Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Sampel

Berdasarkan pengambilan sampel data yang telah dilakukan pada bulan


Februari 2018 pada rekam medis pasien Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan,
didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel

Jumlah Median (min;


Karakteristik Sampel Mean (SD)
n=118 (%) max)
Usia 32.06 (9.72) 31 (17;54)
Jenis Kelamin
Laki-laki 71 (60.2%)
Perempuan 47 (39.8%)
Berat Badan Awal (kg) 46.88 (9.72) 45 (30;85)
Berat Badan Akhir (kg) 49.03 (9.42) 48 (31;87)
Parut BCG
Jelas 6 (5.1%)
Meragukan 8 (6.8%)
Tidak ada 104 (88.1%)
Hasil pengobatan
Sembuh 56 (47.5%)
Lengkap 58 (47.9%)
Gagal 2 (1.7%)
Pindah 2 (1.7%)

Penelitian yang telah dilakukan mencakup 118 sampel data yang berasal dari rekam
medis pasien Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan dengan distribusi laki-laki
sebanyak 71 sampel (60,2%) dan perempuan sebanyak 47 sampel (39,8%). Sampel
data yang diambil dari rentang umur 17-55 tahun, menunjukkan bahwa rata-rata usia
pasien yang menderita Tuberkulosis terjadi pada usia 32 tahun dan kasus paling
banyak terjadi pada usia 31 tahun. Pada pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
penderita Tuberkulosis didapatkan bahwa dari 118 sampel 6 (5.1%) diantaranya
menunjukkan gambaran parut BCG yang jelas, 8 (6.8 %) sampel menunjukkan
gambaran parut BCG yang meragukan dan 104 (80.1%) sampel tidak menunjukkan
adanya gambaran parut BCG.

Pengukuran berat badan pasien Tuberkulosis dilakukan pada awal diagnosis dan akhir
pengobatan untuk mengetahui perubahan yang terjadi baik peningkatan maupun
penurunan berat badan pasien. Hal ini juga dilakukan untuk memastikan keberhasilan
pengobatan yang dilakukan. Berdasarkan sampel data yang diperoleh, rata-rata berat
badan awal pasien berkisar pada 46 kg dan berat badan awal pasien terbanyak dimulai
dari 45 kg. Data menunjukkan bahwa berat badan awal terendah berkisar pada 30 kg
dan tertinggi pada 85 kg. Pengukuran berat badan akhir dari 118 sampel
menunjukkan rata-rata berat badan berkisar pada 49 kg dan hasil pengukuran
terbanyak ber kisar pada 48 kg dengan berat badan terendah pada 31 kg dan tertinggi
pada 87 kg.

Setelah menjalani 6 bulan pengobatan dengan obat Tuberkulosis tipe intensif


didapatkan bahwa dari 118 sampel, 56 orang (47.5%) diantaranya mencapai
kesembuhan, 58 orang (47.9%) menjalani pengobatan lengkap, dua orang (1.7%)
gagal dalam pengobatan, dan 2 orang (1.7%) mengalami pemindahan/ rujukan ke
rumah sakit lain untuk penanganan lebih lanjut.

Tabel 4.2 Perubahan Berat Badan

Jumlah Median (min;


Karakteristik Sampel Mean (SD)
n=118 (%) max)
Perubahan berat badan (kg) 2.12 (1.71)
Turun 4 kg 2 (1.7 %)
Tetap 10 (8.5 %)
Naik 1 kg 34 (28.8%)
Naik 2 kg 30 (25.4 %)
Naik 3 kg 22 (18.6 %)
Naik 4 kg 10 (8.5 %)
Naik 5 kg 5 (4.2 %)
Naik 6 kg 1 (0.8 %)
Naik 7 kg 4 (3.4 %)

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan dari 118 sampel data didapatkan adanya
perubahan berat badan yang cukup signifikan pada pasien Tuberkulosis sebelum
memulai pengobatan dan pada akhir pengobatan. Data menunjukkan bahwa rata-rata
terjadi peningkatan berat badan yang bermakna pada pasien Tuberkulosis setelah
menjalani pengobatan yang berkisar antara 1-7 kg dengan hasil terbanyak berupa
peningkatan 1 kg berat badan sebanyak 34 sampel (28.8 %). Ada pula beberapa
pasien yang tidak menunjukkan adanya perubahan berat badan selama pengobatan
berlangsung sebanyak 10 orang (8.5 %). Selain itu, didapatkan juga 2 pasien (1.7 %)
yang mengalami efek sebaliknya berupa penurunan berat badan sebanyak 4 kg.

Tabel 4.3 Hubungan perubahan berat badan dengan usia pasien

Perubahan berat badan (kg)


Usia Turun Tetap Naik Naik Naik Naik Naik Naik Naik
4 kg 1 kg 2 kg 3 kg 4 kg 5 kg 6 kg 7 kg
17 2
18 3 3
19 1
20 2 1 1
21 2 3
22 1 1
23 1 1 2
24 2 3
25 1 2 2 1
26 1 2 2 2 1
27 1 1 1
28 1 1 2 2
30 2 2
31 2 4 1
32 2 1
33 3 1 1
34 1
35 3 1 1
36 1 1 2 1
38 1 1
39 1 2 2 1
40 2 1 2
41 1
42 2 2
43 2
46 1
47 2
48 2
49 2 1
50 1 1 1 1
51 1 1
54 1 1

Berdasarkan data yang telah diperoleh, pasien berusia 18 dan 28 tahun memiliki
jumlah kasus peningkatan berat badan yang terbanyak sejumlah 6. Pasien berusia 25
dan 26 tahun masing-masing terdapat 1 kasus penurunan berat badan sebanyak 4 kg.
Selain itu, pasien berusia 26 dan 31 tahun masing-masing terdapat 2 kasus dimana
tidak terjadi peningkatan maupun penurunan berat badan sepanjang pengobatan
berlangsung.

Tabel 4.4 Hubungan jenis kelamin dengan perubahan berat badan pasien

Jenis Perubahan berat badan (kg)


Kelamin Turu Teta Nai Naik Naik Naik Naik Naik Naik Total
n 4 kg p k 1 2 kg 3 kg 4 kg 5 kg 6 kg 7 kg
kg
Perempuan 2 4 11 11 8 4 4 0 3 47
(4.2 (8.5 (23. (23.4 (17 (8.5 (8.5 (0 (6.3
%) %) 4 %) %) %) %) %) %) %)
Laki-laki 0 6 23 19 14 6 1 1 1 71
(0 %) (8.4 (32. (26.8 (19.7 (8.4 (1.4 (1.4 (1.4
%) 4 %) %) %) %) %) %) %)

Berdasarkan 47 sampel data pasien berjenis kelamin perempuan, didapatkan bahwa


sebanyak 41 sampel (87.2 %) mengalami peningkatan berat badan yang bermakna
dengan peningkatan terbanyak berkisar antara 1 – 2 kg. Diperoleh 2 sampel (4.2 %)
data perempuan yang mengalami penurunan berat badan dan 4 sampel (8.5 %) data
yang tidak mengalami penurunan ataupun peningkatan berat badan.

Berdasarkan 71 sampel data pasien berjenis kelamin laki-laki, didapatkan bahwa


sebanyak 65 sampel (91.5 %) mengalami peningkatan berat badan yang bermakna
dengan peningkatan terbanyak sebesar 1 kg. Diperoleh pula adanya beberapa sampel
sebanyak 6 (8.4 %) yang tidak mengalami peningkatan ataupun penurunan berat
badan.
BAB V

PEMBAHASAN

5.1. PEMBAHASAN HASIL

5.1.1. Perubahan Berat Badan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 118 pasien, diperoleh hasil


bahawa terjadi perubahan berat badan pada 108 pasien dengan mayoritas sebanyak
106 pasien terjadi peningkatan berat badan selama menjalani pengobatan OAT.
Pasien berusia 18 dan 28 tahun memiliki kasus peningkatan badan terbanyak dan usia
25-26 tahun terdapat kasus penurunan berat badan sebanyak 4 kg. Hal ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vasantha M, dimana dicantumkan bahwa
akan terjadi peningkatan berat badan pasien pada akhir pengobatan yang
berhubungan dengan faktor usia pasien (< 45 tahun).20

Dua pasien berjenis kelamin perempuan mengalami penurunan berat badan


sebanyak 1-2 kg selama menjalani pengobatan dan 4 responden lainnya tidak terjadi
peningkatan maupun penurunan berat badan. Tidak ditemukan adanya responden
berjenis kelamin pria yang mengalami penurunan berat badan tetapi terdapat 6 pasien
yang tidak mengalami peningkatan maunpun penurunan berat badan. Hal ini tidak
dapat dikonfirmasi oleh penelitian yang dilakukan oleh Mimi N. Phan karena
menurut penelitiannya, jenis kelamin tidak memberikan efek yang signifikan terhadap
peningkatan berat badan selama pengobatan Tuberkulosis berlangsung karena hanya
memberikan efek terhadap perbedaan komposisi tubuh.21

Berdasarkan penelitian, ditemukan adanya 31 pasien dengan faktor penyulit


dan keluhan tambahan selama pengobatan seperti memiliki riwayat diabetes, darah
tinggi, gen expert, maupun immunodefisiensi. Diperoleh data berupa 26 pasien
mengalami peningkatan berat badan, 3 pasien tidak mengalami peningkatan maupun
penurunan berat badan, dan 2 pasien mengalami penurunan berat badan selama
pengobatan. Hal ini sesuai dengan peneltian yang dilakukan oleh Mimi N. Phan, ia
menyatakan bahwa pasien dengan penyulit tambahan pada penyakitnya seperti
terdapat keganasan, riwayat diabetes, ataupun penyakit berat lainnya memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk terjadi peningkatan berat badan selama
pengobatan berlangsung. Menurut Mimi N. Phan, pasien dengan penyulit tambahan
saat didiagnosis memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terjadi malnutrisi sehingga
dengan pemberian nutrisi yang adekuat selama pengobatan akan lebuh mudah untuk
terjadi peningkatan berat badan. 21

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ma Tarcela Ger, peningkatan berat


badan sebanyak 5 % yang terjadi pada pasien TB dengan berat badan kurang dari 40
kg akan memberikan hasil pengobatan yang baik.22 Hal ini sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan dimana dari 118 pasien didapatkan rata-rata peningkatan berat
badan sebanyak 2 kg selama pengobatan berlangsung dan 56 pasien dinyatakan
sembuh.

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan terhadap 118 pasien di


Puskesmas Kelurahan Grogol Petamburan, diperoleh sebanyak 9 pasien megalami
efek samping selama menjalani pengobatan OAT. Efek samping dengan presentasi
terbanyak yaitu mual muntah dan sindrom flu sebanyak 3 pasien (33,3 %), diikuti
oleh hepatotoksik sebanyak 2 pasien (22,2 %), dan ruam sebanyak 1 pasien (11,1 %).

Efek samping ini dapat terjadi dikarenakan komposisi obat yang digunakan
selama pengobatan Tuberkulosis berlangsung. Pengobatan OAT kategori I adalah 4
HRZE / 2 HR, yaitu terdiri atas Isoniazid, Pirazinamid, Rifampin, dan Etambutol.3
Masing-masing dari keempat obat tersebut memiliki cirri khas efek samping yang
dapat muncul bila digunakan dalam waktu yang panjang.

Mual muntah sering disebabkan karena pengggunaan obat Pirazinamid,


Rifampin, dan Isoniazid. Mual muntah yang disebabkan oleh Rifampin tidak
dipengaruhi oleh peningkatan atau penurunan dosis yang digunakan.23 Sindrom flu
sering disebabkan karena penggunaan obat Rifampin dan efek samping ruam serta
hepatotoksik dapat disebabkan oleh ketiga obat utama Antituberkulostatik yaitu
Isoniazid, Rifampin, dan Pirazinamid. Salah satu efek samping yang dapat terjadi
karena penggunaan Etambutol yaitu adanya gangguan penglihatan.3

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Banu Eris Gulbay, efek samping
terbanyak yang terjadi pada penggunaan obat OAT pada 95 pasien adalah ototoksik
(1,7 %), hepatotoksik (0,8 %), perubahan neuropsikiatrik (0,7 %), dan hiperurisemia
(0,6 %).24 Efek samping seperti sindrom flu (0,3 %) dan ruam (0,6 %) memiliki
jumlah frekuensi yang berbeda dengan penelitian ini.

Hiperurisemia yang terjadi disebabkan karena penggunaan Pirazinamid yang


dapat dideteksi melalui kadar asam urat dan dapat menyebabkan polialtragia.
Perubahan psikiatrik disebabkan oleh penggunaan Isoniazid dimana dapat terjadi
perubahan perilaku, ide bunuh diri, ansietas, dan psikosis tanpa dipengaruhi oleh
faktor komorbiditas seperti riwayat diabetes, riwayat kejang, maupun konsumsi
alkohol. Efek sampinh Ototoksik disebabkan oleh penggunaan Streptomisin dan
merupakan efek samping terbanyak pada penelitian ini.24

Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi terbanyak efek


samping yang terjadi pada penelitian ini dan penelitian yang dilakukan adalah
penggunaan obat Streptomisin. Penelitian yang kita lakukan berfokus pada
penggunaan obat Tuberkulostatik regimen I, yang terdiri atas obat-obatan seperti
Pirazinamid, Isoniazid, Rifampin, dan Etambutol.

5.1.2. Efek Samping

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan terhadap 118 pasien di


Puskesmas Kelurahan Grogol Petamburan, diperoleh sebanyak 9 pasien megalami
efek samping selama menjalani pengobatan OAT. Efek samping dengan presentasi
terbanyak yaitu mual muntah dan sindrom flu sebanyak 3 pasien (33,3 %), diikuti
oleh hepatotoksik sebanyak 2 pasien (22,2 %), dan ruam sebanyak 1 pasien (11,1 %).
Efek samping ini dapat terjadi dikarenakan komposisi obat yang digunakan
selama pengobatan Tuberkulosis berlangsung. Pengobatan OAT kategori I adalah 4
HRZE / 2 HR, yaitu terdiri atas Isoniazid, Pirazinamid, Rifampin, dan Etambutol. 3
Masing-masing dari keempat obat tersebut memiliki cirri khas efek samping yang
dapat muncul bila digunakan dalam waktu yang panjang.

Mual muntah sering disebabkan karena pengggunaan obat Pirazinamid,


Rifampin, dan Isoniazid. Mual muntah yang disebabkan oleh Rifampin tidak
dipengaruhi oleh peningkatan atau penurunan dosis yang digunakan.23 Sindrom flu
sering disebabkan karena penggunaan obat Rifampin dan efek samping ruam serta
hepatotoksik dapat disebabkan oleh ketiga obat utama Antituberkulostatik yaitu
Isoniazid, Rifampin, dan Pirazinamid. Salah satu efek samping yang dapat terjadi
karena penggunaan Etambutol yaitu adanya gangguan penglihatan.3

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Banu Eris Gulbay, efek samping
terbanyak yang terjadi pada penggunaan obat OAT pada 95 pasien adalah ototoksik
(1,7 %), hepatotoksik (0,8 %), perubahan neuropsikiatrik (0,7 %), dan hiperurisemia
(0,6 %).24 Efek samping seperti sindrom flu (0,3 %) dan ruam (0,6 %) memiliki
jumlah frekuensi yang berbeda dengan penelitian ini.

Hiperurisemia yang terjadi disebabkan karena penggunaan Pirazinamid yang


dapat dideteksi melalui kadar asam urat dan dapat menyebabkan polialtragia.
Perubahan psikiatrik disebabkan oleh penggunaan Isoniazid dimana dapat terjadi
perubahan perilaku, ide bunuh diri, ansietas, dan psikosis tanpa dipengaruhi oleh
faktor komorbiditas seperti riwayat diabetes, riwayat kejang, maupun konsumsi
alkohol. Efek sampinh Ototoksik disebabkan oleh penggunaan Streptomisin dan
merupakan efek samping terbanyak pada penelitian ini.24

Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi terbanyak efek


samping yang terjadi pada penelitian ini dan penelitian yang dilakukan adalah
penggunaan obat Streptomisin. Penelitian yang kita lakukan berfokus pada
penggunaan obat Tuberkulostatik regimen I, yang terdiri atas obat-obatan seperti
Pirazinamid, Isoniazid, Rifampin, dan Etambutol.

5.1.3. Ketepatan Dosis FDC

5.2. KETERBATASAN PENELITIAN

5.2.1. Bias penelitian

Bias penelitian dapat disebabkan oleh faktor penelitian. Pengambilan sampel


dilakukan oleh peneliti secara manual seorang diri sebanyak 118 sampel sehingga
memungkinkan terjadinya kesalahan selama pengambilan data rekam medis. Rekam
medis Puskesmas Kelurahan Grogol Petamburan yang digunakan oleh peneliti tidak
mencakup semua informasi yang dibutuhkan oleh peneliti sehingga memungkinkan
kekurangan data yang bermakna.

Anda mungkin juga menyukai