Anda di halaman 1dari 7

PENANGANAN INKONTINENSIA URINE PADA LANSIA

Inkontinensia urin dapat didefinisikan sebagai secara tidak terkendali atau tidak disadari
mengeluarkan air kemih dalam jumlah tertentu atau cukup sering, sehingga mengakibatkan
masalah psikososial dan atau masalah kesehatan. Inkontinensia urin mengenai sekitar 15-30%
usia lanjut (usila) yang tinggal di rumah, yang kemudian mengakibatkan sepertiga dari mereka
dirawat di ruang rawat kronik
Penanganannya :

1. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan jika


inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan mengobati
spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidakpstabilan pada otot detrusor. Obat
antipasmodik diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor untuk menekan aktivitas otot
polos kandung kemih. Estrogen, baik dalam bentuk oral, topical, maupun supositoria,
digunakan jika ada vaginitis atrofik. Inkontinensia stree kadang dapat diterapi dengan
antidepresan.

2. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu kemih,
penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul ( latihan kegel ). Pendekatan yang dipilih
disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari. Latihan kebiasaan dan latihan
berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami inkontinensia urgensi. Latihan otot
panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi tidak dipilih untuk pasien yang
mengalami inkontinensia sekunder akibat overflow. Teknik tambahan, seperti umpan
balik biologis dan rangsangan listrik, berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku.

3. Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau kerusakan
kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4 jam.
Tujuannya adalah pasien dapat berkemih sebelum secara tidak sengaja berkemih. Latihan
kembali berkemih dapat bermanfaat bagi pasien dengan fungsi kognitif yang utuh.
Latihan ini mengajarkan pasien utnuk menahan desakan berkemih, secara bertahap
meningkatkan kapasitas kandung kemih dan interval anatara berkemih. Ketika kapasitas
meningkat, urgensi dan frekuensi akan berkurang.
4. Spiral dapat direspkan untuk pasien wanita yang mengalami kelainan anatomis seperti
prolaps uterus berat atau relaksasi pelvic. Spiral tersebut dipakai secara internal, seperti
diafregma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung kemih serta uretra, yang
mencegah inkontinensia selama ketegangan fisik.

5. Penggunaan kateter kondom jangka panjang – pendek dapat diresepkan bagi pasien pria
utnuk membantunya mencegah berkemih secara tidak sengaja dengan efektif.
Penggunaan kondom yang terus menerus harus dihindari, karena dapat menyebabkan ISK
dan iritasi kulit.

6. Sfingter buatan yang terdiri atas sfingter bermanset silicon dengan balon yang mengatur
tekanan dan pompa karet dapat dipasang pada pasien pria setelah prostatektomi radikal
atau pada pasien wanita yang mengalami inkontinensia stress yang tidak berespon
terhadap terapi lain. Manset tersebut diletakkan disekitar leher kandung kemih. Balon
menahan cairan yang biasanya menegmbangkan manset. Pompa karet diimplan ke
skrotum atau labia. Ketika kandung kemih penuh dengan urine, manset yang sensitive
terhadap tekanan mencegah urine bocor disekitar leher kandung kemih. Pasien menekan
pompa untuk memindahkan cairan dari manset kedalam balon yang diberi tekanan yang
memungkinkan berkemih.

7. Perbaikan dinding vagina anterior atau suspense retropubik kandung kemih dan uretra
dengan pembedahan dapat terjadi pilihan terapi bagi wanita yang emngalami
inkontinensia stress. Suspensi retropubik memperbaiki kandung kemih dan uretra ke
posisi intra-abdomen yang tepat.

8. Pada pria yang megalami inkontinensia akibat hipertrofi prostat, penanganan dapat
mencakup reseksi transurethral prostat atau protatektomi terbuka. Pembedahan dapat
digunakan untuk menghilangkan lesi yang menyumbat yang menyebabkan inkontinensia
urgensi atau overflow. Pasien inkontinensia overflow akibat retensi urine dapat
memanfaatkan kateterisasi intermiten. Menghilangkan hambatan, memberikan
lingkungan dengan pencahayaan yang baik, dan memberikan orientasi yang sering ke
kamar mandi akan membantu pasien yang emngalami inkontinensia fungsional.
PENANGANAN INKONTINENSIA FEKAL PADA LANSIA
Inkontinensia fecal (inkontinensia feses) merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol
buang air besar, Hal ini menyebabkan tinja (feses) bocor dari rektum pada waktu yang tak
terduga.

Penanganannya :
Pasien yang menderita inkontinensia fekal harus dikaji penyebab masalah yang
mendasari penyakitnya dengan cermat. Pelatihan kembali defekasi merupakan terapi pilihan. Jika
masalahnya adalah tonus sfingter anal yang buruk, latihan otot – otot panggul dapat membantu
mengoreksinya. Lansia dapat diajarkan untuk mengontraksi dan merilekskan otot – otot tersebut.
Umpan balik biologis dapat sangat membantu bagi pasien yang menderita inkontinensia
yang terkait dengan disfungsi sensorik atau motorik sfingter anal. Calon pengguna umpan balik
biologis harus dimotivasi dan mampu mengikuti petunjuk. Jika inkontinensia fekal disebabkan
oleh impaksi, sumbatan harus dihilangkan dengan enema atau secara manual. Enema dan
supositoria dapat digunakan secara berulang untuk mendapatkan evakuasi feses yang tuntas.
Kegagalan mengevakuasi feses secara menyeluruh meningkatkan kemungkinan feses
terakumulasi kembali. Jika inkontinensia disebabkan oleh proktitis, enema kortikosteroid yang
diresepkan dapat bermanfaat.
PENANGANAN INKONTINENSIA FEKAL PADA LANSIA
Inkontinensia fecal (inkontinensia feses) merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol
buang air besar, Hal ini menyebabkan tinja (feses) bocor dari rektum pada waktu yang tak
terduga

A. Pengobatan

1. Kebiasaan defekasi yang baik


Langkah pertama untuk memperbaiki keadaan ini adalah berusaha untuk memiliki kebiasaan
defekasi (buang air besar) yang teratur, yang akan menghasilkan bentuk tinja yang normal.
Menjaga dan mengatur pola makan
Melakukan perubahan pola makan, berupa penambahan jumlah serat. Jika hal-hal tersebut diatas
tidak membantu, diberikan obat yang memperlambat kontraksi usus, misalnya loperamid.
2. Melatih otot Sfingter
Dengan Melatih otot-otot anus (sfingter) akan meningkatkan ketegangan dan kekuatannya dan
membantu mencegah kekambuhan.
3. Biofeedback
Dengan biofeedback, penderita kembali melatih sfingternya dan meningkatkan kepekaan rektum
terhadap keberadaan tinja.
4. Pembedahan
Jika keadaan ini menetap, pembedahan dapat membantu proses penyembuhan. Misalnya jika
penyebabnya adalah cedera pada anus atau kelainan anatomi di anus.
5. Kolostomi
Pilihan terakhir adalah kolostomi, yaitu pembuatan lubang di dinding perut yang dihubungkan
dengan usus besar. Anus ditutup (dijahit) dan kemudian penderita membuang tinjanya ke dalam
kantong plastik yang ditempelkan pada lubang yang telah dibuat tersebut.

B. Tindakan Medis dalam menangani atau merawat Inkontinensia Fecal


Tindakan medis yang dapat dilakukan adalah denagan melakukan bowel training pada
pasien penderita inkontinensia fecal.Bowel training (pelatihan defekasi) adalah program
pelatihan yang dilakukan pada klien yang mengalami inkontinensia usus atau tidak mampu
mempertahankan control defekasi. Dalam bahasa sederhana bowel training bisa diartiakan
sebagai kegiatan yang dilakukan untuk membantu klien dalam melatih defekasi. Program ini
dilakukan pada klien yang mengalami masalah eliminasi feses yang tidak teratur.

C. Tujuan bowel training


Ada beberapa tujuan dilakukannya bowel training pada klien yang memiliki masalah eliminasi
feses yang tidak teratur, antara lain sebagai berikut:
1) Program bowel taraining dapat membantu klien mendapatkan defekasi yang normal. Terutama
klien yang masih memiliki control newromuskular (Doughty, 1992).
2) Melatih defekasi secara rutin pada klien yang mengalami gangguan pola eliminasi feses atu
defekasi.
PENANGANAN INKONTINENSIA URINE PADA LANSIA

Inkontinensia Urin adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan hilanganya kendali
pada kandung kemih yang berakibat pada kebocoran urin/mengompol. Kondisi ini biasanya
merupakan gejala dari penyakit yang mendasari atau masalah fisik, seperti infeksi saluran kemih,
konstipasi, diabetes, infeksi prostat, dan penyakit neurologi.

Penanganannya :

1. Terapi obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan jika


inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan mengobati
spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidakpstabilan pada otot detrusor. Obat
antipasmodik diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor untuk menekan aktivitas otot
polos kandung kemih. Estrogen, baik dalam bentuk oral, topical, maupun supositoria,
digunakan jika ada vaginitis atrofik. Inkontinensia stree kadang dapat diterapi dengan
antidepresan.

2. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu kemih,
penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul ( latihan kegel ). Pendekatan yang dipilih
disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari. Latihan kebiasaan dan latihan
berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami inkontinensia urgensi. Latihan otot
panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi tidak dipilih untuk pasien yang
mengalami inkontinensia sekunder akibat overflow. Teknik tambahan, seperti umpan
balik biologis dan rangsangan listrik, berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku.

3. Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau kerusakan
kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4 jam.
Tujuannya adalah pasien dapat berkemih sebelum secara tidak sengaja berkemih. Latihan
kembali berkemih dapat bermanfaat bagi pasien dengan fungsi kognitif yang utuh.
Latihan ini mengajarkan pasien utnuk menahan desakan berkemih, secara bertahap
meningkatkan kapasitas kandung kemih dan interval anatara berkemih. Ketika kapasitas
meningkat, urgensi dan frekuensi akan berkurang.

4. Spiral dapat direspkan untuk pasien wanita yang mengalami kelainan anatomis seperti
prolaps uterus berat atau relaksasi pelvic. Spiral tersebut dipakai secara internal, seperti
diafregma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung kemih serta uretra, yang
mencegah inkontinensia selama ketegangan fisik.

5. Penggunaan kateter kondom jangka panjang – pendek dapat diresepkan bagi pasien pria
utnuk membantunya mencegah berkemih secara tidak sengaja dengan efektif.
Penggunaan kondom yang terus menerus harus dihindari, karena dapat menyebabkan ISK
dan iritasi kulit.

6. Sfingter buatan yang terdiri atas sfingter bermanset silicon dengan balon yang mengatur
tekanan dan pompa karet dapat dipasang pada pasien pria setelah prostatektomi radikal
atau pada pasien wanita yang mengalami inkontinensia stress yang tidak berespon
terhadap terapi lain. Manset tersebut diletakkan disekitar leher kandung kemih. Balon
menahan cairan yang biasanya menegmbangkan manset. Pompa karet diimplan ke
skrotum atau labia. Ketika kandung kemih penuh dengan urine, manset yang sensitive
terhadap tekanan mencegah urine bocor disekitar leher kandung kemih. Pasien menekan
pompa untuk memindahkan cairan dari manset kedalam balon yang diberi tekanan yang
memungkinkan berkemih.

7. Perbaikan dinding vagina anterior atau suspense retropubik kandung kemih dan uretra
dengan pembedahan dapat terjadi pilihan terapi bagi wanita yang emngalami
inkontinensia stress. Suspensi retropubik memperbaiki kandung kemih dan uretra ke
posisi intra-abdomen yang tepat.

8. Pada pria yang megalami inkontinensia akibat hipertrofi prostat, penanganan dapat
mencakup reseksi transurethral prostat atau protatektomi terbuka. Pembedahan dapat
digunakan untuk menghilangkan lesi yang menyumbat yang menyebabkan inkontinensia
urgensi atau overflow. Pasien inkontinensia overflow akibat retensi urine dapat
memanfaatkan kateterisasi intermiten. Menghilangkan hambatan, memberikan
lingkungan dengan pencahayaan yang baik, dan memberikan orientasi yang sering ke
kamar mandi akan membantu pasien yang emngalami inkontinensia fungsional.

Anda mungkin juga menyukai