Anda di halaman 1dari 15

ANEMIA APLASTIK

DEFINISI
Anemia aplastik adalah suatu kelainan (atau kumpulan kelainan) akibat
kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan deplesi seluler dan penggantian
komponen lemak pada sumsum tulang. Bersamaan dengan itu, terjadi juga penurunan
progenitor hematopoietik yang menyebabkan penurunan produksi eritrosit, leukosit,
dan trombosit yang mengarah pada sitopenia perifer atau pansitopenia. Hilangnya
fungsi sumsum tulang dapat terjadi akibat berbagai komponen yang merusak sumsum
tulang, seperti obat-obatan, bahan kimia, iradiasi, infeksi, dan disfungsi sistem imun.
Sekalipun kejadian ini disebabkan oleh berbagai hal, semuanya mengarah kepada
hilangnya sel prekusor sumsum tulang atau kerusakan lingkungan mikro sumsum
tulang yang diperlukan untuk mempertahankan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel
sumsum tulang. Sehingga, sel-sel progenitor hematopoietik kehilangan
kemampuannya untuk memperbaharui dan memproduksi sel-sel baru. Hal ini
menyebabkan hilangnya massa seluler sumsum tulang dan kegagalan sumsum tulang.
Kriteria klinis yang telah dipakai untuk mendefinisikan anemia aplastik termasuk (1)
selularitas sumsum tulang < 25% jumlah normal dan (2) sekurang-kurangnya terdapat
dua sitopenia yang didefinsikan sebagai neutrofil kurang dari 500 per mikroliter atau
trombosit kurang dari 20.000 per mikroliter atau anemia dengan retikulosit terkoreksi
kurang dari 1%.

PATOGENESIS
Defek dasar dari anemia aplastik adalah kegagalan produksi sel darah oleh
sumsum tulang, termasuk eritrosit, leukosit, dan trombosit. Produksi sel darah dalam
sumsum tulang bergantung pada pertumbuhan, diferensiasi, dan self-renewal dari sel
induk umum, pluripoten (CFU-S). Agar dapat berproliferasi dan diferensiasi, CFU-S
berespon terhadap sitoikin dan faktor pertumbuhan lainnya yang diproduksi pada
lingkungan mikro sumsum tulang. Sehingga, kegagalan sumsum tulang mungkin
timbul akibat penurunan sel induk hematopoietik yang disebabkan oleh menurunnya
kerja self-renewal atau destruksi seluler. Dengan kata lain, gangguan pada lingkungan
mikro tulang, menyebabkan penurnan pensinyalan untuk proliferasi sel dan
diferensiasinya, yang selanjutnya menyebabkan aplasia sumsum tulang (Gbr 8-1).
Sebagian besar penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa penurunan sel
induk sumsum tulang dibandingkan adanya defek pada lingkungan mikro sebagai
penyebab sebagian besar kasus anemia aplastik. Karena sumsum tulang tidak dapat
berespon terhadap sitopenia darah perifer yang berkembang dengan peningkatan
hematopoiesis, hal itu telah digolongkan sebagai proses refraktori atau suatu proses
regeneratif. Tidak ada batasan yang jelas yang dapat diaplikasikan untuk menentukan
penyebab menurunnya produksi sel pada anemia aplastik. Mekanisme yang
dikemukakan tentang terjadinya anemia aplastik adalah sebagai berikut, efek langsung
toksik terhadap sumsum tulang, destruksi sumsum tulang yang dimediasi proses imun,
dan kelainan kongenital. Namun, pada sebagian besar kasus batasan yang jelas
mengenai mekanisme terjadinya kegagalan sumsum tulang tidak dapat diidentifikasi
(Tabel 8-1).

