Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal
unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh
penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar
Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem
yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia
miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang genius dalam
menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali
pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi
dalam sistem keagamaan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Ibnu Sina dan al ghozali?
2. Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina dan al ghozali?
3. Apa saja pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina dan al ghozali?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah singkat tentang Ibnu Sina dan al ghozali.
2. Untuk mengetahui Karya-karya Ibnu Sina dan al ghozali.
3. Untuk mengetahui pemikira filsafat yang di kemukakan oleh Ibnu Sina dan al ghozali.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibnAli ibn Sina. Ia
dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (8-980 M).
Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn
Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota
Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (ibn
Sina), dan Muhammad.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah
mampu menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab Metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali, kendatipun ia belum memahaminya
sampai mempunyai ulasan Al-Farabi.1[1] Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu
pengetahuan, sastra Arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,dan filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran
dipelajari sendiri. Di antara guru-gurunya hanya Abu ‘abdullah al-Natili (dalam bidang logika)
dan Isma’il (seorang zahid) yang dikenal namanya. Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi di
berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur sehingga
diundang untuk mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Mansyur. Keberhasilannya
tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan
untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang
luar biasa, Ibnu Sina dapat menghapal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu menjadi
modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode Aristoteles, dan
dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul Hadiyah al-Ra’is ila al-Amir.

1[1]) Ahmad Fuad al-Ahwani, Ibn Sina (kairo: Dar al-Ma’arif) hal.20
Pada masa mudanya ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia
banyak mendengarkan percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya
atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal-soal akal pikran dan kejiwaan menurut cara
mereka. Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam auto biografinya, ia tidak dapat
menerima aliran-aliran tersebut dan menjauhinya. Hal itu menunjukan kemandirian berpikir ibn
Sina dan mengikuti mazhab sunnah maupun mazhab syi’ah. Ia muncul dengan mazhabnya
sendiri, yakni mazhab Sinawi. Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang
corak mazhab yang dikembangkannya, apakah cendrung ke Syi’ah atau cenderung ke Sunnah .
Tampaknya, ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha menemukan
hakikat kebenaran, baik di bidang filasafat maupun bidang keagamaan.
Dalam usia 22 tahun ayahnya meninngal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat
baginya, sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju jurjan, di mana ia
berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al–Jurjani kemudian menjadi salah seorang muridnya, dan penulis
sejarah hidupnya. Tetapi, ia tidak lama bermukim di kota ini karena kekacauan politik, lalu ia
pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan ini ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-
Daulah dari dinasti Buwaihi (1015-1022). Atas jasanya ini, Sultan mengangkatnya sebagai Wazir
‘Azhim (perdana mentri) Rayyand. Namun tidak berapa lama memangku jabatan tersebut, pihak
militer menangkapnya dan merampas hartanya , serta berencana untuk membunuhnya . Atas
bantuan Sultan Syams al-Daulah, ia dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi ibn Sina berhasil
menyembuhkan penyakit perut (maag) yang di derita oleh Sultan dan sebagai imbalannya, Sultan
menobatkannya menjadi perdana menteri kedua kalinya di Hamadan. Jabatan ini diembannya
sampai Syams al-Daulah meninggal dunia. Kemudian ia mengundurkan diri dan ingin pergi ke
Isfahan untuk berbakti kepada raja ‘Ala’u al-Daulah. Sebelum niat ini terlaksana, ia ditangkap
Taj al-Muluk, anak Syams al-Daulah, dan di penjara di benteng fardajan selama empat bulan. Ia
berhasil lari dari penjara Hamadan denga n cara manyamar ke Isafan, di mana ia disambut
dengan baik sekali.
Di antara filsuf Arab yang termasyhur di Barat, termasuk ibn Sina yang dikenal avicenna
atau disebut juga Aristoteles Baru. Kebesarannya sebagai tokoh filsafat pada asalnya, terbukti
ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap pemikiran kaum filsuf, Al-Ghazali tidak
menemukan tokoh filsafat dihadapannya sekaliber Ibn Sina.
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan meninggal di
Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun.2[2] Diberitakan, penyakit perut (maag)
yang membawa kematiannya sebagai dampak dari kerja kerasnya untuk urusan negara dan ilmu
pengetahuan. Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan menulis hingga larut malam.
Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-
miskin, dan mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah.
Filsafat islam mencapai puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh Ar-Rais
Abu ‘ Al-Husein bin Abdullah Ibn Sina. Dialah filosof Islam yang paling banyak menulis buku-
buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. Para filosof Islam yang datang
sesudahnya tidak mencapai kemajuan yang berarti, malaha sebagian besar dari mereka itu hanya
menguraikan buku-buku yang ditulis oleh Ibn Sina, seperti Ar-Razi dan At-Thusi misalnya. Pada
zamannya, filsafat islam mencerminkan kepribadian Ibn Sina sehingga ia menjadi sasaran
serangan kalangan yang mengecam filsafatnya dan menghendaki kehancurannya.
Kalau al-kindi seorang Arab dan Al-Farabi seorang Turki, maka Ibn Sina adalah orang
Persia. Semuanya itu menunjukkan corak universal peradaban Islam. Hal itu dimungkinkan oleh
agama yang melandasi filsafat itu sendiri, Islam, dan berkat bahasanya, yaitu bahasa Arab.
Kalau Istana Khalifah Al-Mu’tashim Billah diperindah oleh Al-Kindi dan karya-karyanya,
dan istana Saifud-Daulah dihiasi oleh Al-Farabi beserta hasil pemikirannya; maka daulat Bani
Buweih di Persia yakni pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5 Hijriah, mengenal Ibn Sina
dengan nama julukan As-Syaikh. Ketika itu Sultan Mahmud Al-Ghaznawi ingin menarik Ibn
Sina ke istananya di Afghanistan, tetapi Ibn Sina menolak dan lebih suka tetap tinggal di Persia.
Akan tetapi kemudian ia meninggalkan Bukhara dan pergi menuju istana Sultan ‘Ali bin Al-
‘Abbas di Khawarizm (Turkistan). Disana ia bertemu dengan banyak ulama dan kaum
cendikiawan. Antara lain Abu Raihan Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu-Khair Al-
Khammar.Ketika itu Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu Khair Al-Khammar. Ketika itu Al-
Biruni telah menempati kedudukan Abu Ma’syar dalam ilmu falak (astronomi), Abu-Khair Al-
Khammar telah menjadi orang ketiga dalam ilmu kedokteran sesudah Hippocrate dan Galenus.
Sedangkan Ibn Sina dan Abu Al Sahl Al-Masihi merupakan dua sejoli dalam ilmu hikmah
(filsafat) sesudah Aristoteles, menyinggung perihal mereka, Al-‘Idzami Al’Arudhi mengatakan

2[2]) De Boer, hal, 166


dalam bukunya Jihar Maqalah (Ucapan Terus-terang) sebagai berikut: “Kelompok itu tidak
membutuhkan soal-soal keduniaan di dalam istana. Satu sama lain asyik berdialog dan merasa
senang dengan tukar menukar karya tulis , Sultan Mahmud Al-Ghaznawi berkirim surat minta
supaya mereka bersedia tinggal di istananya sebagai kehormatan dan untuk mengambil manfaat
dari ilmu pengetahuan yang mereka miliki, Akan tetapi Ibn Sina menolak, lantas lari ke Jurjan
(teletak di sebelah tenggara Laut Kaspia) dan tinggal di istana Amir (pangeran) Qabus.”
Dalam autobiografi Ibn Sina memulainya dengan mengatakan : “Ayahku seorang
penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Manshur”. Ia menulis
autobiografinya dengan baik dan disempurnakan kemudian oleh muridnya, Al-Jurjani, Singkat
kata pada usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran Al-Qur’an, sastra dan bahasa Arab.
Kemudian ia belajar ilmu Fiqh pada seorang guru bernama Isma’il yang terkenal sebagai orang
yang hidup zuhud (menjauhi kesenangan duniawi). Di samping itu ia juga belajar matematika
dan ilmu ukur pada ‘Ali Abu’ Abdullah An-Natili. Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca
berbagai buku, termasuk buku-buku Syarh hingga menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan
pula ia mempelajari buku Ocledus mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain tentang
ilmu kedokteran, Dalam usia delapan belas tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu
tersebut.
Sebuah cerita mengatakan bahwa pada masa itu ia hafal isi buku Metaphysica di luar
kepala tanpa memahami kandungan maknanya hingga saat ia menemukan buku Al-Farabi yang
menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan
kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibn Sina mengakui kedudukan Al-Farabi sesbagai kedua
Guru Kedua.
Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh sultan Nuh bin Manshur untuk mengobati
penyakitnya, dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini merupakan awal-mula
hubungannya kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang tersimpan di dalam
perpustakaannya Dengan kekuatan daya-ingatnya yang luar biasa ia dapat menguasai isi
sebagian besar buku-buku tersebut. Kemudian ia menulis bukunya yang pertama untuk pangeran
Nuh, perihal psikologi menurut metode Aristoteles. Buku tersebut diberi judul Hidayyatur-Ra’is
Ilal-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir). Buku tersebut berisi pembahasan tentang kekuatan-
kekuatan psikologis. Buku yang lain tentang psikologi di tulisnya dalam bentuk risalah kecil.
Banyak sekali buku-buku karyanya yang memadukan ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran.
Tentang filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa (Buku Penyembuhan) dan mengenai kedokteran
ia menulis buku Al-Qanun. Buku Asy- Syifa membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu: ilmu
semantik,ilmu alam, ilmu pasti dan ilmu ketuhanan yang kemudian diringkas dalam sebuah buku
berjudul An-Najat (Keselamatan). Buku ini terkenal dan masih beredar hingga dewasa ini.
Sejak diselenggarakannya Mu’tamarusy-Syeikh di Baghdad pada tahun 1952 untuk
memperingati genap 1000 tahun hari lahir Ibn Sina, sebuah Panitia Khusus di Mesir yang terdiri
dari para peminat filsafat mengambil prakarsa menerbitkan Kitabusy-Syifa secara ilmiah.
Pertama diterbitkan buku semantiknya, yang terdiri dari sembilan buah buku. Kemudian
diterbitkan buku-bukunya yang lain, tentang masalah ketuhanan dan musik. Dengan
diterbitkannya juga dalam buku-buku tersebut orang dapat dengan mudah mempelajari filsafat
Ibn Sina yang mengikuti jejak Aristoteles (Masysya’iyyah) dan menjurus ke arah filsafat
Isyraqiyyah yang cenderung kepada sufisme. Pandangan tersebut oleh Ibn Sina dituangkan
dalam bukunya yang berjudul Al-Isyarat dan dalam beberapa karyanya yang belum pernah
diterbitkan, yaitu filsafat Masraqiyyah.
Buku Qanun Ibn Sina terbagi dalam lima jilid, Masing-masing berisi soal-soal yang
berkaitan dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi bagian-bagian tubuh,
pembedahan dan pengebotan. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sampai
abad ke-17 Masehi masih merupakan buku pegangan bagi berbagai unversitas di Eropa. Di
samping buku tersebut, telah diterjemahkan pula sebagian besar dari buku Asy-Syifa lewat buku
itu filsafat Ibn Sina menembus ke negeri-negeri Eropa, sampai Thomas Aquinas sendiri
terpengaruh olehnya.
2. Karyanya
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karyanya cemerlang,dan tidak heran kalau
ia menghasilkan 267 karangan. Kesuburan hasil karya ini disebabkan karena beberapa faktor.
Kualitas karya dan keterlibatannya dalam praktik kedokteran, mengajar, dan politik, semuanya
menunjukkan tingkat kemampuan yang luar biasa.3[3]
pandai mengatur waktu, di mana siang untuk disediakan untuk pekerjaan pemerintahan, sedang
malamnya untuk mengajar dan mengarang, bahkan lapang kesenian pun tidak di tinggalkannya.

3[3] Shams Inati, “ Ibnu Sina” dalam Eksiklopedia Tematis Filsafat Islam (Editor:Sayyed Hosen Naser &
Oliver Leaman) (Bandung: Mizan, 2003),hlm.286.
Kalau hendak berpergian, maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama diperhatikan dan kalau
sudah payah dalam perjalanan, maka duduklah ia berpikir dan menulis
b. Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak sedikit artinya bagi kepadatan karyanya.
Sering- sering ia menulis tanpa memerlukan buku-bukunya referensi dan pada saat kegiatannya
tidak kurang dari lima puluh lembar yang di tulis sehari-harinya.
c. Sebelum ibnu Sina telah hidup al-farabi yang juga mengarang dan mengulas buku-buku filsafat.
Ini berarti al-farabi telah meratakan jalan baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan-
kesulitan yang dihadapinya terutama dalam soal-soal yang kecil.
Karangan- karangan ibnu Sina:
1. Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting yang terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri
empat bagian, yaitu, logika, fisika, matematika, dan metafisika, (ketuhanan). Buku tersebut
mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakan di Barat dan Timur. Bagian
ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M
lembaga ke ilmuan Cekoslovakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang
khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahnya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean
Pacuch bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M, dengan nama Al-burhan, di bawah
asuhan Dr. Abdurrahman Badawi. Adapun kata Al–syfa, latinnya Sanatio (penyembuhan),
ensiklopedi yang terdidi dari 18 jilid mengenai fisika, matematika, dan metafisika, kitab ini di
tulis pada waktu menjadi menteri Syams al-daulah dan selesai masa Ala’u al- Daulah di Isfahan.
2. Al-Najat, latinnya Salus (penyelamat), keringakasan dari al-syifa, dan pernah diterbitkan
bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan
pada tahun 1331 M di Mesir
3. Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah. Buku ini
adalah buku yang terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun
1892, dan sebagiannya di terjemahkan ke dalam bahasa Prancis, kemudian diterbitkan lagi di
kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4. AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud
juduk buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang
mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Carlos Nallino, berisi
filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5. Al-Qanun, atau canon of medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah
diterjemahkan ke dalam bahsa latin dan pernah menjadi buku standar untuk Universitas-
universitas Eropa sampai akhir abad ketujuh belas Masehi, dan di india tahun1323 H. risalah-
risalah lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,etika, logika, dan psikologi.
6. Hidayah al-Rais li al-Amir.
7. Risalah fi alkalam ala al-Nas al-Nathaqiyah, dan
8. Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (logika Timur).

3. Filsafat Ibn Sina


a. Metafisika
Dalam masalah metafisika, Ibn Sina sebagai salah seorang filsuf eksistensial sepaham
dengan Aristoteles. Dia mendefinisikan bahwa metafisika itu adalah pengetahuan adalah
pengetahuan tentang segala yang ada sebagaimana adanya dan sejauh yang dapat diketahui oleh
manusia. Dia mengklasifikasikan yang ada menjadi dua, yaitu wajibul wujud dan mumkinul
wujud. Dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi tiga tingkatan. Pendapatnya itu
memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
1. Wajib al-wujud
Esensi yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak dapat dipisahkan dari wujud,
keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia
wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
2. Mumkin al-wujud
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud. Dengan istilah lain,
jika dia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada maka tidak mustahil, yakni boleh ada boleh
juga tidak ada.
Dengan demikian, dalam menetapkan yang pertama (Allah) kita tidak perlu memerlukan
perenungan sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya,
namun pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap dan sempurna. Kedua macam
pembuktian telah digambarkan dalam Al-Qur’an dalam surat Fusshilat ayat 53 yang berbunyi:
ُ‫ق َوفِي أَ ْنفُ ِس ِه ْم َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَ ُه ْم أَنَّه‬
ِ ‫سنُ ِري ِه ْم َءايَاتِنَا فِي ْاْلفَا‬َ
‫ْال َح ُّق‬
ُ‫ش ِهيد‬ َ ُ‫ف ِب َر ِب َك أَنَّه‬
َ ‫علَى ُك ِل‬
َ ٍ‫ش ْيء‬ ِ ‫أ َ َولَ ْم يَ ْك‬
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami pada alam
semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Tuhan menyaksikan
segala sesuatu “.
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi dan Ibn Sina juga menyucikan Allah dari
segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Mahasempurna. Ia
adalah tunggal, tidak terdiri atas bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu
akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama). Ibn Sina berpendapat bahwa
ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan dia tidak mengetahui yang parsial.
Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibn Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini
secara tidak langsung, yakni melalui zat-Nya sebagai sebab adanya alam.
Berkaitan dengan metafisika, Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiah sebagai yang
terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi,
dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah
yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud,
esensi tidak besar artinya. Esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
1. Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn Sina yaitu sesuatu
yang mustahil berwujud. Contoh, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang
ada.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Contoh, alam ini
yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yang tak boleh tida mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari
wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu
Tuhan.
Dengan demikian, Tuhan adalah unik dala arti, Dia adalah Kemaujudan yang Mesti, segala
sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu
harus satu. Nyatanya,walaupun di dalam Kemaujudan ini tak boleh terdapan kelipatan sifat-sifat-
Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada,
dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibn Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik
dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak
sederhana dan tak dapat didefinisikan.
Sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab dan tokoh pertama dalam gerakan filosofis tersebut
sejak Proclus (tokoh terakhir dari Barat), Ibn Sina tentu menganut paham emanasi. Ia
berpendapat bahwa dari Tuhan memancar Akal Pertama. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi
zat, namun Tuhan dan Akal Pertama adalah sama-sama azali.
Akal bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan
falak. Tuhan adalah al-khair al-Mutlak disebut al-Isyq al-Mutlak dan Akal hanyalah al-Khair
yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa falak
kepada al-Khair disebut al-Isyq al-Mutlak. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya
bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.
b. Jiwa
Menurut Ibn Sina, munculnya jiwa atau nyawa (vital principle) sebagai “daya adijasmani”
berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh benda-benda
langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti oleh jiwa hewani, dan diakhiri oleh
jiwa manusiawi. Jiwa nabati didefinisikannya sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; jiwa
hewani sebagai dasar gerak (kehendak) dan penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan
partikular dan jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal
yang universal.
Ibn Sina lantas memberikan definisi umum tentang jiwa menggunakan kata-kata
Aristoteles sebagai “kesempurnaan pertama dari benda organik yang alami”.4[4] Sebagai daya-
cerap terhadap hal-hal yang partikular dan bergerak sesuai dengan kehendak, ia disebut jiwa
hewani; sebagai daya untuk menyerap hal-hal universal dan bertindak atas dasar pertimbangan
dan pilihan, ia disebut jiwa manusiawi; dan sebagai daya untuk melahirkan, bertumbuh-
kembang, dan mereproduksi sejenisnya, ia disebut jiwa nabati.

