Metpen Normatif
Metpen Normatif
PROPOSAL SKRIPSI
METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H.
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H.
Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H.
Penyusun:
Veby Fardiana (130710101108)
Cheppy Anugerah (140710101240)
Vicky Hibal J. (140710101248)
Enis Sukmawati (140710101261)
Berlian Permatasari (140710101262)
Ayu Ratnasari (140710101308)
Nadia Marsya A. (140710101310)
Fedora Aryafina P. (140710101317)
Rizky Pratama (140710101325)
Bryan Joshua D.S. (140710101344)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2017
TUGAS TERSTRUKTUR
PROPOSAL SKRIPSI
METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H.
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H.
Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H.
Penyusun:
Veby Fardiana (130710101108)
Cheppy Anugerah (140710101240)
Vicky Hibal J. (140710101248)
Enis Sukmawati (140710101261)
Berlian Permatasari (140710101262)
Ayu Ratnasari (140710101308)
Nadia Marsya A. (140710101310)
Fedora Aryafina P. (140710101317)
Rizky Pratama (140710101325)
Bryan Joshua D.S. (140710101344)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2017
i
ii
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2010). Hlm. 4.
2
Ibid. hlm. 5.
2
3
Ibid. Hlm. 28.
4
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2009). Hlm. 5.
5
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009). Hlm. 15.
3
6
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 10.
7
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata , (Bandung:
PT Citra aditya bakti, 1996), Hlm.208.
8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2009), Hlm. 67.
4
9
Darwan prinst, Op.Cit. hlm. 3.
5
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian skripsi ini ada 2 (dua) yaitu :
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim yang
digunakan dalam memutus perkara waris pada putusan nomor
84/Pdt.g/2010/PN.Yk
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap
putusan dengan amar gugatan tidak dapat diterima (Niet Ont van
kelijk ver klaard) terhadap perkara waris pada putusan nomor
84/Pdt.G/2010/PN.Yk
6
BAB II
METODE PENELITIAN
10
W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Grasindo, 2002). Hlm. 10.
11
Philipus M. Hadjon, Jurnal Hukum: Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Sui Generis,
(jakarta: Universitas Trisakti, 2008)
7
12
Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988). Hlm. 13.
8
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013). Hlm. 158.
14
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004). Hlm. 110
9
15
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. Hlm. 181.
16
Ibid. Hlm. 182
17
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Op.Cit. Hlm. 50.
10
dilakukan tanpa adanya balik nama serta siap saja yang dapat
dikatakan sebagai ahli waris. Dengan didukung dengan kepustakaan-
kepustakan yang dimaksud akan dapat menjawab permasalahan
yang sedang diteliti.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
18
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. Hlm. 213
11
3.1. Gugatan
3.1.1 Pengertian Gugatan
Perkara yang dihadapi oleh seseorang dapat berupa persoalan
yang mengandung konflik dan tidak mengandung konflik. Dalam
hukum acara perdata dikenal dengan dua pedoman, yakni perkara
contentiosa dan perkara voluntaria.19 Yang menjadi pembeda
diantara keduanya yakni, perkara contentiosa adalah perkara yang
didalamnya terdapat sengketa dua pihak atau lebih. Sehingga
perkara ini yang biasa disebut dengan gugatan. Sedangkan perkara
voluntaria sifatnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan
didalamnya, tetapi hanya semata mata untuk kepentingan sepihak
atau dengan kata lain tidak ada pihak lawan didalamnya. Dalam hal
ini perkara voluntaria merupakan sebuah permohonan.
Tahapan penyelesaian sengketa dalam hukum acara perdata
salah satu komponen paling utama ialah sebuah gugatan. Dalam
tahapan beracara yang pertama kali dilakukan adalah membuat
gugatan. Dalam hal ini, Gugatan merupakan suatu tuntutan yang
mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan putusan. Sengketa tersebut terjadi antara seseorang
atau beberapa orang dengan orang lain. Orang-orang tersebut
kemudian disebut sebagai para pihak yang berperkara. Untuk
selanjutnya, yang mengajukan gugatan disebut sebagai pihak
penggugat dan lawannya disebut pihak tergugat.
Ada banyak pendapat yang diberikan oleh para ahli dalam
memberi pengertian terhadap gugatan. Menurut Prof. Dr. H. Zainal
Asikin, S.H., S.U. dalam bukunya memberi artian bahwa gugatan
adalah suatu tuntutan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang oleh seseorang mengenai suatu hal akibat
19
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia group,
2015). Hlm. 15.
12
20
Ibid. Hlm. 19.
21
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 52.
22
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 2.
13
23
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 30.
24
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). Hlm. 51.
14
2. Diberi tanggal
Dalam penulisan tanggal tidak ada ketentuan yang
menyebutkan suatu gugatan harus mencantumkan tanggal.
Artinya bahwa tidak diwajibkan untuk pencantuman tanggal.
Sehingga sangat tidak tepat apabila pencantuman tanggal
disebut sebagai syarat formil suatu gugatan. Sebab, apabila
adanya kelalaian atas pencantuman tanggal atau bahkan tidak
dicantumkan tanggal pada suatu gugatan tetap dianggap sah
menurut hukum dan tidak mengakibatkan surat gugatan
mengandung cacat formil. Namun dengan pencantuman tanggal
dapat menjamin kepastian hukum. 25Sehingga, apabila terjadi
kekeliruan, pencantuman tanggal dapat dijadikan jalan
keluarnya.
3. Ditandatangani pihak penggugat atau kuasa
Pada pasal 118 ayat (1) HIR menyebutkan bahwa gugatan
perdata yang diajukan kedalam pengadilan negeri sesuai
kompetensi relatifnya, juga dibuat dalam bentuk surat
permohonan yang diberi tandatangan oleh penggugat atau
wakilnya (kuasan ya). Sehingga pemberian tanda tangan ini
dikatakan sebagai syarat formil suatu gugatan. Dalam hal ini,
maksud dari tanda tangan yakni berupa tanda tangan yang ditulis
dengan tangan sendiri dan dapat berupa cap jempol. Menurut
ST.1919-776 cap jempol berupa cap ibu jari tangan disamakan
dengan tanda tangan dan dianggap sah apabila cap jempol
tersebut telah dilegalisasi oleh pejabat berwenang.26
25
Ibid. Hlm. 52.
26
Ibid. Hlm. 53.
15
27
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 28.
28
M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hlm. 54.
29
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 30.
30
M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hlm. 57.
16
6. Petitum gugatan
Petitum merupakan kesimpulan dari suatu gugatan yang
berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh Hakim
atau pengadilan. Dengan kata lain, petitum berisi tuntutan atau
permintaan kepada pengadilan untuk ditetapkan sebagai hak
penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua
belah pihak.31 Petitum terdiri dari dua bagian, yaitu petitum
primair dan petitum subsidair.32 Petitum primair mencakupm hal-
hal pokok yang dimohonkan kepada hakim untuk dikabulkan. Dan
petitum subsidair merupakan kebebasan yang diberikan kepada
Hakim untuk mengabulkan hal-hal yang lain dari petitum primair.
3.2. Putusan
31
Ibid. Hlm. 63.
32
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 39.
17
3.2.2.Jenis-Jenis Putusan
Putusan ditinjau dari berbagai segi:35
1. Dari Aspek Kehadiran Para Pihak
a. Putusan Gugatan Gugur
b. Putusan Verstek
c. Putusan Contradictoir
2. Putusan Ditinjau dari Sifatnya
33
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 212.
34
Ibid. Hlm. 210.
35
M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hlm. 873.
18
a. Putusan Deklarator
b. Putusan Constitutief
c. Putusan Condemnatoir
3. Putusan Ditinjau pada saat Penjatuhannya
a. Putusan Sela
b. Putusan Akhir
Berbagai macam putusan diatas akan diuraikan sebagai berikut: 36
2. Putusan Verstek
36
Ibid. Hlm. 872-896.
37
Ibid. Hlm. 873.
19
3. Putusan Contradictoir
Bentuk putusan ini ditinjau dari segi kehadiran para pihak
pada saat putusan diucapkan. Ada dua jenis putusan
kontradiktoir yakni pada saat putusan diucapkan para pihak hadir
dan ada pula pada saat putusan diucapkan salah satu pihak tidak
hadir.
38
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 212.
39
M. Yahya Harahap, Op.Cit. Hlm. 874.
20
4. Putusan Deklarator
Putusan deklarator merupakan putusan yang berisi penyataan
atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum
. artinya bahwa dalam putusan deklarator ini suatu penyataan
yang dituangkan hakim merupakan penjelasan atau penetapan
tentang suatu hak atau titel maupun status. Penyataan ini
dicantumkan dalam amar dan diktum putusan. Dengan putusan
ini dapat diketahui siapa yang mempunyai kedudukan atas
permasalahan yang disengketakan.41
Putusan deklarator merupakan bentuk putusan dari
permohonan atau perkara voluntaria. Pada putusan ini tidak
memerlukan upaya memaksa karena sudah mempunyai akibat
hukum tanpa bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan.
Sehingga hanyalah mempunyai kekuatan mengikat saja.42
40
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 213.
41
Ibid. Hlm. 876.
42
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 232.
21
5. Putusan Constitutief
Putusan constitutief atau konstitutif merupakan putusan yang
memastikan suatu keadaan hukum, baik bersifat meniadakan
suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan
hukum baru.43 Dengan kata lain, meniadakan suatu keadaan
ataupun menimbulkan keadaan hukum yang baru adalah misal
putusan pembatalan perjanjian. Hakim membatalkan perjanjian
antara pihak yang berperkara, berarti putusan yang diberikan
hakim tersebut meniadakan hubungan hukum semula dan serta
merta para pihak dikembalikan kepada keadaan semula.
6. Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir atau kondemnator adalah putusan
yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang
berperkara. Putusan kondemnator merupakan suatu kesatuan
yang tidak terpisah dengan amar deklaratif. Sehingga amar
deklaratif menjadi syarat mutlak utnuk menjatuhkan putusan
kondemnator.44
Suatu putusan yang hanya berisi amar deklarator tanpa
dibarengi amar kondemnator tidak memberi banyak manfaat
sebab putusan tersebut tidak secara efektif menyelesaikan
sengketa karena pelaksanaan atas pemenuhan putusan tidak
dapat dipaksakan melalui eksekusi apabila tergygat tidak mau
melaksanakan secara sukarela45
43
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 876.
44
Ibid. Hlm. 877.
45
Ibid. Hlm. 878.
22
7. Putusan Sela
Interlocutoir vonis atau putusan sela merupakan putusan
yang diberikan hakim namun belum merupakan putusan akhir.
Dengan kata lain putusan ini disebut putusan sementara yang
fungsinya untuk memperlancar pemeriksaan perkara.47 Misalnya
pihak tergugat mengajukan suatu tangkisan (eksepsi), maka
dalam terhadap eksepsi tersebut diberikan suatu putusan yakni
putusan sela yang diucapkan terlebih dahulu sebelum diteruskan
memeriksa pokok perkara.
Dalam putusan sela dapat berupa:48
a. Putusan Provisional
Putusan Provisional adalah Putusan yang menjawab tuntutan
atau permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara
diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu
pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
b. Putusan Preparatoir
46
Ibid. Hlm. 878.
47
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 129.
48
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 233.
23
8. Putusan Akhir
Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu
sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan
tertentu.49
Putusan Akhir dari suatu perkara dapat berupa:50
a. Putusan Niet Onvankelijk Verklaart (NO)
Putusan tidak dapat diterima atau yang biasa disingkat
putusan NO ini merupakan suatu putusan yang menyatakan
gugatan dari penggugat tidak dapat diterima. Hal ini
dikarenakan gugatan yang diajukan oleh penggugat terdapat
kesalahan berupa:
- Gugatan tidak berdasar hukum
- Gugatannya salah
- Gugatannya kabur
- Gugatannya tidak lengkap
- Gugatannya tidak memenuhi syarat
- Dan lain-lain
Oleha karena itu, atas kesalahan kesalahan tersebut maka
hakim menjatuhkan putusan berupa gugatan tidak dapat
49
Ibid. Hlm. 231.
50
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 207-209
24
51
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit. Hlm. 142.
52
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 135.
26
Upaya hukum biasa adalah suatu tindakan dari salah satu pihak
yang berperkara untuk memohonkan pembatalan putusan yang
diberikan hakim karena tidak puas atas putusan yang dimaksud.
Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan
selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Sifat
dari upaya hukum biasa yakni menangguhkan eksekusi atau
menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.53
Upaya hukum biasa dapat berupa verzet, bading dan kasasi.54
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dibawah ini:
1. Verzet
Verzet atau perlawanan adalah upaya hukum dari putusan
verstek atau putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan karena
tergugat tidak hadir pada persidangan pertama. Upaya hukum ini
diatur dalam pasal 125 ayat (3), pasal 129 ayat (2), pasal 126 HIR
dan pasal 149 ayat (3), pasal 153 ayat (2), pasal 150 RBg.55
Tenggang waktu mengajukan verzet adalah selama 14 hari
terhitung sejak putusan verstek diberitahukan secara sah kepada
tergugat. Apabila setelah dilakukan verzet ternyata tergugat sekali
lagi dikalahkan dengan verstek karena tidak menghadiri sidang,
maka tidak dapat lagi dilakukan verzet melainkan banding atas
putusan itu.56
2. Banding
Upaya hukum banding adalah suatu upaya hukum yang
dilakukan oleh pihak yang kalah di pengadilan tingkat pertama ke
pengadilan tinggi melalui pengadilan yang memutus perkara
53
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 160.
54
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 218.
55
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 136.
56
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 218.
27
3. Kasasi
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung
(MA). Menurut Wirjono Prodjodikoro, kasasi adalah salah satu
tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas
putusan-putusan pengadilan lain.59 Pendapat lain yang
dikemukakan oleh Soepomo, kasasi adalah tindakan Mahkamah
Agung untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum
ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi.60
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli,
kasasi merupakan upaya hukum biasa melawan putusan
pengadilan tinggi bagi pihak-pihak berperkara yang merasa tidak
puas dan tidak dapat menerima terhadap putusan pengadilan
57
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 137.
58
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 219.
59
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 189.
60
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit. Hlm. 163.
28
61
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 140.
62
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit. Hlm. 189.
63
Zainal Asikin, Op.Cit. Hlm. 140.
29
64
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 234.
65
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit. Hlm. 142.
66
Darwan Prinst, Op.Cit. Hlm. 222.
30
2. Derden verzet
Derden Verzet adalah suatu perlawanan terhadap putusan
yang diajukan oleh pihak ketiga, yang tadinya tidak ada sangkut-
pautnya dalam perkara.68 Sehingga alasan mengajukan
perlawanan ini karena adanya putusan pengadilan yang merugikan
pihak ketiga. Menurut sudikno, pihak ketiga yang hendak
mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup
hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi harus nyata-nyata
telah dirugikan hak-haknya.69
Dasar hukum yang mengatur tentang bantahan atau
perlawanan pihak ketiga adalah pasal 228 RBg/ 208 HIR. Pasal
tersebut mengatakan bahwa pasal tersebut berlaku jika orang lain
membantah dalm hal pelaksanaan putusan karena barang yang
disita adalah miliknya. Derden Verzet dalam praktik dapat
67
Ibid. Hlm. 224.
68
Ibid. Hlm. 225.
69
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.Cit. Hlm. 247.
31
BAB IV
SISTEMATIKA PENULISAN
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi. 2004. Penelitian Hukum (Legal
Research). Jakarta: Sinar Grafika.
Philipus M. Hadjon. 2008. Jurnal Hukum: Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Sui
Generis. Jakarta: Universitas Trisakti.