Tabel 8.1
MEKANISME YANG DIKEMUKAKAN TENTANG
PENGEMBANGAN ANEMIA APLASTIK
Idiopatik atau Tidak Diketahui
Efek Langsung Toksik pada Sumsum Tulang
Radiasi
Obat-obatan (misalnya, kemoterapi, obat lainnya)
Benzene
Racun atau bahan kimia
Kelaparan
Beberapa infeksi sumsum tulang
Kerusakan Sumsum Tulang yang Dimediasi Sistem Imun
Autoantibodi yang diinduksi obat
Kelainan autoimun
Kehamilan
Beberapa infeksi sumsum tulang
Defek Kongenital Sumsum Tulang
Anemia Fanconi
Dyskeratosis congenita

ETIOLOGI
Secara klinis, membagi anemia aplastik menjadi tipe akuisita dan kongenital
(herediter) merupakan hal yang berguna (Tabel 8-2). Sebagian besar (lebih dari 95%)
kasus merupakan tipe akuisita. Dari kasus-kasus tersebut, sebagian besar (40% hingga
70%) dianggap sebagai anemia aplastik primer atau idiopatik, karena tidak ada batasan
jelas mengenai agen etiologinya yang dapat diidentifikasi. Sisanya termasuk dalam
anemia aplastik sekunder, timbul akibat pajanan terhadap bahan kimia, obat-obatan,
iradiasi, atau infeksi yang terdokumentasi. Sebaga tambahan, beberapa kasus anemia
aplastik turut terlibat dalam disfungsi sistem imun, yang menyebabkan “serangan”
imunologik dan “penolakan” sumsum tulang. Antibodi yang menyerang sel-sel
sumsum tulang mungkin terinduksi akibat obat-obatan, beberapa infeksi atau kondisi
perubahan imunitas, seperti kehamilan atau penyakit jaringan ikat vaskular. Kasus
anemia aplastik herediter sangat amat jarang, dengan kasus yang paling umum pada
kelompok ini adalah anemia Fanconi.
Tabel 8.2
ETIOLOGI YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA
ANEMIA APLASTIK
Akuisita (>95%)
Primer atau idiopatik (40%-70%)
Sekunder
- Agen kimia
- Obat-obatan
- Radiasi ionisasi
- Infeksi
- Penyebab lainnya
Kongenital (Herediter) (>5%)
Anemia Fanconi
Dyskeratosis congenita
ANEMIA APLASTIK AKUISITA
Idiopatik atau Primer
Anemia aplastik paling sering dianggap asalnya idiopatik, karena tidak ada
penyebab kegagalan sumsum tulang yang jelas teridentifikasi, sekalipun telah ditelaah
secara teliti. Anemia aplastik idiopatik mencakup sekitar 40%-70% kasus anemia
aplastik nonherediter yang terlihat pada populasi barat.

Sekunder
Varietas yang cukup luas dari agen kimiawi, fisik, dan infeksius telah
dihubungkan dengan timbulnya anemia aplastik (Tabel 8-3). Biasanya agen-agen ini
dibagi kedalam agen yang sering menyebabkan aplasia sumsum tulang setelah pajanan
berulang (mis. benzena, iradiasi, dan agen kemoterapi_ dan agen yang lebih jarang
menyebabkan aplasia atau kejadian idiosinkrasi (mis. kloramfenikol, fenilbutazon)
(Tabel 8-4).
Tabel 8.3
PENYEBAB ANEMIA APLASTIK AKUISITA SEKUNDER
Agen Kimiawi
Benzene
Insektisida
Herbisida (Weed killers)
Obat-obatan
Kloramfenikol
Fenilbutazon
Antikonvulsan
Sulfonamid
Emas
Agen kemoterapi
Radiasi ionisasi
Infeksi
Hepatitis
Virus Epstein-Barr
Cytomegalovirus
Penyebab lain
Kehamilan
Malnutrisi
Disfungsi imunologik
Tabel 8.4
AGEN YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA APLASTIK
Agen yang Sering Menyebabkan Hipoplasia Sumsum Tulang setelah Dosis Tertentu
Radiasi ionisasi
Benzene dan turunan benzene
Agen kemoterapi (misal. busulfan, vinkristin)
Obat-obatan yan Menyebabkan Hipoplasia Sumsum Tulang pada Keadaan Idiosinkrasi

