Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

STATUS EPILEPTIKUS

1. DEFINISI
Status epileptikus (aktifitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang umum
yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk
mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa
kerusakan kesadaran. (Muttaqin, Arif.2008)
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan
berbagai macam penyebab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh
bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang,
perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak.
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih
dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
Masalah dasarnya diperkirakan akibat gangguan listrik (disritmia) pada sel syaraf di salah
satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan
tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebih
ini.

2. ETIOLOGI
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
b. Kriptogenik:Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini
sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai
dengan ensefalopati difus.
Imptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma
kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.

3. KLASIFIKASI
Berdasarkan letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan, epilapsi diklasifikasikan menjadi:
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal dengan
gejala motorik, yaitu:
a) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja.
b) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c) Versif: epilepsi disertai gerakanmemutar kepala, mata, tubuh.
d) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu.
e) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris
spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindra
dan bangkitan yang disertai vertigo).
f) Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
g) Visual: terlihat cahaya.
h) Auditoris: terdengar sesuatu.
i) Olfaktorius: terhidu sesuatu.
j) Gustatorius: terkecap sesuatu.
k) Disertai vertigo.
l) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suku kata, kata atau bagian
kalimat.
m) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
n) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o) Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
p) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
q) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran. Serangan parsial
sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian baru
menurun.
1) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-
A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
2) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
3) Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik).
b. Epilepsi umum
1) Petit mal / lena (absence)
a) Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, maka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
Gejalanya:
 Hanya penurunan kesadaran.
 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh, mendadak lemas sehingga tampak mengulai.
 Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan, menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
 Dengan automatisme.
 Dengan komponen autonom
b) Lena tak khas (atipical absence)
 Gangguan tonus yang lebih jelas.
 Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand mal
a) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini
dapat dijumpai pada semua umur.
b) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
c) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini
juga terjadi pada anak.
d) Tonik – klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh tubuh kaku.
Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang-kejang seluruh
tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah meningkat ketika kejang, mulut
menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat
pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

e) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.
c. Epilepsi tak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sederhana.
4. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas
neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang
lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari
fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya
dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik
berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang
umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih
mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika
natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus,
dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang.
Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan)
selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.
5. PATHWAY

Idiopatik Kriptogenik Simptomtik

Hipertermi
Epileptikus
Dx: gangguan
termoregulasi
Ketidak seimbangan
neurotrasmiter otak

Gangguan pada Gangguan


Asetikolin
pada Gaba

Depolarisasi Hiperpolarisasi

Kejang Dx: resiko Dx: gangguan


kejang berulang proses pikir

Dx: resiko Posisi jatuh Pasien / keluarga


cedera trauma kepala dalam tidak mengetahui
keadaan proses penyakit
hiperekstensi

Lidah jatuh ke Dx: Defisit


arah belakang Pengetahuan

Dx: resiko
aspirasi
6. MANIFESTASI KLINIS
A. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak tak terkontrol; bicara
tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan penglihatan, suara,
bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
B. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak bertujuan;
dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka rangsang yang
berlebihan; tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
C. Kejang Umum (kejang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan
perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses
sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin
dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi
klinis infeksi SSP.
B. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak.
Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena
berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan EEG
telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang epileptik,
sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada kecurigaan
etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
C. Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan
pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu penyakit
struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit neurologis fokal dan
perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi
dilakukannya pencitraan pada anak dengan SE.
Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan dikerjakan jika
kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara luas di
unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik
yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder.
8. PENATALAKSANAAN MEDIS
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubu
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang
tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150
mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti,
berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam.
Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan
100 mg per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per
jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah
berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per
kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

9. KOMPLIKASI
1) Asidosis
2) Hipoglikemia
3) Hiperkarbia
4) Hipertensi pulmonal
5) Edema paru
6) Hipertermia
7) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
8) Gagal ginjal akut
9) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
10) Edema otak
11) Aspirasi Pneumonia

10. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
b. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan berbicara
padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi
penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
c. Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1) Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
2) Respon velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
3) Respon nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4) Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri ketika
dicubit dan ditepuk wajahnya.
d. Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi dengan
segera masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan). Pengkajian
berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
2) Breathing dan ventilasi
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
4) Disability
5) Eksposur

1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal.


Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
b) Distres pernafasan
c) Adanya kemungkinan fraktur cervical
Pada fase iktal, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga menghalangi
jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya
ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut
2) Breathing
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, dan kulit
tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami apneu
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam keadaan
tidak sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari
epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian
saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera
tambahan akibat kejang
e. Pengkajian sekunder
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien mulai
serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu
tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang
disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa
menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol.
Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa
rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-
hati dalam hubungan dengan orang lain.
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan,, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan tonus
otot, gerakan involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi
inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas
kejang, kerusakan jaringan lunak

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran sekunder terhadap
kejang
2. Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran dan
kejang tonik-klonik
3. Koping defensif berhubungan dengan respon terhadap hal-hal sekunder terhada epilepsy
4. Defisit pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan pasien berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang paparan atau mudah lupa
5. Potensial komplikasi : kejang
3. RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa NOC NIC
Keperawatan

1. Resiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan Aspiration Precaution (3200)


b.d tingkat keperawatan selama ...x 24 jam,
1. Kaji tingkat kemampuan klien
kesadaran klien diharapkan tidak mengalami
terhadap reflek batuk, menelan
sekunder ter- aspirasi.
dan gag reflek
hadap kejang
N.O.C :
2. Kaji status pernapasan,
- Risk control (1902) pertahankan jalan napas
- Knowladge : treat-ment
3. Beri posisi 90º atau sesuaikan
procedure (1814)
keadaan
- Self care oral hi-giene (0308)
Dengan kriteria : 4. Jaga kesiapan alat suction

- Klien mengatakan cara-cara 5. Cek posisi NGT dan residu NGT


untuk mencegah aspirasi sebelum memberi makan
- Kebersihan mulut kolien terjaga
6. Potong makanan dalam bentuk
- Tidak ada tanda-tan-da tejadinya
kecil agar mudah ditelan
aspirasi
Airway suctioning (3160)

1. Auskultasi suara napas klien


sebelum dan sesudah suction
2. Gunakan universal precaution :
sarung tangan, masker, kacamata
3. Anjurkan klien untuk napas
dalam sebelum dilakukan
suction, anjurkan untuk rileks
4. Beri tambahan oksigen selama
suction
5. Monitor status oksigen dan
hemodinamik klien
6. Hentikan suction dan beri
tambahan oksigen jika klien
bradikardi
7. Kirim bahan sekret untuk kultur
dan tes sensitifitas
8. Jelaskan pada klien dan keluarga
mengenai prosedure dan manfaat
suction
Positioning (0840)

1. Tempatkan klien pada posisi


yang tera-peutik : Pertahankan
pada posisi miring jika tidak
merupakan kontra indikasi ci-
dera
2. Pertahankan posisi miring setelah
makan
2. Resiko trauma Setelah dilakukan tindakan Environmented Management
pada saat keperawatan selama ...x 24 jam, safety (6486)
serangan b.d tidak terjadi trauma pada klien
1. Kaji sejauhmana kebutuhan
penurunan tingkat NOC :
keamanan klien
kesadaran dan
- Safety status : physical injury
kejang tonik- 2. Modifikasi lingkungan untuk
(1913)
klonik memi-nimalkan resiko trauma
- Knowladge : personal safety
(pasang pagar pengaman,
(1809)
jauhkan benda tajam dan mudah
Dengan kriteria :
terbakar)
- Kulit klien intak (tidak ada luka,
Fall Prevention (6490)
lecet atau hematom)
- Tdak terjadi luka bakar 1. Ciptakan lantai yang tidak licin
- Tdak terjadi fraktur
2. Kaji kemampuan klien untuk
- Kien mampu menje-askan
melakukan mobilisasi
resiko jika terjadi serangan dan
cara mengantisipasi-nya Teaching : disease process (5602)

1. Jelaskan pada klien efek dari


serangan epilepsi yang
memungkinkan klien cidera

2. Jelaskan pada klien aktivitas apa


saja yang aman untuk klien
epilepsi
3. Anjurkan pada klien untuk
bedrest pada fase akut

3. Koping defensif Setelah dilakukan tindakan Self-awarness enhancement


b.d respon keperawatan selama ...x 24 jam, (5390)
terhadap hal-hal koping klien menjadi adekuat
1. Dorong klien untuk mengakui
sekunder terhada
NOC: dan mendiskusikan pikiran dan
epilepsi
perasaan
- Acception health sta-tus (1300)
- Coping (1302) 2. Anjurkan pada klien untuk meng-
- Self-asteem (1205) identifikasi nilai yang
disumbangkan untuk konsep diri

Dengan kriteria : 3. Anjurkan pada klien untuk meng-


identifikasi perasaan tentang
- Klien mampu me-ngenal pola
dirinya
koping efektif dan tidak efektif
- Klien lebih tenang 4. Beri fasilitas klien untuk
- Klien mengakui realita situasi mengidentifikasi pola respon
kesehatannya yang digunakan untuk berbagai
- Klien mampu meng-ekspresikan situasi
emosi de-ngan positif
5. Anjurkan pada klien untuk meng-
- Klien mampu meng-ungkapkan
ungkapkan cara verbal
penerimaan diri terhadap keter-
penolakannya terhadap realitas
batasan diri
6. Bantu klien untuk
mengidentifikasi situasi yang
mengakibatkan cemas dan cara
menanggulanginya
Coping enhancement (5230)

1. Hargai penyesuaian diri klien


untuk merubah body image

2. Dorong klien untuk


mengidentifikasi penjelasan
realitas dari perubahan peran

3. Ciptakan lingkungan yang tenang

4. Gunakan pendekatan agama /


keyakinan jika perlu

5. Beri pujian tindakan positif yang


dilakukan klien

4. Defisit Setelah dilakukan penjelasan Teaching individual (5606)


pengetahuan ten- selama ...x pertemuan, pe-
1. Tentukan kebutuhan
tang penyakit, ngetahuan klien tentang pe-nyakit,
pembelajaran klien
pengobatan dan pengobatan dan pe-rawatan klien
perawatan klien meningkat: 2. Kaji tingkat pengetahuan dan
b.d keterbatasan pemahaman klien tentang
NOC :
kognitif, ku-rang epilepsi
paparan atau - Knowledge : Disease process
3. Kaji tingkat pendidikan
mudah lupa (1803)
- Knowladge : Illness care (1824) 4. Kaji kesiapan klien dalam
mempelajari informasi spesifik

Dengan kriteria : 5. Atur agar realita tujuan


pembelajaran dengan klien saling
- Klien dan keluarga mam-pu
menguntungkan
menjelaskan penger-tian, proses
penyakit, penyebab, tanda dan 6. Pilih metode / strategi mengajar
gejala, efek penyakit, tindakan yang sesuai
pencegahan, pe-ngobatan dan
7. Sediakan lingkungan yang
perawatan epilepsi
kondusif untuk pembelajaran

8. Koreksi adanya kesalahan


informasi
9. Sediakan waktu untuk bertanya
pada klien

Teaching : disease process (5602)

1. Nilai tingkat pengetahuan klien


tentang penyakitnya

2. Jelaskan patofisiologi epilepsi

3. Jelaskan tanda dan gejala


epilepsi

4. Jelaskan kemungkinan
penyebabnya

5. Diskusikan perubahan gaya


hidup yang mungkin dapat
mencegah komplikasi dimasa
yang akan datang

6. Diskusikan pilihan-pilihan
terapi pe-ngobatan dan
perawatan

7. Jelaskan alasan rasional dari


terapi pengobatan yang
direkomendasikan

8. Kaji sumber-sumber pendukung


yang memungkinkan

5 Potensial Setelah dilakukan tindakan 1. Tentukan apa klien merasakan


komplikasi : keperawatan selama ...x 24 jam aura sebe-lum awitan aktivitas
kejang perawat akan mengatasi dan kejang. Jika ya, beri-tahu
mengurangi episode kejang tindakan pengamanan untuk
diambil jika aura tersebut
dirasakan (misalnya :
berbaraing, menepikan mobil,
dan mema-tikan mesin)
2. Bila aktivitas kejang terjadi,
observasi dan dokumentasikan
hal berikut :

a. Bila kejang mulai


b. Jenis gerakan, bagian tubuh
yang terlihat
c. Perubahan ukuran pupil dan
posisi
d. Inkontinensia urine atau
feses
e. Durasi
f. Ketidaksadaran (durasi)
perilaku setelah kejang ,
kelemahan, paralisis setelah
kejang, tidur setelah kejang
(periode pasca-taktile)
(progresi aktivitas kejang
dapat membantu dalam
mengidentifikasi fokus
anatomik dari kejang)
3. Berikan privasi selama dan
sesudah aktivitas kejang (untuk
melindungi klien dari rasa malu)

4. Selama aktivitas kejang,


lakukan tindakan untuk
menjamin ventilasi adekuat
(misal-nya dengan melepaskan
pakaian). Jangan coba memaksa
jalan napas atau spatel li-dah
masuk pada gigi yang mengatup.
(ge-rakan tonik / klonik kuat
dapat menye-babkan sumbatan
jalan napas. Pemasukan jalan
napas paksa dapat menyebabkan
cidera)
5. Selama aktivitas kejang, bantu
gerakan secara hati-hati untuk
mencegah cidera. Jangan coba
membatasi gerakan. (restrain
fisik dapat mengakibatkan
trauma pada muskuloskeletal)

6. Bila kejang terjadi saat klien


sedang du-duk, bantu turunkan
klien ke lantai dan tempatkan
sesuatu yang lunak dibawah
kepalanya. (tindakan ini akan
membantu mencegah trauma)

7. Jika kejang telah teratasi


letakkan klien pada posisi
miring. (posisi ini membantu
mencegah aspirasi sekret)

8. Biarkan individu tidur setelah


periode ke-jang, orientasi lagi
setelah bangun. (indi-vidu ini
akan mengalami amnesia,
orient-tasi ulang akan membantu
klien untuk memperoleh rasa
kontrol dan dapat menu-runkan
ansietas)

9. Jika orang tersebut berlanjut


mengalami kejang umum, lapor
dokter dan awali tin-dakan :

a. Pertahankan jalan napas


b. Penghisapan jika diperlukan
c. Berikan oksigen melalui
kanul nasal
d. Awali untuk pemberian
infus
10. Pertahankan tempat tidur pada
posisi rendah dengan pagar
tempat tidur terpa-sang serta
lapisi pagar tempat tidur de-
ngan kain (sebagai tindakan
hati-hati un-tuk mencegah
bahaya jatuh atau truma)

11. Jika kondisi klien kronis,


evaluasi kebu-tuhan penyuluhan
tehnik penatalaksanaan diri
sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and
Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R,Whitehouse W. TheA treatment of
convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
Guyton, Arthur C. 1987Fisiologi Kedokteran.148 –168. Edisi ke-5. EGC. Jakarta.
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi,Badan Penerbit UNDIP Semarang :
55-63.
Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am 2001;48:683-94.
Harsono (2001) :Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman TatalaksanaEpilepsi,
Kelompok Studi EpilepsiPerdossi.
Lowenstein DH.Seizures and Epilepsy.In : Kasper DL,Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL (ed).Harrison’s Principles of Internal Medicine 15thEdition
CDROM.McGraw-Hill. 2001.
Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-
Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
Nia Kania, dr., SpA., MKes.Kejang pada Anak.Disampaikanpada acara Siang Klinik Penanganan
Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.
Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy,Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16
Nurarif, Amin Hadi & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda NIC NOC Jilid 2: Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN

“STATUS EPILEPTIKUS”

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Anak

di Ruang 7B RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Disusun oleh:

IKA RATNAWATI

196410019

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan ini telah disetujui untuk diajukan sebagai tinjauan teoritis kasus kelolaan
individu Stase Keperawatan Anak dengan kasus STATUS EPILEPTIKUS di ruang 7B RSUD
DR. SAIFUL ANWAR MALANG untuk memenuhi tugas individu Program Studi Profesi Ners
STIKES ICME JOMBANG.
Disetujui

Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

( )

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan ini telah disetujui untuk diajukan sebagai tinjauan teoritis kasus kelolaan
individu Stase Keperawatan Anak dengan kasus STATUS EPILEPTIKUS di ruang 7B RSUD
DR. SAIFUL ANWAR MALANG untuk memenuhi tugas individu Program Studi Profesi Ners
STIKES ICME JOMBANG.
Disetujui

Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

( )

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN An. D

DENGAN DIAGNOSA MEDIS STATUS EPILEPTIKUS


DI RUANG 7B RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

DEPARTEMEN

KEPERAWATAN ANAK

Disusun Oleh:

IKA RATNAWATI

196410019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2019

Anda mungkin juga menyukai