengobati PD langsung ditempat. Rekompresi dilakukan pada kedalaman maksimum
9 meter selama 30-60 menit. Kecepatan naik adalah 1 meter tiap 12 menit, dan bila gejalanya
kambuh, tetaplah berada dikedalaman tersebut selama 30 menit sebelum meneruskan naik

16
kepermukaan. Setiba dipermukaan, penderita diberi O2 selama 1 jam, kemudian bernafas
dengan udara selama 1 jam, demikian seterusnya hingga 12 jam. Walaupun dapat dan telah
dilakukan, mengenakan kembali alat selam dan menurunkan penyelam didalam air untuk
rekompresi, namun cara ini tidak dapat dibenarkan. Kesukaran yang dihadapi adalah penderita
tidak dapat menolong dirinya sendiri, tidak dapat dilakukan intervensi medic bila ia memburuk
dan terbatasnya suplai gas. Oleh karena ini usaha untuk mengatasi PD sering kali tidak berhasil
dan malahan beberapa pebderita lebih memburuk keadaannya.
Obat-obatan yang dapat diberikan selama rekompresi adalah infuse cairan (dekstran,
plasma) bila ada dehidrasi atau syok, steroid (deksamethason) bila ada edema otak, obat anti
pembekuan darah (heparin), digitalis bila terjadi gagal jantung, anti oksidan (vitamin E, C, beta
karoten) untuk mengantisipasi pembekuan oksidan (radikal bebas) yang merusak sel tubuh
pada terapi oksigen hiperbarik.

2.9 PENCEGAHAN
Barotrauma dapat dicegah dengan menghindari terbang ataupun menyelam pada waktu
pilek dan menggunakan teknik pembersihan yang tepat. Jika terasa nyeri, agaknya tuba
eustakius telah menciut. Yang harus dikerjakan jika ini terjadi pada saat menyelam adalah
hentikan menyelam atau naiklah beberapa kaki dan mencoba menyeimbangkan tekanan
kembali. Hal ini tidak dapat dilakukan jika sedang terbang dalam pesawat komersial, maka
perlu untuk mencegah penciutan tuba eustakius.
Metode terbaik adalah dengan mulai melakukan manuver-manuver pembersihan
dengan hati-hati beberapa menit sebelum pesawat mendarat. Jika pasien harus terbang dalam
keadaan pilek, maka sebaiknya menggunakan dekongestan semprot hidung atau oral..
Tindakan preventif terdiri atas nasal spray vasokonstriktor 12 jam sebelum penerbangan,
dekongestan oral dan mengunyah permen karet ketika mendarat.
Selain itu, usaha preventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu
mengunyah permen karet atau melakukan perasat Valsava, terutama sewaktu pesawat terbang
mulai turun untuk mendarat.

Upaya utama untuk mencegah barotrauma telinga adalah dengan menjaga tuba Eustachius
tetap terbuka. Cara yang dapat dilakukan antara lain:

 Minum obat
Jika sedang pilek, gunakan dekongestan sekitar 1 jam sebelum penerbangan. Selain
itu, antihistamin juga dapat digunakan. Namun, konsultasikan terlebih dahulu dengan
dokter mengenai hal ini.
 Menggunakan penyumbat telinga (earplugs)
Penyumbat telinga khusus untuk perjalanan udara dapat digunakan untuk
memperlambat perubahan tekanan dan memberi waktu bagi telinga untuk
menyesuaikan diri.

Jika telinga Anda terasa sakit selama penerbangan, cobalah cara berikut ini untuk meredakan
rasa sakit dan mencegah barotrauma:

 Jangan tidur saat pesawat akan mendarat dan cobalah untuk menguap atau menelan
ludah untuk meredakan telinga yang pengang.

17
 Konsumsi permen atau kunyahlah permen karet, karena gerakan mengunyah dan
menelan bisa membantu mengendalikan tekanan udara di dalam telinga.
 Minum selama penerbangan untuk menjaga tuba Eustachius tetap terbuka dan
membantu mengencerkan lendir di saluran pernapasan.
 Tarik napas, lalu jepit hidung dengan jari dan tutup mulut, kemudian buang napas
secara perlahan melalui hidung yang tertutup.

Jika Anda membawa bayi saat penerbangan, pastikan ia tidak tertidur saat pesawat akan
mendarat, salah satunya dengan memberinya dot agar ia tetap terjaga

Sementara upaya terbaik untuk mencegah barotrauma saat menyelam adalah dengan
menerapkan teknik menyelam yang baik. Teknik menyelam yang benar bisa Anda pelajari
melalui pelatihan bersertifikat.

2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat dari barotrauma telinga yaitu efusi serosa,
efusi serosanguinosa, perdarahan pada telinga tengah, perforasi membran timpani dan
barotrauma telinga dalam (inner ear barotrauma). Selain itu dapat terjadi gangguan
pendengaran yang bersifat sementara sampai kronis, infeksi telinga tengah, nyeri kronis,
serta gangguan kestabilan gaya berjalan (gangguan keseimbangan) dan kelumpuhan
saraf (Aquinas, 2017).

Barotrauma, khususnya telinga, biasanya bersifat sementara dan jarang sekali


menimbulkan komplikasi. Namun, komplikasi tetap dapat terjadi terutama pada barotrauma
yang parah. Komplikasi yang dapat muncul antara lain:

 Infeksi telinga
 Gendang telinga pecah
 Hilang pendengaran secara permanen
 Vertigo
 Perdarahan dari telinga dan hidung

Barotrauma paru juga dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya, terutama pada
penderita yang sudah menderita gangguan fungsi paru. Beberapa komplikasi yang dapat
muncul adalah:

 Tamponade jantung
 Emboli paru
 Pneumothorax
 Pneumomediastinum, yaitu penumpukan udara di bagian tengah dada sehingga memicu
nyeri dada, sulit menelan, dan perubahan suara.

18
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Barotrauma merupakan segala sesuatu yang diakibatkan oleh tekanan kuat yang tiba-
tiba dalam ruangan yang berisi udara pada tulang temporal, yang diakibatkan oleh kegagalan
tuba eustachius untuk menyamakan tekanan dari bagian telinga tengah dengan adekuat dan
terjadi paling sering selama turun dari ketinggian atau naik dari bawah air saat menyelam.
Barotrauma dapat terjadi saat menyelam dan saat penerbangan. Hukum Boyle menyatakan
hubungan antara tekanan dan volume. Hukum Boyle berbunyi “Volume suatu gas berbanding
terbalik dengan tekanan yang bekerja pada gas tersebut (jika suhu tetap konstan)”. Hal ini
berarti, untuk jumlah gas tertentu, jika tekanan meningkat, volume proporsionalnya menurun
demikian sebaliknya atau dapat diartikan jika tekanan naik dua kali lipat, berarti volumenya
seperdua, demikian sebaliknya. Pada anamnesis umumnya didapatkan adanya riwayat
menyelam atau penerbangan dimana terdapat perubahan cepat pada tekanan lingkungan.
Barotrauma dapat terjadi pada telinga, barotrauma telinga luar, barotrauma telinga tengah,
barotrauma telinga dalam, barotrauma sinus paranasalis, barotrauma pulmonal, dan barotrauma
odontalgia. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu analisis gas darah, darah lengkap, dan
kadar serum creatin phosphokinase. Untuk pemeriksaan autopsi dapat dilakukan pada post
morte dengan pemeriksaan yang teliti dan sistematis.

3.2 Saran
Tenaga kesehatan seharusanya melakukan soasialisasi terlebih dahulu tentang
pencegahan barotrauma bagi para penyelam dan para penumpang pesawat.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC. 1997. Hal.
90-2.
2. Dosen Bagian Ilmu Penyakit THT. Anatomi Telinga. Medan: Bagian Ilmu Penyakit THT
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2012;1-22.
3. Dosen Bagian Ilmu Penyakit THT. Anatomi Sinus Paranasalis. Medan: Bagian Ilmu
Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2012;1-13.
4. Hernawati. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru dalam Sistem Pernapasan Manusia pada
Kondisi Latihan dan Perbedaan Ketinggian. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi
Fakultas MIPA Universitas Pendidikan Indonesia. 2012;1-25.
5. https://www.scribd.com/document/289889122/Laporan-kasus-Barotrauma
6. Kaplan J. Barotrauma. http://www.emedicine.medscape.com/article/768618.htm
(diakses tanggal 29 Juli 2015).
7. Safer, D. Barotrauma. Spain: EBSCO Publishing. 2011.
8. Soepardi E, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Hal. 10-13, 65
9. Hyzy RC, Taha AR, Diagnosis, Management, and Prevention of Pulmonary Barotrauma
During Invasive Mechanical Ventilation in Adults. Uptodate. 2020.
https://www.uptodate.com/contents/diagnosis-management-and-prevention-of-
pulmonary-barotrauma-during-invasive-mechanical-ventilation-in-adults
10. O'Neill OJ, Brett K, Frank AJ. Middle Ear Barotrauma. [Updated 2021 Aug 15]. In:
StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499851/
11. Diaz R, Heller D. Barotrauma And Mechanical Ventilation. [Updated 2021 Aug 9]. In:
StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545226/
12. Martinus I, Hadisaputra S, Munasik M. Berbagai Faktor yang Berpengaruh terhadap
Barotrauma Telinga Tengah pada Penyelam Tradisional Studi di Wilayah Balaesang
Tanjung Kabupaten Donggala. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas. 2019.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/view/4685
13. Kartono. Prevalensi dan faktor risiko kejadian penyakit dekomprasi dan barotrauma pada
nelayan penyelam di Kecamatan Karimunjawa Kabupaten Jepara tahun 2007.
Universitas Gadjah Mada. 2007. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/35860

20

Anda mungkin juga menyukai