Tipe Obat Relatif Sering Jarang


Antimikroba Kloramfenikol, Streptomisin,
Penisilin, Amfoterisin B,
Tetrasiklin Sulfonamid
Antikonvulsan Metilfeniletildantoin Metilfenilhidantoin
Trimetadion Difenildantoin,
Primidon
Analgesik Fenilbutazon Aspirin,
Tapazole
Agen Hipoglikemik Tolbutamide,
Chlorpropamide
Insektisida Chlorophenothane
Parathion
Lain-lain Colchicine,
Acetazolamide
Pewarna rambut

Agen Kimiawi
Beberapa agen kimiawi yang dihubungkan dengan kegagalan sumsum tulang
atau anemia aplastik adalah benzena, trinitrotoluene, arsen, insektisida, dan herbisida.
Sebagian besar bahan-bahan ini memiliki bagian cincin benzena pada struktur
kimianya. Modifikasi dari bagian cincin benzena dengan kelompok nitroso atau nitro
dihubungkan dengan kejadian anemia aplastik.
Benzena telah diketahui sebagai penyebab berbagai derajat kegagalan sumsum
tulang selama hampir 100 tahun, sejak deskripsi orisinal oleh Santesson tentang empat
kasus fatal dari anemia aplastik yang terjadi pada pekerja di perusahaan ban sepeda.
Benzena diaplikasikan dalam berbagai bentuk industri. Industri-industri tersebut
termasuk sebagai pelarut untuk karet, lemak, dan alkaloid, dan dalam pembuatan obat-
obatan, cat, dan bahan eksplosif. Karena sebagian bahan benzena mudah menguap,
mereka sangat mudah diabsorbsi melalui inhalasi.
Benzena mungkin menginduksi spektrum luas dari supresi sumsum tulang,
mulai dari anemia ringan atau trombositopenia hingga pansitopenia fatal. Terdapat
keberagaman yang cukup luas antar individu terkait kerentanan masing-masing
terhadap bahan benzena tersebut. Supresi sumsum tulang langsung terjadi beberapa
saat setelah pajanan pertama pada beberapa orang, atau bisa cukup lama yakni 10 tahun
setelah pajanan pada orang lainnya. Supresi sumsum tulang biasanya bersifat reversibel
setelah pajanan terhadap benzena dihentikan. Benzena dianggap bekerja dengan cara
menghambat sintesis DNA dan RNA, menghambat proliferasi selular dan diferensiasi
sel sumsum tulang. Benzena juga dihubungkan dengan akumulasi abnormalitas
kromosom dan pengembangan kejadian leukemia akut pada beberapa pasien.

