DEFINISI
Anemia aplastik adalah suatu kelainan (atau kumpulan kelainan) akibat
kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan deplesi seluler dan penggantian
komponen lemak pada sumsum tulang. Bersamaan dengan itu, terjadi juga penurunan
progenitor hematopoietik yang menyebabkan penurunan produksi eritrosit, leukosit,
dan trombosit yang mengarah pada sitopenia perifer atau pansitopenia. Hilangnya
fungsi sumsum tulang dapat terjadi akibat berbagai komponen yang merusak sumsum
tulang, seperti obat-obatan, bahan kimia, iradiasi, infeksi, dan disfungsi sistem imun.
Sekalipun kejadian ini disebabkan oleh berbagai hal, semuanya mengarah kepada
hilangnya sel prekusor sumsum tulang atau kerusakan lingkungan mikro sumsum
tulang yang diperlukan untuk mempertahankan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel
sumsum tulang. Sehingga, sel-sel progenitor hematopoietik kehilangan
kemampuannya untuk memperbaharui dan memproduksi sel-sel baru. Hal ini
menyebabkan hilangnya massa seluler sumsum tulang dan kegagalan sumsum tulang.
Kriteria klinis yang telah dipakai untuk mendefinisikan anemia aplastik termasuk (1)
selularitas sumsum tulang < 25% jumlah normal dan (2) sekurang-kurangnya terdapat
dua sitopenia yang didefinsikan sebagai neutrofil kurang dari 500 per mikroliter atau
trombosit kurang dari 20.000 per mikroliter atau anemia dengan retikulosit terkoreksi
kurang dari 1%.
PATOGENESIS
Defek dasar dari anemia aplastik adalah kegagalan produksi sel darah oleh
sumsum tulang, termasuk eritrosit, leukosit, dan trombosit. Produksi sel darah dalam
sumsum tulang bergantung pada pertumbuhan, diferensiasi, dan self-renewal dari sel
induk umum, pluripoten (CFU-S). Agar dapat berproliferasi dan diferensiasi, CFU-S
berespon terhadap sitoikin dan faktor pertumbuhan lainnya yang diproduksi pada
lingkungan mikro sumsum tulang. Sehingga, kegagalan sumsum tulang mungkin
timbul akibat penurunan sel induk hematopoietik yang disebabkan oleh menurunnya
kerja self-renewal atau destruksi seluler. Dengan kata lain, gangguan pada lingkungan
mikro tulang, menyebabkan penurnan pensinyalan untuk proliferasi sel dan
diferensiasinya, yang selanjutnya menyebabkan aplasia sumsum tulang (Gbr 8-1).
Sebagian besar penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa penurunan sel
induk sumsum tulang dibandingkan adanya defek pada lingkungan mikro sebagai
penyebab sebagian besar kasus anemia aplastik. Karena sumsum tulang tidak dapat
berespon terhadap sitopenia darah perifer yang berkembang dengan peningkatan
hematopoiesis, hal itu telah digolongkan sebagai proses refraktori atau suatu proses
regeneratif. Tidak ada batasan yang jelas yang dapat diaplikasikan untuk menentukan
penyebab menurunnya produksi sel pada anemia aplastik. Mekanisme yang
dikemukakan tentang terjadinya anemia aplastik adalah sebagai berikut, efek langsung
toksik terhadap sumsum tulang, destruksi sumsum tulang yang dimediasi proses imun,
dan kelainan kongenital. Namun, pada sebagian besar kasus batasan yang jelas
mengenai mekanisme terjadinya kegagalan sumsum tulang tidak dapat diidentifikasi
(Tabel 8-1).
Tabel 8.1
MEKANISME YANG DIKEMUKAKAN TENTANG
PENGEMBANGAN ANEMIA APLASTIK
Idiopatik atau Tidak Diketahui
Efek Langsung Toksik pada Sumsum Tulang
Radiasi
Obat-obatan (misalnya, kemoterapi, obat lainnya)
Benzene
Racun atau bahan kimia
Kelaparan
Beberapa infeksi sumsum tulang
Kerusakan Sumsum Tulang yang Dimediasi Sistem Imun
Autoantibodi yang diinduksi obat
Kelainan autoimun
Kehamilan
Beberapa infeksi sumsum tulang
Defek Kongenital Sumsum Tulang
Anemia Fanconi
Dyskeratosis congenita
ETIOLOGI
Secara klinis, membagi anemia aplastik menjadi tipe akuisita dan kongenital
(herediter) merupakan hal yang berguna (Tabel 8-2). Sebagian besar (lebih dari 95%)
kasus merupakan tipe akuisita. Dari kasus-kasus tersebut, sebagian besar (40% hingga
70%) dianggap sebagai anemia aplastik primer atau idiopatik, karena tidak ada batasan
jelas mengenai agen etiologinya yang dapat diidentifikasi. Sisanya termasuk dalam
anemia aplastik sekunder, timbul akibat pajanan terhadap bahan kimia, obat-obatan,
iradiasi, atau infeksi yang terdokumentasi. Sebaga tambahan, beberapa kasus anemia
aplastik turut terlibat dalam disfungsi sistem imun, yang menyebabkan “serangan”
imunologik dan “penolakan” sumsum tulang. Antibodi yang menyerang sel-sel
sumsum tulang mungkin terinduksi akibat obat-obatan, beberapa infeksi atau kondisi
perubahan imunitas, seperti kehamilan atau penyakit jaringan ikat vaskular. Kasus
anemia aplastik herediter sangat amat jarang, dengan kasus yang paling umum pada
kelompok ini adalah anemia Fanconi.
Tabel 8.2
ETIOLOGI YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA
ANEMIA APLASTIK
Akuisita (>95%)
Primer atau idiopatik (40%-70%)
Sekunder
- Agen kimia
- Obat-obatan
- Radiasi ionisasi
- Infeksi
- Penyebab lainnya
Kongenital (Herediter) (>5%)
Anemia Fanconi
Dyskeratosis congenita
ANEMIA APLASTIK AKUISITA
Idiopatik atau Primer
Anemia aplastik paling sering dianggap asalnya idiopatik, karena tidak ada
penyebab kegagalan sumsum tulang yang jelas teridentifikasi, sekalipun telah ditelaah
secara teliti. Anemia aplastik idiopatik mencakup sekitar 40%-70% kasus anemia
aplastik nonherediter yang terlihat pada populasi barat.
Sekunder
Varietas yang cukup luas dari agen kimiawi, fisik, dan infeksius telah
dihubungkan dengan timbulnya anemia aplastik (Tabel 8-3). Biasanya agen-agen ini
dibagi kedalam agen yang sering menyebabkan aplasia sumsum tulang setelah pajanan
berulang (mis. benzena, iradiasi, dan agen kemoterapi_ dan agen yang lebih jarang
menyebabkan aplasia atau kejadian idiosinkrasi (mis. kloramfenikol, fenilbutazon)
(Tabel 8-4).
Tabel 8.3
PENYEBAB ANEMIA APLASTIK AKUISITA SEKUNDER
Agen Kimiawi
Benzene
Insektisida
Herbisida (Weed killers)
Obat-obatan
Kloramfenikol
Fenilbutazon
Antikonvulsan
Sulfonamid
Emas
Agen kemoterapi
Radiasi ionisasi
Infeksi
Hepatitis
Virus Epstein-Barr
Cytomegalovirus
Penyebab lain
Kehamilan
Malnutrisi
Disfungsi imunologik
Tabel 8.4
AGEN YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA APLASTIK
Agen yang Sering Menyebabkan Hipoplasia Sumsum Tulang setelah Dosis Tertentu
Radiasi ionisasi
Benzene dan turunan benzene
Agen kemoterapi (misal. busulfan, vinkristin)
Obat-obatan yan Menyebabkan Hipoplasia Sumsum Tulang pada Keadaan Idiosinkrasi
Agen Kimiawi
Beberapa agen kimiawi yang dihubungkan dengan kegagalan sumsum tulang
atau anemia aplastik adalah benzena, trinitrotoluene, arsen, insektisida, dan herbisida.
Sebagian besar bahan-bahan ini memiliki bagian cincin benzena pada struktur
kimianya. Modifikasi dari bagian cincin benzena dengan kelompok nitroso atau nitro
dihubungkan dengan kejadian anemia aplastik.
Benzena telah diketahui sebagai penyebab berbagai derajat kegagalan sumsum
tulang selama hampir 100 tahun, sejak deskripsi orisinal oleh Santesson tentang empat
kasus fatal dari anemia aplastik yang terjadi pada pekerja di perusahaan ban sepeda.
Benzena diaplikasikan dalam berbagai bentuk industri. Industri-industri tersebut
termasuk sebagai pelarut untuk karet, lemak, dan alkaloid, dan dalam pembuatan obat-
obatan, cat, dan bahan eksplosif. Karena sebagian bahan benzena mudah menguap,
mereka sangat mudah diabsorbsi melalui inhalasi.
Benzena mungkin menginduksi spektrum luas dari supresi sumsum tulang,
mulai dari anemia ringan atau trombositopenia hingga pansitopenia fatal. Terdapat
keberagaman yang cukup luas antar individu terkait kerentanan masing-masing
terhadap bahan benzena tersebut. Supresi sumsum tulang langsung terjadi beberapa
saat setelah pajanan pertama pada beberapa orang, atau bisa cukup lama yakni 10 tahun
setelah pajanan pada orang lainnya. Supresi sumsum tulang biasanya bersifat reversibel
setelah pajanan terhadap benzena dihentikan. Benzena dianggap bekerja dengan cara
menghambat sintesis DNA dan RNA, menghambat proliferasi selular dan diferensiasi
sel sumsum tulang. Benzena juga dihubungkan dengan akumulasi abnormalitas
kromosom dan pengembangan kejadian leukemia akut pada beberapa pasien.
Obat-Obatan
Berbagai macam obat-obatan telah dikaitkan dengan kejadian anemia aplastik.
Kejadian-kejadian tersebut biasanya merupakan hasil dari reaksi yang tidak diprediksi
atau idiosinkrasi terhadap suatu obat. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, hal
ini mungkin timbul akibat toksisitas langsung atau timbulnya reaksi imun abnormal
dimana antibodi menyerang obat-obatan yang bereaksi dengan sel sumsum tulang.
Antibiotik kloramfenikol dan agen antiinflamasi fenilbutazon merupakan contoh obat
yang jelas terdokumentasi sebagai penyebab anemia aplastik. Toksisitas yang
berhubungan dengan obat-obatan ini biasanya tidak berhubungan dengan dosis total
obat yang diberikan, dan antibodi yang diinduksi oleh obat diidentifikasi hanya pada
sebagian pasien. Oleh karena itu, hubungan antara obat dan kejadian anemia aplastik
bergantung pada data epidemiologik dan hubungan temporal antara konsumsi obat dan
pengembangan kejadian kegagalan sumsum tulang. Mekanisme dari supresi kegagalan
sumsum tulang yang diinduksi obat biasanya tidak diketahui, dan untuk
mengidentifikasi pasien mana yang bereaksi terhadap obat-obatan tersebut tidaklah
mungkin untuk dilakukan. Untungnya, reaksi idiosinkrasi tersebut cukup jarang terjadi.
Diperkirakan 1 dari 20.000 hingga 30.000 orang mungkin memiliki reaksi idiosinkrasi
terhadap kloramfenikol, yang mana sekitar 10 kali insidensi anemia aplastik pada
populasi yang tidak mengkonsumsi kloramfenikol.
Kloramfenikol telah menunjukkan dua jenis efek pada sumsum tulang. Reaksi
tersering adalah supresi sumsum tulang reversibel yang terjadi selama pasien
mengkonsumsi obat dan berhubungan dengan vakuolisasi dari sel prekursor sumsum
tulang (Gbr 8-2) dan peningkatan kadar besi serum, menggambarkan eritropoiesis
inefektif. Reaksi kedua merupakan bentuk anemia aplastik ireversibel yang terhadi
beberapa minggu hingga bulan setelah pajanan terhadap obat. Reaksi yang lebih parah
tersebut tidak dapat diprediksi melalui dosis, durasi, dan rute administrasi obat. Oleh
karena hubungan yang cukup kuat antara kejadian anemia aplastik, penggunaan
kloramfenikol telah dikurangi. Saat ini penggunaan obat tersebut hanya untuk indikasi-
indikasi spesifik dimana obat alternatif lainnya tidak ada.
Berbagai macam obat lainnya telah diimplikasikan sebagai supressor langsung
terhadap hematopoiesis dan kadang dihubungkan dengan aplasia sumsum tulang.
Insidensi dan prediktabilitas dari supresi sumsum tulang bervariasi antara obat (Tabel
8-4). Misalnya, agen kemoterapi telah diketahui sebagai penyebab hipoplasia sumsum
tulang yang sering dan berhubungan dengan dosis. Obat lainnya (antibiotik,
antikonvulsan, dan analgetik) lebih sulit diprediksi. Pengetahun tentang efek yang
mungkin terjadi pada sumsum tulang perlu diingat saat menggunakan obat-obatan ini
dan pengawasan komponen darah perifer yang baik perlu dilaksanakan. Biasanya,
hipoplasia sumsum tulang yang diinduksi oleh obat bersifat reversibel secara penuh
saat obat dihentikan. Minoritas pasien yang lebih sedikit mungkin dapat
mengembangkan suatu kerusakan ireversibel.
Radiasi Ionisasi
Telah diketahui bahwa radiasi ionisasi memiliki efek destruktif akut pada sel-
sel sumsum tulang yang membelah dengan cepat, yang dapat diprediksi sesuai dosis.
Radiasi dosis tinggi, antara 300 sampai 500 rads, mengarah ke hilangnya sel-sel
hematopoietik secara keseluruhan dan bersifat ireversibel dan letal. Dosis yang lebih
kecil mengarah ke anemia reversibel, leukopenia, dan trombositopenia dengan
penyembuhan total berlangsung antara 4 hingga 6 minggu. Sel hematopoietik lebih
rentan terhadap radiasi dalam bentuk penetrasi, seperti yang dapat dijumpai pada sinar
gamma dan sinar x. namun, ingesti sumber radiasi energi rendah yang kronik (seperti
yang dijumpai pada pelukis jam yang menelan radium sewaktu membasahi kuas pada
mulut mereka dan menghirup serbuk radium) juga dapat menyebabkan efek yang
merusak pada sumsum tulang.
Radiasi ionisasi mempengaruhi sumsum tulang dan sel-sel berproliferasi cepat
lainnya dengan mengganggu ikatan kimiawijya. Hal ini menyebabkan pembentukan
radikal bebas dan bahan biologis aktif lainnya. Mereka berinteraksi dengan DNA dan
menyebabkan putusnya atau cross-link untai DNA. Hal ini menyebabkan kematian
selular dan abnormalitas genetik letal maupun non letal. Sebagai tambahan dari efek
langsung yang bergantung pada dosis oleh irradiasi terhadap sel hematopoietik, ada
pula efek jangka-panjang atau efek yang tertunda yang lebih sulit diprediksi. Anemia
aplastik dapat terjadi beberapa bulan hingga tahun setelah pajanan radiasi,
kemungkinan timbul sekunder setelah alterasi genetik yang berlangsung lama pada sel
induk hematopoietik, sekalupun kelainan seperti displasia sumsum tulang dan
leukemia akut lebih sering dijumpai.
Infeksi
Banyak infeksi memiliki efek supresi pada sumsum tulang. Infeksi akut, dan
sembuh-sendiri dapata menyebabkan supresi sumsum tulang selama 10 hingga 14 hari
dengan efek minor pada hitung sel darah perifer. Infeksi kronik mungkin dapat
menimbulkan efek yang lebih berat pada sistem hematopoietik. Beberapa infeksi virus,
termasuk hepatitis, virus Epstein-Barr, dan cytomegalovirus, telah dikaitkan dengan
kejadian anemia aplastik. Dari jenis infeksi tersebut, hepatitis dari virus hepatitis yang
tidak tergolongkan (yaitu, tipe non-A, non-B, dan non-C) memiliki hubungan yang
paling kuat dengan kejadian anemia aplastik refraktori. Mekanisme dimana virus-virus
tersebut menyebabkan anemia aplastik masih belum diketahui. Telah dikemukakan
bahwa virus mungkin memiliki efek infeksi langsung pada sel induk hematopoietik
atau menginduksi reaksi autoimun terhadap sel induk hematopoietik. Infeksi sistemik
lainnya, seperti tuberkulosis milier, juga telah dikaitkan dengan kejadian anemia
aplastik atau disfungsi sumsum tulang.
Penyebab lainnya
Anemia aplastik biasanya memiliki komponen berbasis imun dan banyak
pasien menunjukkan respon terhadap terapi imunosupresif, sekalipun mekanismenya
masih belum terlalu diketahui ataupun antigen penyebabbnya. Beberapa kondisi
dengan perubahan fungsin imun, seperti kehamilan atau graft vs host disease setelah
transplantasi sumsum tulang telah dikaitkan dengan kejadian anemia aplastik. Kasus
anemia aplastik lainnya dikaitkan dengan malnutrisi, seperti pada kasus anoreksia
nervosa atua insufisiensi pankreatik (sindrom Schwachman-Diamond). Kondis-kondisi
tersebut dikaitkan dengan nekrosis sel induk dan perubahan degeneratif pada sel stroma
sumsum tulang, atau dengan kata lain transformasi gelatinus.
EVALUASI LABORATORIS
Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi pasien dengan anemia aplastik
bertujuan untuk menentukan derajat dari disfungsi sumsum tulang dan
mengeksklusikan kemungkinan penyebab sitopenia lainnya dengan terapi yang lebih
tersedia. Pemeriksaan laboratorium biasanya mencakup pemeriksaan darah lengkap
dan hitung retikulosit, apusan darah tepi, dan pemeriksaan sumsum tulang.
Pemeriksaan biokimia tambahan lainnya untuk menilai fungsi ginjal dan hati, sekaligus
pemeriksaan kultur dan serologis untuk mencari tahu ada tidaknya agen infeksi juga
diperlukan (Tabel 8.5). Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan pansitopenia pada
berbagai tahapan, biasanya yang paling tampak adalah anemia (Tabel 8.6). Konsentrasi
hemoglobin biasanya kurang atau sama dengan 70 g/L, dan anemia biasanya
normokrom normositik, sekalipun sel-sel kadang makrositik dengan anisositosis
sedang dan poikilositosis. Nilai hitung retikulosit terkoreksi rendah (<1% atau < 25x
109/L nilai absolut), yang menggambarkan kurangnya aktivitas regenerasi sumsum
tulang. Sel darah putih, terutama sel mieloid dan monositik, serta trombosit juga
mengalami penurunan. Limfosit dapat normal ataupun menurun.
Tabel 8.5
EVALUASI LABORATORIS PADA ANEMIA APLASTIK
Pemeriksaan Tujuan
Hitung darah lengkap dan hitung jenis Menentukan keparahan sitopenia
Apusan darah tepi Mengekslusikan keganasan dan penyebab sitopenia lain
Hitung retikulosit Menetapkan penurunan regenerasi sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang Mengeksklusikan leukemia, penyebab lain sitopenia
(misal, mielodisplasia, gangguan penyimpanan, penyakit
metastasis, granuloma, fibrosis); menetapkan adanya
hipoplasia sumsum tulang.
Pemeriksaan biokimia Fungsi hati dan fungsi ginjal
Kultur Mengetahui ada tidaknya infeksi
Pemeriksaan serologi Mengetahui ada tidaknya infeksi
Tabel 8.6
KARAKTERISTIK ABNORMAL NILAI SEL DARAH YANG TERLIHAT PADA
ANEMIA APLASTIK BERAT
Eritrosit
Hematokrit ≤ 0,20-0,25 (L/L) atau 20%-25%
Konsentrasi hemoglobin ≤ 70 g/L
Hitung retikulosit absolut ≤ 25x109/L
Hitung retikulosit terkoreksi <1%
Sel darah putih
Hitung leukosit total ≤ 1,5x106/L
Hitung neutrofil absolut ≤ 0,5x109/L
Trombosit
Hitung trombosit ≤ 20-60x109/L
Tidak ditemukan abnormalitas morfologik yang spesifik pada pemeriksaan
apusan darah tepi dalam menunjang diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan apusan
darah tepi mengkonfirmasi jenis anemia normokrom normositik disertai sedikitnya
atau bahkan tidak ditemukan bukti regenerasi seperti sel polikromatofilik, basophilic
stippling, atau sel eritrosit berinti. Sel darah putih biasanya menunjukkan limfositosis
relatif hingga 70% hingga 90%, menggambarkan penurunan sel mieloid dan monositik.
Jika hitung sel darah putih menurun hingga dibawah 1,5x109/L, limfopenia absolut
dapat pula ditemukan. Sel mieloid imatur seperti mielosit dan metamielosit dapat
terlihat namun jarang terjadi, namun bila ditemukan dalam jumlah besar diagnosis
anemia aplastik menjadi lebih meragukan. Trombosit biasanya mengalami penurunan,
dan jarang dijumpai dalam bentuk abnormal. Saat trombositopenia ditemukan, waktu
perdarahan akan menjadi lebih panjang dan retraksi pembekuaan menjadi lebih buruk.
Oleh karena rendahnya gambaran-gambaran khas yang dapat dijumpai pada
pemeriksaan darah lengkap dan apusan darah tepi, diagnosis banding penyebab
pansitopenia yang perlu dipertimbangkan sangatlah banyak (Tabel 8-7), dan
pemeriksaan sumsum tulang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Aspirasi
sumsum tulang biasanya menunjukkan hiposelular yang nyata atau “dry tap” (Gbr 8-
3). Sejumlah kecil limfosit, sel plasma, dan terkadang sel prekusor hematopoietik dapat
ditemukan. Spesimen biopsi sumsum tulang menunjukkan sumsum tulang yang sangat
hiposelular dengan reduksi garis keturunan mieloid, eritroid, dan megakariositik yang
nyata. Dibandingkan dengan spesimen biopsi sumsum tulang normoselular (Gbr 8-4a),
spesimen biopsi sumsum tulang hiposelular hanya menunjukkan stroma residual dan
lemak (Gbr 8-4b). Limfosit yang tersebar dan sel plasma (Gbr 8-5) atau agregasi
limfoid yang kadang ditemukan juga dapat terlihat. Perlu menjadi catan, bahwa pasien
dengan anemia aplastik biasnya memiliki gambaran pulau residual dari sumsum tulang
normal atau area fokal dari sumsum tulang hiperplasia berdampingan dengan area
hipoplasia yang menyerupai gambaran pada mielodisplasia atau proses lainnya, yang
dapat membingungkan dalam penegakkan diagnosis anemia aplastik (Gbr 8-7). Perlu
diingat bahwa mungkin ada variasi dari tiap biopsi sumsum tulang dan antara tempat
pengambilan spesimen biopsi pada anemia aplastik, sehingga mungkin perlu
dilakukannya beberapa biopsi berurutan untuk penegakkan diagnosis.