Makalah Filsafat Ibnu Sina
Makalah Filsafat Ibnu Sina
PENDAHULUAN
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibnAli ibn Sina. Ia
dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (8-980 M).
Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn
Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota
Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (ibn
Sina), dan Muhammad.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah
mampu menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kitab Metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali, kendatipun ia belum memahaminya
sampai mempunyai ulasan Al-Farabi.1[1] Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu
pengetahuan, sastra Arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur,dan filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran
dipelajari sendiri. Di antara guru-gurunya hanya Abu ‘abdullah al-Natili (dalam bidang logika)
dan Isma’il (seorang zahid) yang dikenal namanya. Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi di
berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur sehingga
diundang untuk mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Mansyur. Keberhasilannya
tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan
untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang
luar biasa, Ibnu Sina dapat menghapal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu menjadi
modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode Aristoteles, dan
dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul Hadiyah al-Ra’is ila al-Amir.
1[1]) Ahmad Fuad al-Ahwani, Ibn Sina (kairo: Dar al-Ma’arif) hal.20
Pada masa mudanya ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia
banyak mendengarkan percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya
atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal-soal akal pikran dan kejiwaan menurut cara
mereka. Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam auto biografinya, ia tidak dapat
menerima aliran-aliran tersebut dan menjauhinya. Hal itu menunjukan kemandirian berpikir ibn
Sina dan mengikuti mazhab sunnah maupun mazhab syi’ah. Ia muncul dengan mazhabnya
sendiri, yakni mazhab Sinawi. Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang
corak mazhab yang dikembangkannya, apakah cendrung ke Syi’ah atau cenderung ke Sunnah .
Tampaknya, ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha menemukan
hakikat kebenaran, baik di bidang filasafat maupun bidang keagamaan.
Dalam usia 22 tahun ayahnya meninngal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat
baginya, sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju jurjan, di mana ia
berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al–Jurjani kemudian menjadi salah seorang muridnya, dan penulis
sejarah hidupnya. Tetapi, ia tidak lama bermukim di kota ini karena kekacauan politik, lalu ia
pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan ini ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-
Daulah dari dinasti Buwaihi (1015-1022). Atas jasanya ini, Sultan mengangkatnya sebagai Wazir
‘Azhim (perdana mentri) Rayyand. Namun tidak berapa lama memangku jabatan tersebut, pihak
militer menangkapnya dan merampas hartanya , serta berencana untuk membunuhnya . Atas
bantuan Sultan Syams al-Daulah, ia dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi ibn Sina berhasil
menyembuhkan penyakit perut (maag) yang di derita oleh Sultan dan sebagai imbalannya, Sultan
menobatkannya menjadi perdana menteri kedua kalinya di Hamadan. Jabatan ini diembannya
sampai Syams al-Daulah meninggal dunia. Kemudian ia mengundurkan diri dan ingin pergi ke
Isfahan untuk berbakti kepada raja ‘Ala’u al-Daulah. Sebelum niat ini terlaksana, ia ditangkap
Taj al-Muluk, anak Syams al-Daulah, dan di penjara di benteng fardajan selama empat bulan. Ia
berhasil lari dari penjara Hamadan denga n cara manyamar ke Isafan, di mana ia disambut
dengan baik sekali.
Di antara filsuf Arab yang termasyhur di Barat, termasuk ibn Sina yang dikenal avicenna
atau disebut juga Aristoteles Baru. Kebesarannya sebagai tokoh filsafat pada asalnya, terbukti
ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap pemikiran kaum filsuf, Al-Ghazali tidak
menemukan tokoh filsafat dihadapannya sekaliber Ibn Sina.
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan meninggal di
Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun.2[2] Diberitakan, penyakit perut (maag)
yang membawa kematiannya sebagai dampak dari kerja kerasnya untuk urusan negara dan ilmu
pengetahuan. Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan menulis hingga larut malam.
Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-
miskin, dan mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah.
Filsafat islam mencapai puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh Ar-Rais
Abu ‘ Al-Husein bin Abdullah Ibn Sina. Dialah filosof Islam yang paling banyak menulis buku-
buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. Para filosof Islam yang datang
sesudahnya tidak mencapai kemajuan yang berarti, malaha sebagian besar dari mereka itu hanya
menguraikan buku-buku yang ditulis oleh Ibn Sina, seperti Ar-Razi dan At-Thusi misalnya. Pada
zamannya, filsafat islam mencerminkan kepribadian Ibn Sina sehingga ia menjadi sasaran
serangan kalangan yang mengecam filsafatnya dan menghendaki kehancurannya.
Kalau al-kindi seorang Arab dan Al-Farabi seorang Turki, maka Ibn Sina adalah orang
Persia. Semuanya itu menunjukkan corak universal peradaban Islam. Hal itu dimungkinkan oleh
agama yang melandasi filsafat itu sendiri, Islam, dan berkat bahasanya, yaitu bahasa Arab.
Kalau Istana Khalifah Al-Mu’tashim Billah diperindah oleh Al-Kindi dan karya-karyanya,
dan istana Saifud-Daulah dihiasi oleh Al-Farabi beserta hasil pemikirannya; maka daulat Bani
Buweih di Persia yakni pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5 Hijriah, mengenal Ibn Sina
dengan nama julukan As-Syaikh. Ketika itu Sultan Mahmud Al-Ghaznawi ingin menarik Ibn
Sina ke istananya di Afghanistan, tetapi Ibn Sina menolak dan lebih suka tetap tinggal di Persia.
Akan tetapi kemudian ia meninggalkan Bukhara dan pergi menuju istana Sultan ‘Ali bin Al-
‘Abbas di Khawarizm (Turkistan). Disana ia bertemu dengan banyak ulama dan kaum
cendikiawan. Antara lain Abu Raihan Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu-Khair Al-
Khammar.Ketika itu Al-Biruni, Abu Sahl Al-Masihi dan Abu Khair Al-Khammar. Ketika itu Al-
Biruni telah menempati kedudukan Abu Ma’syar dalam ilmu falak (astronomi), Abu-Khair Al-
Khammar telah menjadi orang ketiga dalam ilmu kedokteran sesudah Hippocrate dan Galenus.
Sedangkan Ibn Sina dan Abu Al Sahl Al-Masihi merupakan dua sejoli dalam ilmu hikmah
(filsafat) sesudah Aristoteles, menyinggung perihal mereka, Al-‘Idzami Al’Arudhi mengatakan
3[3] Shams Inati, “ Ibnu Sina” dalam Eksiklopedia Tematis Filsafat Islam (Editor:Sayyed Hosen Naser &
Oliver Leaman) (Bandung: Mizan, 2003),hlm.286.
Kalau hendak berpergian, maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama diperhatikan dan kalau
sudah payah dalam perjalanan, maka duduklah ia berpikir dan menulis
b. Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak sedikit artinya bagi kepadatan karyanya.
Sering- sering ia menulis tanpa memerlukan buku-bukunya referensi dan pada saat kegiatannya
tidak kurang dari lima puluh lembar yang di tulis sehari-harinya.
c. Sebelum ibnu Sina telah hidup al-farabi yang juga mengarang dan mengulas buku-buku filsafat.
Ini berarti al-farabi telah meratakan jalan baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan-
kesulitan yang dihadapinya terutama dalam soal-soal yang kecil.
Karangan- karangan ibnu Sina:
1. Asy-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting yang terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri
empat bagian, yaitu, logika, fisika, matematika, dan metafisika, (ketuhanan). Buku tersebut
mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakan di Barat dan Timur. Bagian
ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M
lembaga ke ilmuan Cekoslovakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang
khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahnya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean
Pacuch bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M, dengan nama Al-burhan, di bawah
asuhan Dr. Abdurrahman Badawi. Adapun kata Al–syfa, latinnya Sanatio (penyembuhan),
ensiklopedi yang terdidi dari 18 jilid mengenai fisika, matematika, dan metafisika, kitab ini di
tulis pada waktu menjadi menteri Syams al-daulah dan selesai masa Ala’u al- Daulah di Isfahan.
2. Al-Najat, latinnya Salus (penyelamat), keringakasan dari al-syifa, dan pernah diterbitkan
bersama-sama dengan buku al-qonun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan
pada tahun 1331 M di Mesir
3. Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah. Buku ini
adalah buku yang terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun
1892, dan sebagiannya di terjemahkan ke dalam bahasa Prancis, kemudian diterbitkan lagi di
kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4. AL-Hikmat al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud
juduk buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang
mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Carlos Nallino, berisi
filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5. Al-Qanun, atau canon of medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah
diterjemahkan ke dalam bahsa latin dan pernah menjadi buku standar untuk Universitas-
universitas Eropa sampai akhir abad ketujuh belas Masehi, dan di india tahun1323 H. risalah-
risalah lain yang banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat,etika, logika, dan psikologi.
6. Hidayah al-Rais li al-Amir.
7. Risalah fi alkalam ala al-Nas al-Nathaqiyah, dan
8. Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (logika Timur).
5[5] Yunasril Ali, perkembangan Pemikiran filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara) hal. 63
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan,
memancar dari akal 10. Sebagai aristoteles, Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang dengan daya-daya:
a. Gerak
b. Menangkap.
3. Jiwa manusia dengan dua daya:
a. Praktis yang hubungannya adalah dengan badan.
b. Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak.
Sifat seorang manusia bergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa tumbuh-
tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan
dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika
jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat
dan dekat pada kesempurnaan.
Apabila jiwa telah mencapai kesempurnaannya, maka badan tidak diperlukan lagi bahkan
menjadi penghalang mewujudkan kesempurnaan. Sejalan dengan terpisahnya antara badan
denagn jiwa tersebut, maka jiwa manusia tidak mesti hancur dengan hancurnya badan. Tetapi
jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang yang terdapat dalam diri manusia, karena hanya
mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat fisik akan mati dengan matinya badan dan tak akan di
hidupkan kembali di akhirat. Balasannya u tuk kedua jiwa ini pun dicukupkan di dunia saja.
Berbeda dengan jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak akan dihidupkan kelak
di akhirat.
Untuk membedakan hakikat jiwa dan jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar
rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun atas
materi-materi sebagimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad
tidak membawa hancurnya jiwa (roh).
Menurut Ibn Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling
memengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan
syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad
yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau
adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.
c. Kenabian
Tahapan mistis ialah apabila jiwa sudah ketak berhinggaan, menjalin hubungan dengan
Intelek Aktif sehingga tak lagi perlu menjalani proses silogistik untuk bisa menangkap hal-hal
universal, tetapi cukup dengan intuisi. Ibn Sina mengibaratkan tahap ini sebagai tahap “profesi”
atau tahap berfungsinya “nalar suci”.
Tak pelak, ini metupakan puncak kemampuan intelek manusia, yang hanya ada pada para
filosof dan Nabi. Berkat kemampuan ini, seorang Nabi dapat mengetahui segala sesuatu secara
intuitif, mempersepsi aneka bentuk dan representasi audiovisual, mencandrakan masa depan dan
mempengaruhi peristiwa fisik secara ajaib (miraculously).6[6] Bagi Ibn Sina, nalar suci
termaksud tak lain dari sebentuk intelek habitual, yang mengerucut pada intelek capaian. Sifat
yang mencolok dari psikologi Ibn Sina adalah tatanan hierarkisnya, yang di dalamnya
kemampuan yang rendah selau patu pada kemampuan yang lebih tinggi. Maka dari itu,
pancaindra selalu patuh pada kemampuan batin, dan kemampuan batin selalu patuh pada
kemampuan rasional.
Pendapat Ibn Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal materil sebagai
yang terendah adakalanya di anugerahkan Tuhan kepada manusia akal materil yang besar lagi
kuat, oleh Ibn Sina dinamakan intuisis. Daya yang ada pada akal materi serupa ini begitu
besarnya sehingga tanpa melalui latihan, denagn mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif
dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai
sifat suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, yaitu bentuk akal yang ada
pada Nabi-nabi.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina memebagi manusia ke dalam
empat kelompok:
1) Mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian
rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia,
2) Mereka yang memiliki kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa
sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara
langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan masa akan datang dan
berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia,
6[6] Ibid. Hal. 206. Lihat juga Ibn Sina, Ahwal al-Nafs, hal. 1141
3) Mereka yang memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif,
4) Terakhir, adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis
mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi, yaitu
memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia
harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada
umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu sistem sosial-politik. Fungsi imajinasi
kenabian yang berupa lambang dan hidup ini ditekankan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, namun
oleh Ibn Sina hal itu lebih rinci lagi, bahwa sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan
menghidupkan pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan keterbatasan-
keterbatasan psikologi kita. Contoh kecilnya, jika kita lapar, imajinasi kita menyuguhkan di
hadapan kita imaji-imaji yang hidup tentang makan.
Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan akal nabi,
menimbulkan imaji-imaji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan
dirasakn oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya. Itulah sebabnya ia “melihat”
malaikat, dan “mendengar” suaranya. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam kitab-kitab suci
keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan
untuk mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spiritual. Dengan demikian,
wahtu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia beramal dan menjadi orang baik,
tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
d. Tasawuf
Mengenai tasawuf, menurut Ibn Sina tidak dimulai dengan Zuhud, beribah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi sebelumnya. Ia memulai
tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu
akan akan menerima ma’rifah dari Akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di hati manusia
tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi
melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu
tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia
mendapat sebahagiaan pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak
langsung keluar dari Allah, tetapi melalui Akal fa’al.
e. Hukum Sebab Musabab7[7]
Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai dengan sebab ini. mutakallimun
berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai akibat dari atau hasil dari tuhan yang bertindak
sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai istilah dalam bahasa arab yang artinya sama
dengan penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan, pembawaan kepada wujud dan lain–lain.
Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat rumah, rumah itu tidak ada, kalau rumah itu sudah ada
berarti rumah itu sudah tidak membutuhkan lagi wakil atau sebab untuk ada. Penciptaan alam
oleh tuhan berbeda dengan pembuatan sebuah rumah oleh arsitek:
a. Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil, sedangkan alam selamanya perlu wakil.
Sesudah dia diciptakan, ia butuh terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu. Dengan perkataan lain, sebab
mendahului perbuatan dalam segala perbuatan yang terjadi dalam alamTuhan adalah sebab yang
efisien dari alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang
antara sebab dan akibat, walaupun bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia berkata :
“kehendak adalah unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk dijelmakan oleh kehendak
dan bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan kehendaknya adalah sama”. Dalam bagian ini
ibnu sina berkata : “teranglah, bahwa dalam setiap makhluk terdapat suatu kehendak batin.
Kehendak batin ini dengan kebutuhannya menjadi sebab dari penciptanya. Setiap unsur ditemani
kehendak batin yang senantiasa kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian
ini menjadi bentuk filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang menolak gambaran
tuhan sebagai wakil sebab, memungkinkan orang tuk mempelajari pendiriannya tentang Tuhan
Maha Mengatur.
10[10] A. Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam persfektif islam (Bandung: Rosdakarya) hal.83
yang tak terjawab sebelumnya. Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Sina, seperti karya pemikiran dan
telaahnya di bidang kedokteran, tidak hanya tertuju pada dunia islam, tetapi merambah ke
dataran Eropa. Filsafat metafisika Ibn Sina adalah ringkasan dari tema-tema filsuf yang
kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Pengaruh dan kontribusi Ibn Sina tampak dalam sejarah filsafat abad pertengahan yang
menganggapnya sebagai yang unik dan memperoleh pengahargaan yang semakin tinggi hingga
masa modern. Keunikan Ibn Sina ini dibuktikan dengan kempuannya memengaruhi agama-
agama lain di abad pertengahan selain dunia Islam sendiri, seperti fenomena perumusan kembali
teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas
yang secara mendasar terpengaruh oleh Ibn Sina.11[11]
A. BIOGRAFI AL-GHAZALI
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu
Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.
Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir.Penisbatan
pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin
Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin
Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Namun, menurut Maulana Syibli Nu'mani, leluhur Abu Hamid Muhammad mempunyai usaha
pertenunan (ghazzal) dan karena itu dia melestarikan gelar keluarganya "Ghazzali" (penenun).
Julukannya adalah “Hujjatul Islam” (Bukti kebenaran agama Islam) dan Zayn Ad-Din (Perhiasan
agama).
B. KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Al-Ghazali dikenal sebagai sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu
multidisplin.Hampir semua aspek keagamaan dikajinya secra mendalam.Aktfitasnya bergumul
dengan ilmu pengetahuan berlangsung tidak pernah surut hingga ajal menjemputnya.Dalam
ranah keilmuan Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas keilmuan dan tingkat penerimaan
para ulama terhadapnya.
2. Bidang Tafsir
a. Jawahir al-Qur’an
b. Yaqut al-Ta’wil fi-Tafsir al-Tanzil
3. Bidang Aqidah
a. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, terbit di mesir
b. Al-ajwibah al-Ghazaliyah fi al-masail al-Ukrawiyah
c. Iljamu al-awam’an ‘Ilm al-Kalam
d. Al-Risalah al-Qudsiyah fi-Qawaid al-Aqaid
e. Aqidah ahl al-Sunnah
f. Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadlail al-Mustadzariyah
g. Faisal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah
h. Al-Qistash al-Mustaqim
i. Kimiyah al-Sa’adah
j. Al-Maqshid al-tsna fi ma’ani Asma’ Allah al-Husna
k. Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala man Ghayyara al-Injil
a. Misykah al-Anwar
b. Tahafut al-Falasifah
c. Risalah al-Thair
d. Mihak al-Nadzar fi al-Mantiq
e. Ma’ary al-Qudsi fi Madarij Ma’rifah al-Nafs
f. Mi’yar al-Ilmi
g. Al-Muthal fi Ilm al-Jidal
5. Bidang Tasawuf
a. Adab al-Shufiyah
b. Ihya ‘Ulumuddin
c. Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah
d. Al-Adab fi al-Din
e. Al Imla ‘an Asykal al-Ihya
f. Ayyuhal Walad
g. Al-Risalah al-Ladunniyah
h. Mizan al-Amal
i. Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
j. Minhaj al-Abidin ila al-Jannah
k. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadrah Alami al-Gaibi
Masih banyak lagi karya al-Ghazali lainnya, baik yang sudah dicetak dan diterbitkan, maupun
yang masih berbentuk manuskrip. Sedangkan di sisi lain ada ratusan karya yang dikategorikan
hasil karya al-Ghazali, dan tentunya hal ini masih diperdebatkan.
C. PEMIKIRAN Al-GHAZALI
Kerangka berpikir memandangan Al-Ghazali perlu ditelusuri secara komprehensif.
Pertama-tama, karena berfilsafat itu menggunakan logika (akal) dengan kajian analalisisnya
maka apa yang dimaksud dengan akal dan agaimana posisi akal. Inilah titil tolak Al-Ghazali
dalam memandang filsafat dan ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan
matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainya saling membutuhkan, kecuali orang-orang
yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran.
Mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada
bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali,
akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak
akan membawa suatuu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ibn Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf,
ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagianUzbekistan). Beliau
juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan
pengobatan.
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin
Ahmad al-Ghazali, bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir pada tahun 450 H/1058 M[13] di
Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di dekat Thus (Wilayah Khurasan), Iran. Ada
juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1056, 1050, 1059 M.
2. Saran
Makalah yang memuat pembahasan tentang Filsafat Ibn Sina da alghozali ini sangatlah
jauh dari kesempurnaan. Maka kami membutuhkan kritik dan saran atas kesempurnaan makalah
ini di masa yang akan datang. Makalah ini hanyalah sebatas tugas mata kuliah akan tetapi, insya
Allah dibalik semua ini ada manfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi semua pembaca.
Oleh karena itu, apa yang kami kutip dari berbagai literature buku, dan referensi lain,
kemungkinan besar masih belum sempurna apabila ditinjau dari cara mengambil
pemahamannya. Maka litertaur yang lain, sangatlah membantu untuk peningkatan makalah pada
tugas yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Dedi Supriadi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Ahmad Fuad Al-Ahwani. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Oemar Amin Hoesin. Filsafat Islam. Jakarta: Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1) —
Muslim.Or.Id by null
Asrorun Ni’am Sholeh. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Elsas, 2004 h. 42-45.
Supriyadi Dedi. Filsafat Islam. Pustaka Ceria. Bandung : 2009.
Sunarya Yaya. Pengantar Filsafat Islam. Arfino Raya. Jakarta : 2012
(makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam)