Anda di halaman 1dari 52

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
1. NOVI IDA WULANDARI (P17220173043)
2. CHOIRUN NISSA A (P172201740
3. YOSHI APRILIANI (P17220174053)
4. FARID (P172201740

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES MALANG
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN LAWANG
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan Rahmat dan karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

ini dengan judul “Asuhan KeperawatanLupus Eritematosus Sistemik”.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah

KMB II.

Kami menyadari keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki,

oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca

khususnya dan tenaga keperawatan pada umumnya.

Lawang, 29 Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

1.1LATAR BELAKANG................................................................................ 1
1.2TUJUAN..................................................................................................... 2
1.3RUMUSAN MASALAH........................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 4

2.1DEFINISI................................................................................................... 4
2.2ETIOLOGI................................................................................................. 4
2.3ANATOMI SISTEM IMUNITAS............................................................. 7
2.4PATOFISOLOGI & PATHWAY.............................................................. 7
2.5MANIFESTASI KLINIS........................................................................... 10
2.6PEMERIKSAAN PENUNJANG.............................................................. 13
2.7PENATAKLASANAAN MEDIS............................................................. 14
2.8PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN........................................... 14

BAB III TEORI ASUHAN KEPERAWATAN.................................................... 16

3.1PENGKAJIAN .......................................................................................... 16
3.2DIAGNOSA .............................................................................................. 17
3.3INTERVENSI............................................................................................ 17
3.4IMPLEMENTASI...................................................................................... 22
3.5EVALUASI................................................................................................ 22

BAB IV PEMBAHASAN..................................................................................... 23

BAB V PENUTUP
5.1KESIMPULAN........................................................................................... 23

ii
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
24
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,” atau

“Serigala,” merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan

hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah

berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak

merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya

salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan salah satu

ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat penampilan

seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita lupus benar-

benar memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik tersebut.

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang

diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita

lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,

oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan

keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna

kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain.

Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir

seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ

lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu

berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda

1
dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan

sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk

melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ

tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.

Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan

lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di

ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang

sangat rendah (Sukmana, 2004).

Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil

penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan

Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus

erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat

diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan

kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE.

Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan

keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.

Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal,

kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,

trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

1.2 TUJUAN

a) Tujuan Umum :

Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus.

b) Tujuan Khusus :

2
1) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis

penyakit lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan

gejala), pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis dan keperawatan.

2) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien

yang menderita penyakit lupus.

1.3 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Systemic Lupus Erithematosus ?

2. Jelaskan Etiologi dari penyakit SLE ?

3. Jelaskan Anatomi Sistem Imunitas dari penyakit SLE ?

4. Jelaskan patofisiologi dari SLE ?

5. Jelaskan Manifestasi klinis dari SLE ?

6. Jelaskan Pemeriksaan penunjang dari SLE ?

7. Jelaskan Penatalaksanaan Medis dari SLE ?

8. Jelaskan Penatalaksanaan Keperawatan dari SLE ?

9. Jelaskan asuhan keperawatan dari penyakit SLE?

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau

serigala,sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-

merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno

untuk menyatakansuatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan

oleh gigitan anjing hutan.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai

dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem

dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks

imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.

2.2 ETIOLOGI

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor

predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara

beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor

yangpaling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa

faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik

4
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul

produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita

SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5%

anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,

risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang

memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan

pada populasi umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang

memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II

khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan

timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen

merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.

Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita

SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur

komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen PresentingCell) akan

memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapareseptor

5
yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun

fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini

menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah

mengenali perintah dari sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan

teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk

autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit

mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan

autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat

antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit

T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan

produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi

menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang

tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal

dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan

6
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam

tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.

Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV),

bakteriStreptococcus dan Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi

menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal

ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga

terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh

darah

7
2.3 ANATOMI SITEM IMMUNITAS

8
2.4 PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini

ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana

terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan

lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti

hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat

antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam

penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan

produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal

sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi

9
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan

siklus tersebut berulang kembali.

Pathway

10
2.5 MANIFESTASI KLINIS

Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak

terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi eksaserbasi

dan remisi.

Gejala klasik

demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan artritis, pleurisi.

A) Sistem Muskuloskeletal

Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering muncul.

Pembekakan sendi nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim,

disertai dengan kekakuan pada pagi hari.

11
B) Sistem integumen

Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda (mis., lupus eritematosuskutaneus sub

akut [SCLE], lupus etitematosus diskoid [DLE]). Ruam kupu-kupu pada batang

hidung dan pipi muncul pada lebih dari separuh pasien dan mungkin merupakan

prekusor untuk gangguan yang sistemik. Lesi memburuk selama periode

eksaserbasi (ledakan) dan dapat distimulasi oleh sinar matahari atau sinar

ultraviolet buatan. ulkus oral dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.

C) Sistem Pernapasan

Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis,emboli

paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lungsyndrome.

Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik.Biasanya

penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan

ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh

darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan

respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering

apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan

penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau

pemberian sitostatika.

D) Sistem Kardiovaskuler

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapatberupa

perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis

dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR

yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.Perikarditis harus dicurigai

12
apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran

silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis

Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi

mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi

katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinanendokarditis

bakterialis.Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6%

lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun,

risiko ini meningkat sampai 50%.

E) Manifestasi Ginjal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besarterjadi

setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 :

1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan

ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma

nefrotik.

F) Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat

merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai

akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol

walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali

gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih

banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan

adanya ulkus.Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada

peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan

13
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai

pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase

alkali dan LDH.

G) Manifestasi Hemopoetik

Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia

normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit

ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.

H) Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaranklinis

yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan

psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan

menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan

hipertensiberat.Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa

migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik

dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan

serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan

pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi

sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis

cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali

untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi(EEG) juga tidak

memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan

untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

14
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan

kreatinin urin

3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

6) Foto polos thorax

a. Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk

monitoring

b. Setiap 3-6 bulan bila stabil

c. Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE

adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan

tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang

positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa

penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi

kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixedconnective tissue disease

(MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun),keganasan atau pada orang

normal.Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,

tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan

15
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang

terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA

dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis

tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes

antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,

Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil

ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang

didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-ds DNA

yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer

yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang

bukan LES.

2.7 PENATALAKSANAAN MEDIS

1) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan

postpartum)(metilprednisolon1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr,

jika membaik dilakukantapering off).

2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).

3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

4) Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m

luaspermukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

16
2.8 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan

keperawatan untuk pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan keperawatan”

pada “Artritisreumatoid”). Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan,

membuat integritas kulit gangguan citra tubuh, dan defisiensi pengetahuan.

1. Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan

proses penyakit SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi

dalam kelompok pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai

penyakit, tips penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan sosial.

2. Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar

ultrapiolet atau untuk melindungi diri mereka dengan tabir surya dan

pakaiaan.

3. Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan

pasien tentang pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan

juga aktifitas untuk meningkatkan kesehatan.

4. Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.

5. Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang

telah diterapkan, dan memahami perubahan serta kemungkinan efek

samping yang cenderung terjadi akibat penggunaan obat tersebut.

6. Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka

berisiko tinggi mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan

kardiovaskuler.

17
BAB III

TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

18
3.1 PENGKAJIAN

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada

gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,

lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap

gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3. Kardiovaskuler

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.Lesi

eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan

gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan

ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku

pada pagi hari.

5. Sistem integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang

melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi

atau palatum durum.

19
6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,

eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan

ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea

ataupun manifestasi SSP lainnya.

3.2 DIAGNOSA

1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan

kulit

2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat

penting untuk tubuh

3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang

diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret

20
3.3 INTERVENSI

1) Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan

kulit

a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi

dan amati perubahan.R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status

dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian

mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan

menggunakan lotion atau krim.R/: mempertahankan kebersihan karena kulit

yang kering dapat menjadi barier infeksi.

c. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan

risiko kerusakan dermal.

d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier

protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi kontaminasi

bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.

e. Kolaborasigunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi. R/: digunakan

pada perawatan lesi kulit.

2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual/ muntah.

a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.R/: lesi

mulut,tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan

21
kemampuan pasien mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk

makan.

b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan

sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol.R/: Mengurangi

ketidaknyamanan yang berhubungan dengan mual/muntah, lesi oral,

pengeringan mukosa dan halitosis. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu

makan.

c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi

pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi.

R/: lambung yang penuh akan akan mengurangi napsu makan dan

pemasukan makanan.

d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.R/: dapat meningkatkan napsu

makan dan perasaan sehat.

e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan

saat mendekati waktu makan.R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan

ketersediaan energi untuk aktivitas makan.

f. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah proses

menelan dan mengurangi resiko aspirasi.

g. Catat pemasukan kalori. R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap

suplemen atau alternative metode pemberian makanan.

h. KolaborasiKonsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.R/:

Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat

22
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan

untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.

INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL

MANDIRI

 Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas  Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.

/AKS normal, catat laporan kelelahan , keletihan,

dan kesulitan menyelesaikan tugas.

 Kaji kehilangan / gangguan keseimbangan gaya


 Menunjukkan perubahan neurologi karena
jalan, kelemahan otot.
defisiensi vitamin B mempengaruhi

keamanan pasien/risiko cedera.

 Awasi TD, nadi, pernafasan, selama dan sesudah


 Manifestasi kardiopulmonal dari upaya
aktivitas. Catat respons terhadap tingkat aktivitas
jantung dan paru-paru untuk membawa
( mis, peningkatan denyut jantung/TD, disritmia,
jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
pusing, dispnea, takipnea, dan sebagainnya).

 Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah

baring bila diindikasikan. Pantau dan batasi

pengunjung, telepon dan gangguan berulang  Meningkatkan istirahat untuk menurunkan

tindakan yang tak direncanakan. kebutuhan oksigenn tubuh dan menurunkan

regangan jantung dan paru.


 Ubah posisi pasien dengan perlahann atau pantau

terhadap pusing.

23
 Hipotensi postural atau hipoksia serebral

dapat menyebabkan pusing, berdenyut , dan


 Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk
peningkatan risiko cedera.
meningkatkan istirahat. Pilih periode istirahat

dengan periode aktivitas.  Mempertahankan tingkat energi dan

meningkatkan regangan pada pasien jantung


 Berikan bantuan dalam aktivitas/ambulasi bila
dan pernapasan.
perlu, memungkinkan pasien untuk

melakukannya sebanyak mungkin.  Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan

bila pasien melakukan sesuatu sendiri.


 Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien,

termasuk aktivitas yang pasien pandang perlu.

Tingkatkan tingkat aktivitas sesuai toleransi.


 Meningkatkan secara bertahap tingkat

aktivitas sampai normal dan memperbaiki

tonus otot/stamina tanpa kelemahan.


 Gunakan teknik penghematan energi, mis., mandi
Meningkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
dengan duduk, duduk untuk melakukann tugas-

tugas.  Mendorong pasien melakukan banyak dengan

membatasi penyimpangan energi dan


 Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas
mencegah kelemahan.
bila palpasi, nyeri dada, napas pendek,

kelemahan, atau pusing terjadi  Regangan /stres kardiopulmonal

berlebihan/stres dapat menimbulkan

dekompensasi/kegagalan.

24
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

a. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/:

Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan

berdasarkan informasi.

b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.R/: mengoreksi mitos dan kesalahan

konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.

c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/:

merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.

d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R/:

memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan

perubahan/individu.

e. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan

tempat tinggal.R/: memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut;

mendukung pemulihan dan kemandirian.

5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret

INTERVENSI RASIONAL

25
 Auskultasi bunyi napas . Catat adanya  Beberapa derajat spasme bronkus terjadi

bunyi napas misalnya mengi, krekels, dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak

ronchi. dimanifestasikan adanya bunyi napas

adventisius. Misalnya penyebaran , krekels

basah (bronkitis); bunyi napas redup dengan

ekspirasi mengi (emfisema); atau tak adanya

bunyi napas (asma berat).

 Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat

dan dapat ditemukan pada penerimaan atau


 Kaji atau pantau frekuensi pernapasan.
selama stres/adanya proses infeksi akut.
Catat rasio inspirasi/ekspirasi.
Pernapasan dapat melambat dan frekuensi

ekspirasi memanjang dibanding ekspirasi.

 Disfungsi pernapasan adalah variabel yang

tergantung pada tahap proses kronis selain

proses akut yang menimbulkan perawatan di


 Catat adnya/ ]derajat dispnea. Misalnya
rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas,

distres pernapasan, penggunaan otot  Peninggian kepala tempat tidur mempermudah

bantu napas. fungsi pernapasan dengan menggunakan

gravitasi. Namun pasien dengan distres berat


 Memposisikan pasien semi fowler.
akan mencari posisi yang paling mudah untuk

bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan

meja, bantal dan lain-lain membantu

menurunkan kelemahan otot dan dapat

26
sebagai alat ekspansi dada

 Memberikan pasien beberapa cara untuk

mengatasi dan mengontrol dispnea

 Dorong/bantu pasien untuk melakukan

napas abdomen/bibir.

3.4 IMPLEMENTASI

Laksanakan rencana tindakan pada renpra diatas. Dahulukan tindakan yang

dianggap prioritas/masalah utama

3.5 EVALUASI

Evaluasi pelaksanaan yang telah dilakukan kepada pasien

27
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN SLE

DI RS INDONESIA MAJU

Kasus

Seorang prempuan bernama Ny.S usia 35 tahun datang ke UGD dengan keluhan
merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya
kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut bertambah lebar, demam, nyeri
dan terasa kaku seluruh persendian terutama pagi hari dan kurang nafsu makan.
Pada pemeriksaan fisik diperolah ruam pada pipi dengan batas tegas, peradangan
pada siku, lesi pada daerah leher, malaise. Pasien mengatakan terdapat sariawan
pada mukosa mulut. Pasien ketika bertemu dengan orang lain selalu menunduk
dan menutupi wajahnya dengan masker. Tekanan darah 110/80mmHg, RR
20x/mnt, Nadi 90x/mnt Suhu 38,5 ºC, Hb 11 gr/dl, WBC 15.000/mm
A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Ny. S

Umur :35 thn

Jenis kelamin :Prempuan

Alamat : Jl.TB.Simatupang No.71

Status :Menikah

Agama :Islam

Suku :Jawa

Pendidikan : SMA

Pekerjaan :IRT

Tanggal masuk RS :01-01-2019

Tanggal pengkajian :02-01-2019

DX Medis :SLE

28
B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB
Nama :Tn. D

Umur : 36thn

Jenis kelamin :Laki-laki

Alamat :Jl.TB.Simatupang No.71

Pendidikan :S 1 tehnik mesin

Pekerjaan :Karyawan swasta

C. PENGKAJIAN
1. Keluhan utama :
Pasien menggeluhnyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan,
saat beraktivitas pasien merasa mudah lelah, pasien merasa demam.
Pipi dan leher memerah serta nyeri pada bagian yang memerah

2. Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan
kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya lebarnya kecil
namun setelah satu minggu lebarnya bertambah besar, demam, nyeri
dan terasa kaku seluruh persendian utamanya pada pagi hari dan
berkurang nafsu makan karena sariawan.

3. Riwayat Penyakit dahulu :


Tidak ada

4. Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada

5. Riwayat pekerjaan/ kebiasaan :


Pasien seorang ibu rumah tangga

6. Riwayat Alergi :
Tidak ada

29
7. Pengkajian Sistem Tubuh :
a. Sistem Pernapasan
 RR 20x/mnt
 Napas dalam terlihat seperti menahan nyeri
b. Sistem Kardiovaskuler
 TD 110/80 mmHg
 Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan
lesi papuler,eritematous dan purpur di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
c. Sistem Persyarafan
Gangguan psikologis

d. Sistem Perkemihan
Tidak ada

e. Sistem Pencernaann
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum

f. Sistem Muskuloskeletal
 Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari
 Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk
kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi
g. Sistim Endokrin
Tidak ada

h. Sistim sensori persepsi


Tidak ada

i. Sistim integument
SH: 38,5C, demam (+)

j. Sistim imun dan hematologi

30
 Tes fluorensi untuk menetukan antinuelear antibody
(ANA), positif dengan titer tinggi pada 98% penderita
SLE
 Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
 Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk
diagnose SLE
 Tes sifilis bisa positif palsu pada pemeriksaan SLE
 Pemeriksaan zat antifosfolipid (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk menentukan adanya
thrombosis pada pembuluh arteri atau pembuluh vena
atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam
kandungan dan trombositopeni
 HB 11gr/dl
 WBC 15.000/mm

k. Sistim Reproduksi
Tidak ada masalah disistem reproduksi

8. Pengkajian Fungsional

1. Oksigenasi
RR:20x/mnt
2. Cairan dan Elektrolit
terpasang infus RL 20tpm
3. Nutrisi
Mual (-), muntah (-)
4. Aman dan Nyaman
Kulit memerah pada daerah pipi dan leher
5. Eliminasi
BAK (-), BAB (-)
6. Aktivitas dan Istirahat
Kurang
7. Psikososial

31
Dapat mengalami ketidakpercayaan diri akibat dari penyakitnya

8. Komunikasi
Terganggu karena sariawan pada mukosa mulut
9. Seksual
Tidak ada perubahan
10. Nilai dan Keyakinan
Tidak ada pantangan yang berhubungan dengan nilai dengan
keyakinan pasien
11. Belajar
Tidak ada kelainan

32
9. PemeriksaanPenunjang
a. Hasil Laboratorium
Tangg Pemeriksa Hasil Nilai Interpreta
al an Normal si

01-01- Hb 17,3 gr% 13-16


2019 WBC gr%
15.000/m
5.000-
m
10.000/m
m

b. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Rontgen tidak ada kelainan

10. ProgamTerapi
Terapi medis tgl 01-01-2019 :

 Injeksi Stabixin 2x1gram


 Injeksi medixon 2x 125 mg
 Omeprazol 2x1 ampul
 Vitamin C 2x1 ampul

33
D. ANALISA DATA

Hari/Tgl/Ja Data Fokus Etiologi Problem


m
Kamis/01-01- Ds : Nyeri pada Genetic, lingkungan, Nyeri
sendi dan bagian
19/08.00 hormonal, obat
yang tertentu
mengalami

kemerahan
Produksi autoimun
Do : pasien berlebihan
terlihat menahan

nyeri
Autoimun
TD menyerang organ
110/80mmHg,
tubuh
RR

20x/mnt,
SLE
S 38,5C, N

90x.mnt
Kerusakan jaringan
Kamis/01-01- ↓
19/11.00 Nyeri kronis

Genetic, lingkungan,
Peningkata
hormone, obat
n suhu
tertentu tubuh

Produkasi autoimun

Ds : Pasien berlebih
mengeluhkan ↓
demam Autoimun
Do : TD 110/80 menyerang orang
mmHg tubuh

RR
20x/mnt Terjadi reaksi
inflamasi
S 38,5 C

34
N Peningkatan suhu
90x/mnt
Kamis/01-01- tubuh
19/13.00

Genetic, Keletihan

lingkungan,hormone
, obat tertentu

Produksi autoimun
berlebih

Autoimun
Ds : Nyeri pada menyerang orang
sendi dan bagian tubuh

yang
mengalami SLE
kemerahan, ↓

pasien Menyerang darah


mengeluh mudah ↓
lelah HB menurun

ketika ↓ Gangguan
beraktivitas. Suplai oksigen integritas
kulit
menurun
Kamis,01-01- ↓
2019/ 15.00 Do : Pasien ATP menurun
terlihat menahan

nyeri
Keletihan
TD
110/80mmHg,
RR Genetic, lingkungan,
hormone, obat
20x/mnt,
tertentu
S 38,5C, N
90x/mnt ↓
Produksi autoimun
berlebihan

35

Kamis,01-01- Autoimun
2019 /15.00 menyerang organ
tubuh

Gangguan
SLE
mobilitas
↓ fisik
Menyerang kulit

Kerusakan integritas
kulit Gangguan
Genetic, lingkungan, citra tubuh
hormone, obat
tertentu

Ds : Nyeri pada ↓
sendi dan bagian Produksi autoimun
Kamis 01-01- berlebihan
2019, 16.00 yangmengalami ↓
kemerahan Autoimun
menyerang organ
Do : TD
110/80mmHg, tubuh
RR ↓

20x/mnt, SLE
S 38,5C, N ↓
90x/mnt Arthritis

Kulit ↓
kering dan Gangguan mobilitas
kemerahan fisik

Genetic, lingkungan,
hormone, obat
tertentu

Produksi

36
autoimun berlebihan

SLE

Menyerang kulit

Kerusakan integritas
kulit

Ds : Nyeri pada Gangguan citra
sendi bagian tubuh ( body image
yang

menglami
kemerahan

Do : Pasien
terlihat menahan
nyeri

TD
110/80mmHg,R
R

20x/mnt,
S 38,5c, N
90x/mnt

37
Ds : Pasien
mengatakan
malu

terhadap
kemerahan pada
pipi

dan leher

Do : Pasien
menunduk saat
masuk

UGD

TD
110/80mmHg,R
R

20x/mnt,
S 38,5c, N
90x/mnt

DIAGNOSAKEPERAWATAN

1. Nyeri kronis berhubungan dengan agen pencedera


2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi

38
39
Nama : Ny. S Umur : 35 thn No. Dokumen RM :

Ruang : Dahlia Kelas : 1-1 Tanggal : 01-01-2019

INTERVENSI

Hari/Tgl Diagnosa Tujuan Dan Intervensi ( NIC)


/Jam Keperawatan Kriteria Hasil

NOC

Kamis/01 Nyeri kronis Setelah dilakukan Menejemen nyeri :


-01-19/ berhubungan tindakan
08.00 dengan agen keperawatan 1. Lakukan pengkajian nyeri
komprehensif yang meliputi lokasi,
pencedera selama 1x24 jam karakteristik, onset atau durasi,
nyeri kronis dapat frekwensi, kualitas, intensitas dan
berkurang dengan faktor pencetus
kriteria hasil : 2. Berikan informasi mengenai nyeri
seperti penyebab beberapa lama
Kontrol nyeri nyeri dan antisipasi dari ketidak
nyamanan nyeri.
a. Mengenal 3. Dorong pasien untuk memonitor
kapan nyeri nyeri dan menangani nyerinya
terjadi
dengan tepat
b. Menggambar
kan faktor 4. Pastikan pemberian analgetik dan
Penyebab atau startegi nonfarmakologi.
c. Menggunaka
n tindakan
pencegahan
atau
pengurangan
Kamis / nyeri tanpa
anlagesik Fever treatment :
01-01-19 Peningkatan
d. Menggunaka
11.00 suhu tubuh n analgesic 1. Monitoring suhu sesering mungkin
berhubungan yang
direkomenda 2. Monitoringwarna dan suhu kulit
dengan
sikan 3. Monitoring WBC,Hb dan Hct
inflamasi 4. Monitoringintake output
5. Beri kompres pada lipatan paha dan axila
6. Kolaborasi pemberian
Setelah dilakukan
tindakan selama 1x Antipireutik
24 jam suhu tubuh Cairan intravena
normal dengan NOC
: Thermoregulation Temperature regulation :
Kriteria hasil : 1. Monitoring suhu berkala
2. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

i
a. Suhu tubuh
dalam batas
normal
b. Nadi dan RR
dalam
rentang
normal
c. Tidak ada
perubahan
warna kulit
dan tidak ada
pusing,
pasien
merasa
nyaman

Hari/Tgl/Jam Diagnosa Implementasi Respon


Keperawatan
Kamis/01-01-19/ Nyeri kronis 1. Melakukan 1. Pasien mampu menunjukan lokasi
08.00 berhubungan pengkajian nyeri nyeri pada sendi yang mengalami
dengan agen komprehensif kemerahan dengan skala nyeri 8
yang meliputi menurun menjadi skla nyeri 3
pencedera lokasi, atau ringan dengan pencetus
karakteristik, pada saat melakukan aktifitas.
lokasi atau durasi, 2. Pasien dapat mengetahui
frekwensi, penanganan nyeri dengan
kualitas, therapifarmakologi (analgesic)
Kamis / 01-01- intensitas dan dan nofarmakologi (tehnik
19 11.00 Peningkatan faktor pencetus. relaksasi nafas dalam.
2. Memberikan
suhu tubuh
informasi
berhubungan mengenai nyeri 1. Suhu 37,8˚C, Akral teraba hangat
dengan seperti penyebab, 2. Pasien mampu minum air putih
inflamasi berapa lama nyeri 600cc sejak jam 11.00 dan BAK 2
dan antisifasi dari kali
ketidak nyamanan 3. Pasien dapat mengetahui
nyeri. kompres di lipatan paha dan axila
3. Mendorong dan tampak terpasang kompresan
pasien untuk 4. Cairan intravena diberikan dan
memonitor nyeri paracetamol drip terpasang
dan menangani melalui infusan

ii
nyerinya dengan
tepat.
4. Memastikan
pemberian
analgesik dan
atau strategi
nonfarmakologi
(teknik relaksasi
nafas dalam).

1. Memonitoring
suhu
2. Memonitoring
intake output
3. Memonitoring
hasil laboratorium
4. Beri kompres
pada lipatan paha
dan axila
5. Memberikan
cairan intravena
dan paracetamol
drip

Hari/Tgl/Jam Diagnosa Keperawatan Evaluasi

Kamis/01-01-19/ Nyeri kronis berhubungan S : Pasien mengatakan nyeri sendi dan kemerahan pada
08.00 dengan agen pencedera lutut berkurang

O: Skala nyeri berkurang dari 8 menjadi 3

Pasien tampak riles ditandai dengan hemodinamik


stabil

Pasien dapatmelakukan teknik relaksasi nafas dalam


Peningkatan suhu tubuh A : Lanjut intervensi 3 dan 4
berhubungan dengan
inflamasi P : Masalah teratasi sebagian

Kamis/ 01-01-19 S : Pasien mengatakan masih sedikit pusing dan demam


11.00

iii
O: KU lemah Kesadaran Composmentis Suhu 37,8˚C, akral teraba
hangat, terpasang infus RL 20 tpm dengan triway paracetamol
drip

A : Lanjut intervensi treatment regulation

P : Masalah teratasi sebagian

iv
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 PENGKAJIAN
Dari hasil studi kasus ini untuk tahap pengkajian tidak ditemukan adanya
kesenjangan antara teori dan kasus nyata. Manifestasi klinis pada teori pasien
muncul demam, pembentukan ruam, atritis, pericarditis. Bila dikaitkan dengan
kondisi Ny. S saat pengkajian pada tanggal 01-01-2019 manifestasi klinis
yang ditemukan pasien merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada
daerah pipi dan leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut
bertambah lebar, demam, nyeri dan terasa kaku seluruh persendian terutama
pagi hari. Sehingga pengkajian pada diagnosis nyeri kronis berhubungan
dengan pencedera, berdasarkan teori mampu diterapkan pada praktek nyata dan
dinilai efektif dalam hasil yang diperoleh.
4.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut teori terdapat 5 diagnosa keperawatan pada pasien SLE, sedangkan
dari hasil pengumpulan data yang dilakukan kepada Ny.S tanggal 01-01-2019
ditemukan 2 diagonasa keperawatan yaitu Nyeri kronis berhubungan dengan
agen pencedera dan Peningkatan Suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi.
4.3 INTERVENSI
Dari hasil intervensi yang dilakukan tidak terdapat kesenjangan antara teori
yang dilakukan. Karena intervensi yang diberikan kepada Ny.S disesuaikan
dengan teori Nanda,NIC,NOC.
4.4 IMPLEMENTASI
Dari hasil yang diperoleh dari implementasi yang dilakukan tidak terdapat
kesenjangan antara teori yang dilakukan. Karena implementasi yang diberikan
kepada Ny.S disesuaikan dengan teori Nanda,NIC,NOC.
4.5 EVALUASI
Dari tindakan evaluasi yang dilakukan ditemukan adanya kesenjangan
anatara teori dan praktek nyata, kareana evaluasi merupakan hasil akhir dari
asuhan keperawatan dengan mengidentifikasi sejauh mana tujuan rencana
keperawatan tercapai atau tidak selama pasien dirawat. Pada saat evaluasi yang
dilakukan adalah mengevaluasi selama tindakan asuhan keperawatan
berlangsung atau selama pasien dirawat.

v
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi
autoimunpada jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri
sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada
pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen
memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan
( Elizabeth 2009).Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler
kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan
antibody terhadap organ tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan
fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk
sendi,ginjal,paru-paru seta jantung (Glade,1999). SLE (systemic lupus
erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan nyeri sendi
(arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk kupu-
kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap IgG dan
imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat
mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang
ginjal. Sama dengan rematik,SLE juga merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh
lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada prempuan. Sebabnya tidak
diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan
sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1
kapsul (tan&kirana,2007)
Penyakit ini disebabkan oleh faktor genetic, faktor imunologi ,faktor
hormonal dan faktor lingkungan. Manifestasi klinik dari penyakit ini dapat berupa
konstitusional, integument, musculoskeletal, paru-paru, kardivaskuler, ginjal,
gastrointestinal, hemopoetik dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan diagnostic dari
penyakit ini adalah pemeriksaan laboratorium pemeriksaan laboratorium lainnya
dan pemeriksaan penunjang.

6
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi selama usia prodiktif)
dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut terlihat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing


Interventions Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook


for Nurse Practitioner. USA : Saunders

Herdman, T.Heather.(2012). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐
Blacwell, A John Wiley & SonsLtd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Perhimpunan ReumatologiIndonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus:


modern strategies for management – a moving target. Best
Practice & Research Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp.
971–987, 2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online
at http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of


Systemic Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And
Child Health 18:2. Published By Elsevier Ltd. Symposium:
Bone & Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing


Outcomes Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis:
Mosby Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong


(Wong’s Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing


care: optimizing outcomes for mothers, children, and Families.
United States of America : F.A. Davis Compan

8
9

Anda mungkin juga menyukai