Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah kesehatan jiwa yang saat ini sedang terjadi salah satunya adalah

skizofrenia. Berdasarkan data WHO (2016) terdapat sekitar 35 juta orang terkena

depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, dan 47,5 juta

terkena dimensia. Di Indonesia, angka kejadian skizofrenia pada tahun 2013

mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk dan

meningkat menjadi 7 permil di tahun 2018 dimana juga terjadi peningkatan pada

Provinsi Jawa Timur dari 0,22% menjadi sekitar 0,50% (Riskesdas, 2018). Di

Surabaya, dikutip dari Jawa Pos (2016) Direktur RSJ Menur dr Adi Wirachjanto,

M.Kes mengatakan jumlah pasien rawat jalan yang mengalami skizofrenia di

sepanjang tahun 2015 tercatat sebanyak 18.774 orang dan 60% diantaranya

merupakan warga Surabaya. Gejala umum yang menyertai skizofrenia antara lain

berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta

tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik (Riskesdas, 2013). Sekitar

90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi (Jalil, 2018). Halusinasi

merupakan gangguan persepsi sensori yang salah atau tidak terjadi dalam realitas

(Yosep, 2011).

Menurut Yosep (2011) bahwa dirumah sakit jiwa di Indonesia, dari pasien

yang mengami halusinasi sebanyak 70% merupakan halusinasi pendengaran, 20%

halusinasi penglihatan dan 10% adalah halusinasi penciuman, pengecapan dan

perabaan. Klien yang mengalami halusinasi pendengaran karena pasien tidak


mampu mengontrol dan mengenal halusinasi tersebut (Maramis & Maramis, 2009). Halusinasi

pendengaran biasanya auskustik dan auditif seperti mendengar bisikan mausia, hewan, ataupun

kejadian alamiah dan suara musik (Maramis & Maramis, 2009). Di Surabaya, pada tahun 2012 di

Rumah Sakit Jiwa Menur terdapat 3.444 pasien halusinasi dan meningkat menjadi 3.665 di tahun

2013 (Ningrum, 2017).

Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 4 Januari 2019 di Rumah Sakit Jiwa Menur

Surabaya didapatkan jumlah pasien rawat inap dengan diagnosa medis skizofrenia pada tahun

2016 sebanyak 1715 pasien dan meningkat menjadi 2147 pasien di tahun 2017. Di Ruang

Flamboyan selama tahun 2018 terdapat 540 pasien rawat inap dan sekitar 40% diantaranya

mengalami halusinasi. Dan jumlah pasien saat itu terdapat 41 pasien dengan 35% diantaranya

halusinasi pendengaran.

Halusinasi pendengaran dapat membuat penderitanya melakukan hal-hal yang dapat

merugikan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya seperti perilaku kekerasan bahkan

membunuh (Sari, 2017). Sumber dari CNN Indonesia (2016) menyebutkan seorang anggota

polisi Brigadir Petrus Bakus yang bertugas di Kalimantan Barat tega memutilasi dua anak

kandungnya yang masih balita, Fabian (4) dan Amora (3) di rumah sendiri pada Jumat dini hari

(26/2) ketika istrinya tertidur dengan menggunakan parang. Diduga pelaku mengidap

schizophrenia dengan gejala halusinasi, lantaran berdasarkan pengakuan sang istri, pelaku sering

marah-marah dan kerap mendapatkan bisikan-bisikan.

Sumber dari Solo Pos 2015 mengungkapkan bahwa Wiryono kerap mendapat bisikan-

bisikan yang tak jelas asalnya yang menyuruh dirinya untuk menceraikan istrinya. Hal itu yang
menjadi dasar perceraiannya dengan istri pertamanya. Wiryono juga mengungkapkan sering

mendengar ayam yang sedang berbicara ketika ayam tersebut berkokok (Putranti, 2015).

Faktor kecemasan dapat menganggu seseorang karna dengan perasaan cemas berlebihan

pada masalah yang tidak dapat diatasi dapat meningkatkan aktivitas motorik dan membuat klien

kehilangan pemikiran yang rasional, sehingga timbullah halusinasi (Muhith, 2015). Faktor tidur

termasuk suatu kondisi fisik yang dapat menimbulkan halusinasi. Irama sirkadian klien dengan

halusinasi terganggu, karna sering tidur larut malam atau malah kesulitan tidur dalam waktu

yang lama (Damaiyanti, 2012). Faktor spiritual dikarnakan kehampaan hidup yang menjadikan

hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri dapat

membuat seseorang merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya serta memaki takdir sehingga

dapat membuat seseorang berhalusinasi (Yosep, 2011). Faktor lingkungan sosial dapat membuat

seseorang halusinasi. Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan

seseorang yang menarik dari lingkungannya karna orang tersebut menilai dirinya rendah (Fitria,

2012 dalam Sari, 2017). Direktur Rumah Sakit Jiwa Menur, dr Adi Wirachjanto M.Kes dalam

Jawa Pos (2016) mengungkapkan halusinasi dapat muncul dikarnakan sebagai akibat terjadi

konflik dengan orang lain, perilaku kekerasan dari orang lain, bullying di sekolah dan

lingkungan, dan stres pekerjaan serta lingkungannya. Sehingga beresiko muncul respon

maladaptif halusinasi dalam menghadapi stresor.

Halusinasi dipengaruhi oleh dua faktor antara lain: faktor predisposisi yakni faktor risiko

yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk

mengatasi stres. Faktor ini diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Faktor presipitasi,

yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman yang memerlukan

energi ekstra untuk koping. Faktor ini terjadi adanya rangsangan dari lingkungan seperti
partisipasi klien dalam kelompok, suasana sepi/isolasi sebagai pencetus terjadinya halusinasi

karena hal tersebut dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh

mengeluarkan zat halusinogenik (Muhith, 2015). Faktor presipitasi penyebab halusinasi menurut

Rawlins dan Heacock (1993) dalam Yosep (2011) dibagi menjadi lima dimensi yakni dimensi

fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Berdasarkan hasil penelitian Sulaemana (2007)

didapatkan faktor-faktor presipitasi paling berpengaruh dalam timbulnya halusinasi yakni

terbesar kurang tidur dan kecemasan. Halusinasi terjadi sebagai respons metabolisme terhadap

stres yang menyebabkan terlepasnya zat halusinogenik neurotik (buffofenon dan

dimethytransferase) juga sebagai respon pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar

yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar (Sari, 2017)

Selama ini, berbagai upaya kesehatan jiwa dan teori model konsep keperawatan jiwa

telah dilakukan, khususnya bagi orang dengan skizofrenia yang menimbulkan gejala halusinasi

kebanyakan sebatas dengan pengobatan dan rehabilitasi seperti terapi psikofarmaka, terapi

kejang listrik yang disebut ECT (Electro Compulsive Therapy), dan terapi aktivitas kelompok

(TAK). Belum banyak menjangkau upaya promotif dan preventif. Sehingga banyak klien yang

mengalami kekambuhan / perawatan ulang rawat inap dirumah sakit jiwa dengan respon

halusinasi yang dapat berupa curiga, ketakutan perasaan tidak aman, gelisah dan bingung,

perilaku merusak diri, kurang perhatian , tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat

membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Untuk itu perlu adanya upaya preventif untuk

mengetahui dan mengobservasi faktor presipitasi/pencetus terhadap timbulnya halusinasi

sebagai upaya preventif. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik menjelaskan faktor

presipitasi halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai

berikut: Apakah faktor presipitasi halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di Rumah

Sakit Jiwa Menur Surabaya

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Menjelaskan faktor-faktor presipitasi halusinasi pendengaran pasien skizofrenia di Rumah Sakit

Jiwa Menur Surabaya

Tujuan Khusus

Menjelaskan dimensi fisik: tidur sebagai faktor presipitasi halusinasi pendengaran pasien

skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

Menjelaskan dimensi emosional: kecemasan sebagai faktor presipitasi halusinasi

pendengaran pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

Menjelaskan dimensi sosial: lingkungan sosial sebagai faktor presipitasi halusinasi

pendengaran pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

Menjelaskan dimensi spiritual sebagai faktor presipitasi halusinasi pendengaran pasien

skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis
Penelitian ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan mengkaji teori tentang faktor

presipitasi halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia

Manfaat Praktik

Manfaat bagi Institusi Rumah Sakit

Agar petugas Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya dapat mengetahui dan memahami faktor

presipitasi halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia

Manfaat bagi profesi keperawatan

Sebagai masukan dalam pemberian pelayanan asuhan keperawatan

Manfaat bagi institusi pendidikan

Dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman mahasiwa dan sebagai referensi dalam

memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien skizofrenia dengan gangguan persepsi sensori:

halusinasi pendengaran

Manfaat bagi peneliti selanjutnya

Memberikan gambaran sebagai data dasar dalam penelitian selanjutnya sehubungan dengan

faktor presipitasi halusinasi pendengara pada pasien skizofrenia

Manfaat bagi pasien dan keluarga

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai faktor presipitasi pencetus
halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia

Anda mungkin juga menyukai