Anda di halaman 1dari 38

TUGAS TERSTRUKTUR

PROPOSAL SKRIPSI
METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG


MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM
PERKARA WARIS
(PUTUSAN NOMOR 84/PDT.G/2010/PN.YK)

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H.
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H.
Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H.

Penyusun:
Veby Fardiana (130710101108)
Cheppy Anugerah (140710101240)
Vicky Hibal J. (140710101248)
Enis Sukmawati (140710101261)
Berlian Permatasari (140710101262)
Ayu Ratnasari (140710101308)
Nadia Marsya A. (140710101310)
Fedora Aryafina P. (140710101317)
Rizky Pratama (140710101325)
Bryan Joshua D.S. (140710101344)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2017
TUGAS TERSTRUKTUR
PROPOSAL SKRIPSI
METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG


MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM
PERKARA WARIS
(PUTUSAN NOMOR 84/PDT.G/2010/PN.YK)

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H.
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H.
Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H.

Penyusun:
Veby Fardiana (130710101108)
Cheppy Anugerah (140710101240)
Vicky Hibal J. (140710101248)
Enis Sukmawati (140710101261)
Berlian Permatasari (140710101262)
Ayu Ratnasari (140710101308)
Nadia Marsya A. (140710101310)
Fedora Aryafina P. (140710101317)
Rizky Pratama (140710101325)
Bryan Joshua D.S. (140710101344)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2017

i
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN......................................................... I


HALAMAN SAMPUL DALAM......................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................. iii
BAB I: PENDAHULUAN................................................................ 1
1.1 Latar Belakang............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian......................................................... 5
BAB II: METODE PENELITIAN................................................... 6
2.1 Tipe Penelitian............................................................... 6
2.2 Pendekatan Penelitian.................................................. 8
3.2.1 Pendekatan Kasus................................................... 8
3.2.2 Pemdekatan Konseptual.......................................... 8
2.3 Sumber Bahan Hukum.................................................. 9
3.3.1 Bahan Hukum Primer.............................................. 9
3.3.2 Bahan Hukum Sekunder.......................................... 9
2.4 Analisa Bahan Hukum................................................... 10
BAB III: TINJAUAN PUSTAKA..................................................... 11
3.1 Gugatan......................................................................... 11
3.1.1 Pengertian Gugatan................................................ 11
3.1.2 Syarat-Syarat Gugatan............................................ 13
3.2 Putusan Pengadilan...................................................... 17
3.2.1 Pengertian Putusan................................................. 17
3.2.2 Jenis-Jenis Putusan................................................. 17
3.3 Upaya Hukum................................................................ 25
3.3.1 Upaya Hukum Biasa................................................ 26
3.3.2 Upaya Hukum Luar Biasa........................................ 29
BAB IV: SISTEMATIKA PENULISAN............................................ 33
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 34
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan
berinteraksi satu sama lain. Olah sebab itu manusia disebut makhluk
sosial yang cenderung hidup berkelompok atau bermasyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, dituntut adanya interaksi agar
suatu komunikasi dapat terjalin dan dengan interaksi pula tiap
individu mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat banyak sekali dan
beraneka ragam kepentingan-kepentingan yang harus dihormati dan
dilindungi. Sehingga wajar saja kalau setiap orang atau kelompok
mengharapkan kepentingan-kepentingannya itu dipenuhi. Mengingat
akan banyaknya kepentingan yang hendak dicapai, tidak mustahil
terjadi konflik atau bentrokan antara sesama manusia, karena
kepentingannya saling bertentangan. Konflik kepentingan ini terjadi
apabila dalam melaksanakan kepentingannya seseorang merugikan
orang lain. Di dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat, konflik
ini tidak dapat dihindarkan.1
Untuk menjaga ketertiban dalam kehidupan masyarakat,
maka diperlukan suatu pedoman yang menjadi aturan main dalam
menjalani segala aktivitas masyarakat. Pedoman atau aturan untuk
berperilaku dalam kehidupan bersama ini disebut sebagai kaidah
sosial yang pada hakikatnya adalah suatu pandangan mengenai
bagaimana berperilaku yang seharusnya dilakukan dan yang tidak
harus dilakukan.2

1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2010). Hlm. 4.
2
Ibid. hlm. 5.
2

Terhadap pergesekan-pergesekan yang dapat menimbulkan


ketidakstabilan dalam masyarakat, perlu adanya mekanisme hukum
untuk memulihkan hubungan masyarakat dengan menggunakan
suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menjalankan dan
menegakkan hukum yang berlaku dan mengikat bagi setiap subjek
hukum. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya tindakan main
hakim sendiri (eigenrichting).3
Mekanisme penyelesaian sengketa yang dimaksud berupa
sistem peradilan. Dalam hal ini, suatu sistem peradilan merupakaan
pelaksanaan dari hukum materiil. Menurut R. Subekti, Hukum acara
itu mengabdi kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap
perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya diikuti
penyesuaian hukum acaranya.4 Oleh sebab itu Hukum Perdata diikuti
dengan penyesuaian hukum acara perdata. Dalam hal ini, hukum
acara perdata merupakan hukum perdata formil yaitu kseluruh
kaidah hukumnya mengatur bagaimana cara berperkara
dipengadilan sebagai bentuk pelaksanaan hak dan kewajiban yang
telah diatur dalam hukum perdata materiil.
Menurut ketentuan pasal 118 HIR gugatan harus diajukan
dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau
wakilnya.5 Meski tertulis jelas bahwa gugatan diajukan dengan surat,
dibenarkan pula kepada mereka yang buta huruf mengajukan
gugatan secara lisan. Namun dalam perkembangannya, praktek
peradilan sekarang ini sudah tidak lazim lagi ditemukan gugatan
secara lisan. Baik gugatan secara lisan ataupun secara tertulis, pada
pasal 121 ayat (4) HIR/145 Ayat (4) RBG diatur mengenai biaya
perkara. Sehingga ada panjar biaya perkara yang harus dibayarkan

3
Ibid. Hlm. 28.
4
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2009). Hlm. 5.
5
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009). Hlm. 15.
3

oleh penggugat kepada panitera. Bagi meraka yang tidak mampu


untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara
Cuma-Cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan
dari pembayaran biaya, dengan mengajukan surat keterangan tidak
mampu yang dibuat oleh camat setempat6
Suatu gugatan diajukan karena adanya hak dari salah satu
pihak yang dilanggar atau dirugikan, kemudian pihak yang dirugikan
tersebut melakukan suatu tuntutan hak pada pengadilan agar hak
nya terlindungi. Dengan kata lain, tujuan akhir dari tuntutan hak
tersebut agar mendapatkan hasil dari segala proses yang berasal dari
pemeriksaan perkara kemudian oleh hakim perkara tersebut diputus
dan memberikan akibat hukum yang tepat bagi para pihaknya yang
bersengketa. Putusan yang diberikan oleh hakim berupa putusan
yang mengabulkan gugatan, menolak gugatan, pengadilan tidak
berwenang mengadili, dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima
(Niet Ontvankelijk Verklaard).7
Alasan pengadilan menyatakan suatu gugatan tidak dapat
diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) atau yang biasa disingkat NO,
dikarenakan ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan
hakim. salah satunya karena isi gugatan kabur atau tidak jelas dan
karena suatu gugatan kurang para pihaknya. Tidak ada ketentuan
dalam HIR (Herzien Indonesis Reglement) atau Reglemen Indonesia
yang diperbaharui: S.1848 N0 16, S 1941 N0 44 untuk daerah jawa
dan madura) dan RBg (Rechtsglement Buitengewesten) atau
Reglemen daerah seberang: S. 1927 N0 227 untuk luar jawa dan
madura) yang mengatur mengenai syarat tentang isi gugatan. 8
Meskipun tidak ditentukan mengenai syarat-syarat suatu gugatan,

6
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 10.
7
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata , (Bandung:
PT Citra aditya bakti, 1996), Hlm.208.
8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2009), Hlm. 67.
4

namun suatu gugatan mestinya dibuat karena adanya kepentingan


langsung atau melekat dari pihak yang merasa dirugikan dan
gugatan tersebut dijelaskan secara sistematis terkait perkaranya.9
Salah satu bentuk putusan Hakim yang mengandung cacat
formil yang dinyatakan NO dan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena tidak diajukan banding adalah Putusan Pengadilan
Negeri Yogyakarta dengan register perkara nomor
84/Pdt.G/2010/PN.Yk. sengketa ini terjadi antara para pihak tergugat
yang dalam hal ini pihak penggugat adalah para ahli waris dan ahli
waris pengganti yang mengajukan gugatan terhadap pihak tergugat
yang dalam hal ini sebenarnya yang menjadi pihak tergugat bukan
merupakan orang yang mengetahui pokok permasalahan dari
perkara yang diajukan. Perkara ini bermula dari seseorang yang
merupakan pewaris atau orang tua atau kakek dari ahli waris yang
melakukan jual beli tanah dan bangunan dengan sebuah perusahaan
yang kemudian tanah dan bangunan tersebut oleh perusahaan
memberi ijin tinggal kepada karyawannya. Namun setelah
karyawannya tidak bekerja lagi diperusahaan tersebut, kemudian ia
memberikan ijinnya tersebut kepada orang lain yakni teman
dekatnya yang juga telah merawatnya ketika sakit dan kemudian
orang tersebut yang dijadikan pihak tergugat oleh para penggugat.
dalam perkara perdata nomor 84/Pdt.G/2010/PN.Yk, Majelis
Hakim dalam memutus perkara tersebut menyatakan bahwa gugatan
yang diajukan para penggugat terdapat cacat formil, yakni kurang
pihak tergugat dan gugatan yang diajukan tersebut merupakan salah
gugat. Oleh demikian, majelis hakim menjatuhkan putusan NO (Niet
Onvankelijke Verklaard) pada perkara tersebut dan menghukum para
penggugat untuk membayar biaya perkara.

9
Darwan prinst, Op.Cit. hlm. 3.
5

Berdasarkan dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk


mengkaji permasalahan terhadap perkara tersebut yang tertuang
dalam putusan perdata nomor 84/Pdt.G/2010/PN.Yk. terkait
ketertarikan penulis ini akan dituangkan dalam skripsi dengan judul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Hakim Yang
Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima Dalam Perkara
Waris (Putusan Nomor 84/Pdt.G/2010/PN.Yk).”

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam putusan dengan amar
gugatan tidak dapat diterima (Niet Ont van kelijk ver klaard)
terhadap perkara waris (Putusan Nomor 84/Pdt.G/2010/PN.Yk)?
2. Apakah akibat hukum terhadap putusan dengan amar gugatan
tidak dapat diterima (Niet Ont van kelijk ver klaard) terhadap
perkara waris (Putusan Nomor 84/Pdt.G/2010/PN.Yk)?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian skripsi ini ada 2 (dua) yaitu :
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim yang
digunakan dalam memutus perkara waris pada putusan nomor
84/Pdt.g/2010/PN.Yk
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap
putusan dengan amar gugatan tidak dapat diterima (Niet Ont van
kelijk ver klaard) terhadap perkara waris pada putusan nomor
84/Pdt.G/2010/PN.Yk
6

BAB II
METODE PENELITIAN

Metode memiliki defini yakni suatu cara, sedangkan penelitian


adalah suatu proses penemuan terhadap sesuatu yang dilakukan
secara sistematis. Dengan kata lain, Metode penelitian merupakan
suatu cara yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Metode
penelitian ini memiliki peran untuk mengetahui cara apa saja yang
digunakan dalam menjawab pertanyaan terkait penulisan penelitian
ini. Dari proses tersebut, akan diperoleh suatu jawaban, meskipun
jawaban tersebut kebenarannya hanya bersifat sementara.10
Mengapa demikian, sebab dari pertanyaan pertanyaan terkait issue
hukum yang terjadi akan dipertanyakan kembali dimasa yang akan
datang dan yang pada akhirnya ditemui jawaban yang kebenarannya
mengikuti pada masa tertentu. Sehingga ilmu ini akan terus menerus
mengalami perkembangan. Oleh karena itu, metode penelitian
hukum dijadikan sebagai suatu cara untuk memperoleh pengetahuan
tentang fenomena suatu hal tertentu.

2.1. Tipe Penelitian


Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada suatu metode yang dilakukan secara
sistematis dengan tujuan untuk mempelajari fenomena hukum yang
terjadi. Berbeda dengan penelitian lainnya, ilmu hukum merupakan
ilmu yang istimewa (sui generis).11 sebab ilmu hukum memiliki
metodenya sendiri. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan
adalah yuridis normatif yang berarti penelitian ini melihat hukum

10
W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2002). Hlm. 10.
11
Philipus M. Hadjon, Jurnal Hukum: Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Sui Generis,
(jakarta: Universitas Trisakti, 2008)
7

sebagai sistem normatif yang tertutup otonom.12 Dalam penelitian


yuridis normatif atau kepustakaan (library research) yang mana
penelitian ini mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
pengadilan yang ada dalam masyaratkat, maka Tipe Penelitian ini
mencoba untuk memfokuskan dalam menjawab permasalahan
dengan mengkaji bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan
untuk menemukan kebenaran terhadap pokok permasalahan yang
terjadi.

12
Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988). Hlm. 13.
8

2.2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum yang tipe penelitiannya adalah yuridis


normatif, maka pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah
pendekatan kasus dan pendekatan konseptual guna membantu
memahami isu hukum yang akan dibahas.

2.2.1. Pendekatan Kasus


Pendekatan kasus atau case aprroach yakni pendekatan yang
dilakukan dengan memahami alasan-alasan hukum oleh hakim untuk
sampai pada putusan atau ratio decidendi.13 Dengan pendekatan ini,
maka yang harus dipahami oleh penulis adalah memperhatikan
fakta-fakta materiel yang ada. Hal tersebut harus diperhatikan
karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum
yang tepat untuk diterapkan. Dalam memahami fakta materiel perlu
diperhatikan tingkat abstraksi rumusan fakta yang diajukan.

2.2.2. Pendekatan Konseptual


Pendekatan konseptual atau conceptual approach digunakan
bagi penelitian yang tidak lepas dari aturan hukum yang ada. Dalam
menggunakan pendekatan konseptual yang harus dipahami peneliti
adalah merujuk terhadap prinsip-prinsip hukum yang ditemukan
dalam pandangan para sarjana hukum ataupun doktin-doktrin
hukum.14

2.3. Sumber Bahan Hukum

13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013). Hlm. 158.
14
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004). Hlm. 110
9

Penelitian Hukum tidak mengenal adanya data.15 Sehingga


untuk memecahkan isu hukum yang terjadi diperlukan sumber-
sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder.

2.3.1. Bahan Hukum Primer


Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif atau mempunyai otoritas.16 Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, putusan pengadilan dan peraturan-
peraturan yang dikeluarkan oleh badan administrasi.
Bahan hukum primer yang digunakan sebagai sumber untuk
menjawab isu hukum yang menjadi pokok permasalahan ini adalah:
1. HIR (Het Herzine Indonesich Reglement)
2. RBg (Rech Reglement Buitegewesten)
3. KUH Perdata
4. Peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki kaitannya
dengan objek peneliti (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung)
5. Putusan Pengadilan Negeri Nomor 84/Pdt.G/2010/PN.Yk
2.3.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Meliputi buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.17 Bahan
hukum sekunder tersebut merupakan bahan hukum yang
melengkapi bahan hukum primer dalam menjawab isu hukum yang
ada.
Bahan hukum sekunder yang dijadikan sebagai bahan hukum
untuk menjawab isu hukum terkait keabsahan jual-beli yang

15
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. Hlm. 181.
16
Ibid. Hlm. 182
17
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Op.Cit. Hlm. 50.
10

dilakukan tanpa adanya balik nama serta siap saja yang dapat
dikatakan sebagai ahli waris. Dengan didukung dengan kepustakaan-
kepustakan yang dimaksud akan dapat menjawab permasalahan
yang sedang diteliti.

2.4. Analisis Bahan Hukum


Dalam melakukan penelitian hukum ada langkah-langkah
yang harus dilakukan agar dapat menemukan jawaban dari
fenomena hukum yang terjadi. Adapun langkah-langkah yang harus
dilakukan:18
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang
mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan
bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab
isu hukum;
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah
dibangun di dalam kesimpulan.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

18
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. Hlm. 213
11

3.1. Gugatan
3.1.1 Pengertian Gugatan
Perkara yang dihadapi oleh seseorang dapat berupa persoalan
yang mengandung konflik dan tidak mengandung konflik. Dalam
hukum acara perdata dikenal dengan dua pedoman, yakni perkara
contentiosa dan perkara voluntaria.19 Yang menjadi pembeda
diantara keduanya yakni, perkara contentiosa adalah perkara yang
didalamnya terdapat sengketa dua pihak atau lebih. Sehingga
perkara ini yang biasa disebut dengan gugatan. Sedangkan perkara
voluntaria sifatnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan
didalamnya, tetapi hanya semata mata untuk kepentingan sepihak
atau dengan kata lain tidak ada pihak lawan didalamnya. Dalam hal
ini perkara voluntaria merupakan sebuah permohonan.
Tahapan penyelesaian sengketa dalam hukum acara perdata
salah satu komponen paling utama ialah sebuah gugatan. Dalam
tahapan beracara yang pertama kali dilakukan adalah membuat
gugatan. Dalam hal ini, Gugatan merupakan suatu tuntutan yang
mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan putusan. Sengketa tersebut terjadi antara seseorang
atau beberapa orang dengan orang lain. Orang-orang tersebut
kemudian disebut sebagai para pihak yang berperkara. Untuk
selanjutnya, yang mengajukan gugatan disebut sebagai pihak
penggugat dan lawannya disebut pihak tergugat.
Ada banyak pendapat yang diberikan oleh para ahli dalam
memberi pengertian terhadap gugatan. Menurut Prof. Dr. H. Zainal
Asikin, S.H., S.U. dalam bukunya memberi artian bahwa gugatan
adalah suatu tuntutan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang oleh seseorang mengenai suatu hal akibat

19
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia group,
2015). Hlm. 15.
12

adanya persengketaan dengan pihak lainnya.20 Lain halnya dengan


Prof. Sudikno Mertokusumo yang juga mempergunakan istilah
gugatan berupa tuntutan hak. Sebagaimana yang telah ia
kemukakan, bahwa tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah main hakim sendiri (eigenrichting).21
Dalam literatur lain memberikan pengertian mengenai
gugatan yakni suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan
terhadap pihak satu dengan pihak lainnya.22 Dari beberapa definisi
Gugatan yang telah disampaikan, inti dari Gugatan yakni berisikan
suatu tuntutan atau perkara yang disampaikan pihak penggugat
untuk pihak tergugat yang kemudian disampaikan kepada
Pengadilan untuk selanjutnya diperiksa perkaranya. Gugatan
diajukan ke pengadilan guna untuk diperiksa menurut tata cara
tertentu. Dan dengan pemeriksaan tersebut dapat diambil putusan
terhadap gugatan.

20
Ibid. Hlm. 19.
21
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 52.
22
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 2.
13

3.1.2. Syarat-syarat Gugatan


HIR/RBg tidak mengatur secara tegas tentang syarat-syarat
pembuatan suatu gugatan. Namun dalam pasal 8 ayat (3) Rv
(Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) mengharuskan
gugatan pada pokoknya memuat identitas para pihak, (posita) yaitu
dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan, dan petitum atau
tuntutan.23 Oleh karena itu, akan diuraikan hal-hal apa saja yang
harus dirumuskan dalam surat gugatan.
1. Ditujukan kepada Pengadilan sesuai kompetensi relatif
Surat gugatan tentu saja ditujukan kepada pengadilan yang
sesuai dengan kompetensi relatifnya, yang dimaksud sesuai
dengan kompetensi relatifnya yakni suatu gugatan dialamtkan
kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan
mengadili. Apabila suatu gugatan diajukan tidak sesuai dengan
kompetensi relatif dari pengadilan, maka dari itu pengadilan
dapat menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima karena
alasan hakim tidak berwenang mengadili.24

23
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 30.
24
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). Hlm. 51.
14

2. Diberi tanggal
Dalam penulisan tanggal tidak ada ketentuan yang
menyebutkan suatu gugatan harus mencantumkan tanggal.
Artinya bahwa tidak diwajibkan untuk pencantuman tanggal.
Sehingga sangat tidak tepat apabila pencantuman tanggal
disebut sebagai syarat formil suatu gugatan. Sebab, apabila
adanya kelalaian atas pencantuman tanggal atau bahkan tidak
dicantumkan tanggal pada suatu gugatan tetap dianggap sah
menurut hukum dan tidak mengakibatkan surat gugatan
mengandung cacat formil. Namun dengan pencantuman tanggal
dapat menjamin kepastian hukum. 25Sehingga, apabila terjadi
kekeliruan, pencantuman tanggal dapat dijadikan jalan
keluarnya.
3. Ditandatangani pihak penggugat atau kuasa
Pada pasal 118 ayat (1) HIR menyebutkan bahwa gugatan
perdata yang diajukan kedalam pengadilan negeri sesuai
kompetensi relatifnya, juga dibuat dalam bentuk surat
permohonan yang diberi tandatangan oleh penggugat atau
wakilnya (kuasan ya). Sehingga pemberian tanda tangan ini
dikatakan sebagai syarat formil suatu gugatan. Dalam hal ini,
maksud dari tanda tangan yakni berupa tanda tangan yang ditulis
dengan tangan sendiri dan dapat berupa cap jempol. Menurut
ST.1919-776 cap jempol berupa cap ibu jari tangan disamakan
dengan tanda tangan dan dianggap sah apabila cap jempol
tersebut telah dilegalisasi oleh pejabat berwenang.26

25
Ibid. Hlm. 52.
26
Ibid. Hlm. 53.
15

4. Identitas para pihak


Dalam surat gugatan harus jelas diuraikan mengenai identitas
dari pihak penggugatan dan pihak tergugat.27 Surat gugatan yang
tidak menyebutkan identitas para pihak dianggap tidak sah.
Fungsi dari mencantuman identitas para pihak yakni untuk
mempermudah pengadilan dalam hal menyampaikan panggilan
atau pemberitahuan. Sehingga pencantuman identitas pada surat
gugatan mencakup nama lengkap para pihak dan alamat atau
tempat tinggal. Terhadap kekeliruan dalam penyebutan nama
yang serius dan menyimpang sebagaimana mestinya membuat
suatu gugatan dianggap cacat formil.28 Sehingga dapat dijadikan
alasan oleh hakim untuk menyatakan gugatan tidak dapat
diterima karena error in persona atau obscuur libel.
5. Fundamental petendi
Fundamental petendi atau posita merupakan dalil-dalil
konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar
serta alasan dari tuntutan.29 Dalam posita gugatan, yang dimuat
adalah obyek perkara, yakni hal apa gugatan itu diajukan dan
harus diuraikan secara jelas terperinci. Selain itu, fakta-fakta
hukum yang menyebabkan timbulnya sengketa. Posita gugatan
dijadikan sebagai landasan pemeriksaan dan penyelesaian
perkara.30 Dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak
boleh menyimpang dari dalil gugatan.

27
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 28.
28
M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hlm. 54.
29
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 30.
30
M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hlm. 57.
16

6. Petitum gugatan
Petitum merupakan kesimpulan dari suatu gugatan yang
berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh Hakim
atau pengadilan. Dengan kata lain, petitum berisi tuntutan atau
permintaan kepada pengadilan untuk ditetapkan sebagai hak
penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua
belah pihak.31 Petitum terdiri dari dua bagian, yaitu petitum
primair dan petitum subsidair.32 Petitum primair mencakupm hal-
hal pokok yang dimohonkan kepada hakim untuk dikabulkan. Dan
petitum subsidair merupakan kebebasan yang diberikan kepada
Hakim untuk mengabulkan hal-hal yang lain dari petitum primair.

3.2. Putusan

31
Ibid. Hlm. 63.
32
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 39.
17

3.2.1 Pengertian Putusan


Setelah segala proses pemeriksaan perkara dalam
persidangan telah dilakukan, tahap akhir dari proses tersebut yakni
penjatuhan putusan. Putusan pengadilan yang kemudian menjadi
babak akhir dalam pemeriksaan perkara inilah yang menjadi atau
memberikan akibat bagi para pihak mengenai menang dan kalahnya
pada suatu sengketa.
Putusan hakim adalah suatu penyataan yang oleh hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dipersidangan atau sengketa antara para pihak.33 Dari definisi
tersebut, maka putusan hakim merupakan suatu perbuatan hakim
yang dikemukakan dalam mengadili sebuah sengketa dengan
memandang fakta-fakta dari sengketa tersebut dan kemudian
dikaitkan dengan hukum yang ada. Oleh sebab itu, yang menjadi
bagian penting dari sebuah putusan hakim adalah pertimbangan
hukum yang diberikan oleh Hakim.
Putusan hakim bukanlah satu-satunya produk hukum yang
dikeluarkan oleh Hakim.34 Disamping putusan hakim, ada penetapan
hakim atau Beschikking yang merupakan hasil dari pemeriksaan
perkara voluntaria atau permohonan.

3.2.2.Jenis-Jenis Putusan
Putusan ditinjau dari berbagai segi:35
1. Dari Aspek Kehadiran Para Pihak
a. Putusan Gugatan Gugur
b. Putusan Verstek
c. Putusan Contradictoir
2. Putusan Ditinjau dari Sifatnya

33
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 212.
34
Ibid. Hlm. 210.
35
M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hlm. 873.
18

a. Putusan Deklarator
b. Putusan Constitutief
c. Putusan Condemnatoir
3. Putusan Ditinjau pada saat Penjatuhannya
a. Putusan Sela
b. Putusan Akhir
Berbagai macam putusan diatas akan diuraikan sebagai berikut: 36

1. Putusan Gugatan Gugur


Putusan Gugatan Gugur ialah putusan yang oleh Hakim suatu
permohonan gugatan dinyatakan gugur karena ketidakhadiran
dari pihak penggugat. Bentuk dari putusan ini diatur dalam pasal
124 HIR. Yakni pada waktu sidang yang telah ditetapkan apabila
penggugat tidak datang atau tidak menyuruh wakilnya untuk
mengahadiri persidangan padahal telah dipanggil dengan patut,
maka hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan berupa
menggugurkan gugatan penggugat. Terhadap putusan
penggugat tidak dapat mengajukan perlawanan atau verzet
karena sifat dari putusan ini mengikat para pihak atau final and
binding. Namun ada cara lain yang dapat ditempuh oleh
penggugat, yakni mengajukan gugatan baru dengan materi
pokok yang sama. Karena putusan ini tidak melekat ne bis in
idem.37

2. Putusan Verstek

36
Ibid. Hlm. 872-896.
37
Ibid. Hlm. 873.
19

Putusan verstek merupakan kebalikan dari pengguguran


gugatan. Putusan ini merupakan hukuman yang diberikan
undang-undang kepada pihak tergugat atas keingkarannya
menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa ada
pemberitahuan yang jelas kepada pengadilan. Dalam praktiknya
apabila tergugat tidak menghadiri sidang yang telah ditentukan
meski telah dipanggil secara sah, maka hakim akan menunda
proses persidangan. Kemudian setelah dipanggil untuk kedua
kalinya secara sah, namun tergugat tetap tidak hadir tanpa suatu
alasan yang sah dan tidak menghadirkan wakilnya, maka hakim
dapat menjatuhkan putusan diluar hadirnya tergugat atau yang
biasa disebut dengan putusan verstek dengan mengabulkan
gugatan penggugat.38 Dalam putusan verstek tergugat masih
dapat mengajukan perlawanan atau verzet dalam tenggang
waktu 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan verset kepada
tergugat.39

3. Putusan Contradictoir
Bentuk putusan ini ditinjau dari segi kehadiran para pihak
pada saat putusan diucapkan. Ada dua jenis putusan
kontradiktoir yakni pada saat putusan diucapkan para pihak hadir
dan ada pula pada saat putusan diucapkan salah satu pihak tidak
hadir.

38
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 212.
39
M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hlm. 874.
20

Putusan kontradiktoir adalah putusan yang diambil dengan


hadir atau pernah hadirnya pihak tergugat dipersidangan.40
Pengambilan putusan ini dengan sistem kontradiktoir, dimana
pada saat proses pemeriksaan perkara dipengadilan para pihak
menghadiri persidangan, namun selanjutnya pihak tergugat tidak
pernah menghadiri persidangan. Maka dari itu, hakim dapat
menjatuhkan putusan kontradiktoir. Terhadap putusan ini, pihak
tergugat dapat mengajukan banding.

4. Putusan Deklarator
Putusan deklarator merupakan putusan yang berisi penyataan
atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum
. artinya bahwa dalam putusan deklarator ini suatu penyataan
yang dituangkan hakim merupakan penjelasan atau penetapan
tentang suatu hak atau titel maupun status. Penyataan ini
dicantumkan dalam amar dan diktum putusan. Dengan putusan
ini dapat diketahui siapa yang mempunyai kedudukan atas
permasalahan yang disengketakan.41
Putusan deklarator merupakan bentuk putusan dari
permohonan atau perkara voluntaria. Pada putusan ini tidak
memerlukan upaya memaksa karena sudah mempunyai akibat
hukum tanpa bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan.
Sehingga hanyalah mempunyai kekuatan mengikat saja.42

40
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 213.
41
Ibid. Hlm. 876.
42
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 232.
21

5. Putusan Constitutief
Putusan constitutief atau konstitutif merupakan putusan yang
memastikan suatu keadaan hukum, baik bersifat meniadakan
suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan
hukum baru.43 Dengan kata lain, meniadakan suatu keadaan
ataupun menimbulkan keadaan hukum yang baru adalah misal
putusan pembatalan perjanjian. Hakim membatalkan perjanjian
antara pihak yang berperkara, berarti putusan yang diberikan
hakim tersebut meniadakan hubungan hukum semula dan serta
merta para pihak dikembalikan kepada keadaan semula.

6. Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir atau kondemnator adalah putusan
yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang
berperkara. Putusan kondemnator merupakan suatu kesatuan
yang tidak terpisah dengan amar deklaratif. Sehingga amar
deklaratif menjadi syarat mutlak utnuk menjatuhkan putusan
kondemnator.44
Suatu putusan yang hanya berisi amar deklarator tanpa
dibarengi amar kondemnator tidak memberi banyak manfaat
sebab putusan tersebut tidak secara efektif menyelesaikan
sengketa karena pelaksanaan atas pemenuhan putusan tidak
dapat dipaksakan melalui eksekusi apabila tergygat tidak mau
melaksanakan secara sukarela45

43
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 876.
44
Ibid. Hlm. 877.
45
Ibid. Hlm. 878.
22

Mengenai ciri putusan kondemnator tercantum amar atau


diktum yang berisi kalimat :46
a. Menghukum untuk membayar, menyerahkan, membongkar,
membagi, dan sebagainya, atau
b. Memerintahkan untuk membayar, menyerahkan,
membongkar, membaginya.

7. Putusan Sela
Interlocutoir vonis atau putusan sela merupakan putusan
yang diberikan hakim namun belum merupakan putusan akhir.
Dengan kata lain putusan ini disebut putusan sementara yang
fungsinya untuk memperlancar pemeriksaan perkara.47 Misalnya
pihak tergugat mengajukan suatu tangkisan (eksepsi), maka
dalam terhadap eksepsi tersebut diberikan suatu putusan yakni
putusan sela yang diucapkan terlebih dahulu sebelum diteruskan
memeriksa pokok perkara.
Dalam putusan sela dapat berupa:48
a. Putusan Provisional
Putusan Provisional adalah Putusan yang menjawab tuntutan
atau permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara
diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu
pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

b. Putusan Preparatoir

46
Ibid. Hlm. 878.
47
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 129.
48
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 233.
23

Putusan Preparatoir merupakan putusan sela guna


mempersiapkan putusan akhir. Dalam praktek seringkali
terjadi perbedaan pendapat, maka dalam keadaan demikian
hakim harus mengambil keputusan mengenai pengunduran
sidang.
c. Putusan Insidentil
Putusan Insidentil adalah putusan sela yang diambil secara
insidental atau dalam hal terjadi peristiwa yang menghentikan
prosedur peradilan biasa.

8. Putusan Akhir
Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu
sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan
tertentu.49
Putusan Akhir dari suatu perkara dapat berupa:50
a. Putusan Niet Onvankelijk Verklaart (NO)
Putusan tidak dapat diterima atau yang biasa disingkat
putusan NO ini merupakan suatu putusan yang menyatakan
gugatan dari penggugat tidak dapat diterima. Hal ini
dikarenakan gugatan yang diajukan oleh penggugat terdapat
kesalahan berupa:
- Gugatan tidak berdasar hukum
- Gugatannya salah
- Gugatannya kabur
- Gugatannya tidak lengkap
- Gugatannya tidak memenuhi syarat
- Dan lain-lain
Oleha karena itu, atas kesalahan kesalahan tersebut maka
hakim menjatuhkan putusan berupa gugatan tidak dapat

49
Ibid. Hlm. 231.
50
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 207-209
24

diterima. Yang untuk selanjutnya mengarahkan kepada


penggugat untuk memperbaiki gugatannya untuk kemudian
diajukan kembali di pengadilan.
b. Gugatan diterima
Terhadap putusan ini menyatakan bahwa gugatan yang
diajukan oleh penggugat yang oleh hakim dalam mengakhiri
sengketa yang terjadi bahwa gugatan dari penggugat
dikabulkan atau diterima. Sehingga tuntutan yang diajukan
penggugat dikabulkan oleh hakim berdasarkan fakta-fakta
yang ada selam proses persidangan.
c. Gugatan ditolak
Berbeda dengan putusan yang menyatakan gugata diterima,
putusan yang menyatakan gugatan ditolak berarti tuntutan
yang diajukan oleh penggugat tidak dapat dibuktikan
kebenarannya dimuka persidangan. Oleh sebab itu, hakim
memutuskan untuk menolak gugatan yan diajukan oleh
penggugat.

3.3. Upaya Hukum


25

Dalam praktek beracara, setelah proses pemeriksaan pengadilan


selesai dilakukan, kemudian oleh hakim tugas selanjutnya adalah
menjatuhkan putusan. Putusan yang diberikan hakim ada kalanya
tidak memuaskan bagi salah satu pihak, baik pihak penggugat maupun
pihak tergugat. Maka, terhadap hal tersebut pihak-pihak yang merasa
tidak puas dengan putusan yang diberikan oleh hakim dapat
mengajukan upaya hukum.
Terdapat upaya-upaya hukum dalam hukum acara. Yakni upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa atau istimewa. Sebelum
lebih jauh berbicara macam-macam upaya hukum yang dapat
dilakukan, maka akan diterangkan terlebih dahulu mengenai
pengertian dari upaya hukum.
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-
undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal
tertentu melawan putusan hakim.51 Pendapat lain menerangkan
bahwa upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-
undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu guna
melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak
puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa
yang diinginkan dan tidak memenuhi rasa keadilan.52
Dari beberapa pengertian diatas, maka upaya hukum dapat
dijadikan alat atau cara yang tepat dalam memperbaiki kekeliruan
dalam suatu putusan dan dengan upaya hukum dapat mewujudkan
kebenaran dan keadilan.

3.2.1. Upaya Hukum Biasa

51
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit. Hlm. 142.
52
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 135.
26

Upaya hukum biasa adalah suatu tindakan dari salah satu pihak
yang berperkara untuk memohonkan pembatalan putusan yang
diberikan hakim karena tidak puas atas putusan yang dimaksud.
Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan
selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Sifat
dari upaya hukum biasa yakni menangguhkan eksekusi atau
menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.53
Upaya hukum biasa dapat berupa verzet, bading dan kasasi.54
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dibawah ini:
1. Verzet
Verzet atau perlawanan adalah upaya hukum dari putusan
verstek atau putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan karena
tergugat tidak hadir pada persidangan pertama. Upaya hukum ini
diatur dalam pasal 125 ayat (3), pasal 129 ayat (2), pasal 126 HIR
dan pasal 149 ayat (3), pasal 153 ayat (2), pasal 150 RBg.55
Tenggang waktu mengajukan verzet adalah selama 14 hari
terhitung sejak putusan verstek diberitahukan secara sah kepada
tergugat. Apabila setelah dilakukan verzet ternyata tergugat sekali
lagi dikalahkan dengan verstek karena tidak menghadiri sidang,
maka tidak dapat lagi dilakukan verzet melainkan banding atas
putusan itu.56

2. Banding
Upaya hukum banding adalah suatu upaya hukum yang
dilakukan oleh pihak yang kalah di pengadilan tingkat pertama ke
pengadilan tinggi melalui pengadilan yang memutus perkara

53
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 160.
54
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 218.
55
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 136.
56
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 218.
27

tersebut, yaitu sebagai upaya hukum terhadap putusan


kontradiktur.57
Pada mulanya peraturan tentang banding ini diatur dalam
pasal 188 HIR sampai dengan pasal 194 HIR, pasal 199 sampai
dengan pasal 205 RBg kemudian digantikan oleh pasal 3 jo. 5 UU.
Dar. No. 1 tahun 1951. Untuk jawa-madura kemudian diatur
dengan UU. No. 20 Tahun 1947.58
Banding harus diajukan dalam tenggang waktu selama 14 hari
sejak putusan didengar atau diberitahukan secara sah kepada
para pihak. Dan kemudian mengajukan pernyataan banding
kepada panitera banding pengadilan negeri yang mengadili
perkara. Untuk selanjutnya dibuatkan akta mengenai permohonan
banding dan ditandatangani oleh pemohon. Selain itu, banding
juga terdapat biaya, dan besar panjarnya ditaksir menurut situasi.

3. Kasasi
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung
(MA). Menurut Wirjono Prodjodikoro, kasasi adalah salah satu
tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas
putusan-putusan pengadilan lain.59 Pendapat lain yang
dikemukakan oleh Soepomo, kasasi adalah tindakan Mahkamah
Agung untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum
ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi.60
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli,
kasasi merupakan upaya hukum biasa melawan putusan
pengadilan tinggi bagi pihak-pihak berperkara yang merasa tidak
puas dan tidak dapat menerima terhadap putusan pengadilan

57
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 137.
58
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 219.
59
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 189.
60
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit. Hlm. 163.
28

tinggi yang memeriksa perkara pada tingkat banding. Sehingga,


kasasi berupa pembatalan putusan atau penetapan pengadilan
dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.61
Upaya hukum kasasi diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1950
tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia. Undang-Undang
tersebut tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya UU. No. 13
Tahum 1965 Tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung, lalu kemudian undang-undang
tersebut diganti dengan UU. No 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.62
Adapun alasan-alasan kasasi menurut pasal 30 UU. No. 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:63
3. Tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun telatif)
4. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
5. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.

3.2.2. Upaya Hukum Luar Biasa

61
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 140.
62
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 189.
63
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 140.
29

Upaya Hukum luar biasa atau istimewa adalah bentuk perlawanan


terhadap putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.64 Dengan kata lain, suatu putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau yang pasti, maka suatu putusan tidak
dapat diubah. Namun, terhadap putusan yang berkekuatan hukum
tetap, tersedia upaya hukum luar biasa. Pada dasarnya, upaya hukum
luar biasa berbeda dengan upaya hukum biasa yang menangguhkan
eksekusi. Pada upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan
eksekusi.65 Yang termasuk upaya hukum luar biasa adalah peninjauan
kembali dan perlawanan pihak ketiga. Untuk lebih jelasknya akan
diterangkan dibawah ini:
1. Peninjauan kembali
Peninjauan kembali (Request Civil) adalah suatu upaya hukum
untuk memeriksa atau mementahkan kembali suatu putusan
pengadilan, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap.66
Alasan-alasan untuk mengajukan Peninjauan kembali diatur
dalam pasal 67 UU. No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Adapun alasan alasan itu sebagai berikut:
1. Adanya putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim dinyatakan palsu.
2. Apabila setelah perkara diputus ditemukan Novum atau bukti
baru
3. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
pertimbangan sebab-sebabnya.

64
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 234.
65
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit. Hlm. 142.
66
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 222.
30

4. Putusan bertentangan satu sama lain. Padahal pihak-pihaknya


sama, mengenai suatu hal yang sama, dasar yang samadan
oleh pengadilan yang sama.
5. Adnya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
6. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari apa yang dituntut.
Tenggang waktu menyatakan peninjauan kembali adalah 180
hari terhitung sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap
dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan sendiri oleh pihak
yang berperkara atau wakilnya yang kemudian diajukan kepada
Mahkamah Agung dengan perantaraan Pengadilan Negeri yang
memeriksa perkara pada tingkat pertama.67

2. Derden verzet
Derden Verzet adalah suatu perlawanan terhadap putusan
yang diajukan oleh pihak ketiga, yang tadinya tidak ada sangkut-
pautnya dalam perkara.68 Sehingga alasan mengajukan
perlawanan ini karena adanya putusan pengadilan yang merugikan
pihak ketiga. Menurut sudikno, pihak ketiga yang hendak
mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup
hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi harus nyata-nyata
telah dirugikan hak-haknya.69
Dasar hukum yang mengatur tentang bantahan atau
perlawanan pihak ketiga adalah pasal 228 RBg/ 208 HIR. Pasal
tersebut mengatakan bahwa pasal tersebut berlaku jika orang lain
membantah dalm hal pelaksanaan putusan karena barang yang
disita adalah miliknya. Derden Verzet dalam praktik dapat

67
Ibid. Hlm. 224.
68
Ibid. Hlm. 225.
69
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 247.
31

dilakukan oleh pihak ketiga terhadap perintah eksekusi, penetapan


lelang eksekusi, pelaksanaan terhadap milik pihak ketiga,
conservatoir beslag atau eksekutorial beslag.
32

BAB IV
SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan proposal ini terdapat 4 (empat) bab yang


dijabarkan dan masing-masing bab memiliki keterkaitan satu sama
lain serta merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dalam
penulisan proposal ini. Pada bab mengenai sistematika penulisan ini
akan dijelaskan pokok-pokok substansi pada tiap-tiap bab. Hal ini
bertujuan agar penulisan proposal oleh penulis tetap fokus dan
konsisten sesuai dengan apa yang diharapkan. Adapun sistematika
yang digunakan oleh penulis dalam menyusun kerangka proposal
atau skripsi ini, yaitu :
Bab 1 Pendahuluan, yang menguraikan tentang latar
belakang, rumusan masalah dan tujuan dari penulisan ini. Bagian
latar belakang menguraikan secara singkat mengenai konsep hukum
sebagai aturan main dalam bermasyarakat, penyelesaian sengketa
apabila terjadi gesekan antar masyarakat, hukum acara yang berlaku
di Indonesia serta tata cara yang tepat dalam beracara. Kemudian
dalam rumusan masalah dalam penulisan ini ada 2 (dua) issue
hukum yang diambil, yaitu: pertama, terkait dasar pertimbangan
hukum hakim yang digunakan dalam memutus perkara waris pada
putusan nomor 84/Pdt.g/2010/PN.Yk. kedua, terkait upaya hukum
yang dapat dilakukan terhadap putusan dengan amar gugatan tidak
dapat diterima (Niet Ont van kelijk ver klaard) terhadap perkara waris
pada putusan nomor 84/Pdt.G/2010/PN.Yk.
Bab 2 Tinjauan Pustaka, yang menguraikan tentang
pengertian-pengertian serta istilah-istilah yang digunakan sebagai
bahan penelitian dan pembahasan. Secara garis besar pada bagian
Tinjauan Pustaka menguraikan tentang putusan pengadilan dan
Upaya Hukum.
33

Bab 3, merupakan bagian yang berisi pembahasan dari penelitian ini


yang juga merupakan jawaban dari rumusan masalah yaitu :
pertama, Apakah dasar pertimbangan hukum hakim pada putusan
nomor 84/Pdt.g/2010/PN.Yk. kedua, apakah upaya hukum yang
dapat dilakukan terhadap putusan dengan amar gugatan tidak dapat
diterima (Niet Ont van kelijk ver klaard) terhadap perkara waris pada
putusan nomor 84/Pdt.G/2010/PN.Yk.
Bab 4, berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan pernyataan akhir sebagai intisari jawaban
atas permasalahan yang telah diuraikan dalam bab 2 mengenai
Pembahasan. Sedangkan saran merupakan masukan-masukan dari
penulis atas penelitian yang telah dilakukan dengan harapan supaya
dapat memberikan kontribusi yang berarti dan lebih baik lagi dimasa
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Darwan Prinst. 1996. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata.


Bandung: PT Citra aditya bakti.

Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi. 2004. Penelitian Hukum (Legal
Research). Jakarta: Sinar Grafika.

M. Yahya Harahap. 2015. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,


Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta:
Sinar Grafika.

Moh. Taufik Makarao. 2009. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta:


PT Rineka Cipta.

Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Philipus M. Hadjon. 2008. Jurnal Hukum: Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Sui
Generis. Jakarta: Universitas Trisakti.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. 2009. Hukum Acara


Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju.

Roni Hanitijo Soemitro. 1988. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Sudikno Mertokusumo. 2009. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Liberty Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.


Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

W. Gulo. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Zainal Asikin. 2015. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta:


Prenamedia group.

Anda mungkin juga menyukai