Anda di halaman 1dari 14

BAB XI

POLITIK DALAM PERSPEKTIP HINDU

11.1 Pengertian Politik dalam Agama Hindu


Kata politik yang sering dikenal dalam bahasa Indonesia dapat disamakan
dengan kata Nitisastra dalam sastra-sastra Agama Hindu. Kata atau istilah
Nitisastra ini berasal Bahasa Sansekerta, yaitu ’Niti’ dan ’Sastra’. Dalam kamus
kecil Sansekerta Indonesia yang diterbitkan oleh pemerintah daerah tinggkat satu
Bali, kata ’Niti’ berarti ’kemudi, pimpinan, politik, dan sosial etik, pertimbangan
dan kebijakan’. Kata ’Sastra’, berarti ’perintah, ajaran, nasehat, aturan tulisan
ilmiah’. Mardiwarsito dalam kamus bahasa jawa kunonya menjelaskan bahwa
kata ’Niti’, berarti ’Kebijakan Politik atau Ilmu Tata Negara’, dam ’Sastra’ berarti
’ilmu pengetahuan atau kitab pelajaran’. Dalam kamus Sansekerta-Inggris karya
Athur Mac Donnel kata ’Niti’ berarti ’Woedly Wisdom’ (kebijakan duniawi), etika
sosial politik dan tuntunan politik. Sebagai istilah kata Nitisastra diartikannya
sebagai ’Etika Politik’.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Nitisastra
adalah pengetahuan tentang politik negara. Sebagai suatu istilah Nitisastra dapat
bermakna sebagai kebijakan yang berhubungan dengan etika sosial politik untuk
menyelenggarakan pemerintahan suatu negara. Pada umumnya setiap negara
selalu berupaya membuat agar masyarakatnya sejahtera, sehingga pemahaman
tentang Nitisastra akan menjadi lebih meluas lagi, yaitu: ilmu pengetahuan
tentang politik untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu negara dalam rangka
mencapai cita-cita untuk membangun masyarakat sejahtera.
Ajaran Nitisastra dalam sastra-sastra Hindu tidak pernah lepas dari
pembahasan tentang pentingnya upaya untuk mewujudkan masyarakat sejahtera.
Jadi politik dalam perspektif Hindu adalah pengetahuan untuk menyelenggarakan
pemerintahan suatu negara guna mencapai tujuan menciptakan masyarakat
sejahtera.
Selain istilah Nitisastra, dalam sastra-sastra Hindu juga dikenal istilah
Dandha Niti, Raja Dharma, Raja Niti dan istilah yang paling tua adalah
Arthaveda atau Arthasastra. Dandha Niti kadang-kadang dikaitkan dengan aspek

4
hukum sebagai bagisn dari politik. Raja Dharma dikaitkan dengan kewajiban-
kewajiban pemerintah atau kepala negara. Raja dapat disamakan dengan kepala
negara atau kepala pemerintahan. Raja Niti sebagai politik pemerintah secara luas,
sementara Arthasastra sering diartikan ilmu pengetahuan pemerintah.
Sesungguhnya banyak penulis tentang Nitisastra, di antaranya : Bhagavan
Manu. Yadnya Valkya, Usana, Brhaspati, Visalaksa, Bhgavan Sukra, Bharadvaja,
Parasara, dan Kautilya atau Bhagavan Canakya. Dari penulis-penulis tersebut
yang terkenal di antaranya adalah Bhagavan Manu yang menulis Manava
Dharmasastra yang ajarannya kemudian dipopulerkan oleh Bhagavan Bhrigu.
Dalam Manava Dharmasastra dipakai istilah Raja Dharma dan terdapat
penekanan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap ciptaan
Tuhan yang ada di wilayahnya.
Bhagavan Canakya yang dikenal pula dengan nama Kautilya menulis
Canakya Nitisastra yang sangat populer. Selain memuat ajaran tentang Nitisastra
banyak pula memuat tentang tata susila dan masalah sosial lainya seperti
pendidikan anak-anak dan lain sebagainya. Canakya Nitisastra karya Bhagavan
Canakya dinilai sebagai penyatuan pandangan dari para Rsi yang telah menulis
Nitisastra sebelumnya.
Untuk memahami sumber ajaran Hindu yang menguraikan Nitisastra perlu
terlebih dahulu dipahami Veda sebagai kitab suci sumber ajaran Agama Hindu.
Bagi umat Hindu atau kelompok masyarakat Hindu, kitab suci yang menjadi
sumber hukum adalah Veda. Ketentuan mengenai veda sebagai kitab suci secara
tegas dinyatakan dalam kitab Smerti Manava Dharmasastra sebagai berikut:

1) Manavadharmasastra II.6

VEDA`KHILO DHARMA MULAM


SMERTI SILE CA TAD VIDAM
ACARASCA IVA SADHUNAM
ATMANAS TU TIREVACA

Artinya :
Seluruh Veda merupakan sumber utama Dharma, kemudian barulah Smrti (tafsir
Sruti/Veda)) di samping Sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang
suci penghayat Veda) dan Acara (tradisi-tradisi dari orang-orang suci.), serta
terakhir adalah Atma Tusti (rasa puas diri sendiri).

5
Sebagaimana diketahui Dharma adalah nama awal dari Agama Hidu juga
disebut Sanatana Dharma sedangkan nama Hindu yang dikenal sekarang ini
adalah nama yang dikenal dibelakangan. Nama Hindu dimaksudkan untuk
menyebut Agama dan kepercayaan termasuk kebudayaan yang bersumber kitab
suci Veda.

2) Manavadharmasastra II.10

SRUTISTU VEDO VIJNEYO


DHARMASASTRAMTU VI SMRTIH
TESARVAMTHESVAMIMAMSYE
TABYAM DHARMOHI NIRBABHAU

Artinya :
Sesungguhnya Sruti (Wahyu) adalah Veda, demikian pula Smerti itu adalah
Dharma sastra, keduannya tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga, karena
keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber Agama Hindu (Dharma).

Sebagai kitab suci agama Hindu ”Veda” adalah sumber ajarannya, karena
dari Vedalah mangalir semua ajaran yang merupakan kebenaran Agama Hindu.
Ajaran Veda dikutip kembali diinterprestasikan dan diterjemahkan dalam berbagai
tulisan memberi vitalis terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya.
Dalam kitab Vedalah mengalir ajaran yang dikembangkan ke dalam kitab-kitab
Smerti. Itihasa, Purana, Tantra, Darsana, Upanisad maupun Lontar-lontar Tattwa
yang ada sekarang ini. Dalam kitab-kitab inilah ajaran-ajaran Nitisastra dijumpai.

11.2 Sumber Ajaran Tentang Nitisastra


11.2.1 Kitab-Kitab Veda (Sruti)
Bila dicermati pemikiran tentang Nitisastra seluruhanya bersumber dari
kitab-kitab Sruti. Sebagaimana telah dikemukakan masing-masing kitab Sruti
mempunyai Upaveda-nya masing-masing. Kitab Upaveda dari Rgveda adalah
kitab Yayurveda, kitab Upaveda dari Yajurveda adalah kitab Dhanurveda. Kitab
Upaveda dari Samaveda adalah kitab Gandharvaveda dan kitab Upaveda dari
Atharvaveda adalah kitab Arthaveda.

6
Kitab Arthaveda dikenal sebagai kitab yang memuat pengetahuan tentang
ilmu pemerintahan, ekonomi, pertanian, ilmu sosial dan lain sebagainya. Jadi
Arthaveda merupakan kitab Sruti yang memuat ajaran Nitisastra.

11.2.2 Kitab-Kitab Smerti.


Kitab Nitisastra tersebar dalam kitab-kitab Smerti. Kitab Manava
Dharmasastra memuat ajaran-ajaran Bhagavan Manu yang dihimpun dan disusun
oleh Bhagavan Bhrigu yang memuat ajaran-ajaran Nitisastra. Dalam Adhyaya VII
memuat berbagai peraturan tentang kenegaraan, Pada Adhyaya VIII memuat
berbagai aspek hukum yang juga berkaitan dengan upaya penyelenggaraan
pemerintahan negara. Dalam kitab Menawa Dharmasastra dapat dijumpai
penggunaan istilah Raja Dharma.