4[4] Ibid, hal. 197. Lihat juga aristoteles, De anima


Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah falsafahnya tentang jiwa.5[5] Di
dalam masalah kejiwaan, Ibn Sina termasuk penganut faham dualisme (sanawiyah). Bagi Ibn
Sina, substansi itu berlainan sama sekali dari materi tubuh, meskipun ia berasal dari pokok yang
sama yakni Akal Fa’al, tetapi ia mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Ada tiga dalil pembuktian yang dikemukakan oleh Ibn Sina tentang substansi jiwa tersebut.
a) Saat manusia merenungkan dirinya, pada waktu itu secara sadar ia mengenal bahwa dirinya
“ada” selama hidupnya.
b) Bila seseorang menghadapi suatu persoalan secara serius, ia akan menumpahkan segenap
perhatiannya pada persoalan tersebut. Pada waktu itu, ia merasa dirinya bebas dari raga sehingga
ia berani berkata saya akan berbuat begini begitu tanpa merasa terikat dengan raga.
c) Manusia mampu menghimpun secara sadar akan aktivitas-aktivitas fisik organisme yang
dilakukannnya tanpa kesulitan. Pengenalan terhadap aktivitas-aktivitas fisik menjadi bukti bahwa
niwa berbeda dari fisik.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni:
1) Argumen psikofisik
2) Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
3) Argumen kontinuitas, dan
4) Argumen manusia terbang di udara
Untuk membuktikan argumen pertama,Ibn Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan
kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan gerak tidak terpaksa.
Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari
atas ke bawah.
Untuk membuktikan unsur argumen yang kedua, Ibn Sina membedakan aku dan jiwa. Aku
dalam pandangan Ibn Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi jiwa dan kekuatannya. Dan untuk
membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya ingat manusia tentang masa-masa
yang telah lewat, baik metuapak tingkah laku maupun hal ihwal di sekitarnya. Adapun
pembuktian keempat, Ibn Sina mengatakan bahwa wujud dirinya tidak timbul dari indera
melainkan dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.

5[5] Yunasril Ali, perkembangan Pemikiran filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara) hal. 63
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan,
memancar dari akal 10. Sebagai aristoteles, Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang dengan daya-daya:
a. Gerak
b. Menangkap.
3. Jiwa manusia dengan dua daya:
a. Praktis yang hubungannya adalah dengan badan.
b. Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak.
Sifat seorang manusia bergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa tumbuh-
tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan
dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika
jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat
dan dekat pada kesempurnaan.
Apabila jiwa telah mencapai kesempurnaannya, maka badan tidak diperlukan lagi bahkan
menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan. Sejalan dengan terpisahnya antara badan
denagn jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak mesti hancur dengan hancurnya badan. Tetapi
jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang terdapat dalam diri manusia, karena hanya
mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik akan mati dengan matinya badan dan tak akan di
hidupkan kembali di akhirat. Balasannya u tuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di dunia saja.
Berbeda dengan jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak akan dihidupkan kelak
di akhirat.
Untuk membedakan hakikat jiwa dan jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar
rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun atas
materi-materi sebagimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad
tidak membawa hancurnya jiwa (roh).
Menurut Ibn Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling
memengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan
syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad
yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau
adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.
c. Kenabian
Tahapan mistis ialah apabila jiwa sudah ketak berhinggaan, menjalin hubungan dengan
Intelek Aktif sehingga tak lagi perlu menjalani proses silogistik untuk bisa menangkap hal-hal
universal, tetapi cukup dengan intuisi. Ibn Sina mengibaratkan tahap ini sebagai tahap “profesi”
atau tahap berfungsinya “nalar suci”.
Tak pelak, ini metupakan puncak kemampuan intelek manusia, yang hanya ada pada para
filosof dan Nabi. Berkat kemampuan ini, seorang Nabi dapat mengetahui segala sesuatu secara
intuitif, mempersepsi aneka bentuk dan representasi audiovisual, mencandrakan masa depan dan
mempengaruhi peristiwa fisik secara ajaib (miraculously).6[6] Bagi Ibn Sina, nalar suci
termaksud tak lain dari sebentuk intelek habitual, yang mengerucut pada intelek capaian. Sifat
yang mencolok dari psikologi Ibn Sina adalah tatanan hierarkisnya, yang di dalamnya
kemampuan yang rendah selau patu pada kemampuan yang lebih tinggi. Maka dari itu,
pancaindra selalu patuh pada kemampuan batin, dan kemampuan batin selalu patuh pada
kemampuan rasional.
Pendapat Ibn Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal materil sebagai
yang terendah adakalanya di anugerahkan Tuhan kepada manusia akal materil yang besar lagi
kuat, oleh Ibn Sina dinamakan intuisis. Daya yang ada pada akal materi serupa ini begitu
besarnya sehingga tanpa melalui latihan, denagn mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif
dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai
sifat suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, yaitu bentuk akal yang ada
pada Nabi-nabi.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina memebagi manusia ke dalam
empat kelompok:
1) Mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian
rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia,
2) Mereka yang memiliki kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa
sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara
langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan masa akan datang dan
berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia,

6[6] Ibid. Hal. 206. Lihat juga Ibn Sina, Ahwal al-Nafs, hal. 1141
3) Mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif,
4) Terakhir, adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis
mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi, yaitu
memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia
harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada
umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu sistem sosial-politik. Fungsi imajinasi
kenabian yang berupa lambang dan hidup ini ditekankan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, namun
oleh Ibn Sina hal itu lebih rinci lagi, bahwa sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan
menghidupkan pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan keterbatasan-
keterbatasan psikologi kita. Contoh kecilnya, jika kita lapar, imajinasi kita menyuguhkan di
hadapan kita imaji-imaji yang hidup tentang makan.
Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan akal nabi,
menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan
dirasakn oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya. Itulah sebabnya ia “melihat”
malaikat, dan “mendengar” suaranya. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam kitab-kitab suci
keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan
untuk mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spiritual. Dengan demikian,
wahtu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia beramal dan menjadi orang baik,
tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
d. Tasawuf
Mengenai tasawuf, menurut Ibn Sina tidak dimulai dengan Zuhud, beribah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya. Ia memulai
tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu
akan akan menerima ma’rifah dari Akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di hati manusia
tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi
melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu
tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia
mendapat sebahagiaan pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak
langsung keluar dari Allah, tetapi melalui Akal fa’al.
e. Hukum Sebab Musabab7[7]
Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai dengan sebab ini. mutakallimun
berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai akibat dari atau hasil dari tuhan yang bertindak
sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai istilah dalam bahasa arab yang artinya sama
dengan penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan, pembawaan kepada wujud dan lain–lain.
Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat rumah, rumah itu tidak ada, kalau rumah itu sudah ada
berarti rumah itu sudah tidak membutuhkan lagi wakil atau sebab untuk ada. Penciptaan alam
oleh tuhan berbeda dengan pembuatan sebuah rumah oleh arsitek:
a. Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil, sedangkan alam selamanya perlu wakil.
Sesudah dia diciptakan, ia butuh terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu. Dengan perkataan lain, sebab
mendahului perbuatan dalam segala perbuatan yang terjadi dalam alamTuhan adalah sebab yang
efisien dari alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang
antara sebab dan akibat, walaupun bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia berkata :
“kehendak adalah unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk dijelmakan oleh kehendak
dan bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan kehendaknya adalah sama”. Dalam bagian ini
ibnu sina berkata : “teranglah, bahwa dalam setiap makhluk terdapat suatu kehendak batin.
Kehendak batin ini dengan kebutuhannya menjadi sebab dari penciptanya. Setiap unsur ditemani
kehendak batin yang senantiasa kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian
ini menjadi bentuk filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang menolak gambaran
tuhan sebagai wakil sebab, memungkinkan orang tuk mempelajari pendiriannya tentang Tuhan
Maha Mengatur.

f. Tuhan Maha mengatur dan Maha Tahu8[8]


Diterangkan dalam kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam
semesta, dalam pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan tuhan

7[7] Sudarsono, op. Cit, hlm. 47

8[8] Ibid, hlm. 49


dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasionil. Keterangan tersebut
menyebabkan orang dapat melihat bagaimana ibnu sina menguraikan tentang sifat Maha Tuhan
dan mengenai baik dan buruk. Orang akan merasa pesimis dan memberikan uraiannya bahwa
antara baik dan buruk, baiklah yang akan menang. Tuhan menghendaki baik oleh karena itu ia
menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk adalah baik dan kesempurnaan makhluk itu adalah
terdapat dalam segala makhluk. Karena segala kebaikan dan kesempurnaan datang dari tuhan.
Sebab tuhan itu mempunyai sifat Rahman dan Rahim, ia akan menjelma dalam setiap yang
dikuasaiNya.
Ibnu Sina menggambarkan tentang pengertian benda itu sebagai seorang perempuan yang
tidak cantik yang memakai topeng sehingga dia tampak cantik sekedar untuk menutupi
ketidakcantikannya. Oleh karena itu, perempuan tidak dapat terpisah dari topeng tersebut, topeng
tersebut memberi kecantikan padanya. Tuhan sebagai puncak makhluk, maka tuhan pula
merupakan puncak rupa depan yang memberi nikmat. Kita harus mengenal tuhan sebagai wakil
sebab. Nafsu adalah sebab akhir dari makhluk yang mencoba memperoleh kesempurnaan dan
kebaikan.
Undang alam semesta adalah sebaik–baik undang makhluk, dan dunia kita adalah sebaik–
baik alam yang dapat difahamkan oleh otak manusia. Selama dunia ini tersusun dari kebutuhan
dan kemungkinan, dunia ini terjadi dari benda bentuk, potensi dan hakikat, kejahatan selamanya
aka nada, kejahatan lebih sedikit daripada kebaikan dan kejahatan itu bersifat negative dan
kebaikan itu bersifat positif. Kejahatan timbul dari makhluk sendiri.
Pengetahuan manusia terbatas, dia tidak dapat mengerti hikmah yang berada dalam
kejahatan tuhan tidak melihat kepada sesuatu pendirian kita yang terbatas, akan tetapi tuhan
memandang secara keseluruhannya terletak dalam aturan hirarki yang turun dari tuhan. Untuk
membuktikan bahwa tuhan maha mengetahui, ibnu sina pernah menghadapi tiga buah pernyataan
yang berlawanan, yaitu :
a. Tentang pendirian filsafat aristoteles yang mengatakan bahwa tuhan berada diluar alam.
b. Tesis Alqur’an yang mengatakan : “tuhan adalah maha tahu akan segala yang tidak terlihat.
Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau lebih besar di langit dan di bumi yang
tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang–terangnya bukti” (Surat 34/4)
c. Tentang pendapat Plato dan Neoplatenis, yang mengatakan bahwa tuhan adalah prinsip pertama,
Yang Esa dan Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh pengetahuan , sebab dengan
meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia mempunyai sifat yang rangkap yaitu tahu dan
pengetahuan.
Dalam An-Najat ibnu sina berkata : “Kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya sendiri, dia
tahu bahwa Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala sesuatu yang keluar daripada-
Nya”. Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa ilmu Tuhan tentang kekhususan adalah
didasarkan pada pokok pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu berkehendak kepada hubungan
sebab dan akibat.

g. Pandangan Tentang Akal9[9]


Menurut ibnu sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua
macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia
sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua
pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan.
Ibnu sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini
kedalam bentuk– bentuk. Rumusan ibnu sina diambil alih oleh seorang pendeta Dominican
Albertus Magnus (1206 - 1280) yang dikemukakan di dunia barat.

Pengaruh filsafat Ibnu Sina:


Banyak sekali pengaruh yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibn Sina, diantaranya:
Pertama, beliau menentang pemikiran kaum sufi ortodoks dengan tidak meninggalkan
keduniaan sehingga melahirkan kaum sufi modern.
Kedua, hasil karya beliau dijadikan standar kurikulum di universitas Eropa.
Ketiga, dalam bidang pendidikan, Mahmud Yinus mengatakan bahwa Ibn Sina
mengajukan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni tenang, tidak bermuka
masam, tidak berolok-olok di hadapan murid dan sopan santun.10[10]
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filsuf sebelumnya, semisal Ak-Kindi
dan Al-Farabi, Ibn Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi.
Pekerjaan terbesar yang dilakukan oleh Ibn Sina adalah menjawab berbagai persoalan fislafat

9[9] Ibid, hlm. 52

10[10] A. Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam persfektif islam (Bandung: Rosdakarya) hal.83
yang tak terjawab sebelumnya. Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Sina, seperti karya pemikiran dan
telaahnya di bidang kedokteran, tidak hanya tertuju pada dunia islam, tetapi merambah ke
dataran Eropa. Filsafat metafisika Ibn Sina adalah ringkasan dari tema-tema filsuf yang
kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Pengaruh dan kontribusi Ibn Sina tampak dalam sejarah filsafat abad pertengahan yang
menganggapnya sebagai yang unik dan memperoleh pengahargaan yang semakin tinggi hingga
masa modern. Keunikan Ibn Sina ini dibuktikan dengan kempuannya memengaruhi agama-
agama lain di abad pertengahan selain dunia Islam sendiri, seperti fenomena perumusan kembali
teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas
yang secara mendasar terpengaruh oleh Ibn Sina.11[11]

A. BIOGRAFI AL-GHAZALI

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu
Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.
Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir.Penisbatan
pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin
Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin
Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Namun, menurut Maulana Syibli Nu'mani, leluhur Abu Hamid Muhammad mempunyai usaha
pertenunan (ghazzal) dan karena itu dia melestarikan gelar keluarganya "Ghazzali" (penenun).
Julukannya adalah “Hujjatul Islam” (Bukti kebenaran agama Islam) dan Zayn Ad-Din (Perhiasan
agama).
B. KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Al-Ghazali dikenal sebagai sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu
multidisplin.Hampir semua aspek keagamaan dikajinya secra mendalam.Aktfitasnya bergumul
dengan ilmu pengetahuan berlangsung tidak pernah surut hingga ajal menjemputnya.Dalam
ranah keilmuan Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas keilmuan dan tingkat penerimaan
para ulama terhadapnya.

Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah al-ghazali menyebutkan karya al-


Ghazali mencapai 457 buku.Al-Washiti dalam al-Thabaqat al-‘Aliyah fi Manaqib al-Syafi’iyah
menyebutkan 98 judul buku.Musthafa Ghalab menyebut angka 228 judul buku.Al-Subki dalam
al-Thabaqat al-Syafi’iyah meneyebutukan 58 judul buku. Thasy Kubra Zadah dalam Miftah al-
Sa’adah wa Misbah al-Siyadah menyebutkan angka 80 judul. Michel Allard, seorang orientalis
Barat, menyebutkan jumlah 404 judul buku. Sedangkan Fakhruddin al-Zirikli dalam al-A’lam
menyebut kurang lebih 200 judul.Kitab tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Beberapa
karyanya antara lain :

1. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh

a. Al-Basith fi al-Furu’ ‘ala Nihayah al-Mathlab li Iman al-Haramain.


b. Al-wasith al-Muhith bi Iqthar al-Basith.
c. Al-Waiiz fi al-Furu’
d. Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-syafi’i.
e. Al mustashfa fi ‘ilm al Ushul
f. Al-mankhul fi ‘ilm al Ushul

2. Bidang Tafsir

a. Jawahir al-Qur’an
b. Yaqut al-Ta’wil fi-Tafsir al-Tanzil

3. Bidang Aqidah
a. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, terbit di mesir
b. Al-ajwibah al-Ghazaliyah fi al-masail al-Ukrawiyah
c. Iljamu al-awam’an ‘Ilm al-Kalam
d. Al-Risalah al-Qudsiyah fi-Qawaid al-Aqaid
e. Aqidah ahl al-Sunnah
f. Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadlail al-Mustadzariyah
g. Faisal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah
h. Al-Qistash al-Mustaqim
i. Kimiyah al-Sa’adah
j. Al-Maqshid al-tsna fi ma’ani Asma’ Allah al-Husna
k. Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala man Ghayyara al-Injil

4. Bidang Filsafat dan Logika

a. Misykah al-Anwar
b. Tahafut al-Falasifah
c. Risalah al-Thair
d. Mihak al-Nadzar fi al-Mantiq
e. Ma’ary al-Qudsi fi Madarij Ma’rifah al-Nafs
f. Mi’yar al-Ilmi
g. Al-Muthal fi Ilm al-Jidal

5. Bidang Tasawuf
a. Adab al-Shufiyah
b. Ihya ‘Ulumuddin
c. Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah
d. Al-Adab fi al-Din
e. Al Imla ‘an Asykal al-Ihya
f. Ayyuhal Walad
g. Al-Risalah al-Ladunniyah
h. Mizan al-Amal
i. Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
j. Minhaj al-Abidin ila al-Jannah
k. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadrah Alami al-Gaibi

Masih banyak lagi karya al-Ghazali lainnya, baik yang sudah dicetak dan diterbitkan, maupun
yang masih berbentuk manuskrip. Sedangkan di sisi lain ada ratusan karya yang dikategorikan
hasil karya al-Ghazali, dan tentunya hal ini masih diperdebatkan.
C. PEMIKIRAN Al-GHAZALI
Kerangka berpikir memandangan Al-Ghazali perlu ditelusuri secara komprehensif.
Pertama-tama, karena berfilsafat itu menggunakan logika (akal) dengan kajian analalisisnya
maka apa yang dimaksud dengan akal dan agaimana posisi akal. Inilah titil tolak Al-Ghazali
dalam memandang filsafat dan ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan
matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainya saling membutuhkan, kecuali orang-orang
yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran.
Mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada
bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali,
akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak
akan membawa suatuu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Ibn Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf,
ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagianUzbekistan). Beliau
juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan
pengobatan.
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin
Ahmad al-Ghazali, bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir pada tahun 450 H/1058 M[13] di
Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di dekat Thus (Wilayah Khurasan), Iran. Ada
juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1056, 1050, 1059 M.

Diantara karya dari ibnu sina yang terpenting adalah


1) Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan)
2) Al- Najah, latinnya salus (penyelamat), keringkasan dari as-Syifa’.
3) Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
4) Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi
buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII
5) Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah
6) Hidayah al-Rais li al- Amir
7) Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah
8) Al-mantiq al-Masyriqiyyin (Logika timur)
Ibnu sina juga mengemukakan pemikirannya tentang filsafat,antara lain :
1) Filsafat Metafisika
2) Filsafat jiwa
3) Filsafat kenabian
4) Filsafat tasawuf
5) Hukum sebab musabab
6) Tuhan maha pengatur dan maha tahu serta
7) Pandangan hidup tentang akal

2. Saran
Makalah yang memuat pembahasan tentang Filsafat Ibn Sina da alghozali ini sangatlah
jauh dari kesempurnaan. Maka kami membutuhkan kritik dan saran atas kesempurnaan makalah
ini di masa yang akan datang. Makalah ini hanyalah sebatas tugas mata kuliah akan tetapi, insya
Allah dibalik semua ini ada manfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi semua pembaca.
Oleh karena itu, apa yang kami kutip dari berbagai literature buku, dan referensi lain,
kemungkinan besar masih belum sempurna apabila ditinjau dari cara mengambil
pemahamannya. Maka litertaur yang lain, sangatlah membantu untuk peningkatan makalah pada
tugas yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Dedi Supriadi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Ahmad Fuad Al-Ahwani. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Oemar Amin Hoesin. Filsafat Islam. Jakarta: Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1) —
Muslim.Or.Id by null
Asrorun Ni’am Sholeh. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Elsas, 2004 h. 42-45.
Supriyadi Dedi. Filsafat Islam. Pustaka Ceria. Bandung : 2009.
Sunarya Yaya. Pengantar Filsafat Islam. Arfino Raya. Jakarta : 2012

Supriyadi Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Pustaka Setia. Bandung : 2009.


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Bulan Bintang, 1975.
Sudarsono. filsafat islam jakarta: Rineka cipta, 2004.
MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA DAN AL GHOZALI

(makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam)

Dosen Pengampu: Imron, M.Pd.I


Disusun oleh:
KELOMPOK 6
1. Mamduh Baltaqy
2. Sri aji widodo
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN FATAH
TAHUN 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai