Dengan taktik itu, Belanda hanya mampu bergerak di kota-kota dan jalan raya. Sementara wilayah
lainnya dikuasai sepenuhnya oleh TNI. Walaupun dengan kemampuan teknik sangat terbatas, TNI
Angkatan Udara mulai berperan aktif dalam perang melawan Belanda. Dengan bermodalkan pesawat tua
peninggalan Jepang, yang terdiri dari sebuah pesawat pengebom Guntai dan dua buah pesawat
pemburu Cureng, dan penerbangan AURI terlibat dalam beberapa serangan udara terhadap Belanda.
Pada tanggal 29 Juli 1947, ketiga pesawat yang berpangkalan di Maguwo Yogyakarta ini terlibat
pertempuran di Ambarawa, Salatiga dan Semarang.
Situasi dalam negeri Indonesia yang sedang memberantas PKI dimanfaatkan oleh Belanda. Pada tanggal
18 Desember 1948 malam, Dr Beel memberitahukan kepada delegasi RI dan Komisi Tiga Negara (KTN)
bahwa Belanda tidak lagi terikat dan tidak mengakui perjanjian Renville. Keesokan harinya, Belanda
melancarkan agresi militer yang kedua kalinya. Sasaran Belanda langsung ditujukan untuk menguasai ibu
kota RI di Yogyakarta. Denagn taktik perang kilat, Belanda juga menyerang wilayah RI lainnya. Serangan
diawali dengan terjunnya pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo (Adisucipto) dan pengebomam
beberapa tempat di Yogyakarta. Dalam waktu singkat, pasukan Belanda berhasil menguasai Ibu kota RI.
Pimpinan tertinggi negara dan beberapa pejabat tinggi, seperti Presiden, wakil presiden, kepala staf
angkatan udara, dan beberapa pejabat tinggi lainnya ditawan oleh Belanda. Presiden Sukarno diasingkan
ke Parapat (Sumatra Utara) kemudian ke Bangka. Wakil Presiden Mohammad Hatta dibuang ke Bangka.
Pada saat pasukan Belanda menyerang kota Yogyakarta, kabinet sempat bersidang di Istana Presiden
pada pagi hari tanggal 19 Desember 1948. Sidang memutuskan bahwa bila terjadi sesuatu kepada Mr.
Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat yang sedang berada di Bukittinggi untuk
membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI).