Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Apa itu demokrasi?. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh
hampir semua orang.

Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5
SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang
berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah
sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan
dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.

Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang
lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi
wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu
negara.

Berbicara mengenai demokrasi adalah memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih


tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemenkekuasaan yang
dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang
menghargaimartabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang
selama ini selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga
prosesdemokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak
itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu.
Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik
yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur
pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi adalah keputusan
berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan
pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan
tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalahkeadilan,
dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti
juga otonomiatau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai
dengan apa yang dia ingini.

2
Jadi, masalah keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan
sendiri jalan hidupnya, tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan
serta pertolongan untuk mencapai ituDemokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik
negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara
yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam pelaksanaanya, banyak sekali penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi baik itu
dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun masyarakat.

Permasalahn yang muncul diantaranya yaitu:

- Belum tegaknya supermasi hukum.

- Kurangnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

- Pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.

- Tidak adanya kehidupan berpartisipasi dalam kehidupan bersama (musyawarah untuk


mencapai mufakat).

Untuk mengeliminasi masalah-masalah yang ada, maka makalah ini akan


memaparkan “PROBLEMATIKA DEMOKRASI DI INDONESIA”

Karena banyaknya permasalahan-permasalahan yang timbul, maka makalah ini hanya akan
membahas tentang pentingnya budanya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam
keluarga maupun masyarakat, berbangsa dan bernegara.

3
1.3 Landasan Pemikiran

Kita disini tahu bahwa demokrasi di Indonesia tidak berjalan semestinya, banyak sekali
masalah-masaalah yang timbul akibat pembentukkan pemerintahan yang kurang tegas.
Oleh karena itu, diharapkan agar pemerintah memperdulikan nasib rakyatnya. Kami
harap agar pemerintah bisa lebih baik lagi dalam membina sebuah demokrasi dalam
Negara ini. Penulis sangat menyayangkan ketika mengetahui fakta dari demokrasi di
Indonesia ini sangatlah kacau, jika ditilik dari sisi ekonomi rakyat dan masalah
demokrasi, debat minus esensi, sengkarut demokrasi, demokratisasi, serta memperkuat
demokrasi, pemerintah tidak pernah ada tindakan yang logis maupun nyata. Sehingga
kita sebagai rakyat yang sangat dirugikan oleh ketidaktegasan demokrasi di Indonesia
ini.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

2.2 Sejarah dan Perkembangan Demokrasi Indonesia

Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno
pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari
sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari
istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak
negara.

Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,
dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam
bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut
sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu
negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan
negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.

Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika
fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar
ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan
kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak
asasi manusia.

Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan
tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan
membawa kebaikan untuk rakyat.

5
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus
ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan
mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi
kekuasaan lembaga negara tersebut.

Tahun 1988, ditandai dengan perubahan besar di Indonesia. Ya, tentu saja rejim orde
baru yang telah berkuasa selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia
akhirnya turun juga. Demokrasi arti sesungguhnya sudah menggantikan Demokrasi
Pancasila versi Orde Baru. Setelah Soeharto turun, bangsa ini masih lemah, belum
mempunyai kekuatan untuk membangun perubahan secara damai, bertahap dan
progresif. Bahkan bermunculan konflik – konflik baru serta terjadi perubahan genetika
sosial masyarakat Indonesia. Pada zaman itu, krisis moneter pun melanda kepada krisi
keuangan sehingga penurunan nilai rupiah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi msyarakat Indonesia. Inflasi pun meningkat dan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) pun meningkat. Hal ini sangat berpengaruh kepada kualitas kehidupan
masyarakat. Rakyat Indonesia sebagian besar masuk ke dalam sebuah era demokrasi
sesungguhnya dimana pada saat yang sama tingkat kehidupan ekonomi mereka justru
tidak lebih baik dibandingkan masa orde baru.

Indonesia sudah melalui 4 zaman demokrasi yaitu :

a) Demokrasi Liberal (1950 – 1959)

Pertama kali Indonesia menganut system demokrasi parlementer, yang biasa disebut
dengan demokrasi liberal. Masa demokrasi liberal membawa dampak yang cukup
besar, mempengaruhi keadaan, situasi dan kondisipolitik pada waktu itu. Di Indonesia
demokrasi liberal yang berjalan dari tahun 1950 - 1959 mengalami perubahan-
perubahan kabinet yang mengakibatkan pemerintahan menjadi tidak stabil. Pada
waktu itu, pemerintah berlandaskan UUD 1950 pengganti konstitusi RIS (Republik
Indonesia Serikat) tahun 1949.

Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut :

1. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.

2. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah.

3. Presiden bisa dan berhak membubarkan DPR.

4. Perdana Menteri diangkat oleh presiden.

Daftar kabinet yang ada di Indonesia selama masa semorasi liberal :

1. Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951)

6
2. Kabinet Sukiman (April 1951 – April 1952)

3. Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953)

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo 1 (Juli 1953 – Agustus 1955)

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)

b) Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang
seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.

Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :

1. Dari segi keamanan : Banyaknya gerakan sparatis pada masa demokrasi liberal,
menyebabkan ketidak stabilan di bidang keamanan.

2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa


demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak
dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.

3. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh
anjuran beliau agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950
adalah UUD'45. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota
konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh
anggota konstituante . Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul
dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.

Hasil voting menunjukan bahwa :

 269 orang setuju untuk kembali ke UUD'45

 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD'45

Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD'45 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut
tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.

7
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang
disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950

2. Berlakunya kembali UUD 1945

3. Dibubarkannya konstituante

4. Pembentukan MPRS dan DPAS

c) Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme


kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan
berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila
terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.

Ciri – cirri demokrasi pancasila :

 Kedaulatan ada di tangan rakyat.

 Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong royong.

 Cara pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

 Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi

 Diakui keselarasan antara hak dan kewajiban

 Menghargai Hak Asasi Manusia

 Ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan


melalui wakil-wakil rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan
karena merugikan semua pihak

 Tidak menganut sistem monopartai

 Pemilu dilaksanakan secara luber

 Mengandung sistem mengambang

 Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas

 Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum

8
System pemerintahan Demokrasi Pancasila sebagai berikut

 Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum

 Indonesia menganut sistem konstitusional

 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara


yang tertinggi

 Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis


Permusyawaratan Rakyat (MPR)

 Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

 Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab
kepada DPR

 Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas

d) Demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi

2.3 CONTOH PROBLEMATIKA DI INDONESIA

A. Ekonomi Rakyat dan masalah Demokrasi

Debat tentang Ekonomi Rakyat sedang mendominasi jagad politik ekonomi


Indonesia. Debat tersebut dipicu oleh masing-masing kubu pasangan dan tim sukses
calon Presiden/Wakil Presiden yang mengklaim diri sebagai pasangan yang paling ber-
trade mark Ekonomi Rakyat, walau dengan kemasan yang berbeda. Pasangan JK-
Wiranto mengklaim diri sebagai pasangan pro Ekonomi Rakyat yang berporos pada
kemandirian ekonomi. Yakni ekonomi yang digerakkan oleh modal dan sumber daya
dalam negeri. Ekonomi yang lebih pro kepada pasar tradisional daripada pasar modern,
serta melindungi, mengedepankan, dan bangga dengan produk-produk dalam negeri.
Pasangan SBY-Budiono mengklaim diri sebagai pasangan pendukung Ekonomi
Rakyat yang berpihak kepada rakyat kecil (grass root). Ekonomi yang pro kepada
koperasi, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta bentuk usaha-usaha
ekonomi rakyat lainnya. Sementara pasangan Megawati-Parabowo mengklaim diri
sebagai pasangan pro Ekonomi Rakyat yang berbasis pada kedaulatan ekonomi.
Ekonomi yang digerakkan oleh kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan pasar
(neoliberalisme). Ekonomi yang pro kepada petani, buruh, dan kelompok marginal
lainnya serta ditujukan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Pasangan ini
bahkan berani menjanjikan pembukaan jutaan lapangan kerja untuk rakyat bila kelak

9
mereka berkuasa.

B. Debat minus Esensi

Sepintas debat Ekonomi Rakyat memang menarik. Sebab konsep yang digagas
ketiga pasangan calon, apalagi ditopang dengan performance, tutur bahasa, dan gaya
komunikasi yang provokatif, memang seolah terlihat berbeda. Yang satu terlihat
menganut Ekonomi Rakyat ’kiri’, sementara pasangan yang lain lebih menganut
Ekonomi Rakyat ’kiri tengah’ dan Ekonomi Rakyat ’kanan tengah’. Namun bila dicermati
lebih mendalam konsepsi dan platform Ekonomi Rakyat dari ketiga pasangan ini
sejatinya tidak menunjukkan signifikansi dan kedalaman. Platform Ekonomi Rakyat
ketiga pasangan sesungguhnya masih teramat dangkal. Ekonomi Rakyat dipahami dan
dimaknai teramat normatif, tidak substantif.
Singkatnya, gagasan dan konsepsi Ekonomi Rakyat dari ketiga pasangan
sesungguhnya tidak memiliki differensiasi (nilai pembeda). Itu artinya debat yang
terjadi, dan kemudian makin meluas menjadi pro kontra di tengah publik, sejatinya
adalah debat minus esensi dan substansi. Sebab esensi dan substansi dari sebuah
debat adalah kedalaman diffrensisasi dari gagasan/topik yang diperdebatkan. Bukan
pada hingar bingar perdebatan yang terjadi. Tanpa diffrensiasi gagasan, sebuah debat
sebenarnya tak lebih dari sekedar debat kusir. Debatnya ramai dan panas namun
kehilangan konteks dan relevansi untuk masuk ke akar masalah sulitnya perwujudan
Ekonomi Rakyat di republik ini.

C. Ekonomi Rakyat dan Demokrasi

Debat kusir Ekonomi Rakyat terjadi karena debat tersebut menegasikan satu
esensi terpenting dari gagasan Ekonomi Rakyat, yakni demokrasi. Walau dalam
beberapa kesempatan menyinggung demokrasi namun secara umum ketiga pasangan
calon Presiden/Wakil Presiden tidak secara serius melihat relevansi demokrasi dengan
Ekonomi Rakyat. Ini tentu saja ironis, karena konstitusi UUD 1945 dengan jelas
berkata, Ekonomi Rakyat adalah praktik yang hidup dalam sistem politik dan ekonomi
yang demokratis (sistem ekonomi kerakyatan), yang memungkinkan pengelolaan
sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan
penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dilakukan oleh negara (pasal 33 UUD 1945).
Walau tidak secara defenitif, amanat konstitusi tersebut secara implisit
menegaskan bahwa demokrasi (ekonomi dan politik) adalah prinsip terpenting dan
strategis dari upaya membangun Ekonomi Rakyat. Ekonomi Rakyat harus dibangun
dalam bingkai demokrasi untuk pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar/hak asasi
manusia (demokrasi substansial). Dalam pemaknaan tersebut, (pembangunan)

10
Ekonomi Rakyat, mau tidak mau, mutlak membutuhkan politik negara. Bukan sekedar
politik, tetapi politik yang demokratis. Meminjam Amartya Sen, ekonom India pemenang
Nobel Ekonomi 1998, Ekonomi (Rakyat) membutuhkan demokrasi. Sebab demokrasilah
yang menyediakan ruang untuk proteksi, koreksi, kritisi, dan kontrol terhadap
(kebijakan) politik dan ekonomi, agar senantiasa berpusat pada rakyat.
Selain menjamin adanya kontrol, demokrasi juga memungkinkan negara
menjadi kuat (strong state) sehingga mampu menjalankan prinsip Ekonomi Rakyat
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945. Demokrasi, yang menjamin
akses dan kontrol rakyat terhadap kekuasaaan (demokrasi), memenungkinkan negara
bisa berdaulat. Tanpa demokrasi, Ekonomi Rakyat yang ditawarkan pemimpin politik
populis bisa melenceng menjadi Ekonomi Despotis. Tanpa demokrasi, janji dan retorika
Ekonomi rakyat bisa lari menjadi Ekonomi Terpimpin yang Populis atau menjadi
Ekonomi Pasar. Dengan kata lain demokrasi adalah conditio sine quo nun bagi
perwujudan Ekonomi Rakyat. Demokrasi adalah esensi dari proyek implementasi
Ekonomi Rakyat. Sebaliknya, demokrasi membutuhkan Ekonomi Rakyat. Ekonomi
Rakyat adalah basis ekonomi dari politik pemenuhan hak asasi manusia. Ekonomi
Rakyat adalah pintu dan jendela dari rumah demokrasi. Demokrasi yang dimaksud
tentunya, meminjam Sukarno dan Hatta, adalah sosio demokrasi. Sebuah demokrasi
yang adil dan mensejahterakan. Bukan demokrasi yang hanya membebaskan
(demokrasi liberal).
Itu berarti upaya membangun dan memperkuat Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi
dilakukan dengan mengandalkan pendekatan politik jalan pintas mem-by- pass
demokrasi. Pembangunan Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi hanya mengandalkan
pendekatan teknikal ekonomi ‘belas kasihan’ dari atas (from above) untuk
memberdayakan ‘ekonomi rakyat’ di lapis bawah. Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi
sekedar komitmen klasik membuka jutaan lapangan kerja, mencintai produk dalam
negeri, mendanai UMKM, dan menyantuni orang miskin. Lebih daripada itu,
pembangunan Ekonomi Rakyat harus ber-landaskan (sosio) demokrasi.

D. Sengkarut Demokratisasi

Masalahnya, walau sudah berlangsung lebih dari satu dekade, demokratisasi


(ekonomi dan politik) Indonesia bukan hanya liberal tetapi juga sedang sengkarut.
Demokratisasi, dalam wujud liberalisasi politik, memang berlangsung luar baisa namun
belum mampu menghasilkan haluan politik dan ekonomi negara yang yang lebih pro
rakyat. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, demokrasi ternyata juga tidak
serta merta membuat negara makin kuat untuk menjalankan peran dan fungsinya
memenuhi political goods. Singkatnya demokratisasi belum berhasil menumbuhkan
Ekonomi Rakyat. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, demokrasi Indonesia
11
tengah digerogoti oleh shadow states, yaitu kekuatan di luar negara—pasar– yang
menggantikan fungsi negara dengan cara menggunakan/ memanipulasi/ mencuri
otoritas otentik negara. Akibatnya, demokrasi gagal menjadi ‘ruang netral’ bagi
terjadinya relasi politik yang setara antara Negara, Pasar, dan Rakyat. Pasar politik
lebih dikendalikan pasar uang daripada suara rakyat.
Kedua, mal-fungsi kelembagaan politik. Institusi dan instrumen demokrasi
(parpol, eksekutif, dan legislatif), di level nasional dan lokal, memang tumbuh namun
alih-alih bekerja untuk kepentingan rakyat mereka justru bekerja untuk kepentingan elit
oligarkis. Kultur politik oligarkis dan feodalis, yang masih mengakar kuat di kalangan
politisi kita, menggerogoti kelembagaan politik yang ada. Hal ini menyebabkan
terjadinya korupsi politik. Politik tidak lagi bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan
elit. Ketiga, demokratisasi birokrasi yang tersendat. Demokrasi belum menjadikan
birokrasi sepenuhnya otonom dari pengaruh kepentingan politik (partai). Ini
menyebabkan birokrasi gagal bekerja secara penuh melayani publik. Birokrasi kita
masih cenderung bermental penguasa (melayani elit) daripada sebagai pelayan publik.
Keempat, massifikasi demokrasi prosedural. Terjadi penyelenggaraan prosedur
demokrasi (Pemilu/Pilkada dan Musrenbang) yang luar biasa namun tidak disertai
dengan perubahan struktur dan relasi politik kekuasaan. Akibatnya prosedur,
mekanisme dan instrumen tersebut cenderung hanya menjadi proforma. Ia menjadi
upacara yang membuka ruang mobilisasi dan partisipasi, tetapi tidak mengubah relasi
politik antara penguasa dan rakyat semakin setara. Sepintas prosedur dan mekanisme
itu memang demokratis, namun kalau mau jujur mindset-nya sebenarnya masih
menggunakan pendekatan lama yang mengandalkan mobilisasi dan teknokrasi.
Kelima, demokrasi didominasi arus informasi assymetrical (tidak
berimbang/tidak setara). Aktor dan institusi politik jauh lebih memiliki informasi yang
lengkap berkaitan dengan kepentingan dan kebijakan politik, dibanding rakyat sebagai
pemegang kadaulatan. Akibatnya ruang demokrasi lebih didominasi dan dihegemoni
kalangan menengah, bukan masyarakat di lapis bawah. Keenam, demokrasi belum
disertai dengan menguatnya konsolidasi masyarakat sipil. Implikasinya, alih-alih
semakin kuat, negara justru semakin tersudut penetrasi Pasar (modal) karena tidak
mendapatkan supporting politik yang berarti dari masyarakat sipil.

E. Memperkuat Demokrasi

Celakanya, upaya untuk mereformasi dan merestorasi demokrasi agar semakin


bermakna dan berkedaulatan rakyat, tampaknya justru tidak menjadi core issue dari
ketiga kubu pasangan calon Presiden/Wakil Presiden ketika membicarakan Ekonomi

12
Rakyat. Mereka tidak memberi perhatian serius pada upaya reformasi sistem
kepartaian, memperbaiki mekanisme perencanaan pembangunan, me-review
desentralisasi politik, mereformasi birokrasi, dan memperkuat masyarakat sipil. Padahal
kalau dicermati, semua kendala dan problematika yang tengah kita hadapi sebagai
bangsa, mulai dari mandegnya Ekonomi Rakyat, kemiskinan, korupsi, pelanggaran
HAM, sampai dengan masih berlangsungnya praktik marginalisasi hak-hak minoritas,
mengakar pada demokrasi yang sedang sengkarut.
Debat seputar Ekonomi Rakyat seharusnya menukik membongkar problem
demokratisasi Indonesia. Para capres/cawapres dan masing-masing tim sukses dan
pendukungnya seharusnya berdebat bagaimana mengatasi dan membenahi sengkarut
demokrasi, bukan ’berbuih’ berdebat sejuta permasalahan teknis Ekonomi Rakyat.
Benar, debat dan perbicangan terntang problem demokrasi bisa jadi dinilai terlampau
umum dan absurd, serta tidak membumi. Namun jangan salah, seperti sudah
disinggung sebelumnya, walau ’melangit’ isu demokrasi adalah prinsip terpenting bagi
upaya membangun Ekonomi Rakyat. Kalau demikian, pertanyaannya adalah apa
penyebab ketiga pasangan calon Presiden tidak menyinggung isu penguatan
demokrasi dalam pembicaraan Ekonomi Rakyat? Ada 3 kemungkinan jawabnya.
Pertama, ketiganya mungkin hanya memahami konsep Ekonomi Rakyat secara parsial,
tidak holistik. Kedua, ketiganya mungkin adalah pemimpin yang bertipe jalan pintas.
Ingin men-drive Ekonomi Rakyat secara tergesa-gesa. Ketiga, jangan-jangan ketiganya
sesungguhnya adalah penganut ekonomi pasar (neoliberalisme). Sebab penganut
neoliberalisme mindset-nya memang gemar membicarakan hal-hal yang bersifat
teknikal dan membangun demokrasi prosedural namun ogah membicarakan hal-hal
prinsipil dan membangun demokrasi substansial.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum
membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan
baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, kita belum membudayakannya.

Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan


“Demokrasi telah menjadi budaya” berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah
menjadi kebiasaan yang mendarah daging di antara warga negara. Dengan kata lain,
demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupanya.
Seluruh kehidupanya diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi.

Namun, itu belum terjadi. Di media massa kita sering mendengar betapa sering warga
negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang
kurang menghargai kebabasan orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi
hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau
orang perorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik
belum maksimal, musyawarah kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu
program atau mengatasi suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam
keluarga dan masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan.

Pada intinya demokrasi adalah persamaan hak dan kedudukan dari setiap warga negara di
dalam sebuah negara yang demokratis. Demokrasi harus ditegakkan dalam berbagai bidang,
yakni demokrasi politik, demokrasi ekonomi, demokrasi hukum dan demokrasi pjendidikan.
Sedang inti demokrasi itu sendiri adalah keadilan. Demokrasi yang sesungguhnya adalah
demokrasi tanpa embel-embel dibelakangnya, karena tiga macam denokrasi yang diterapkan di
indonesia ternyata gagal. Dengan demikian, demokrasi dalam arti universal dan komprehensif
dapat diciptakan melalui tegaknya keadilan politik, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan
keadilan hukum.

14
3.2 SARAN

Mewujudkan budaya demokrasi memang tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua
warga negara. Yang paling utama, tentu saja, adalah:

1. Adanya niat untuk memahami nilai-nilai demokrasi.

2. Mempraktekanya secara terus menerus, atau membiasakannya.

Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari


pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih
baik dibandingkan kita.

Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami


kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha
memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi telah
benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

15
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa karna atas kasih dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Nilai Demokrasi” ini.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen,keluarga, maupun teman
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini dibuat dengan tujuan menyelesaikan tugas kuliah penulis pada mata kuliah
“Kewarganegaraan”,ada pun tujuan lain pada proses pembuatan makalah ini yakni
dapat menyampaikan nilai “Demokrasi” sendiri kepada lingkungan sekitar.

1
MAKALAH NILAI DEMOKRASI

Di susun oleh :

Breadly P Van Harling


2018-73-114

Anda mungkin juga menyukai