Obat-Obatan
Berbagai macam obat-obatan telah dikaitkan dengan kejadian anemia aplastik.
Kejadian-kejadian tersebut biasanya merupakan hasil dari reaksi yang tidak diprediksi
atau idiosinkrasi terhadap suatu obat. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, hal
ini mungkin timbul akibat toksisitas langsung atau timbulnya reaksi imun abnormal
dimana antibodi menyerang obat-obatan yang bereaksi dengan sel sumsum tulang.
Antibiotik kloramfenikol dan agen antiinflamasi fenilbutazon merupakan contoh obat
yang jelas terdokumentasi sebagai penyebab anemia aplastik. Toksisitas yang
berhubungan dengan obat-obatan ini biasanya tidak berhubungan dengan dosis total
obat yang diberikan, dan antibodi yang diinduksi oleh obat diidentifikasi hanya pada
sebagian pasien. Oleh karena itu, hubungan antara obat dan kejadian anemia aplastik
bergantung pada data epidemiologik dan hubungan temporal antara konsumsi obat dan
pengembangan kejadian kegagalan sumsum tulang. Mekanisme dari supresi kegagalan
sumsum tulang yang diinduksi obat biasanya tidak diketahui, dan untuk
mengidentifikasi pasien mana yang bereaksi terhadap obat-obatan tersebut tidaklah
mungkin untuk dilakukan. Untungnya, reaksi idiosinkrasi tersebut cukup jarang terjadi.
Diperkirakan 1 dari 20.000 hingga 30.000 orang mungkin memiliki reaksi idiosinkrasi
terhadap kloramfenikol, yang mana sekitar 10 kali insidensi anemia aplastik pada
populasi yang tidak mengkonsumsi kloramfenikol.
Kloramfenikol telah menunjukkan dua jenis efek pada sumsum tulang. Reaksi
tersering adalah supresi sumsum tulang reversibel yang terjadi selama pasien
mengkonsumsi obat dan berhubungan dengan vakuolisasi dari sel prekursor sumsum
tulang (Gbr 8-2) dan peningkatan kadar besi serum, menggambarkan eritropoiesis
inefektif. Reaksi kedua merupakan bentuk anemia aplastik ireversibel yang terhadi
beberapa minggu hingga bulan setelah pajanan terhadap obat. Reaksi yang lebih parah
tersebut tidak dapat diprediksi melalui dosis, durasi, dan rute administrasi obat. Oleh
karena hubungan yang cukup kuat antara kejadian anemia aplastik, penggunaan
kloramfenikol telah dikurangi. Saat ini penggunaan obat tersebut hanya untuk indikasi-
indikasi spesifik dimana obat alternatif lainnya tidak ada.
Berbagai macam obat lainnya telah diimplikasikan sebagai supressor langsung
terhadap hematopoiesis dan kadang dihubungkan dengan aplasia sumsum tulang.
Insidensi dan prediktabilitas dari supresi sumsum tulang bervariasi antara obat (Tabel
8-4). Misalnya, agen kemoterapi telah diketahui sebagai penyebab hipoplasia sumsum
tulang yang sering dan berhubungan dengan dosis. Obat lainnya (antibiotik,
antikonvulsan, dan analgetik) lebih sulit diprediksi. Pengetahun tentang efek yang
mungkin terjadi pada sumsum tulang perlu diingat saat menggunakan obat-obatan ini
dan pengawasan komponen darah perifer yang baik perlu dilaksanakan. Biasanya,
hipoplasia sumsum tulang yang diinduksi oleh obat bersifat reversibel secara penuh
saat obat dihentikan. Minoritas pasien yang lebih sedikit mungkin dapat
mengembangkan suatu kerusakan ireversibel.

Radiasi Ionisasi
Telah diketahui bahwa radiasi ionisasi memiliki efek destruktif akut pada sel-
sel sumsum tulang yang membelah dengan cepat, yang dapat diprediksi sesuai dosis.
Radiasi dosis tinggi, antara 300 sampai 500 rads, mengarah ke hilangnya sel-sel
hematopoietik secara keseluruhan dan bersifat ireversibel dan letal. Dosis yang lebih
kecil mengarah ke anemia reversibel, leukopenia, dan trombositopenia dengan
penyembuhan total berlangsung antara 4 hingga 6 minggu. Sel hematopoietik lebih
rentan terhadap radiasi dalam bentuk penetrasi, seperti yang dapat dijumpai pada sinar
gamma dan sinar x. namun, ingesti sumber radiasi energi rendah yang kronik (seperti
yang dijumpai pada pelukis jam yang menelan radium sewaktu membasahi kuas pada
mulut mereka dan menghirup serbuk radium) juga dapat menyebabkan efek yang
merusak pada sumsum tulang.
Radiasi ionisasi mempengaruhi sumsum tulang dan sel-sel berproliferasi cepat
lainnya dengan mengganggu ikatan kimiawijya. Hal ini menyebabkan pembentukan
radikal bebas dan bahan biologis aktif lainnya. Mereka berinteraksi dengan DNA dan
menyebabkan putusnya atau cross-link untai DNA. Hal ini menyebabkan kematian
selular dan abnormalitas genetik letal maupun non letal. Sebagai tambahan dari efek
langsung yang bergantung pada dosis oleh irradiasi terhadap sel hematopoietik, ada
pula efek jangka-panjang atau efek yang tertunda yang lebih sulit diprediksi. Anemia
aplastik dapat terjadi beberapa bulan hingga tahun setelah pajanan radiasi,
kemungkinan timbul sekunder setelah alterasi genetik yang berlangsung lama pada sel
induk hematopoietik, sekalupun kelainan seperti displasia sumsum tulang dan
leukemia akut lebih sering dijumpai.

Infeksi
Banyak infeksi memiliki efek supresi pada sumsum tulang. Infeksi akut, dan
sembuh-sendiri dapata menyebabkan supresi sumsum tulang selama 10 hingga 14 hari
dengan efek minor pada hitung sel darah perifer. Infeksi kronik mungkin dapat
menimbulkan efek yang lebih berat pada sistem hematopoietik. Beberapa infeksi virus,
termasuk hepatitis, virus Epstein-Barr, dan cytomegalovirus, telah dikaitkan dengan
kejadian anemia aplastik. Dari jenis infeksi tersebut, hepatitis dari virus hepatitis yang
tidak tergolongkan (yaitu, tipe non-A, non-B, dan non-C) memiliki hubungan yang
paling kuat dengan kejadian anemia aplastik refraktori. Mekanisme dimana virus-virus
tersebut menyebabkan anemia aplastik masih belum diketahui. Telah dikemukakan
bahwa virus mungkin memiliki efek infeksi langsung pada sel induk hematopoietik
atau menginduksi reaksi autoimun terhadap sel induk hematopoietik. Infeksi sistemik
lainnya, seperti tuberkulosis milier, juga telah dikaitkan dengan kejadian anemia
aplastik atau disfungsi sumsum tulang.

Penyebab lainnya
Anemia aplastik biasanya memiliki komponen berbasis imun dan banyak
pasien menunjukkan respon terhadap terapi imunosupresif, sekalipun mekanismenya
masih belum terlalu diketahui ataupun antigen penyebabbnya. Beberapa kondisi
dengan perubahan fungsin imun, seperti kehamilan atau graft vs host disease setelah
transplantasi sumsum tulang telah dikaitkan dengan kejadian anemia aplastik. Kasus
anemia aplastik lainnya dikaitkan dengan malnutrisi, seperti pada kasus anoreksia
nervosa atua insufisiensi pankreatik (sindrom Schwachman-Diamond). Kondis-kondisi
tersebut dikaitkan dengan nekrosis sel induk dan perubahan degeneratif pada sel stroma
sumsum tulang, atau dengan kata lain transformasi gelatinus.

ANEMIA APLASTIK KONGENITAL


Anemia Fanconi
Anemia aplastik kongenital ditandai dengan abnormalitasi hematologik yang
ada sejak lahir, diturunkan dari keluarga, dan adanya defek kongenital yang berkaitan.
Beberapa bentuk gambaran klinis yang diketauhi dan terdeskripsikan secara baik
adalah anemia Fanconi. Anemia fanconi merupakan kelainan yang jarang, dengan lebih
dari 500 kasus telah dilaporkan dalam literatur yang menunjukkan berbagai fitur klinik
dan pola resesif autosomal yang diturunkan cukup sering dijumpai. Biasanya pasien-
pasien ini memiliki gangguan pertumbuhan yang terkait, termasuk satu atau lebih
kelainan berikut: defek skeletal (biasanya aplasia atau hipoplasia ibu jari),
hiperpigmentasi kutaneus, gangguan ginjal, mikrosefali, retardasi mental, dan
gangguan tumbuh kembang. Pasien biasanya mengalami pansitopenia yang
berkembang seiring usia dan biasanya simtomatik dalam waktu 5 hingga 10 tahun sejak
lahir. Anemia (biasanya makrositik atau normokrom normositik) dan trombositopenia
biasanya mendahului kejadian leukopenia. Dapat pula ditemukan peningkatan ekspresi
antigen pada sel darah merah, peningkatan kadar hemoglobin fetal, dan kadar
eritropoietin. Hal ini menggambarkan adanya pola stres pada eritropoietin. Sumsum
tulang mungkin awalnya normosel atau hiperselular, namun seiring waktu akang terjadi
hipoplasia. Pasien-pasien tersebut juga lebih rentan terhadap timbulnya kanker.
Anemia Fanconi ditandai dengan sejumlah abnormalitas genetik yang
melibatkan setidaknya sembilan jenis gen berbeda yang berinteraksi secara fisik
ataupun fungsional pada kontrol siklus sel dan perbaikan DNA. Hal ini secara
fungsional tampak pada beberapa penelitian yang menunjukkan kadar pemecahan
kromosom yang tinggi, DNA cross-linking, dan defek perbaikan DNA pada sel-sel
pasien anemia Fanconi yang diterapi dengan agen cross-linkin atau stres genotoksik.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa pasien-pasien ini juga memiliki
peningkatan insidensi leukemia akut myelogenus dan keganasan lainnya, yang
mengarah ke karakter yang dikenal sebagai sindrom genetik-kanker. Sembilan gen
berbeda yang berhubungan dengan anemia Fanconi telah dikloning, yang mana
seluruhnya berhubungan dengan respon kerusakan DNA. Alur ini diregulasi oleh
protein ubiquitination dan mungkin mempengaruhi apoptosis yang dimediasi p53,
mengarah ke timbulnya gejala klinis penyakit ini.
Pasien anemia Fanconi yang tidak mendapatkan terapi biasanya meninggal
dunia akibat infeksi atau perdarahan yang timbul akibat sitopenia darah atau akibat
timbulnya keganasan. Saat ini, sebagian besar pasien diobati dengan transplantasi
sumsum tulang, sekalipun regimen kemoterapi atau irradiasi berhubungan dengan
toksisitas yang tinggi akibat defek perbaikan DNA, sehingga penurunan intensitas
dengan pendekatan yang menyesuaikan mungkin lebih menjadi pilihan.
Pengembangan pendekatan penatalaksanaan lainnya, seperti terapi gen, mungkin dapat
memberi harapan baru pada pasien-pasien ini dimasa mendatang.
Penyebab kongenital anemia aplastik lainnya lebih jarang ditemukan
dibandingkan dengan anemia Fanconi. Dyskeratosis congenita merupakan kelainan X-
linked dimana sekitar setengah dari penderita mengalami anemia aplastik. Hal ini tidak
terkait dengan instabilitas kromosom, namun timbul akibat defek pada gen yang
mengkode protein dyskerin. Dyskerin diketahui terlibat dalam struktur telomer dan
pemeliharaannya. Pasien dengan dyskeratosis congenita memiliki telomer pendek
berlebih, yang mana diduga menyebabkan kegagalan sumsum tulang.

