Anda di halaman 1dari 34

Hasil Diskusi

Workshop Pemetaan Implementasi


Rekam Kesehatan Elektronik
UC UGM, 13 Juni 2009

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Disusun oleh Tim:


Prodi Rekam Medis UGM

Program Studi D3 Rekam Medis Universitas Gadjah Mada


FMIPA UGM, Sekip Unit III Yogyakarta. Telp. 0274-7101249, Fax. 0274-546194

1
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah mengijinkan kami
menyelesaikan dokumen ini sebagai tindak lanjut dari diskusi tentang Pemetaan
Implementasi Rekam Kesehatan Elektronik pada tanggal 13 Juni 2009 lalu yang bertempat di
Gedung Pertemuan University Centre Universitas Gadjah Mada.

Kami merasa perlu melakukan kegiatan tersebut mengingat, kami sebagai


penyelenggara pendidikan perekam medis, memiliki kewajiban ikut serta dalam
menyumbangkan saran, ide, pendapat, pengetahuan serta melakukan kegiatan aktif yang
bermanfaat secara keilmuan, khususnya perihal rekam kesehatan elektronik.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada pihak-pihak yang telah mendukung, memberi masukan serta kerjasamanya dalam
mensukseskan kegiatan tersebut di atas :
1. Dekan FMIPA UGM
2. Kaprodi Ilmu Komputer FMIPA UGM
3. Ketua dan Pengurus DPD PORMIKI DIY
4. Pengelola Program S2 SIMKES FK UGM
5. Pengelola Program Magister Hukum Kesehatan UGM
6. Kepala Biro Hukum dan Koordinasi Depkes RI
7. Pimpinan dan Staf Dinas Kesehatan Prov. DIY
8. Kepala Instalasi Catatan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
9. Kepala Bidang Rekam Medis RS Bethesda Yogyakarta
10. Keperawatan RSU Banyumas
11. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo
12. Kepala Puskesmas Bayan, Purworejo
13. Staf dan Pengelola Prodi D3 Rekam Medis UGM
14. Mahasiswa Prodi D3 Rekam Medis UGM
15. Puskom UGM
16. University Center UGM

Tidak lupa juga kami mengucapkan beribu terima kasih atas kehadiran, masukan
serta dukungan secara personal dari :
1. Prof. dr. Budi Sampurna, SH
2. DR. Dra. Gemala Hatta, M.Kes
3. dr. Sunartini Hapsara, SpA(K), PhD (tidak bisa hadir karena berada di Korea)
4. dr. Rano Indradi Sudra, M.Kes
5. dr. Tridjoko Hadianto, DTM&H, M.Kes
6. dr. Kinik Darsono
7. Drs. Jazi Eko Istiyanto, MSc, PhD
ii
2
Semoga hasil diskusi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan rekam kesehatan
elektronik, khususnya dalam penyusunan peraturan tentang penyelenggaraan rekam
kesehatan elektronik di Indonesia. Dalam hal ini dokumen hasil diskusi ini kami sampaikan
kepada Biro Hukum dan Koordinasi Depkes RI untuk segera ditindaklanjuti dan kami
mewakili penyelenggara pendidikan tenaga perekam medis akan selalu terbuka dan
mendukung upaya peningkatan pengetahuan dan implementasinya di lapangan, baik dalam
berupa pemikiran maupun teknis kegiatan.

Demikian prakata ini kami sampaikan. Semoga apa yang menjadi maksud dan tujuan
kami di sini dapat menjadi inspirasi positif dan disambut baik oleh semua pihak yang
berminat akan pengembangan bidang rekam kesehatan elektronik.

Terima kasih.

Yogyakarta, September 2009


Pengelola Prodi Rekam Medis UGM

iii

3
DAFTAR ISI

JUDUL SAMPUL ................................................................................ i


PRAKATA ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
KEGIATAN ......................................................................................... 3
PELAKSANAAN KEGIATAN ............................................................ 3
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN ....................................... 6
CATATAN DISKUSI ......................................................................... 7
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................... 22
KESEPAKATAN HASIL DISKUSI .................................................... 30
LAMPIRAN ........................................................................................... 31

iv

4
PENDAHULUAN

Rekam kesehatan elektronik (RKE) merupakan pengelolaan informasi


kesehatan yang berbasis komputer terhadap status kesehatan dan pelayanan
kesehatan sepanjang hidup seorang individu, yang merupakan generasi terkini
penyelenggaraan rekam medis disesuaikan dengan perkembangan teknologi.

Penggunaan Teknologi informasi pada segala aspek kehidupan akan


mempengaruhi bentuk layanan di dalam rekam medis, yang sekarang semakin
marak, namun dampak manfaatnya belum dapat dirasakan, baik oleh fasilitas
pelayanan kesehatan sendiri maupun masyarakat karena pelaksanaan rekam
kesehatan elektronik terkesan dipaksakan, tidak sesuai dengan kondisi yang
ada. Hal yang sangat penting dipikirkan, jika RKE perlu diterapkan, maka
sejauh mana penerapannya memberikan kontribusi yang lebih baik pada
layanan rekam medis, di samping kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi.

Selain itu, perlu dipikirkan bagaimana regulasi yang harus dipenuhi


agar tercipta koridor yang tepat untuk berjalannya arah perkembangan rekam
kesehatan elektronik di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya pemetaan
kondisi aktual penerapan RKE agar pemanfaatan dan perkembangan Rekam
Kesehatan Elektronik lebih optimal.

Mengingat pentingnya hal tersebut di atas, maka Program Studi Rekam


Medis Universitas Gadjah Mada, sebagai penyelenggara pendidikan tenaga
perekam medis merasa sangat perlu mendukung dan ikut berperan dalam
perkembangan RKE di Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan memfasilitasi
pertemuan dalam rangka mengidentifikasi kondisi aktual penerapan RKE di

1
lapangan dengan mengundang pelaku pelayanan kesehatan yang telah
menggunakan dan memiliki perhatian terhadap perkembangan RKE ini. Agar
hasil pertemuan ini dapat ditindaklanjuti dengan nyata, khususnya dalam hal
regulasi untuk pelaksanaan RKE di sarana pelayanan kesehatan, maka juga
dihadirkan dari pihak Departemen Kesehatan RI, khususnya Biro Hukum dan
Organisasi (Hukor).

2
KEGIATAN

Pertemuan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap masalah RKE ini


diwujudkan dalam bentuk workshop yang ditujukan untuk menjaring masukan
tentang kebutuhan infrastruktur dalam penerapan RKE dan hal-hal apa saja yang
dapat dilakukan para peminat ataupun yang terlibat dalam perihal RKE di
Indonesia. Diharapkan hasil workshop ini akan saling memberikan masukan dari
dan untuk masing-masing pihak yang hadir, oleh karena itu pertemuan ini disusun
dalam bentuk diskusi agar tujuan tersebut tercapai secara maksimal dan hasil-hasil
pembicaraan dalam diskusi akan dirumuskan menjadi suatu rekomendasi,
khususnya kepada pihak Biro Hukor Depkes guna menindaklanjuti penyusunan
regulasi RKE.

PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Program Studi D3 Rekam Medis
Universitas Gadjah Mada yang bekerjasama dengan organisasi profesi perekam
medis yaitu DPD PORMIKI DIY, didukung oleh Program Ilmu Komputer FMIPA
UGM, Program S2 SIMKES FK UGM serta Magister Hukum Kesehatan UGM dan
mendapatkan perhatian khusus dari para individu pemerhati masalah RKE yaitu dr.
Tridjoko Hadianto, DTM&H, M.Kes, Anis Fuad, DEA, dr. Sunartini Hapsara,
SpA(K), PhD, dr. Rano Indradi Sudra, M.Kes, dr. Arida Oetami, M.Kes, dr. Wahyudi
Istiono, M.Kes, Nur Rokhman, S.Si, M.Kom. Adapun pelaksanaan kegiatan ini dapat
disampaikan sebagai berikut:
Nama Kegiatan : Workshop “Pemetaan Materi Implementasi Rekam Kesehatan
Elektronik”
Jadwal : Sabtu, 13 Juni 2009 (jam 13.00 – 17.00)

3
Tempat : Meeting Room, Gadjah Mada University Club, Bulaksumur,
Yogyakarta
Peserta Hadir :
1. Prof. dr. Budi Sampurna, SH, Sp.F, Sp.KP (Biro Hukor Depkes RI)
2. DR. Dra. Gemala Hatta, MRA, M.Kes (Pakar Rekam Medis)
3. Drs. Jazi Eko Istiyanto, M.Sc., PhD (FMIPA UGM)
4. dr. Rano Indradi Sudra, M.Kes (Pemerhati RKE/Rano Center)
5. Sis Wuryanto, A.MdPerKes, SKM (Praktisi Rekam Medis RS Bethesda
Yogyakarta)
6. Eddy Kristiyono, A.MdPerKes, SKM (Ketua DPD PORMIKI DIY)
7. dr. Arida Oetami, M.Kes (mewakili Dinas Kesehatan Prov. DIY)
8. Harno, SKM (mewakili Pusat Data dan Informasi Dinas Kesehatan Prov.
DIY)
9. drg. Suryono, SH, PhD (Magister Hukum Kesehatan UGM)
10. drg. Soetomo Nawawi, DPH Dent, Sp.Perio(K) (Magister Hukum
Kesehatan UGM)
11. dr. Wahyudi Istiono, M.Kes (FK UGM)
12. Nur Rokhman, S.Si, M.Kom (Ketua Prodi Ilmu Komputer FMIPA UGM)
13. Drs. Medi, M.Kom (Prodi Rekam Medis UGM)
14. dr. Endang Suparniati, M.Kes (Kepala Instalasi Catatan Medis RS DR.
Sardjito Yogyakarta)
15. Jason, S.Kep (mewakili RSUD Banyumas)
16. dr. Cynthiawati Wijono (Kepala Puskesmas Bayan, Purworejo)

Pemandu Diskusi : dr. Tridjoko Hadiyanto, DTMH, M.Kes.