RAJADHARMAM PRAVAKSYAMI
YATRA VRTTO BHAVEN NRPAH
SAMBHAVASCA YATHA TASYA
SIDDHISCA PARAMAYATHA
(Manava Dharmasastra VII.1)

Artinya:
Akan saya nyatakan dan perlihatkan tentang kewajiban raja (Raja Dharma)
sebagaimana Raja seharusnya berbuat untuk dirinya sendiri,bagaimana ia dapat
mencapai kesempurnaannya yang tertinggi.

”Raja” dalam pengertian ini dapat dipersamakan dengan kepala negara,


kata ”dijadikan” mengandung pengertian bagaimana kepala negara dipilih,
dilantik dan mengapa diperlukan adanya Raja atau kepala negara bagi masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa Menawa Dharmasastra ditulis sudah
dikenal demokrasi dalam pemerintahan, walaupun mungkin tidak melalui
pemungutan suara sebagaimana masyarakat umum dewasa ini memaknai
demokrasi.

11.2.3 Kitab-Kitab Itihasa.


Kitab Ramayana dan kitab Mahabharata merupakan dua kitab yang memuat
dua epos besar yang juga disebut Viracarita. Kedua kitab ini menceritakan tentang
kepahlawanan yang keseluruhannya memuat tentang etika dan cara-cara

7
mengelola pemerintahan negara. Itihasa Ramayana dan Mahabharata sangat
berkaitan dengan sejarah perkembangan Agama Hindu dimasa lalu. Dapat
dikatakan keseluruhan kitab Ramayana dan Mahabharata memuat ajaran tentang
Nitisastra. Dalam kekawin Ramayana yang sangat populer di Indonesia terdapat
uraian tentang asas-asas kepemimpinan yang disebut Asta Brata. Uraian tentang
ajaran Asta Brata ini sebelumnya sudah termuat dalam kitab Manava
Dharmasastra tetapi belum disebut Asta Brata. Kekawin Ramayana seperti
diketahui digubah pada jaman kerajaan Hindu di Indonesia, dan secara tradisional
dianggap digubah oleh Empu Yogiswara.
Perkataan Asta Brata terdiri atas kata ”Asta” yang artinya delapan dan
”Brata” yang artinya pegangan atau pedoman. Ajaran Asta Brata ini terdapat
dalam kekawin Ramayana yang diubah oleh pujangga Walmiki dan terdiri atas 10
sloka. Ajaran Asta Brata ini diturunkan oleh Prabu Rama kepada Wibhisana dalam
rangka untuk melanjutkan proses pemerintahan kerajaan Alengka setelah
gugurnya Rahwana.
Dalam Sloka pendahulunya menyebutkan tentang sifat Sang Hyang Wihi
Wasa yang menjadikan kekuatan bagi umatnya dan menggambarkan tentang
kemampuan yang harus dimiliki oleh segenap pemimpin. Dalam Slokanya yang
kedua disebutkan bahwa:

”Hyang Indra Yama Surya Candranila Kuwera


Banyunagi nahan walu ta sira maka angga
San bupati matangyang inisti asta brata”

Artinya:
Dewa Indra, Yama, Surya, Chandra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna dan Agni
itulah delapan Dewa yang merupakan badan sang pemimpin, kedelapannya
itulah yang merupakan Asta Brata.

1) Indra Brata
Laku Dewa Indra selalu memberikan hujan dan air yang memungkinkan
tumbuh dan hidupnya tumbuh-tumbuhan serta makhluk didunia ini. Jika
direnungkan lebih dalam maka dalam Indra Brata terkandung ajaran bahwa
pemimpin itu selalu memikirkan nasib yang dipimpinnya, selalu bekerja untuk
mencapai kemakmuran masyarakat secara menyeluruh. Pemimpin dituntut

8
untuk bisa memupuk human relation (hubungan kemanusiaan) guna
menegakkan human right (kebenaran dan keadilan).
2) Yama Brata
Laku Dewa Yama sebagai dewa keadilan dengan menghukum segala
perbuatan jahat secara adil. Yama Brata mengandung makna bahwa seorang
pemimpin harus berlaku adil terhadap seluruh pengikut yang dipimpinnya
dengan menghukum segala perbuatan yang jahat dengan menjatuhi hukuman
yang sesuai dengan besarnya kesalahan mereka dan menghargai perbuatan
yang baik. Apabila pemimpin tidak bersikap adil maka akan timbul krisis
kewibawaaan dan anarki dalam menjalankan tugas. Sesuai dengan hukum
Karma Phala maka hukuman tersebut harus bersifat edukatif, yaitu hukuman
yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan, sehingga bawahan lebih
berhati-hati dalam menjalankan tugas kewajibannya.
3) Surya Brata
Surya Brata tersimpul ajaran bahwa seorang pemimpin dalam tugasnya harus
dapat memberikan penerangan kepada yang dipimpinnya serta memberikan
kekuatan kepadanya. Masyarakat yang dipimpin harus diberikan kesadaran
akan tanggung jawabnya dan benar-benar memahami serta menyadari tugas
yang diembannya. Kalau diperhatikan keadaan sehari-hari, ternyata bahwa
matahari itu memancarkan sinarnya ke segala pelosok dunia dan menerangi
seluruh alam semesta ini tanpa pandang tempat, rendah dan tinggi. Dengan
demikian pemimpin hendaknya tidak jemu-jemu mengadakan hubungan
dengan bawahannya, sehingga mengetahui benar tentang yang
dipimpin/rakyat dan dapat memberikan perlakuan secara proporsional kepada
semua yang dipimpin tanpa kecuali.
4) Candra Brata
Candra Brata tersimpul ajaran bahwa seorang pemimpin diharapkan
memberikan penerangan yang sejuk dan nyaman. Seseorang akan menjadi
senang dan taat apabila kebutuhannya dapat dipenuhi, baik bersifat material
maupun bersifat spiritual. Dalam hubungan dengan pengertian pemenuhan
kebutuhan rohani ini, Roger Bellow dalam Creatif Leadership mengemukakan
sebagai berikut, Setiap orang pada hakikatnya mempunyai keinginan untuk

9
dihargai dan sebaliknya tidak senang kalau dihina, lebih-lebih hal itu
dilakukan di depan khalayak ramai. Untuk menjaga kehormatan diri mereka
yang dipimpin, sebaiknya peneguran dilakukan tidak di depan umum.
Selain itu, ada kecenderungan masing-masing bawahan yang dipimpin untuk
berpartisipasi dalam pekerjaan, setiap orang ingin untuk mencreate sesuatu,
sehingga dengan bangga dan senang mengatakan, ”Inilah hasil saya atau inilah
karya dimana saya turut serta mengerjakan”. Hal seperti itu harus dihargai
oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin juga harus memiliki keinginan untuk menghilangkan
ketegangan. Ketegangan timbul karena seorang pemimpin menimbulkan rasa
tidak enak dan tidak senang kepada yang dipimpin. Ketegangan ini jika
diketahui harus segera dihilangkan.
Keinginan untuk aktif bekerja dan pekerjaan itu tidak membosankan. Seorang
pemimpin harus memperhatikan tugas anak buahnya, dalam waktu tertentu
harus ada pergeseran jabatan, sehingga tidak kebosanan tidak terjadi pada
mereka yang dipimpin.
5) Bayu Brata
Pemimpin harus dapat mengetahui segala hal ikhwal dan pikiran mereka yang
dipimpin, sehingga dapat mengerti lebih dalam, terutama dalam kesukaran
hidupnya maupun dalam menjalankan tugasnya, namun tidak perlu diketahui
oleh anak buah. Dalam manajemen modern hal ini dinamakan employee
concelling. Dalam Sloka disebutkan ”Angin jika mengenai perbuatan-
perbuatan (perbuatan-perbuatan yang jahat), hendaknya kamu ketahui
akibatnya. Pandanganmu hendaknya baik. Demikian laku Dewa Bayu yang
mempunyai sifat luhur dan tidak tamak (oleh siapapun ia dapat dimintai
bantuan”.
6) Kuwera Brata
Pemimpin haruslah dapat memberikan contoh yang baik kepada anak buahnya
seperti berpakaian yang rapi, sebab pakaian itu besar sekali pengaruhnya
terhadap seorang bawahan. Hal lain yang terkandung adalah sebelum seorang
pemimpin mengatur orang lain, pemimpin haruslah bisa mengatur dirinya
sendiri terlebih dahulu.

10
7) Baruna Brata
Seorang pemimpin hendaknya mempunyai pandangan yang luas dan bijaksana
didalam menyikapi semua permasalahan yang ada. Pemimpin yang mau
mendengarkan suara hati atau pendapat mereka yang dipimpin dan bisa
menyimpulkan secara baik, sehingga mereka merasa puas dan taat serta
mudah dimobilisasi untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
8) Agni Brata,
Seorang pemimpin haruslah mempunyai semangat yang berkobar-kobar
laksana agni dan dapat pula mengobarkan semangat kepada yang dipimpin
yang diarahkan untuk menyelesaikan segala pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya.

Jika memperhatikan point-point yang terkandung didalamnya, dapat


dikatakan bahwa Asta Brata memuat faktor-faktor dalam Human Relation untuk
mengarahkan seorang pemimpin dalam memandang mereka yang dipimpin
sebagai manusia budaya bukan manusia mesin. Memberikan kesenangan spiritual
dan material yang adil, yang merupakan inti sari dari keadilan sosial dan ajaran
Tat Tvam Asi.

11.2.4 Kitab-Kitab Purana.


Kitab Purana dikenal pula sebagai kitab yang memuat ceritera-ceritera kuno
yang menceritakan kejadian-kejadian dimasa lalu. Kitab Purana memuat ceritera
dewa-dewa, raja-raja dan Rsi-Rsi pada jaman kuno. Kitab-kitab purana ini banyak
jumlahnya dan bila dicermati didalamnya juga banyak memuat ajaran tentang
Nitisastra.

11.2.5 Kitab-Kitab, Lontar-Lontar, dan Naskah-Naskah Lain yang


Bersumber dari Naskah Sansekerta maupun Jawa Kuno
Slokantara maupun Sarasamusccaya juga memuat tentang ajaran
Nitisastra yang kadang-kadang dikemas dalam bentuk ceritera yang mengandung
kiasan tentang pemerintahan maupun masalah sosial. Dalam Tantri Kamandaka
banyak sekali ceritera-ceritera yang memuat ajaran Nitisastra. Di daerah Bali

11
yang sebagian besar penduduknya penganut Hindu, merupakan daerah yang subur
menumbuhkan karya sastra Agama Hindu. Ada beberapa lontar yang memakai
judul Niti, di antaranya: Niti Praja, Niti Sastra, atau Niti Sara, Rajaniti, Niti Raja
Sesana, Dharma Sesana. Isi naskah-naskah ini tidak begitu jauh berbeda dengan
naskah-naskah niti yang lainya.

Contoh salah satu cerita:


SINGHA RAKSAKANING HALAS
HALAS IKANG RAGSENG HARE NITYASA
SINGHA MWANG WANA TAN PADIRT
PADA WIRODANGDAH TIKANG KESARI
RUG BRASTANG WANA DENIKANG JANA
TINON WREKSANYA SIRNA PADANG
SINGHANGAT RI JURANG NIKANG TEGAL AYUN ADANG
SAMPUN DINON DUR LABA

Artinya:
Singa adalah penjaga hutan, hutan selalu melundungi singa, jika singa dengan
hutan berselisih, mereka marah lalu singa meninggalkan hutan. Hutan dirusak dan
pohon-pohon ditebangi orang sampai menjadi terang, singa lari bersembunyi
dalam lembah atau tengah-tengah lading, diserbu dan dibinasakan orang.

Makna dari pengalan naskah tersebut sesungguhnya berkaitan dengan


pemerintahan suatu negara. Tidak bersatu antara hutan dan singa menyebabkan
hutan menjadi rusak karena ditebangi orang dan singapun mati dibunuh orang
karena tidak mempunyai tempat tinggal. Dalam hal ini singa diibaratkan kepala
negara (pemerintahan) yang memiliki kewajiban melindungi hutan dan hutan
sebagai masyarakat yang memiliki kewajiban memberikan tempat bermukim pada
singa. Jika singa sebagai kepala negara (pemerintahan) dengan hutan sebagai
masyarakat/rakyat tidak saling mendukung dan sama-sama mementingkan diri
sendiri, akhirnya kepala negara (pemerintahan) jatuh (meninggalkan hutan) dan
negara (masyarakat) menjadi kacau (hutan dibabat).

11.3 Konstribusi Agama Hindu dalam Kehidupan Politik Berbangsa dan


Bernegara
11.3.1 Dari Negara Kesatuan Terpuruk Ke Alam Penjajahan
Ketika Gajah Mada dilantik menjadi Maha Patih Kerajaan Majapahit di
pendopo Agung kerajaan disaksikan oleh raja dan segenap pejabat kerajaan, ia

12
mengucapkan sumpah yang dikenal dengan Sumpah Palapa. Inti dari sumpah
Palapa itu adalah tekad untuk menyatukan seluruh wilayah nusantara dalam satu
kesatuan negara yang merdeka dan berdaulat. Walaupun banyak pejabat negara
yang menyangsikan sumpahnya Gajah Mada, namun Maha Patih Gajah Mada
kukuh pada pendiriannya, tidak pernah bergeser dari tekad dan upaya untuk
menyatukan nusantara.
Berbekal tekad yang bulat, secara mantap dan pasti satu persatu wilayah-
wilayah nusantara yang tadinya merupakan kerajaan-kerajaan kecil yang terpisah-
pisah dipersatukan dalam satu negara yang besar yaitu Negara Majapahit. Seluruh
nusantara bersatu di bawah Majapahit. Panji-panji Majapahit dengan warna
”Gula kelapa – merah putih” berkibar di seluruh wilayah nusantara, dan
Majapahitpun mencapai masa kejayaannya. Cita-cita negara kesatuan yang
dicetuskan oleh pusat pemerintahan sudah dapat diwujudkan. Sejarah telah
membuktikan bahwa Majapahit telah meletakkan dasar-dasar Negara Kesatuan.
Waktu beredar terus, sejarahpun membuktikan pula ”saka kala sirna
kilang, kertaning bhumi”, pada Tahun Saka 1400 (1478 masehi) Majapahit
sebagai negara kesatuan runtuh. Kesatuan nusantara putus bukan karena serangan
dari luar melainkan karena pelapukan dari dalam. Wilayah nusantarapun cerai
berai kembali, masing-masing berjalan sendiri-sendiri menjadi pusat-pusat
kekuasaan kecil. Gaung persatuan lenyap tidak ada gemanya lagi, nusantara mulai
diliputi kabut gelap.
Percaturan politik dunia pada masa itu, kaum kapitalis kolonial sudah
mulai mengincar wilayah nusantara dengan kedatangan orang-orang Portugis,
yang kemudian disusul oleh Belanda yang berhasil mendapat fasilitas di Batavia,
sehingga berdirilah Vernigde Oost Indische Compagnie (VOC) sekitar tahun 1602,
yang semula hanya merupakan kongsi dagang. Untuk memuluskan tujuan
ekonominya, VOC kemudian mengembangkan politik imperialisme dan
penjajahan. Sejak saat berangsur-angsur nusantara mulai dikuasai, sehingga
akhirnya seluruh nusantara berada dalam kekuasaan penjajahan Belanda.
Nusantara diperkenalkan dengn nama Hindia Belanda. Akibatnya hilangnya rasa
persatuan dan kesatuan setelah Majapahit runtuh sekitar tiga setengah abad
nusantara tenggelam dalam penjajahan Belanda.

13
11.3.2 Lahir Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Alam penjajahan menyebabkan seluruh penduduk nusantara berada dalam
penindasan, tanpa harga diri apalagi kekuasaan. Semua kekayaan alam termasuk
potensi manusianya dikuras oleh penjajah, sehingga akibatnya nusantara
merupakan wilayah miskin dan terbelakang. Sejarah memberikan panglaman
bahwa akibat terkoyaknya persatuanlah yang menjerumuskan nusantara ke dalam
penjajahan.
Perkembangan politik dunia internasional pada saat itu ikut memberi
pengaruh bangkitnya rasa kesadaran nasional, kesadaran berbangsa. Sejak
timbulnya Kebangkitan Nasional telah dirasakan pentingnya mewujuddkan
persatuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa. Cita-cita persatuan
Indonesia yang dipelopori organisasi sosial politik seperti Budi Utomo dan lain-
lainnya, gaungnya juga bergema dikalangan golongan pemuda seluruh nusantara.
Cita-cita persatuan Indonesia kemudian melalui perwakilan para pemuda pada
tanggla 28 Oktober 1928, melahirkan Sumpah Pemuda yang mencetuskan: Satu
Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, yaitu Indonesia.
Cita-cita persatuan Indonesia yang telah diikrarkan dalam sebuah sumpah
oleh Putra Putri Indonesia mempunyai nilai keyakinan dan tekad yang sangat
mendalam, karena mengandung pengertian perjuangan yang harus di wujudkan
secara nyata tanpa memperdulikan korban yang akan timbul. Sumpah Pemuda
menjadi semen (perekat) kesadaran persatuan bangsa, sehingga untuk kepentingan
persatuan Indonesia dalam memperjuangkan cita-cita itu, setiap orang harus rela
berkorban dengan mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan.
Persatuan bangsa sangat diperlukan dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
Jika mencermati hal tersebut, pada hakikatnya persatuan Indonesia itu
lahir dari rasa kesadaran bahwa untuk mencapai tujuan kemerdekaan persatuan
merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, demikian pula
untuk mempertahankan kemerdekaan, membangun dan mengisi kepentingan
bangsa dan negara. Akhirnya berkat persatuan dan kesatuan bangsa, perjuangan
bangsa Indonesia mencapai puncaknya dengan di proklamasikannya kemerdekaan

14
Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta selaku
wakil bangsa Indonesia. Pada hari itulah lahirnya bangsa Indonesia dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Negara berdasarkan Pancasila dengan konstitusi
UUD 1945, serta lambang Negara Garuda Panca Sila dengan semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa daerah, dan adat
istiadat, kebudayaan dan agama, semua mendukung memberi kontribusinya
masing-masing.

Gambar XI-01
Garuda Panca Sila Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia

11.3.3 Kontribusi Agama Hindu dalam Kehidupan Politik Berbangsa dan


Bernegara
Lahirnya Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dengan Dasar Negara, Pancasila dan Lambang Negara Garuda Pancasila
bersemboyan Bhineka Tunggal Ika adalah sangat tepat. Pilihan yang dilakukan
oleh Bangsa Indonesia melalui para pendiri-pendiri negara ini adalah sangat
cermat sesuai dengan kondisi nyata bangsa Indonesia yang memang amat
majemuk (pluralis).
Sasanti Bhineka Tunggal Ika diangkat dari karya Rakawi Empu Tantular
dalam kekawin Sutasoma, yang memaparkan kondisi komunikasi antara Agama
Hindu dan Agama Budha pada masa itu. Baris lengkapnya berbunyi Bhineka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Kalimat ini adalah kalimat dalam
bahasa Jawa Kuno. Kata Bhineka terdiri dari ’Bhina’ yang artinya ’berbeda-beda’,

15
dan kata ’Tunggal’ yang artinya ’satu’, dan ’Ika’ artinya ’itu’. Tan Hana artinya
tidak ’ada’. Dharma artinya ’kewajiban’. Mangrwa artinya ’mendua’. Jadi dengan
demikian, secara harafiah maka kalimat itu berarti ’berbeda-beda itu, satu itu,
tidak ada kebajikan/kebenaran/kewajiban mendua’. Kalimat ini mengandung
ajaran Nitisastra yang tinggi dan sesuai dengan bangsa dan kesatuan Indonesia.
Dalam konteks politik berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita pendiri
bangsa dan negara kalimat sasanti ini mempunyai makna bahwa ’Indonesia
berbeda-beda tetapi tetap satu, sebagai warga Negara Indonesia tidak ada
kebajikan yang mendua kecuali cinta pada bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia’.
Sasanti Bhineka Tunggal Ika merupakan basis politik yang patut
dipedomani dalam menentukan kebijakan apapun dalam penyelenggaraan negara.
Dalam pustaka Arthava Veda terdapat mantram yang menjiwai rumusan yang
dikembangkan oleh Empu Tantular tadi sebagai berikut.

JANAM BIBHRATI BAHUDA VIVACASAM


MANA DHARMANAM PRTHIWI YATHAUKASAM
SAHASRAM DHARA DRAVINASYA ME DUHAM
DHRUVEVA DHENUR ANA PAS PHURANTI
(Artharvaveda XII.1.45)

Artinya:
Semoga bumi yang memberi tempat tinggal kepada penduduk yang berbicara
bahasa berbeda-beda tata cara agama menurut tempat tinggalnya memperkaya
hamba dengan ribuan pahala laksana lembu yang menyusui anaknya tak pernah
kekurangan.

Dalam konteks Negara Indonesia mantra veda ini menegaskan bahwa


bangsa Indonesia terdiri dari berjenis-jenis suku menempati wilayah Indonesia
yang satu diharapkan mendapat jaminan dan kesempatan yang sama serta layak
dalam menikmati sumber alam Indonesia, hidup bersatu dan damai, sehingga
kebahagiaan dapat tercapai. Persatuan dalam ke-bhinekaan itu pada dasarnya
bersifat dinamis, tidak mengecilkan arti setiap unsur budaya bangsa dan
perbedaan agama yang ada di antara warga Negara Indonesia. Semua kegiatan
yang bertujuan memajukan dan mencerdaskan anggota masyarakat dalam bidang

16
apapun juga hendaklah di dasarkan atas kesadaran bahwa usaha-usaha itu tidak
menggangu atau melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Veda jelas-jelas menganjurkan persatuan karena dengan persatuan itu
sesungguhnya kebahagiaan bersama dapat dicapai. Persatuan yang dimaksud
bukanlah hanya antara sesama agama melainkan persatuan dengan semua
golongan yang berbeda-beda seperti yang dimaksud Sasanti Bhineka Tunggal Ika.
Untuk menggalang dan membina persatuan ini dalam Veda juga terdapat beberapa
petunjuk di antaranya pada Rgveda X.191 mantra 2-4 sebagai berikut.

SAM GACCHADHVAM SAM VADADHUAM SAM WO


MANAMSI JANATAM. DEVA BHAGAM YATHA PURVE
SAM JNANA UPA SATE

Artinya:
Berkumpul berbicara satu dengan yang lain bersatulah dalam pikiran seperti para
dewa pada jaman dahulu bersatu.

SAMANO MANTRAH SAMITIH SAMANI


SAMANAM MANAH SAHA CITTAM ASAM
SAMANAM MANTRAM ABHI MATRAYE VAH
SAMANENA WO HAWISA JUBHOBHI

Artinya:
Hendaknya tujuan mu sama, bersama dalam musyawah, bawalah pikiran itu dan
persatukanlah pikiran itu untuk maksud yang sama. Aku ajarkan kepadamu untuk
bersembah dengan caramu yang biasa.

SAMANI VA AKUTIH SAMANA KRDAYANI VA


SAMANAM ASTU MANO YATHA VA SUSAHASATI

Artinya:
Samakanlah tujuanmu, samakan pula niatmu hendaknya pikiranmu satu sehingga
engkau dapat hidup bersama dengan bahagia.

Politik berbangsa dan bernegara bagi Bangsa Indonesia pada dasarnya


adalah penanaman kesadaran bahwa berdasarkan sejarahnya kita adalah satu
bangsa Indonesia yang menempati satu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kesadaran inilah yang perlu dipupuk dan dikembangkan dari khasanah
budaya bangsa termasuk dari nilai-nilai ajaran agama.

17

Anda mungkin juga menyukai