MANIFESTASI KLINIK ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik umumnya tampil sebagai proses berbahaya, yang selanjutnya
menyebabkan penurunan berkala dari produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit
sumsum tulang. Hal tersebut dapat terjadi pada semua kelompok umur, sebagian besar
pasien datang dengan gejala lelah progresif, dispneu, dan palpitasi. Namun, perdarahan
atau infeksi dapat pula terjadi. Pemeriksaan fisik menunjukan pucat sebagai hasil dari
anemia, atau tanda-tanda trombositopenia (seperti petekie, purpura, ekimosis, dan
perdarahan mukosa). Tanda-tanda infeksi, sebagai hasil dari penurunan leukosit,
biasanya tampil sebagai manifestasi lanjut dari penyakit ini. Penemuan pada
pemeriksaan fisik lainnya minimal. Limfadenopati ringan mungkin dapat ditemukan,
namun splenomegali biasanya jarang. Pengambilan riwayat seperti konsumsi obat-
obatan, pajanan toksik, atau infeksi, juga riwayat keluarga dengan masalah
hematologik yang serupa merupakan hal yang penting.

EVALUASI LABORATORIS
Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi pasien dengan anemia aplastik
bertujuan untuk menentukan derajat dari disfungsi sumsum tulang dan
mengeksklusikan kemungkinan penyebab sitopenia lainnya dengan terapi yang lebih
tersedia. Pemeriksaan laboratorium biasanya mencakup pemeriksaan darah lengkap
dan hitung retikulosit, apusan darah tepi, dan pemeriksaan sumsum tulang.
Pemeriksaan biokimia tambahan lainnya untuk menilai fungsi ginjal dan hati, sekaligus
pemeriksaan kultur dan serologis untuk mencari tahu ada tidaknya agen infeksi juga
diperlukan (Tabel 8.5). Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan pansitopenia pada
berbagai tahapan, biasanya yang paling tampak adalah anemia (Tabel 8.6). Konsentrasi
hemoglobin biasanya kurang atau sama dengan 70 g/L, dan anemia biasanya
normokrom normositik, sekalipun sel-sel kadang makrositik dengan anisositosis
sedang dan poikilositosis. Nilai hitung retikulosit terkoreksi rendah (<1% atau < 25x
109/L nilai absolut), yang menggambarkan kurangnya aktivitas regenerasi sumsum
tulang. Sel darah putih, terutama sel mieloid dan monositik, serta trombosit juga
mengalami penurunan. Limfosit dapat normal ataupun menurun.
Tabel 8.5
EVALUASI LABORATORIS PADA ANEMIA APLASTIK
Pemeriksaan Tujuan
Hitung darah lengkap dan hitung jenis Menentukan keparahan sitopenia
Apusan darah tepi Mengekslusikan keganasan dan penyebab sitopenia lain
Hitung retikulosit Menetapkan penurunan regenerasi sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang Mengeksklusikan leukemia, penyebab lain sitopenia
(misal, mielodisplasia, gangguan penyimpanan, penyakit
metastasis, granuloma, fibrosis); menetapkan adanya
hipoplasia sumsum tulang.
Pemeriksaan biokimia Fungsi hati dan fungsi ginjal
Kultur Mengetahui ada tidaknya infeksi
Pemeriksaan serologi Mengetahui ada tidaknya infeksi

Tabel 8.6