Topik Bahasan :
I : Ruang Lingkup Pelaksanaan RKE di Sarana Pelayanan Kesehatan
II : Kebutuhan Infrastruktur untuk Penerapan RKE
III : Arah Perkembangan RKE

4
Panduan Diskusi :
Materi Pembahasan Durasi
A. Pembuka 5’
B. Topik bahasan pertama : Ruang lingkup perkembangan Rekam Kesehatan
Elektronik (RKE) pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
1. Sudah sejauh manakah implementasi RKE saat ini? 25’
2. Apa saja fungsi RKE di organisasi dan bagaimana peran rekam kesehatan yang
berbasis kertas dengan adanya penerapan RKE? 25’
3. Diskusi 25’
C. Topik bahasan kedua : Kebutuhan infrastruktur untuk penerapan Rekam
Kesehatan Elektronik dari aspek : Organisasi, Manajemen, User, Regulasi
serta aspek Teknis.
1. Apa saja infrastruktur yang diperlukan dalam penerapan sistem tersebut baik
kualitas maupun kuantitas. Bagaimana peran aspek sosial (kesiapan organisasi dan
struktur, SDM, leadership, knowledge management, finansial, regulasi internal,
dsb) dalam organisasi?; 25’
2. Apa kebutuhan aspek teknis (perangkat komputer, jaringan, aplikasi software, dsb)
yang diperlukan? 25’
3. Diskusi 25’
D. Topik bahasan ketiga : Arah perkembangan RKE pada pelayanan
kesehatan di Indonesia.
1. Apa saja kendala dan hambatan yang masih harus diatasi dalam pelaksanaan 25’
pelayanan kesehatan dengan RKE?;
2. Apa rencana provider kesehatan dalam beberapa tahun ke depan untuk
memelihara dan meningkatkan implementasi RKE yang mereka jalankan?; 25’
3. Bagaimana peran lembaga pemerintah dan asosiasi profesi dalam perkembangan
RKE, khususnya regulasi eksternal pelaksanaan RKE di Indonesia? 25’
4. Diskusi 25’
E. Penutup 5’

Tim Pelaksana Teknis :


1. Dra. Rawi Miharti (D3 Rekam Medis UGM)

5
2. Nuryati, A.Md, S.Far (D3 Rekam Medis UGM)
3. Savitri Citra Budi, A.Md, SKM (D3 Rekam Medis UGM)
4. Bokari, A.Md (D3 Rekam Medis UGM)
5. Susanto (D3 Rekam Medis UGM)
6. Ibnu Mardiyoko, A.Md, SKM (PORMIKI)
7. Agung Dwi Saputro, A.Md (PORMIKI)
8. Sugeng, A.Md (PORMIKI)
9. Mahasiswa D3 Rekam Medis UGM

Alamat Sekretariat Penyelenggara :


Sekretariat D3 Rekam Medis UGM, Gedung FMIPA UGM (Selatan), Sekip Unit III
Yogyakarta. Telpon (0274) 7101249 / Email : d3rekammedisugm@yahoo.com

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN


Secara umum pelaksanaan workshop RKE ini berjalan dengan baik dan
lancar, khususnya diskusi yang berkembang telah memberikan masukan-masukan
yang bagus dan penting. Dari segi waktu, juga berjalan dengan efisien karena
diskusi benar-benar dipandu pada permasalahan yang terfokus. Hasil dari workshop
ini disusun dalam bentuk berkas dan akan dikirim kepada masing-masing peserta
untuk menjadi dokumen (arsip).

CATATAN DISKUSI

6
Notulen Diskusi Workshop Pemetaan Materi Implementasi Rekam Kesehatan Elektronik
bertempat di Gedung University Center UGM Yogyakarta pada hari Sabtu 13 Juni 2009 :

Pemandu Diskusi:
Tujuan diskusi adalah menjaring saran, pendapat, pandangan serta pengalaman dalam
penerapan RKE guna memberikan masukan kepada Depkes guna merumuskan peraturan
mengenai RKE di Indonesia.

Prof. Budi Sampurna (Depkes RI):


Dari sisi Depkes harapan dari pertemuan ini adalah ingin memperoleh persyaratan-
persyaratan apa yang seharusnya dibutuhkan dalam penerapan RKE, sehingga dapat dibuat
menjadi suatu norma dalam bentuk Permenkes.
Selain itu juga diharapkan mendapat banyak masukan tentang apa saja teknis yang
diperlukan, kemudian akan dibuatkan normanya, lalu mengundang bapak /ibu untuk
membahasnya pada tahap kedua dengan mengadakan pertemuan di Jakarta.
Akan ada draft dan dibahas lagi diantara kita, lalu diperluas lagi dibahas pada forum yang
besar.

Pemandu:
Hari ini kita menjaring, walaupun kita sudah mengetahui bahwa RKE ini juga harus gayut
(berkaitan) dengan UU ITE dan Permenkes 269/2008. Pada aturan tersebut sudah
disebutkan tentang RKE, tetapi belum jelas benar. Ini yang harus dipikirkan dalam forum
sekarang ini.
Ini ada bahan dari Subdit Keterapian Fisik (bahan berupa naskah/buku : Draft Rancangan
Rekam Kesehatan Elektronik (RKE) yang dikeluarkan oleh SubDit Keterapian Fisik
Direktorat Keperawatan dan Keteknisian Medik, Dirjen Yan Medik, Depkes RI)
Tetapi ini rancangannya, dan kita perlu untuk aturannya. Bahan ini bisa menjadi pedoman
dalam membicarakan apa saja yang harus ada dalam aturan tentang RKE.

DR. Gemala Hatta (KKI):


Bahan tersebut baru berupa preambul (belum tuntas selesai benar) mengingat pada setelah
tahun 2004, terjadi reorganisasi di Depkes RI, sehingga pembahasan tentang hal tersebut
terhenti.
Yang penting disini, bahwa dalam membuat suatu konsep (RKE), maka SDM harus
disiapkan terlebih dulu, SDM itu harus mengerti ini RKE mau menuju kemana.

Dalam draft rancangan RKE tersebut disampaikan 10 point persyaratan format RKE yang
harus dibuat, yaitu :

1. Isi rekaman 6. Dasar podoman klinik


2. Format rekaman 7. Kemampuan Pelaporan
3. Sistem kinerja 24 jam 8. Standar Laporan Klinis
4. Keterkaitan dengan SIM RS 9. Pengawasan dan Akses
5. Kecerdasan komputer 10. Pelatihan dan implementasi
7
Dalam penerapan RKE di lapangan, orang tidak mengerti harus membuat apa, dan juga
belum ada aturan dari Depkes.

Maka draf tersebut mengawali kerja besar ini. Sepuluh hal di atas harus dibicarakan bersama
dalam rangka membentuk fondasi untuk penerapan RKE. Bila ini belum diketahui oleh SDM
di lapangan, akan aneh bila kita membuat peraturannya.

Oleh karena itu, dalam merumuskan suatu peraturan, harus jelas terlebih dulu itu aturan
untuk siapa? Untuk masyarakat, atau untuk Depkes dalam melindungi berbagai pihak.
Dalam penerapan RKE banyak pihak yang terlibat, ada pasien, SDM yg melalukannya,
instansi kesehatan, dan lain sebagainya begitu luas.

Jadi ini kerja besar, apa yang terlebih dahulu akan dibahas ditentukan, sehingga jelas apa
yang harus dibuat. SDM harus mengerti ini, oleh karena itu peran pendidikan yang harus
membentuk kompetensi mereka agar siap menghadapi perkembangan RKE ini.

Selain itu, di Indonesia belum ada rumah sakit yang sudah pas dalam mengimplementasi
RKE. Sekarang RKE ini ada begitu banyak paparannya, sehingga di lapangan menjadi sulit,
sistem yang mana yang perlu dibuat, dan untuk siapa? Sistem yang bagaimana? Sistem
untuk praktisi-kah? Untuk negara-kah? Untuk para pengambil kebijakan-kah?

Dengan demikian, hati-hati dalam membuat peraturan. Oleh karena itu, benahi terlebih
dahulu di lapangan, diayomi dengan standar profesi RKE, baru kemudian membuat
aturannya.

Pemandu:
Pada kenyataannya sekarang ini di lapangan sudah ada rumah sakit maupun puskesmas
yang menerapkan RKE. Bagaimana pendapat dari mereka, kita simak dari rumah sakit dan
puskesmas yang wakilnya telah hadir di forum ini.

Jason, S.Kep (RSU Banyumas):


Penerapan RKE di Banyumas yang sudah diterapkan dan sudah berjalan baik adalah di
keperawatan, untuk yang rekam medis meskipun sudah 4 kali revisi, namun sistemnya
belum bisa bejalan. Di keperawatan bisa berjalan, dengan modal nekad karena ada
kesadaran bahwa profesi perawat belum banyak diperhitungkan, walaupun ada yaitu bila
dalam suatu kasus maka hal tersebut hanya sebagai data pendukung, sehingga kami berani
mengaplikasikan RKE itu. Untuk bagian lain juga sudah dibuat, tetapi belum bisa
sepenuhnya berjalan.

Anis Fuad, DEA (S2 SIMKES FK UGM):


Pertama, masalah pengembangan kemampuan SDM, yang dimaksud dengan SDM harus
seluruh pihak, tidak hanya perekam medis, tapi juga dokter, perawat, tenaga kesehatan
lainnya, dan ini terkait pada pendidikan tenaga kesehatan. Implikasinya, fakultas
kedokteran harus mempersiapkan lulusan dokter yang lebih apresiatif terhadap RKE, juga
sekolah perawat, rekam medis dan tenaga kesehatan lainnya.

8
Kedua, adanya kondisi di lapangan yang bervariasi, seperti di RSU Banyumas, ada inovator
yang kuat di lapangan dan RKE bisa berjalan justru karena merasa inferior terhadap dokter.
Oleh karena itu, diskripsi tentang RKE juga termasuk domain dokumentasi keperawatan.
Jadi meskipun belum masuk ke wilayah medis, tetapi ini sudah bisa disebut RKE, sehingga
bisa mengakomodasi bagi siapa saja yang akan mengembangkan RKE hanya untuk perawat
saja.

Ketiga, setuju bahwa pengembangan RKE memerlukan suatu proses sangat panjang. Oleh
karena itu, kiranya kita perlu berorientasi pada proses, artinya melihat inputnya seperti apa.
Misalnya, di Purworejo yang sudah jalan, tentu tidak sendirian, tidak bisa kemudian dibawa
ke tempat lain dan langsung bisa jadi dan jalan. Ada inputnya yang perlu dilihat dan
berbeda di setiap tempat seperti faktor leadership, siapa kepala puskesmasnya, siapa “orang
gila”nya, dan peran siapa SDM yang lain yang kuat. Prosesnya jangka panjang tidak
langsung jadi.

Selain itu, standar memang penting, tapi implementasi praktis di lapangan akan terlalu jauh
untuk peraturan sampai ke standar. Karena apa? standar terus berubah, mengingat RKE
dibuat berbasis teknologi yang sifatnya cepat dan terus berubah. Tiga tahun lalu ada HL7
(standar data medis, pertukaran data elektronik), tetapi sekarang Google sudah
menggunakan CCR (continuity of care record) dan sudah banyak yg mengadopsi. Jadi, perihal
standar dalam peraturan, disebutkan saja standar apa saja yang bisa digunakan, tetapi tidak
perlu secara teknis masuk ke dalam peraturan.

Isu yang penting justru tentang terminologi medis. Sangat bagus bila sekarang ada
pertemuan untuk membahas mengenai bagaimana kita mengadopsi terminologi medis yang
sudah ada di National Laboratorium of Medicine. Spt negara tetangga kita sudah
menggunakan SNOWMED. Kita menggunakan ICD sebagai kodefikasi diagnosis, tetapi
komponen RKE tidak hanya diagnosis, tetapi juga sign, simptom, NICNOC yg dipakai di
keperawatan, jadi yang berkaitan dengan terminologi medis ini bisa diperluas sehingga kita
tahu cakupannya.

Selanjutnya, kita membuat klasifikasi RKE. Misalnya puskesmas dengan single komputer
yang stand-alone, kegiatannya adalah memasukkan data ke komputer tersebut. Ini bisa
disebut RKE walaupun datanya adalah diagnosis sederhana. Nah, ini merupakan klasifikasi
apa, puskesmas yang seperti apa. Lalu juga puskesmas yang sudah mulai menjalankan
sistem LAN, ini diklasifikasikan apa. Klasifikasi ini keterkaitannya dengan infrastruktur, apa
saja data yang dimasukkan, hingga level yang tinggi seperti personal health records.

Dr. Endang Suparniati, M.Kes (RSUP DR. Sardjito):


Saat ini RS Sardjito belum sampai pada RKE sebagaimana telah dibicarakan tadi. Yang
dilakukan baru tahap entry-data (identitas pasien, morbiditas, dan laporan-laporan). Namun
sudah dapat digunakan untuk pembuatan laporan rutin RL yang sudah bisa mengambil
data langsung dari situ. Data untuk laporan-laporan rutin untuk manajemen, pihak
eksternal, dan untuk penelitian juga bisa diakses dari situ walau hanya print-outnya atau
secara manual. Selain itu juga sudah menggunakan sistem itu untuk klaim jamkesmas,
sehubungan dengan penerapan INA DRGs di RS Sardjito.

9
Untuk infrastruktur seperti hardware dan software, kami melakukan KSO mengingat pihak
manajemen lebih fokus pada pelayanan kepada pasien, dan untuk IT yang bukan core-
business tapi sangat mendukung akan berhubungan dengan biaya. Dari sisi SDM IT yang
berjumlah 10 orang, RS Sardjito belum memungkinkan untuk mengembangkan sendiri, bila
harus membeli juga tidak mungkin, sehingga diputuskan menggunakan KSO.

Untuk RKE baru akan mulai dikembangkan di dua poli yaitu Obsgyn dan Kulit&Kelamin
karena para dokternya sudah punya semangat untuk membangun ini. Pihak Direksi
menyiapkan untuk ini, tetapi ada kendala yaitu belum ada kesamaan pandangan antara
vendor dan dokter/tenaga kesehatan. Selain itu pihak dokter juga masih ragu akan
keamanan dan kerahasiaan data, juga masih ada pertanyaan bagaimana dengan hak
patennya bila dijiplak oleh rumah sakit lain. Tahun 2009 merupakan pilot projek di dua unit
itu dan 2010 harapannya sudah semua poli menggunakan.

Dr. Cynthiawati (Puskesmas Bayan):


Di Purworejo ada 27 puskesmas. Dua puluh puskesmas (80%) sudah menjalankan RKE
dengan kondisi variatif dari berjalan cepat hingga stagnan. Rata-rata sudah memiliki >4
komputer online.
Puskesmas Bayan memiliki 7 komputer online yang berada di masing-masing ruangan di
loket, ruang obat, ruang periksa umum, ruang periksa gigi, ruang KIA, ruang kepala dan
ruang TU yang bisa dipakai bersama-sama. Puskesmas Bayan tidak memiliki petugas entry
khusus, prinsipnya semua staf harus bisa entry data, sehingga tidak mengandalkan satu
orang. Rata-rata kunjungan sebulan 2400-2600 pasien (termasuk mobile unit, pustu, PKB)
sehingga RKE ini sangat terbantu, namun kendalanya apabila listrik mati, maka akan banyak
data yang menumpuk tidak bisa di-entry.

Komputer antar ruangan ini online karena diharapkan tidak ada data yang hilang. Kami
berusaha meninggalkan sistem manual/kertas, walaupun masih ragu karena sistem ini
masih banyak kendalanya, seperti listrik mati atau erorr. Bila di back-up dengan sistem
manual register, maka sistem ini malah merepotkan. Bila tidak ada kendala, semua
pelayanan bisa paperless.
Ini sudah dijalankan selama >1 tahun. Kendalanya adalah soal attitude (perilaku) yaitu
adanya perbedaan persepsi antara user: dokter-perawat, antar dokter, dengan yang lain.
Lalu masalah leadership, bila ganti kepala puskesmas, maka berbeda cara dan jalannya. Ada
yang komitmen tinggi, ada yang setengah hati. Kuncinya adalah komitmen dari kapus. SDM
yang mengusai sistem juga masih kurang, termasuk di Dinas Kesehatan. Oleh karena itu,
fondasi perlu diperkuat, analisa SWOT perlu dilakukan, apakah RKE sudah waktunya untuk
dipakai.
Keuntugan penerapan RKE di puskesmas adalah menghindari salah baca dan pelayanan
pasien bisa lebih cepat. Namun masih harus banyak berbenah mengingat kendala masih
sering terjadi.

Sis Wuryanto, A.MdPerKes, SKM (RS Bethesda Yogyakarta):


RSB belum menerapkan RKE, baru mulai dengan sistem online utk bangsal dan poliklinik
bulan Pebruari kemarin. Data kuantitas pada pendaftaran, biling, dan pelaporan2.Untuk
yang medis, baru untuk entry resep. RKE belum bisa diterapkan di RSB karena belum
menemukan format RKE yang pas.

10
Eddy Kristiyono, A.MdPerKes, SKM (DPD PORMIKI DIY):
Harapan PORMIKI, penyiapan SDM dari berbagai profesi kesehatan yang diperlukan dalam
pengembangan RKE.
Sekarang sudah banyak yang menerapkan secara sendiri-sendiri mengingat beberapa pihak
sudah sangat ingin (perlu) menggunakan RKE ini.
Hal penting dalam penerapan RKE adalah sistem pengaman data. Bila komputer hilang,
maka datanya juga hilang. Maka perlu dipikirkan tentang keamanan data.

Harno, SKM (Yan infokes - Dinkes Prov. DIY):


RKE di Provinsi DIY ini masih dalam uji coba dalam hal pelaporan dari rumah sakit. Yang
berjalan baru di RSUD Sleman yangmana dari masing-masing poli sudah online dengan
jaringan. RS swasta, pada awalnya lancar, namun setelah makin banyak data yang masuk,
jaringan menjadi lambat. Kendala juga terjadi saat ada penggantian tenaga baru yang harus
mempelajari terlebih dahulu sistem yang digunakan. Kendala hardware juga masih banyak
terjadi. Di Dinas Kesehatan sendiri sistem pelaporan dari rumah sakit masih manual dan ke
depan akan dibuat sistem yang terkomputerisasi agar lebih cepat-mudah dalam menyususn
atau menerima pelaporan dari rumah sakit.

Dr. Rano Indradi Sudra, M.Kes :


Saya lebih menekankan pada kata “kesepakatan” daripada “peraturan”.
(menayangkan peta tentang kebutuhan “kesepakatan” untuk pengembangan RKE)

Untuk operating system nanti silahkan ditentukan apakah memakai windows atau yang
lain. Yang penting untuk segi originalitas dan legalitas OS baik opensource ataupun tidak/
free harus juga dipikirkan, baik untuk penggunaan sekarang maupun ke depan. Sebaiknya
pakai yang original agar kita tetap menghargai HAKI.

Untuk kerahasiaan perlu adanya Smart internal check yaitu sistem warning (peringatan) agar
lebih akurat, misalnya ada peringatan bahwa pasien alergi obat tertentu. Selain itu ada
sistem downtime, ada saatnya sistem harus down (terhenti sementara) kemudian sistem lock-
off yaitu jika vakum maka sistem otomatis terkunci sehingga komputer tidak
11
di(salah)gunakan oleh orang lain pada saat ditinggal sementara oleh si empunya. Ini juga
harus dipikirkan.
Juga harus dipikirkan bagaimana akses untuk pasien. Karena pasien juga punya hak akses
tentang data kesehatannya, baik manual maupun elektronik.
Fitur penunjang RKE, yang pertama RKE harus menjadikan datanya komplit dan akurat.
Bila ada item yang tidak diisi, maka tidak bisa di-save sehingga mewajibkan item tersebut
diisi. Selain komplit juga akurat, misalnya umur 2 tahun, item pekerjaan diisi : PNS, atau
tinggi badan pasien : 999cm, maka sistem tidak bisa di-save. Inilah perlunya smart system
internal check sehingga data bisa tersimpan secara komplit dan akurat. Fitur reminder dan
alert sebagaimana telah dijelaskan tadi adalah untuk warning tentang alergi obat, dsb. Lalu
dari sistem ini juga dokter bisa mengetahui ada hasil lab pasien yang sudah bisa dilihat.
Fitur knowledge based link adalah sistem dapat memberikan informasi pelengkap.

Hal lain yang perlu disepakati adalah tentang simbol-simbol, peristilahan dan singkatan-
singkatan yang di lapangan masih simpangsiur, ini tentu bisa menimbulkan kesalahan
informasi atau kesalahan order. Juga perlu disepakati kode-kode untuk kode dokter, kode
obat, kode alat, kode area, dan Depkes sudah mengeluarkan, ini kita kaitkan dengan RKE,
rasanya ini perlu kita bicarakan dan mungkin kita tidak perlu lagi membuat kode-kode yang
baru.

Lalu format data juga perlu disepakati, tentang data teks, data suara, data movie, data
presentasi, ini dalam bentuk seperti apa. Bila mengcopy file dengan format yang berbeda
atau tidak kompetibel, tidak akan bisa dibuka, bagaimana nanti bila dengan RKE. Lalu
sistem komunikasi data, juga bisa menggunakan dengan yang sudah ada sekarang seperti
USB, infrared, bluetooth, dsb, rasanya kita tidak perlu melarang, tetapi mengarahkan mana
yang disarankan. Secara teknologi mungkin data hasil lab bisa langsung disampaikan
melalui sms kepada dokternya, tetapi secara aturan bagaimana? Ini berkaitan dengan
penggunaan informasi dalam RKE. Jadi, walaupun secara teknis bisa dilakukan, tetapi
secara aturan kiranya kita perlu pikirkan dan sepakatkan.

Aspek yang sering terlupa adalah aspek manajemen dari RKE, rumah sakit “berlomba-
lomba” membangun RKE, tetapi lupa membangun basis manajemennya yaitu membuat
kesepakatan-kesepakatan dengan petugas yang ditunjuk, vendor, tenaga kesehatan, pasien,
form-formnya, pihak asuransi, sehingga jelas siapa yang memasukkan data, siapa yang
mengambil data, dsb. Selain kesepakatan-kesepakatan tadi juga perlu dibuat kebijakan dan
protap untuk menjalankan RKE.

Lingkup RKE di sini dari perekaman data, penyimpanan data sampai pemusnahan
dokumen. Untuk keamanan data, kita perlu sepakati perihal otentikasi, otorisasi, integriti
sampai sistem back-up data. Misalnya dalam aturan perlu disampaikan bahwa wajib
melakukan back-up data yang disimpan secara terpisah (di tempat lain atau di gedung lain)
sehingga bila terjadi sesuatu seperti kebakaran, tidak semuanya musnah, back-up data akan
sia-sia. RKE juga bisa terkena bencana (banjir, tersambar petir, gempa, dicuri, mati lampu,
dsb) maka juga harus dipikirkan bagaimana bila hal ini terjadi, apa yang harus dilakukan?
perlu juga dibuat aturan yang merupakan kesepakatan bersama untuk menanganinya.

Saat inipun yang sudah dilakukan merupakan komunikasi data elektronik, seperti
pengirman fax yang berisi hasil lab, konsultasi, lalu pengiriman mms atau sms ke HP/PDA
12
dokter, dsb. Bagaimana bila HP/PDA-nya hilang, dicuri, bagaimana keamanan datanya,
bagaimana kerahasiaan datanya, dsb, ini perlu diatur dan dipikirkan bersama.

DR. Gemala Hatta:


Data RKE meliputi dokumen tulisan, gambar, rekaman suara, video, dsb (menayangkan
gambar “EHR data types and their sources” Deborah Kohn, 2002)

Petikan dari buku Deborah Kohn yaitu tipe data RKE dan sumber-sumbernya, titik
tengahnya adalah pasien, jadi data itu diambil dari pasien, dan ini hanya bisa diterapkan bila
ada dana dan kebutuhan. Dari seorang pasien bisa didapat banyak sekali informasi yang
dihasilkan, dan informasi itu dalam bentuk tulisan (note/catatan), bisa juga data bentuk
descrete dan data terstruktur, dsb. Data yang banyak sekali ini bersumber dari isian item
yang ditulis oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Jadi harus terisi lengkap, baru
informasi itu lengkap. Tetapi yang terjadi sekarang ini, dari penelitian berkas rekam medis,
banyak item yang tidak diisi. Salah satu sebabnya tidak ada waktu untuk mengisinya.
Kendala kekurangan tenaga, dan begitu banyaknya formulir yang harus ditulis
mengakibatkan habisnya waktu tenaga kesehatan hanya untuk melengkapi berkas.
Akibatnya yang diisi hanya yang dianggap penting saja, tentu informasinya menjadi tidak
lengkap. Untuk rumah sakit pendidikan, hal ini tidak boleh terjadi mengingat data atau
informasi apapun sangat diperlukan dalam kegiatan pendidikan dan penelitian.

13
Kita lihat bagan lagi, yang diambil dari pasien ada data gambar, data video, data sound,
semua itu merupakan rekaman yang penting. Tidak hanya data lab atau forensik, tetapi
sekarang rekaman itu perlu. Misalnya kasus TKW atau Manohara yang melapor dianiaya,
maka yang menjadi bukti adalah rekaman foto luka-luka atau memar-memar yang ada pada
anggota badannya. Bahkan bila ada seseorang tertembak, proyektil yang ditemukan juga
merupakan bukti. Jadi dari satu sumber seorang pasien makin lama dunia ini makin banyak
membuat klasifikasi.

Jadi semua tipe data pada bagan tersebut merupakan tugas rekaman yang harus ada pada
RKE. Lalu untuk membuat Permenkes berdasarkan apa? Bila menurut bagan ini, memang
profesi mengharuskan, siapapun yang melakukan rekaman harus melakukan hal ini dan
misalnya bisa di-back-up dengan Permenkes. Jadi bila vendor menjual barang dengan
macam-macam spek yang harus dipilih, rasanya ini bukan urusannya Depkes tetapi
Depkominfo. Jika paket radiologi yang diberikan kepada RS Sardjito, syaratnya harus ini-itu,
ini betul tugasnya Depkes karena di Depkes ada instalasi pelayanan kesehatan. Oleh karena
itu kita harus sangat hati-hati, mana yang menjadi tugasnya Depkominfo, mana yang
Depkes.

Saya menjelaskan konsep (bagan) ini menambahkan konsep yang telah disampaikan oleh
pak Rano, dan ini akan terus berkembang, bisa berubah. Sekarang ini tahun 2009, sementara
konsep itu dibuat tahun 2002. Oleh karena itu perlu dibicarakan mana saja yang masuk
dalam Permenkes, agar isi Permenkes tidak hanya untuk orang yang tahu MIK (Manajemen
Informasi Kesehatan) tetapi juga oleh para direktur rumah sakit dan orang-orang yang
terlibat di dalam RKE nantinya. Harapan saya, ini dapat diangkat menjadi seminar nasional,
pemicunya adalah pertemuan di Jogja ini, dibawa ke pusat (Depkes) dan juga melibatkan
para profesi kesehatan lainnya.

Pemandu :
Disini sebenarnya kita juga mengundang IDI, tetapi tidak hadir. Memang sebaiknya semua
yang mencatat rekaman harus dilibatkan dalam pembicaraan seperti ini.

Anis Fuad, DEA :


Tentang tugas Depkominfo tadi. UU ITE penjelasan pasal 10 menyebutkan tentang sertifikasi
yaitu bukti keandalan tentang produk. Untuk ini PP-nya belum ada. Saya kira hasil diskusi
ini bisa jadi masukan bahwa UU ITE harus membuat sertifikasi untuk RKE. Depkes tidak
bisa membuat sertifikasi, karena sertifikasi adalah wewenangnya Depkominfo. Contoh
CCHIT yaitu lembaga independen Amerika yang membuat sertifikasi khusus untuk RKE.
Tetapi ada aturan-aturannya. Nanti untuk sertifikasi RKE dibuatkan PP karena sudah ada
payung hukumnya yaitu UU ITE.

Pemandu :
Setuju. Hal ini akan kita sampaikan kepada pihak Depkes untuk mengadvokasi ke
Depkominfo ke arah ini.

Jazi Eko Istiyanto, PhD :


Yang menarik tadi adalah end-user computing, rasanya bila dibuat oleh dokter sendiri
hasilnya lebih sukses daripada dibuatkan karena sesuai dengan apa yang diinginkan.

14
Saya juga sepakat adanya standar layanan (berdasarkan tipe rumah sakit), sehingga bisa
tahu apa yang menjadi prioritas untuk dilakukan.

Masalah KSO, lalu siapa pemilik datanya. Bila menggunakan sms, sms gateway dengan quick-
count sehingga provider tidak memiliki datanya.

Dr Kinik Darsono (RSU Sragen):


RSUD Sragen untuk telemedis sudah jalan, persoalannya ketika akan membangun rekam
medis elektronik, terhambat karena kami takut apakah hal itu sudah ada payung
hukumnya? Justru menurut saya, yang penting adalah hukum atau aturan yang akan kita
buat ini pada tahap awal sebagai pendorong dilakukannya RKE. Karena di lapangan
keinginan menggunakan RKE sudah banyak, tetapi takut untuk berpindah dari masa jaman
dulu ke masa sekarang, takut disalahkan. Jadi saya rasa hukum itu sedikit agak memaksa,
bila perlu akreditasi atau pengajuan SIP minimal harus sudah melakukan RKE tahap awal.

Hubungannya dengan sekuriti, kita perlu ada multilevel penerapan RKE, ada tahapan
dalam penerapan RKE sesuai dengan tingkat pelayanan, praktek pribadi berbeda dengan
rumah sakit.

Sistem keamanaan berfokus pada user yang memasukkan, yaitu menggunakan sistem dual
dimana harus seijin dokter dan pasien. Jadi bila pasien tidak mengijinkan, maka sistem tidak
bisa dibuka. Dengan sistem ini rasanya sudah sangat banyak mencegah terjadinya
“kenakalan” dalam manipulasi data.

Standar penggunaan RKE perlu tetapi jangan sampai membatasi, yang penting di lapangan
menggunakan dulu. Isu penting di sini adalah remote & mobile. Sekarang kita masih berkutat
pada jaringan laptop dan desktop, tapi ke depan sudah menggunakan HP. Jadi standar tidak
membatasi, malah harusnya mempermudah dan menjamin, tidak mempersulit.

Kami sudah ekspos ke Bupati bahwa nanti rekam medis akan tersipman di KTP, kemana
saja seseorang selama masih di Kab Sragen, bisa dilihat rekam medisnya. Dengan sistem
biometrik, 20 rekaman terakhir bisa dibaca setelah membukanya dengan pin dari pasien.
Oleh karena itu mohon aturan untuk hal ini, yang mendorong untuk pelaksanaan RKE, tidak
menakut-nakuti.

Dr Wahyudi Istiono, M.Kes (Prodi Rekam Medis UGM):


Menanggapi dr Kinik, tentang dual persetujuan, bagaimana jika salah satu meninggal.
Misalnya pasiennya meninggal, apakah seluruh data tentang pasien itu otomatis hilang?
Karena dalam bidang pendidikan, yaitu penelitian epidemiologi, data itu masih diperlukan
walaupun populasi berubah, harus bisa ditelusuri. Jadi harus ada ranah ke pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan.

Drg. Suryono, SH, PhD (Magister Hukum Kesehatan UGM):


Dari aspek hukum, dimana di negara kita menggunakan sistem kontinental, berdasarkan
azas legalitas, maka penting sekali adanya payung hukum. Ini merupakan peran
eksekutif/pemerintah (Depkes) untuk memfasilitasi membuat kebijakan yang terkait dengan
15
RKE. Dalam hukum tata negara kita, diperkenankan bagi eksekutif untuk membuat regulasi
terhadap suatu fenomena yang berkembang di masyarakat, eksekutif tidak diperkenankan
mengatakan bahwa sesuatu hal tidak boleh dilakukan karena tidak ada aturan yang
mengaturnya. Oleh karena itu, kita mengharapkan kepada pihak pemerintah sesegera
mungkin mengeluarkan regulasi yang berkenaan dengan RKE. Bahkan sudah terlewat satu
step, sekarang sudah ada telemedicine yang lebih kompleks daripada RKE.

Pemandu :
Untuk diskusi lebih lanjut, forum ini dibentuk menjadi dua grup. Masing-masing grup
membahas hal yang sama yaitu : Aspek apa saja yang harus masuk dalam aturan yang akan
dibuat oleh Depkes.

DISKUSI

Grup I: Grup II:


1. dr. Rano Indradi Sudra 1. drg. Suryono
2. drg. Sutomo Nawawi 2. Jazi Eko
3. Anis Fuad 3. dr. Arida Oetami
4. Nur Rokhman 4. Jason
5. dr. Endang Suparniati 5. Ibnu Mardiyoko
6. dr. Cynthia 6. dr. Wahyudi Istiono
7. Harno 7. Sis Wuryanto
8. Eddy Kristiyono 8. dr. Kinik Darsono

HASIL DISKUSI

Grup II (dr. Kinik Darsono):

Hasil diskusi grup II (menayangkan beberapa point seperti di bawah ini)

16
Pemikiran :
Mendorong untuk menggunakan RKE
Melalui perijinan, registrasi online, akreditasi
Menampung aturan yang berlaku dan diatur pada profesi (UUPK, peraturan KKI, dan
profesi lain) permenkes 269/2008
security??? Hukum yang tidak terlalu mengikat...permenkes

Point yang diusulkan:


Model / prototipe RKE
Mendorong untuk nakes menggunakan
Lalu lintas informasi RKE
Otorisasi penggunaan RKE (security)
Copy rekam medis

Aspek yang menurut kami perlu dimasukkan dalam UU/permenkes atau entah apa
namanya nanti, yang penting filosofinya mendorong untuk menggunakan RKE, dengan cara
dipersyaratkan misalnya untuk perpanjangan SIP. Sebaiknya, bila 2015 harus link ke
seluruhnya, pemerintah menyediakan prototipe minimal, misalnya untuk para dokter
diberikan platform itu, boleh diadopsi, diadaptasi, yang penting sama yang digunakan ini.
Aturan ini bertahap, lima tahun pertama adalah mendorong penggunaan RKE pada semua
pelayanan kesehatan, belum sampai pada tahapan aspek hukum (sanksi, dsb) yang lebih
rumit, dan untuk selanjutnya melihat perkembangan berikutnya.

Point yang diusulkan adalah ada prototipe, lalu yang paling penting sekuriti yaitu mengatur
lalulintas informasi, misalnya Dinas Kesehatan ingin mengetahui semua data rekam medis
pasien, maka boleh saja mengakses data tersebut, tetapi anoname (tanpa nama pasien). Hal
seperti ini harus jelas tanggungjawab siapa. Pertukaran informasi juga tidak masalah, tetapi
tanpa nama (anoname).

Grup I (dr. Rano Indradi):

17
Aspek-aspek yang masuk dalam peraturan:
Acuan tentang proses pengembangan RKE :
KSO
Membangun sendiri
Membeli
Keamanan data
Minimal content RKE:
Patient safety
Kebutuhan surveilans
Tipe sesuai tahapan
Persiapan lembaga untuk pengembangan RKE
Komunikasi data dan pelepasan informasi kesehatan
Kepemilikan data dalam informasi kesehatan
Standar data yang digunakan
Prinsip interoperabilitas
Sertifikasi/akreditasi
Menjamin aspek privasi, sekuriti dan integriti

Hal-hal yang diusulkan tercantum dalam Permenkes adalah :


Pertama, adanya acuan tentang proses pengembangan RKE. Bahwa proses pengembangan
RKE bisa dilakukan oleh pihak institusi (rumah sakit, dsb) baik secara KSO atau
membangun sendiri sesuai kemampuannya atau membeli apa adanya dan
menggunakannya.

Kedua, tentang keamanan data. Pada prinsipnya adalah kerahasiaan informasi kesehatan
yang berlaku pada rekam medis manual tetap berlaku pada RKE.

Perlu ada peraturan tentang minimal-content dalam RKE yang berkaitan dengan kebutuhan
RKE tersebut:
1. RKE tetap menjaga aspek patient safety, jangan sampai ada data yang aneh, apalagi
membahayakan kondisi pasien, seperti data dosis obat.
2. RKE yang dibangun walaupun patient safety, tetapi juga harus mendukung kegiatan
surveilans dan penelitian, sehingga perlu disusun tentang definisi RKE yang jelas
agar tidak simpangsiur/bias apa yang dimaksud dengan RKE itu sendiri.
3. Juga ada tipe-tipe RKE yang disusun berdasarkan kontennya, misalnya tipe satu RKE
berisi apa saja, demikian pula tipe dua, dst.

Lalu diusulkan juga ada aturan tentang persiapan lembaga yang akan mengembangkan
RKE, yaitu dalam aspek manajemen, aspek pendanaan, aspek ketersediaan SDM, dll.

Berkaitan dengan komunikasi data dan pelepasan informasi kesehatan, perlu dipikirkan
tentang pengaturan komunikasi data dan pelepasan informasi kesehatan antar lembaga
pelayanan kesehatan, untuk surveilans, untuk melaksanakan register penyakit-penyakit
tertentu, juga untuk kebutuhan pembayaran dan reimbusment serta memenuhi permintaan
pasien itu sendiri. Juga diatur mengenai sarana atau saluran pelepasan data seperti fax,
email, sms, mms, dll.
18
Tentang kepemilikan informasi kesehatan, juga diatur apakah sifat kepemilikan sama
dengan sistem manual? Bila copy file lebih dari satu, maka harus ditentukan mana yang asli,
mana yang salinan. Bisa jadi semua asli, atau semua salinan. Hal-hal ini perlu disepakati
untuk menjadi aturan.

Selain itu disarankan bahwa RKE yang dibangun menggunakan standar data yang berlaku
dan disepakati. Tidak harus disebutkan secara spesifik, tetapi misalnya disebutkan bahwa
yang berlaku sekarang apa, misalnya untuk standar diagnosis digunakan ICD-10, untuk
tindakan medis digunakan ICD-9-CM, demikian pula standar data untuk obat, lokasi, alat,
dsb.

Juga perlu disepakati prinsip interoperabilitas sehingga tidak merumitkan pengembangan


RKE jika sudah lintas institusi atau lintas wilayah.

Juga disarankan adanya sertifikasi/ akreditasi, hal ini tetap dibutuhkan dan melibatkan
berbagai pihak seperti institusi pendidikan, praktisi, profesi, sehingga memiliki sudut
pandang yang sama terhadap RKE.

RKE yang dibangun hendaknya tetap menjaga aspek privasi, minimal ada otentikasi dan
prinsip “need to know” dilaksanakan; juga menjaga aspek sekuriti, ini minimal sekuritas
yang terjaga terhadap “fisik” sistem; dan menjaga aspek integriti, yaitu originalitas data
dalam informasi kesehatan tetap terjaga. Dalam hal ini kami upayakan paling tidak
mendorong untuk tetap terjaga aspek-aspek ini.

Komentar Prof. Budi Sampurna terhadap hasil diskusi:

Hasil pertemuan kali ini adalah membahas rincian teknis yang harus dibahas tersendiri dan
nanti keluar sebagai pedoman teknis untuk pelaksa yang juga bisa dilambari oleh
Kepmenkes.

Di sisi lain kita juga membuat tentang pengaturan yang isinya norma-norma yang harus
diatur. Tidak ada kewajiban bahwa saryankes harus melaksanakan RKE. Dalam Permen
lebih ke arah memedomani (tidak mengancam) tetapi memberi panduan tanpa adanya
sanksi atau jikapun ada maka minimal sanksi administratif.

Kemudian soal perijinan : registrasi, akreditasi, ada perijinan saryankes yang menggunakan
RKE, tapi penting juga ada sertifikasi untuk produknya. Mohon nanti diuraikan juga apakah
sebelum dipakai suatu software harus memperoleh sertifikasi terlebih dulu, karena
kontennya. Jangan sampai kita terjebak membeli barang yang di bawah standar (original,
legal). Akreditasi akan diberikan misalnya bila sudah bagus urutannya.

Untuk komunikasi data, lucu juga, tadi ada yang takut masuk RKE tapi berani
melaksanakan telemedicine. Padalah internet belum tentu aman, maka telemedicine juga tidak
aman. Penggunaan telemedicine sudah masuk wilayah sendiri. Di Malaysia, melakukan
telemedis jika tanpa ijin, maka 5 tahun penjara. Oleh karena itu, menggunakan telemedis
harus ijin, karena resiko berbahaya. Jadi, RKE dululah.

19
Untuk komunikasi, juga dibuatkan norma, soal sekuriti jangan ditakutkan, minimal sekuriti
yang gampang dulu, jadi setiap tahap tetap pakai sekuriti.

Lalu, definisi RKE harus disepakati bersama: apakah harus sama dengan literatur asing.
Apakah RKE artinya informasi milik pasien yang bisa diakses oleh pihak lain. Rekam medis
elektronik adalah yang dipakai saryankes. RKE merupakan potongan dari rekam medis
elektronik. RKE adalah milik semua pasien, sehingga pasien ingin menggunakan, boleh saja.
Semua pengertian ini berbeda, jadi untuk pengertiannya harus betul-betul jelas.

20
Pertanyaan dan pendapat tentang komentar Prof. Budi Sampurna :

Dr. Wahyudi Istiono, M.Kes:


Juga untuk penting disampaikan tentang pembinaan berkelanjutan dari Depkes untuk
pengembangan RKE di tingkat pusat dan daerah. Ini penting untuk berjalannya
pengembangan RKE.

Anis Fuad, DEA:


Apakah Kepmenkes bisa untuk pedoman vendor? Sehingga bisa menjadi acuan untuk
pembuatan produk oleh vendor (jawaban Prof. Budi, bisa).
Juga untuk penyelenggara pendidikan rekam medis, diusulkan RKE masuk dalam
kurikulum dan PORMIKI memikirkan bersama Pusdiknakes.

Eddy Kristiyono, A.MdPerKes, SKM:


Dalam waktu dekat ini, PORMIKI dan Dinkes DIY akan membangun wadah komunikasi
antar institusi pendidikan rekam medis. Hal itu nantinya bisa diakomodasikan.

Dr. Arida Oetami, M.Kes (Dinas Kesehatan Prov. DIY):


Pelayanan informasi kesehatan harus di-back-up dari pendidikan dan saryankes. Di Jogja
sudah dikembangkan ke elektronik, mulai dari praktek dokter sampai rumah sakit, ada
prototipe yang elektronik. Namun ada hal-hal yang membatasi penggunaan elektronik ini
yaitu banyak yang mengintervensi, dari pusdatin, depkominfo, binkesmas, sehingga format
tidak sama dan menjadi kesulitan.

Untuk profesi dan pihak pendidikan agar meningkatkan kemampuan teman-teman yang
ada di lapangan termasuk mahasiswa dan alumni. Kaitannya dengan RKE adanya
continuing learning (kerjasama dengan profesi).

Nur Rokhman, M.Kom (Prodi Ilmu Komputer UGM):


Meluruskan komentar Prof. Budi tentang akreditasi, maksud dari Pak Anis tadi tentang
akreditasi adalah bagaimana sebuah software sebelum di-launching ke pihak user, dinilai
terlebih dulu dalam sertifikasi produk (belum sampai sertifikasi SDM) oleh sekumpulan tim
(akademisi, profesi, pengguna). Dalam hal ini diharapkan ada semacam lembaga yang
menampung bagaimana kebutuhan yang sesuai dengan masing-masing saryankes. Dengan
adanya lembaga yang memikirkan hal itu, mudah-mudahan produk yang dijual tersebut
dapat dipahami oleh semua pihak.

Pemandu :
Demikian diskusi ini telah kita laksanakan bersama, terima kasih atas segalanya dan semoga
ini bisa bermanfaat untuk pengembangan RKE selanjutnya.

KESIMPULAN DAN
21
REKOMENDASI

Diskusi berlangsung dengan sangat baik, tepat waktu dan berjalan lancar. Banyak
dari peserta berbagi pengalaman, pendapat, saran dan usulan yang semuanya merupakan
masukan sebagaimana tujuan diskusi ini. Dari masukan tersebut dapat disimpulkan
beberapa hal pokok yang disepakati bersama, yaitu :

1. Segera dibuat peraturan untuk pelaksanaan RKE. Indonesia yang menganut sistem
hukum kontinental mendasarkan pada azas legalitas atas perbuatan yang dilakukan,
maka penting sekali adanya payung hukum dalam menerapkan RKE ini.

2. Penerapan RKE segera dilaksanakan meskipun masih dalam tahap sangat sederhana.
Hal ini diusulkan mengingat aturan yang akan dibuat nanti bukan untuk membatasi,
tetapi justru mendorong digunakannya RKE. Mengutip apa yang dikatakan oleh Prof.
Budi Sampurna, bahwa dalam norma-norma yang harus diatur, tidak ada kewajiban
saryankes harus melaksanakan RKE. Peraturan dibuat lebih ke arah memberi pedoman
atau panduan bukan untuk melakukan hukuman.

3. Selain itu, kondisi di lapangan juga diperhatikan, dalam hal ini SDM harus dipersiapkan
dengan baik. Ini harus dilakukan secara bertahap dengan pendekatan proses. Potensi
saryankes sendiri diberdayakan, demikian juga peran pendidik untuk meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan tentang RKE bagi mahasiswa dan para lulusannya.
Langkah ini bisa dilakukan bila ada kolaborasi antara pihak Depkes (Pusdiknakes),
pengguna, profesi kesehatan serta institusi pendidikan.

4. Segera menyelenggarakan pertemuan antar berbagai pihak yang tugasnya membahas


dan menyepakati bersama hal-hal yang perlu disampaikan dalam peraturan atau
pedoman teknis pelaksanaan RKE. Aspek yang dibahas adalah sebagai berikut:
a. Proses pengembangan RKE di saryankes
b. Rumusan minimal-content RKE
c. Persiapan organisasi saryankes untuk pengembangan RKE
d. Prinsip interoperabilitas antar instansi atau wilayah
e. Sertifikasi dan akreditasi produk RKE
f. Standarisasi
g. Fitur dasar dan penunjang RKE
h. Lingkup RKE yang meliputi rekaman data, penyimpanan data, pengolahan data,
keamanan data, komunikasi data, penyajian data serta pemusnahan data.

Dari hasil diskusi tersebut, dapat disampaikan beberapa hal di bawah ini untuk
menjadi rekomendasi kepada pihak Departemen Kesehatan, khususnya Biro Hukum dan
Koordinasi, sebagai bahan pertimbangan dalam menindaklanjuti kesimpulan dari diskusi
ini.
22
1. Dalam membicarakan perihal RKE, aspek hukum yang perlu diperhatikan antara lain
adalah :
a. UU No. 23/1992 tentang Kesehatan
b. UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran
c. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
d. UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan
e. UU No. 11/2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik
f. UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
g. PP No. 10/1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
h. PP No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan
i. PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
j. Permenkes No. 844/2006 tentang Kodefikasi Data
k. Permenkes No. 377/2007 tentang Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi
Kesehatan
l. Permenkes No. 269/2008 tentang Rekam Medis

2. Dalam menyusun rekomendasi ini, referensi yang digunakan adalah :


a. Hasil Diskusi Workshop Pemetaan Materi Implementasi Rekam Kesehatan
Elektronik 13 Juni 2009.
b. Draft Rancangan Rekam Kesehatan Elektronik (RKE) dari SubDit Keterapian
Fisik Depkes RI.
c. Materi Seminar RKE dalam rangkaian acara Serenade Prodi Rekam Medis UGM
tanggal 13 Juni 2009
d. Mapping Kebutuhan Kesepakatan dalam Pengembangan RKE (dr. Rano Indradi)
e. Buku Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan
(Gemala Hatta, 2008)

3. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan RKE di Indonesia.


Untuk pembahasan dan kesepakatan bersama tentang aspek-aspek yang harus
disampaikan pada peraturan yang akan dibuat, maka perlu ditentukan dan disepakati
apa saja materi yang dibahas dan siapa saja yang membahas. Di bawah ini merupakan
pihak-pihak yang saling terkait dalam pengembangan RKE dan sangat penting
kepesertaan mereka dalam membahas aspek-aspek yang harus masuk dalam peraturan
RKE.
a. Depkes : yang dimaksud dengan pihak Departemen Kesehatan RI ini khususnya
Biro Hukum dan Koordinator (Hukor) dan bagian lainnya seperti Pusdiknakes
sesuai materi yang dibicarakan.
b. Dinas Kesehatan : yaitu pihak dinas kesehatan di daerah, baik tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota.
c. Saryankes : rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, klinik, praktek swasta
(dokter, bidan dan perawat).
d. Pengguna : yaitu saryankes yang kini telah menjalankan RKE (SDM, manajemen,
organisasi)
e. Tenaga Kesehatan : dokter, dokter gigi, perawat, bidan, perekam medis, farmasis,
laborat, terapis,
f. Profesi Kesehatan : PORMIKI, IDI, PPNI, IBI,
g. Provider : penyedia aplikasi sistem RKE
23
h. Pakar Teknologi Informasi (TI) : personal yang ahli dalam bidang teknologi
informasi baik konsep maupun keteknisan
i. Pakar Simkes : personal yang ahli dalam bidang sistem informasi kesehatan
j. Pakar Kesehatan Masyarakat : personal yang ahli di bidang surveilans dan
penelitian kesehatan.
k. Institusi Pendidikan : penyelenggara pendidikan tenaga kesehatan
l. Pemda/Pemkot : pejabat yang berwenang dalam pemerintahan daerah atau
pemerintahan kota

(note: beberapa istilah di atas disesuaikan dengan peraturan yang sudah berlaku
sebelumnya)

4. Persiapan SDM dalam Pelaksanaan RKE.


Dalam mempersiapkan SDM di saryankes, baik secara kualitas maupun kuantitas, perlu
dilakukan kerjasama antar berbagai pihak. Untuk meningkatkan kemampuan teknis
tenaga pelaksana serta manajemen knowledge di saryankes, asosiasi profesi kesehatan
bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dan secara koordinatif
bersama Dinas Kesehatan Provinsi. PORMIKI dan Pusdiknakes merumuskan kurikulum
RKE dan intitusi pendidikan menyampaikan materi tentang RKE kepada mahasiswa dan
alumninya.

Sosialisasi juga dilakukan dengan menyelenggarakan berbagai macam kegiatan


(seminar, workshop, lokakarya, studi lapangan, dsb) yang membahas berbagai hal
tentang RKE. Kegiatan ini diselenggarakan dan/atau dihadiri oleh pihak Depkes, Dinas
Kesehatan, profesi kesehatan, institusi pendidikan, pakar TI, pakar SIMKES,
Pemda/Pemkot serta peminat masalah RKE (masyarakat umum).

Guna pelaksanaan persiapan SDM dalam menghadapi implementasi RKE, mohon


kepada pihak Depkes memberikan dukungan baik moril maupun materiil, dalam hal ini
adalah penyediaan biaya dan fasilitas.

5. Pembahasan Aspek Penting dalam Penyusunan Peraturan.


Secara umum semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan RKE dapat
melakukan kegiatan sosialisasi sebagaimana tersebut di atas, secara khusus pihak Biro
Hukor sedapat-mungkin memfasilitasi untuk mengadakan pertemuan yang membahas
kesepakatan dalam berbagai materi serta aspek-aspek yang penting dipikirkan dalam
rangka menyusun peraturan tentang RKE. Hal ini bisa dilakukan secara berkoordinasi
dengan berbagai pihak yang telah disebutkan pada point 3 di atas.

Berikut point-point dalam pembahasan aspek penting dalam penyusunan peraturan tentang
pelaksanaan RKE :

1. Proses Pengembangan RKE.


Pembahasan materi mengenai proses pengembangan RKE meliputi bagaimana
melakukan proses awal sistem RKE diterapkan di saryankes. Dalam hal ini, memberi
24
arahan dalam memutuskan apakah sistem RKE tersebut dilakukan secara KSO, dibuat
sendiri oleh SDM setempat, atau dengan cara membeli sistem yang sudah jadi.
Disamping itu juga dibahas bagaimana dengan peran konsultan dalam menentukan
suatu organisasi pengguna RKE. Pembahasan juga menyangkut masalah ketersediaan
biaya dalam pengembangan RKE di saryankes setempat.

Tujuan point ini adalah menentukan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi dalam
menentukan pengembangan RKE di saryankes dalam hal ini ada tiga tipe (atau bisa
lebih) yaitu a) secara KSO, b) membuat sendiri (swakarya), c) membeli.

Materi bahasan :
a. Sumber biaya saryankes
b. Struktur organisasi saryankes
c. Tipe dan jenis pelayanan saryankes
d. Prosedur proses pengembangan RKE
e. Peran konsultan RKE

Pihak kepesertaan : Depkes, Dinas Kesehatan, Pengguna, Saryankes, pakar TI,


Pemda/Pemkot, Pakar Simkes, Profesi Kesehatan.

2. Penyusunan Minimal Content RKE.


Pembahasan untuk menyusun konten minimal RKE tidak lepas dari menekankan pada
kebutuhan dari RKE itu sendiri. Konsep patient safety serta keperluan surveilans menjadi
fokus pembahasan.

Tujuan pembahasan ini adalah membuat berbagai tipe pengembangan RKE, khususnya
persyaratan minimal dalam saryankes yang boleh/bisa menerapkan sistem RKE.

Materi bahasan :
a. Definisi RKE yang disepakati
b. Pengertian patient-safety dan implikasinya di lapangan
c. Surveilans dan penelitian
d. Mutu pelayanan
e. Kualitas dan pengolahan data
f. Jenis dan tipe saryankes
g. Keseragaman data inti
h. Format dan standar koding
i. Kamus data berdasarkan standar perbendaharaan
j. Informasi hasil pelayanan dan status fungsinya
k. Pencitraan, penelusuran, video, suara

Pihak kepesertaan: Depkes, Pengguna, Saryankes (pendidikan), Profesi Kesehatan,


Tenaga Kesehatan, Pakar TI (data), pakar Simkes, institusi Pendidikan, Pakar Kesehatan
Masyarakat (surveilans dan penelitian kesehatan).

3. Persiapan Organisasi untuk Pengembangan RKE.

25
Isi diskusi meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kondisi lembaga yang akan
mengembangkan RKE. Ini termasuk aspek SDM, biaya/dana, aspek teknis dan aspek
manajemen.

Tujuan : menyusun aspek-aspek organisasi yang perlu disiapkan dalam menerapkan


sistem RKE di saryankes serta bagaimana teknis mempersiapkan organisasi secara
keseluruhan.

Materi bahasan:
a. Penelusuran Kebutuhan
b. Tipe saryankes
c. Struktur organisasi
d. Komitmen SDM
e. Kondisi SDM (kuantitatif dan kualitatif)
f. Kesiapan Biaya (besaran dana, tertib catatan keuangan)
g. Peran Leadership
h. Manajemen sumber daya (sarana-prasarana, SDM, pelatihan aplikasi)
i. Manajemen knowledge
j. Prosedur dan kebijakan
k. Aspek teknis (infrastruktur)

Kepesertaan : Depkes, Dinas Kesehatan, Pengguna, Profesi Kesehatan, Saryankes (Top


Manajer), Provider

4. Prinsip Interoperabilitas
Pembahasan ini juga menyangkut point pembahasan tentang Standar Terminologi dan
Kodefikasi.

Tujuan : kesepakatan tentang standar-standar yang digunakan dalam koneksi data, baik
antar instansi maupun antar wilayah.

Materi :
a. Standar Terminologi
b. Standar Kodefikasi
c. Format File
d. Komunikasi data & informasi
e. Aksesabilitas

Psertaan : Depkes, Dinas Kesehatan, Provider, Ahli TI, Ahli Simkes, Profesi Kesehatan,
Pemda/Pemkot

5. Sertifikasi dan Akreditasi Produk Aplikasi RKE


Pembahasan menyangkut masalah legalitas dari suatu sistem RKE yang digunakan. Oleh
karena itu, di sini ditentukan persyaratan-persyaratan bahwa suatu produk aplikasi
software RKE harus sudah disertifikasi sebelum dipasarkan. Dalam hal ini, perlu adanya
advokasi kepada pihak Depkominfo untuk membuat sertifikasi pelaksanaan RKE,

26
sedangkan pihak Depkes membuat apa persyaratan-persyaratan untuk konten produk
tersebut.

Tujuan : kesepakatan tentang lingkup dari sertifikasi produk aplikasi RKE

Materi :
a. Pengertian Sertifikasi dan Akreditasi
b. Pengertian Produk Aplikasi RKE
c. Prosedur Pelaksanaan Sertifikasi/Akreditasi RKE

Kepesertaan : Depkes, Profesi Kesehatan, Saryankes, Pakar TI, pakar Simkes, Provider

6. Standarisasi Terminologi dan Kodefikasi


Membahas tentang bagaimana menyepakati terminologi, kodefikasi serta format data
dan informasi yang digunakan dalam pengembangan RKE.

Tujuan : kesepakatan tentang terminologi medis, kodefikasi, serta format data dan
informasi.

Materi :
a. Pengertian standarisasi
b. Standar terminologi medis (penyakit, sign, simptom)
c. Standar kodefikasi
d. Istilah, simbol, singkatan yang digunakan dalam bidang pelayanan kesehatan
e. Kode wilayah, kode dokter, kode obat, kode penyakit yang digunakan dalam
pelayanan kesehatan
f. Format data berupa teks, suara, gambar bergerak,

Peserta : Depkes, Dinas Kesehatan, Tenaga Kesehatan, Pengguna, Saryankes, Profesi


Kesehatan, Ahli MIK.

(usulan : utk mengadakan pertemuan yang membahas tentang bagaimana mengadopsi


terminologi medis yang sudah ada di NLM seperti SNOWMED, NICNOC)

7. Fitur Dasar dan Fitur Penunjang RKE


Lingkup pembahasan tentang bagaimana menentukan fitur yang digunakan dalam
sistem RKE.
Tujuan : menentukan operating system yang digunakan serta fitur-fitur aplikasi sistem
RKE yang mendukung keamanan data, kualitas data serta kemudahan, keleluasaan serta
kenyamanan menggunakan aplikasi RKE.

Materi :
a. Operating System (Windows atau open source)
b. Smart Internal-Check, Downtime, Auto log-off, idle-time
c. Hal akses pasien
d. Akurasi dan Kelengkapan Isian
e. Clinical Reminder &Alert system
27
f. Clinical & Managerial DSS
g. Related data & Knowledge based link.

Peserta : Depkes, Pengguna, Tenaga Kesehatan, Provider, Pakar TI, Pakar Simkes, Profesi
Kesehatan

8. Perekaman dan Penyimpanan Data.


Membahas tentang input serta output data dalam bentuk elektronik serta bagaimana
sistem penyimpanan data tersebut agar dapat digunakan kembali menjadi suatu
informasi penting dalam menunjang pelayanan.

Tujuan : Kesepakatan tentang lingkup RKE dalam hal perekaman dan penyimpanan
data.

Materi:
a. Tipe input data (ketikan, scan, gambar)
b. Media penyimpanan data (CD, HD, microfilm, flashcard, re-type, foto, scan)
c. Konten data (data administratif dan data klinis)
d. Konteks data (video, suara, gambar)
e. Retensi data (in-aktif file, pemusnahan data)

Peserta : Depkes, Dinas Kesehatan, ahli Simkes, Profesi Kesehatan, Pengguna, Ahli TI,
Provider, Tenaga Kesehatan

9. Pengolahan Data dan Komunikasi Data/Informasi.


Pembahasan meliputi prosedur pengolahan data serta komunikasi data/informasi yang
juga menyangkut terminologi medis, kodefikasi, format data serta sarana pelepasan data.

Tujuan : Kesepakatan tentang pelaksanaan pengolahan data serta pelaksanaan


komunikasi data dan informasi dalam penerapan RKE.

Materi :
a. Input data, sumber data, output data
b. Terminologi, kodefikasi, standar format data (teks, suara, movie, gambar/grafis,
presentasi)
c. Saluran komunikasi (USB, RS-232, IR, blutooth, infrared)

Peserta : Depkes, Dinas Kesehatan, pakar Simeks, Profesi Kesehatan, Pengguna, Pakar TI,
Provider, Tenaga Kesehatan

10. Penyajian Data dan Keamanan Data.


Pembahasan meliputi tentang bagaimana data disajikan, apa saja yang harus diatur
dalam pelepasan informasi, dalam hal ini perlu diingat aspek kerahasiaan data pasien.
Oleh karena itu perlu juga dibicarakan tentang keamanan data, yaitu segi otentikasi,
otorisasi, intergiti, bahaya bencana serta penyimpanan data.

Tujuan : Kesepakatan dalam aspek penyajian data serta keamanan data elektronik.

28
Materi :
a. Kebutuhan data elektronik (output)
b. Format file
c. Sarana komunikasi data (e-mail, fax, sms, mms)
d. Otentikasi secara biometrik dan e-sign
e. Otorisasi dan penanggungjawab
f. Intergriti (audit trail, meta data, trace, enskipsi)
g. Pengamanan data dari bahaya petir/listrik mati, banjir, gempa
h. Pengamanan data dari kesalahan program, serangan virus, kehilangan, kecurian,
manipulasi
i. Sistem penyimpanan data

Peserta : Depkes, Dinas Kesehatan, Pakar Simkes, Profesi Kesehatan, Pengguna, Pakar TI,
Provider

KESEPAKATAN
KESIMPULAN DISKUSI
DAN REKOMENDASI

29
Kesimpulan dan Rekomendasi ini dibuat berdasarkan hasil diskusi Workshop
Pemetaaan Implementasi Rekam Kesehatan Elektronik pada 13 Juni 2009 yang
bertempat di Gedung Pertemuan UC UGM Yogyakarta dan diikuti oleh para pihak
di bawah ini :

1. Prof. Dr. Budi Sampurna, SH


2. DR. Dra. Gemala Hatta, M.Kes
3. dr. Rano Indradi Sudra, M.Kes
4. Drs. Jazi Eko Istiyanto, MSc, PhD
5. Eddy Kristiyono, A.MdPerKes, SKM
6. dr. Arida Oetami, M.Kes
7. Harno, SKM
8. dr. Endang Suparniati, M.Kes
9. Sis Wuryanto, A.MdPerKes, SKM
10. Jason, S.Kep
11. dr. Cynthiawati Wijono
12. dr. Kinik Darsono
13. drg. Suryono, SH, PhD
14. drg. Soetomo Nawawi, DPH Dent, Sp. Perio(K)
15. Nur Rokhman, S.Si, M.Kom
16. Anis Fuad, DEA
17. dr. Wahyudi Istiono, M.Kes
18. dr. Tridjoko Hadianto, DTM&H, M.Kes

Ketua Penyelenggara

(Drs. Medi, M.Kom)

30

Anda mungkin juga menyukai