KARAKTERISTIK ABNORMAL NILAI SEL DARAH YANG TERLIHAT PADA
ANEMIA APLASTIK BERAT
Eritrosit
Hematokrit ≤ 0,20-0,25 (L/L) atau 20%-25%
Konsentrasi hemoglobin ≤ 70 g/L
Hitung retikulosit absolut ≤ 25x109/L
Hitung retikulosit terkoreksi <1%
Sel darah putih
Hitung leukosit total ≤ 1,5x106/L
Hitung neutrofil absolut ≤ 0,5x109/L
Trombosit
Hitung trombosit ≤ 20-60x109/L
Tidak ditemukan abnormalitas morfologik yang spesifik pada pemeriksaan
apusan darah tepi dalam menunjang diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan apusan
darah tepi mengkonfirmasi jenis anemia normokrom normositik disertai sedikitnya
atau bahkan tidak ditemukan bukti regenerasi seperti sel polikromatofilik, basophilic
stippling, atau sel eritrosit berinti. Sel darah putih biasanya menunjukkan limfositosis
relatif hingga 70% hingga 90%, menggambarkan penurunan sel mieloid dan monositik.
Jika hitung sel darah putih menurun hingga dibawah 1,5x109/L, limfopenia absolut
dapat pula ditemukan. Sel mieloid imatur seperti mielosit dan metamielosit dapat
terlihat namun jarang terjadi, namun bila ditemukan dalam jumlah besar diagnosis
anemia aplastik menjadi lebih meragukan. Trombosit biasanya mengalami penurunan,
dan jarang dijumpai dalam bentuk abnormal. Saat trombositopenia ditemukan, waktu
perdarahan akan menjadi lebih panjang dan retraksi pembekuaan menjadi lebih buruk.
Oleh karena rendahnya gambaran-gambaran khas yang dapat dijumpai pada
pemeriksaan darah lengkap dan apusan darah tepi, diagnosis banding penyebab
pansitopenia yang perlu dipertimbangkan sangatlah banyak (Tabel 8-7), dan
pemeriksaan sumsum tulang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Aspirasi
sumsum tulang biasanya menunjukkan hiposelular yang nyata atau “dry tap” (Gbr 8-
3). Sejumlah kecil limfosit, sel plasma, dan terkadang sel prekusor hematopoietik dapat
ditemukan. Spesimen biopsi sumsum tulang menunjukkan sumsum tulang yang sangat
hiposelular dengan reduksi garis keturunan mieloid, eritroid, dan megakariositik yang
nyata. Dibandingkan dengan spesimen biopsi sumsum tulang normoselular (Gbr 8-4a),
spesimen biopsi sumsum tulang hiposelular hanya menunjukkan stroma residual dan
lemak (Gbr 8-4b). Limfosit yang tersebar dan sel plasma (Gbr 8-5) atau agregasi
limfoid yang kadang ditemukan juga dapat terlihat. Perlu menjadi catan, bahwa pasien
dengan anemia aplastik biasnya memiliki gambaran pulau residual dari sumsum tulang
normal atau area fokal dari sumsum tulang hiperplasia berdampingan dengan area
hipoplasia yang menyerupai gambaran pada mielodisplasia atau proses lainnya, yang
dapat membingungkan dalam penegakkan diagnosis anemia aplastik (Gbr 8-7). Perlu
diingat bahwa mungkin ada variasi dari tiap biopsi sumsum tulang dan antara tempat
pengambilan spesimen biopsi pada anemia aplastik, sehingga mungkin perlu
dilakukannya beberapa biopsi berurutan untuk penegakkan diagnosis.

PENATALAKSANAAN, PERJALANAN KLINIS, DAN PROGNOSIS


Anemia aplastik yang tidak ditangani memiliki prognosis yang sangat buruk,
karena pasien menjalani penurunan progresif dari jumlah sel darah dan mengalami
infeksi letal dan perdarahan. Namun, beberapa pasien dapat sembuh secara spontan.
Hingga awal 1970an, pasien dengan anemia aplastik berat diobati dengan transfusi
suportif, penatalaksaan dengan androgen atau steroid anabolik untuk menstimulasi
hematopoiesis, dan pencarian ekstensif agen etiologi yang mungkin bertanggung jawab
serta pencegahan pajanan berikutnya. Walaupun demikian, perjalanan klinisnya
bersifat progresif, dengan rasio mortalitas 5-tahun beriksar 70% dan hanya 10% pasien
sembuh secara sempurna.
Saat ini, pilihan penatalaksanaan anemia aplastik pada pasien usia kuran dari
50 tahun adalan transplantasi sumsum tulang allogeneic atau sel induk perifer. Terapi
ini merupakan terapi yang optimal jika sumsum tulang berasal dari saudara kandung
dengan HLA yang cocok, sekalipun donor yang tidak memiliki hubungan lebih
tersedia. Regimen yang dikondisikan dengan pengurangan intesitas mungkin dapat
digunakan karena adanya gangguan sistem imun penerima akibat anemia aplastik yang
dialami. Angka kelangsungan hidup jangka panjang setelah mengikuti transplantasi
sumsum tulang berkisar dari 65% hingga 85% telah dilaporkan, biasanya disertai
dengan pemulihan sempurna dari fungsi sumsum tulang. Perlu dicatat pula bahwa
peluang angka keberhasilan dari transplantasi menurun pada pasien yang telah
menerima transfusi multipel (lebih dari 20), mungkin akibat dari autoimunisasi, yang
meningkatkan terjadinya reaksi penolakan graft. Oleh karena itu, untuk meminimalisir
angka kebutuhan transfusi suportif, banyak pasien menerima transplantasi sumsum
tulang pada awal penyakit.
Bagi pasien yang tidak dapat menerima transplantasi sumsum tulang oleh
karena usia tua atau kurangnya donor yang cocok, terapi imunomodulatori dapat
dipakai. Jenis terapi ini menggunakan globulin antitimosit atau antilimfosit,
siklosporin, atau siklofosfamid dengan tujuan untuk menghambat serangan imun yang
mungkin terjadi pada sel induk sumsum tulang. Angka kelangsungan hidup setelah 5
tahun hingga 75% telah ditemukan dengan menggunakan terapi ini, meskipun kejadian
relaps dapat terjadi. Pendekatan alternatif lainnya adalah stimulasi jangka panjang
dengan faktor pertumbuhan hematopoietik, biasanya disertai dengan terapi
imunosupresif. Terdapat peningkatan pada jumlah neutrofil, biasanya bergantung pada
keparahan aplasia sumsum tulang. Biasanya efektifitas stimulasi tersebut terhadap
produksi eritrosit atau trombosit kurang memuaskan.
Prognosis untuk pasien dengan anemia aplastik telah meningkat secara nyata
dengan pilihan terapeutik yang lebih terbaru seperti transplantasi sumsum tulang dan
sel induk. Hasilnya masih bervariasi tergantung pada keparahan anemia sewaktu
pertama kali datang, terapi suportif seperti transfusi produk darah, dan modalitas terapi
yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai