Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

ANESTESI PADA TONSILEKTOMI

DISUSUN OLEH:

RAHMAT 030.15.158

JAYA SARASWATI 030.13.102

PEMBIMBING:

dr.Dian Novitasari Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RSUD BUDHI ASIH JAKARTA

PERIODE 28 OKTOBER – 30 NOVEMBER 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

1
Laporan kasus:
ANESTESI PADA TONSILEKTOMI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu

anestesi di RSUD Budhi Asih periode 28 Oktober – 30 November 2019

Disusun oleh:

RAHMAT 030.15.158

JAYA SARASWATI 030.13.102

Telah diterima dan disetujui oleh dr.Dian Novitasari Sp.An selaku pembimbing
kepaniteraan klinik ilmu anestesi RSUD Budhi Asih

Jakarta, November 2019

dr.Dian Novitasari Sp.An

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah S.W.T, atas berkat-Nya kami
mampu menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Anestesi Pada Tonsilektomi”.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Anestesi RSUD Budhi Asih.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan referat ini, terutama dr.Dian
Novitasari Sp.An selaku pembimbing dalam laporan kasus ini, dokter beserta staf
SMF ilmu Anestesi RSUD Budhi Asih, dan rekan-rekan kepaniteraan klinik ilmu
Anestesi RSUD Budhi Asih.
Kami menyadari dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan, Oleh karena itu, segala kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan
kasus ini sangat kami harapkan.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam bidang ilmu Anestesi.

Jakarta, November 2019

Penyusun

Jaya Saraswati Rahmat

ii
iii
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : RA
No RM : 894321
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 12 tahun
Tanggal Lahir : 05-08-2007
Alamat : Jl.Seno II Tower Rajawali 5 No.508, Pasar Minggu
Agama : Islam
Pekerjaan : Siswa
Pendidikan terakhir : SMP
Status pernikahan : belum menikah
Ruangan : Emerald Timur
BB : 37 kg
TB : 141 cm

1.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri tenggorokan berulang

2. Riwayat penyakit sekarang


Nyeri tenggorokan berulang disertai pilek

3. Riwayat penyakit dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, hipertensi, penyakit jantung,
hiperkolesterolemia maupun diabetes mellitus

4. Riwayat alergi
Pasien memiliki riwayat rhinitis alergi

5. Riwayat penyakit keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki riwayat asma, hipertensi, hiperkolesterolemia,
maupun diabetes mellitus

6. Riwayat kebiasaan
Ibu pasien mengaku pasien memiliki riwayat suka minum minuman es, bersoda dan
diberikan bekal setiap hari untuk ke sekolah

7. Status ekonomi
Keadaan ekonomi pasien cukup baik, menggunakan BPJS untuk berobat

8. Status kejiwaan dan kebiasaan


Pasien tidak memiliki gangguan dalam aspek kejiwaan dan memiliki riwayat
pertumbuhan serta perkembangan yang normal sesuai dengan usia

1.3 Pemeriksaan Fisik

4
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 8-11-2019, di dapatkan hasil,
1. Tanda Vital
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
 Tekanan darah : 104/77 mmHg
 Nadi : 97x/menit
 Suhu : afebris
 Pernapasan : 20x/menit

2. Status Generalis
 Kepala : Normocephal, deformitas (-), sikatrik (-)
 Mata : pupil bulat isokor, reflex cahaya langsung (+/+), reflex cahaya
tidak langsung (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
secret (-/-)
 Mulut : bibir sianosis (-), deviasi lidah (-), lidah kotor (-),
mukosa bibir hiperemis (-), uvula di tengah, tonsil T3/T3
 Telinga: Deformitas (-), secret (-), penurunan pendengaran (-), radang (-)
 Hidung: Septum deviasi (-), secret (+) minimal, sumbatan (-), polip (-),
cavum nasi lapang
 Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
 Thoraks
o Paru
 Inspeksi : simetris fusiformis
 Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea
midclavicularis sinistra, thrill tidak teraba
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
o Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea
midklavikularis sinistra, thrill tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung kanan setinggi ICS IV linea
parasternal dextra, batas jantung kiri setinggi ICS V
linea midklavikularis sinistra, batas atas jantung ICS
II linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 reguler, Murmur (-),
Gallop (-)
 Abdomen
o Inspeksi : datar
o Auskultasi : peristaltik (+)
o Palpasi : defence muscular (-), turgor kembali cepat
o Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas
o Akral : dingin (-), Capillary Refill time < 2dtk, Oedem (-)
 Genitalia
o Tidak dilakukan pemeriksaan

5
1.4 PEMERIKSAAN PRA-ANESTESI
Ruang asal: Bedah/THT/Obs.gyn/Mata/Bedah Mulut/Ruang Rawat Emerald Timur
No Uraian Ya Tidak Keterangan
1 Apakah anda pernah dibius total? √
2 Kapan….Untuk Operasi….
3 Apakah anda menderita alergi obat? √
4 Apakah anda penderita asma? √
5 Apakah anda menderita penyakit pada sistem saraf? √
6 Apakah anda menggunakan kacamata? √
7 Apakah anda menggunakan alat bantu pendengaran? √
8 Apakah anda menggunakan gigi palsu? √
9 Apakah anda pernah menderita penyakit paru kronis? √
10 Apakah anda merokok >10 batang/hari? √
11 Apakah anda menderita penyakit jantung? √
12 Apakah anda menggunakan alat pacu jantung? √
13 Apakah anda menderita tekanan darah tinggi? √
14 Apakah anda menderita penyakit ginjal? √
15 Apakah anda menderita penyakit infeksi saluran kencing? √
16 Apakah anda menderita penyakit kuning? √
17 Apakah anda menderita penyakit kencing manis? √
18 Apakah anda menderita penyakit rematik? √
19 Apakah anda saat ini sedang terserang flu? √
20 Apakah anda saat ini sedang terserang flu/batuk? √
21 Apakah anda terbiasa minum alcohol/sejenisnya? √
22 Apakah anda terbiasa menggunakan obat-obatan tertentu? √
23 Apakah anda suka mengalami perdarahan hidung atau gusi? √

A. PEMERIKSAAN FISIK
 Kesadaran : Compos mentis
 Berat badan : 37kg
 Tinggi badan : 141cm
 Tekanan Darah : 104/77 mmHg
 Nadi : 97x/menit
 Saturasi : 98%
 Laju napas : 20x/menit
 Leher : dalam batas normal
 Jantung : dalam batas normal
6
 Paru : dalam batas normal
 Abdomen : dalam batas normal
 Ekstremitas : dalam batas normal
 USG/Echo :-
 EKG :-
 Thorak Foto : Cor dalam batas normal

B. LABORATORIUM
 Pemeriksaan laboratorium terlampir
 Kesan ASA : 1 2 3 4 5 E

C. SARAN
 Puasa mulai jam 02:00
 Pasang infus Vemplont No.22 dengan RF
 Obat -
 Perawatan pasca operasi rawat inap

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 24-10-2019
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin 2
Leukosit (WBC) 11,1 Ribu/L 4,3-13
Eritrosit (RBC) 5,5 Juta//uL 4,4-5,9
Hemoglobin (HGB) 13,6 g/dL 11,8-15
Hematokrit (HCT) 44 % 40-52
Trombosit (PLT) 427 Ribu/uL 150-400
MCV 78,4 fL 80-100
MCH 24,6 Pg 26-34
MCHC 31,3 g/dL 32-36
RDW 13,3 % <14
FAAL HEMOSTASIS
Waktu perdarahan 2,30 Menit 1-6
Waktu pembekuan 12 Menit 5-15
Protrombin Time (PT)
 Kontrol 14,40 detik
 Pasien 16 detik 12-17

7
Masa Tromboplastin (APTT)
 Kontrol 33,1 detik
 Pasien 33 detik 20-40

IMUNOSEROLOGI
Anti HIV
 Screening/Rapid Test Non Reaktif Non Reaktif
HEPATITIS
HBsAg Kualitatif Non Reaktif Non Reaktif

1.6 KESAN ANESTESI


Laki-laki 12 tahun dengan berat badan 37kg dengan rencana tonsilektomi dengan ASA 2

1.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu:
1. Intravena fluid drip (IVFD) RF 20 tpm, mengalir lancar
2. Pro Tonsilektomi
3. Informed Consent operasi
4. Sikap anestesi: dilakukan
5. ACC anestesi dengan anestesi umum
6. Post operasi : perawatan di ruang rawat inap dan terapi cairan dilanjutkan

1.8 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
1. Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis
2. Status Operatif : ASA 2
3. Jenis Pembedahan : Tonsilektomi
4. Jenis Anestesi : Anestesi Umum

1.9 LAPORAN ANESTESI


 Diagnosis Pra Bedah : Tonsilitis Kronis
 Diagnosis Pasca Bedah : Post Tonsilektomi
 Penatalaksanaan pre-operatif :-
 Penatalaksanaan anestesi :-
 Jenis pembedahan : Tonsilektomi
 Jenis Anestesi : Anestesi Umum
 Teknik Anestesi :
 Mulai Anestesi : 08-11-2019, pukul 09:45 WIB
 Mulai Operasi : 08-11-2019, pukul 10:05 WIB
 Pre-medikasi : Midazolam 2,5mg, DBP 1,25mg, Fentanyl 50mcg
 Agen Anestesi : Propofol 80mg

8
 Analgetik :
 Maintenance tekanan darah :
 Sedatif :
 Posisi : terlentang
 Cairan durante operasi : Ringer Fundin 500 ml
 Selesai Operasi : 11:10 WIB

POST-OPERASI
 Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 11:30 WIB
 Keluhan: nyeri post-op
 Dilakukan observasi TTV dan penilaian Aldrette score dilakukan setiap 10 menit

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. 1. Tonsil

Tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang banyak

mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi.

(Pearce, 2006). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-

masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam

jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris,

daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar.

Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri

atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum

(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan

limfoid) (Kartika, 2008).

Tonsil terbagi atas tiga macam yaitu tonsila faringeal, tonsila

paltina (adenoid), tonsila lingual yang ketiganya membentuk lingkaran

yang disebut cincin Waldayer (Soepardi et al., 2007).

a. Macam-macam tonsil

1) Tonsila palatina

Tonsila palaitna adalah suatu jaringan limfoid yang

terletak di fossa tonsilaris dikedua sudut orofaring dan

merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila


10
11
palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.

Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di

permukaan medial terdapat kripta (Amaruddin & Christanto,

2007). Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang

berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama

terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau

masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat

spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan

epitel maka sel – sel fagositik mononuklear pertama – tama

akan mengenal dan mengeliminasi antigen (Farokah, 2007).

2) Tonsila Lingual

Tonsila lingual terletak didasar lidah dan dibagi

menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Digaris tengah,

disebalah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada

apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata.

Tempat ini kadang-kadang menunjukan penjalaran duktus

triglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada

massa tiroid lingual. Tonsila lingualis mempunyai kripta kecil-

kecil yang tidak bercabang dibandingkan dengan tonsila

palatina (Soepardi et al., 2007)

3) Tonsila Faringea

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan

terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat

12
pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti

suatu segmen terpisah dengan celah atau kantong diantaranya.

Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di

bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak

mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang

nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan

pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa

Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid

bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid

akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian

akan mengalami regresi (Hermani, 2004).

b. Respon imun tonsil

Sebagian besar tonsil adalah organ ß sel dengan ß limfosit

yang terdiri 50%-65% dari semua limfosit tonsil. Sel limfosit T

terdiri dari sekitar 40% dari limfosit tonsil dan 3% adalah sel

plasma matang. Tonsil terlibat dalam menginduksi kekebalan dan

mengatur sekresi immunoglobulin. Tonsil yang baik berfungsi

untuk kekebalan saluran aerodigestive. Selain itu, terdapat 10

sampai 30 kriptus dalam setiap tonsil yang ideal untuk mencegah

benda asing dan membawanya ke folikel limfoid.

Perkembangbiakan sel ß di pusat germinal tonsil sebagai respon

terhadap sinyal antigenik adalah salah satu fungsi tonsil penting.

Kekebalan tonsil aktif aktif antara usia 4 sampai 10 tahun. Involusi

13
tonsil dimulai setelah pubertas, sehingga penurunan populasi sel ß

dan peningkatan relatif. Meskipun produksi imunoglobulin secara

keseluruhan berkurang, tetapi masih ada cukup besar aktivitas sel ß

jika dilihat dari kondisi klinis tonsil yang sehat (Campisi, 2003).

Secara sistematik proses imun di tonsil terbagi menjadi 3

kejadian yaitu :

1) Respon imun tahap I,

2) Respon imun tahap II,

3) Migrasi limfosit (Amarudin & Christanto, 2007)

Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki

orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen

tonsil pertama sebagai barier imunologis di Sel M tidak hanya

berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga

membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa

bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan

antigent presenting cell (APC) seperti makrofag dan sel dendritik

dalam konsentrasi tinggi (Amarudin & Christanto, 2007).

Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila

palatina terutama terdiri atas limfosit B dan sel T helper (CD4+).

Respon imun membutuhkan aktivasi oleh sitokin yang berbeda.

Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam regulasi proses imun dan

dihasilkan secara dominan melalui stimulasi antigen lokal oleh

limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T

14
intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL –2, IL-4,

IL-6, TNF-α, TNF-β / LT-α, INF γ, dan TGF-β. Diperkirakan 50-

90% limfosit intraepitel adalah sel B. Sel B berupa mature memory

cells B dengan potensial APC yang memungkinkan terjadinya

kontak antara antigen presenting B cells dan T cells, menyebabkan

respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig dihasilkan dalam

tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig

D, 55% Ig M, 36% IgG dan 29 % IgA (Amarudin & Christanto,

2007).

Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah

antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular

atau folikel limfoid. Pada daerah ekstrafolikular, interdigitating

dendritic cell (IDC) dan makrofag memproses antigen dan

menampakkan atigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel TFH kemudian

menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan

bermigrasi dari dark zone ke light zone, mengembangkan suatu

antibodi melalui sel memori B dan antibodi melalui sel plasma. Sel

plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%,

sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah

infeksi. Lebih lanjut, kontak antigen dengan sel B memori dalam

folikel limfoid berperan penting untuk menghasilkan respon imun

sekunder. Meskipun jumlah sel T terbatas namun mampu

15
11

menghasilkan beberapa sitokin (misal IL-4) yang menghambat

apoptosis sel B (Amarudin & Christanto, 2007).

Respon imun tahap yang ketiga berupa migrasi limfosit.

Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit

berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui high

endothelial venules (HEV) dan kembali ke sirkulasi melaui limfe.

Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar

limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin),

kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan

menarik sel B untuk berperan didalam kripte.

c. Fungsi Tonsil

Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah

terjadinya infeksi. Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak

menyebar ke seluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki

tubuh melalui mulut, hidung, dan kerongkongan, oleh karena itu

tidak jarang tonsil mengalami peradangan. Tonsil bertindak seperti

filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh

melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun

untuk memproduksi antibodi untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil

sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen,

selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu

16
melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi

infeksi yaitu tonsilitis.

2. Tonsilitis

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan

bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan

kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil

faringeal (adenoid ), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tosil

pangkal lidah), dan tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring)

Tonsilitis disebabkan oleh kuman Streptococcus β hemolyticus,

Streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes sebagai penyebab

terbanyak, selain itu juga disebabkan oleh Corybacterium diphteriae,

namun dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer, 2000). Tonsilitis

terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara

aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung

kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn

yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Farokah, 2007).

Tanda dan gejala tonsilitis ialah sakit tenggorokan, demam,

ngorok, dan kesulitan menelan. Sedangkan tanda dan gejala yang

timbul yaitu nyeri tenggorok, tidak nafsu makan, nyeri menelan,

kadang-kadang disertai otalgia, demam tinggi, serta pembesaran

kelenjar submandibuler dan nyeri tekan.

17
Tonsilitis memiliki efek jangka panjang sedikit, tonsilitis

berulang menyebabkan morbiditas yang signifikan dan mengurangi

waktu sekolah atau bekerja. Definisi berulang mungkin berbeda, tetapi

kriteria yang digunakan adalah 5 atau lebih dari episode yang cocok

dari gejala tonsilitis berulang setidaknya satu tahun, dan episode yang

menonaktifkan dan yang menghalangi fungsi normal (Kvestad, 2005)

a. Tonsilitis akut

Menurut Soepardi et al., ( 2007 ) tonsilitis akut dibagi menjadi 2

yaitu :

1) Tonsilitis viral

Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond

cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling

sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenzae

merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi

infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut

akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang

sangat nyeri dirasakan pasien.

2) Tonsilitis bakterial

Radang akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman

grup A streptokokus, β hemolitikus yang dikenal sebagai strep

throat, pneumokokus, streptokokus viridan, streptokokus

piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil

akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit

18
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis

akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis.

Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-

alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

Tanda dan gejala tonsilitis akut yaitu seperti demam

mendadak, nyeri tenggorokan, ngorok, dan kesulitan menelan

(Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut Mansjoer (2000) adalah suhu

tubuh naik sampai 40ºC, rasa gatal atau kering di tenggorokan,

lesu, nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan otalgia

(nyeri telinga). Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada

pemeriksaan tampak faring hiperemisis, tonsil membengkak, dan

hiperemis.

Terapi pengobatan pada tonsilitis ini adalah antibiotik

golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur

atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan

eritromisin atau klidomisin. Dapat pula menggunakan antibiotik

yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid

untuk mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik

(Mansjoer, 2001).

Pada anak sering menimbulkan komplikasi seperti otitis

media akut, sinusitis abses peritonsil, abses pada laring, bronkitis,

glomeluronefritis, serta artitis. Akibat hipertrofi akan menyebabkan

19
pasien bernafas melalui mulut, tidur mrndengkur, gangguan tidur

karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive

Sleep Apnea Syndrome (OSAS) (Soepardi et al., 2009).

b. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau

inflamasi pada tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Adapun

yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan histologik

pada tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh

dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel – sel radang

(Rivai L. dalam Boedi Siswantoro, 2003).

Adapun faktor predisposisi dari tonsilitis kronis yaitu

pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, higiene mulut yang

buruk, pengaruh cuaca , kelelahan fisik, dan juga merokok

(Soepardi et al., 2009).

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan

ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan

permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase

resolusi tidak sempurna. Organisme patogen dapat menetap untuk

sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan

mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh

penderita mengalami penurunan. Bakteri penyebab tonsilitis kronis

pada umumnya sama dengan tonsilitis akut yaitu Streptococcus

20
16

pnemonia, Haemopilus influenzae, Streptococcus B hemolitikus,

Streptococcus viridians (Colman, 2001).

Patologi penyakit ini disebabkan oleh adanya infeksi

berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat

membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di

tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil

berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman

dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat

keadaan umum tubuh menurun (Farokah, 2007).

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain

epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses

penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang

akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik

kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga

menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan

dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini

disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula

(Rusmarjono, 2006).

Tonsilitis kronik merupakan penyakit yang paling sering

dari radang tenggorok, dengan gejala klinis sebagai berikut :

21
1) Gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit

tenggorok, sulit sampai sakit menelan

22
2) Gejala sistematis, perasaan tidak enak dibadan, malaise, sakit

kepala, badan panas, sakit pada otot dan persendian.

3) Tanda klinis, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem

atau hipertrofi, olika tonsilaris anterior hiperemis, dan

pembengkakan kelenjar limfe (Soepardi et al., 2009).

Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil

dapat bertemu di tengah. Standart untuk pemeriksaan tonsil

berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan

berdasarkan rasio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral)

yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri.

1) T0 : Tonsil terletak pada fosa tonsil,

2) T1 : kurang dari 25%,

3) T2 : 25%-50%,

4) T3 : 50%-75%,

5) T4 : lebih dari 75% (Brodsky, 2006)

Sedangkan menurut Thane & Cody (1993) pembesaran

tonsil dikatagorikan dalam ukuran T1 – T4 :

1) T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak

pilar anterior – uvula

2) T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula

sampai ½ jarak anterior – uvula

3) T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula

sampai ¾ jarak pilar anterior – uvula

23
4) T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula

sampai uvula atau lebih

Penatalaksanaan tonsilitis kronik dengan antimikroba sering

gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah

kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi

organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian

antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda,

2009). Apabila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala

sumbatan serta kecurigaan neoplasma maka dilakukan tonsilektomi

(Soepardi et al., 2009).

Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan

tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan

tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali

atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorokan 4 – 6 kali setahun

tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut. Perlu

diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan

menurunkan jumlah kuman patogen yang ditemukan pada per

mukaan tonsil tetapi ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan

bagian dalam tonsil paska tonsilektomi, ditemukan jenis kuman

patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di

permukaan tonsil sebelum pemberian antibiotik (Amarudin &

Christanto, 2007).

24
19

3. Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan

seluruh tonsil palatina (Hermani, 2004). Tonsilektomi merupakan

prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti

tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan

keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam

pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena kekhawatiran komplikasi,

tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia,

tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi

pendek dan teknik tidak sulit (Wanri, 2007).

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun

terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi

tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk

terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih

utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil (Wanri,

2007).

Menurut American Academy of Otolaryngology – Head and

Neck Surgery (AAO-HNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur

surgikal adalah seperti berikut:

a. Indikasi absolut

25
1) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran

napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi

kardiopulmoner

26
2) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis

dan drainase.

3) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

4) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan

patologi anatomi.

b. Indikasi relatif

1) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan

terapi antibiotik adekuat.

2) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan

pemberian terapi medis.

3) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang

tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase

resisten.

4) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu

keganasan.

Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa

harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut

atau hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran

nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya

sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,

kebanyakan karena infeksi kronik (Hermani, 2004).

27
2. Anestesi Pilihan Pada Tindakan Tonsilektomi

Tonsilektomi

Pemeriksaan prabedah seperti riwayat gangguan perdarahan, obstructive sleep apnoe,


tidak ada gigi (ompong). Harus dilakukan pemeriksaan koagulasi. Pasien dengan obstructive
sleep apnoe mungkin obesitas/gemuk dan mungkin ventilasi dan intubasi sulit. Banyak pasien
mempunyai penyakit infeksi saluran nafas atas yang kronis dan berulang-ulang terjadinya.
Bila pasien sedang mengalami infeksi akut yang ditandai dengan adanya demam, batuk
produktif, gejala saluran nafas bagian bawah, disertai penyakit lain, atau umur < 1 tahun
dipertimbangkan untuk mengundurkan operasinya atau dirawat di ICU untuk observasi.

Kebanyakan pasien anak dilakukan induksi inhalasi, diikuti dengan pemasangan jalur
vena. Teknik anestesinya umumnya dilakukan dengan volatil anestetika ditambah dengan
opioid (misalnya morfin 0,1 mg/kg intravena). Glikopirate (5-10 ug/kg intravena) kadang-
kadang diberikan untuk mengurangi sekresi dan dipertimbangkan pemberian antiemetik.
Untuk fasilitas intubasi dilakukan dengan pelumpuh otot, akan tetapi, tidak selalu diperlukan
pelumpuh otot untuk dapat dilakukannya intubasi. Selama manipulasi kepala dan mouth gag
dapat terjadi obstruksi pipa ETT, diskoneksi, atau tercabut. Oral rae tube memberikan oral
akses yang lebih baik untuk ahli bedah dan kurang kinking dengan adanya retraktor. Oral rae
tube, sama seperto ETT oral yang lainnya, harus difiksasi pada garis tengan mandibula.

Pada akhir pembedahan, tampon harus diangkat dan pipa orogastrik dimasukkan untuk
mengosongkan lambung dari darah yang tertelan dan dilakukan pengisapan faring. Eksubasi
dapat dilakukan saat anestesi “dalam” atau setelah pasien bangun dan reflek proteksi jalan
nafas telah pulih. Batuk akibat adanya ETT dapat ditekan dengan pemberian ldokain 1-1,5
mg/kg ntravena 5 menit sebelum ekstubasi. Penggonaan orophraryngeal airway (OPA)
setelah pembedahan dapat menyebabkan rusaknya luka operasi dan perdarahan bila
penempatan tidak dilakukan secara hati-hati di garis tengah. Nasal airway dapat sebagai
alternatif.

Setelah ekstubasi pasien ditempatkan disatu sisi, dengan posisi sedikit Trendelenburg
dan berikan O2 100%. Dengarkan adanya obstruksi pernafasan sebelum pasien dikirim ke
Post Anesthsia Care Unit (PACU). Transport pasien dengan pemberian oksigen. Di PACU,
pasien diberi oksigen via mask, monitoring tergantung protokol di PACU, dan periksa apakah
faring sudah kering sebelum dipulangkan dari rumah sakit.

28
Tonsil Bleeding

Perdarahan kembali (rebleeding) setelah tonsilektomi pada umumnya terjadi dalam 24


jam setelah operasi tapi bisa juga lebih lambat sampai 5-10 hari. Dapat terlihat adanya
hematemesis, takikardi, sering menelan, pucat dan obstruksi jalan nafas. Banyaknya
kehilangan darah sering tidak dapat diperkirakan karena darahnya ditelan.

Induksi anestesi pada anak dengan perdarahan dan hipovolemi dapat menyebabkan
hipotensi berat dan henti jantung. Diperlukan akses intravena yang adekuat dan pasien harus
diresusitasi dengan adekuat (bila diperlukan dengan produk darah) sebelum dilakukan
tindakan pembedahan. Hematokrit, pemeriksaan koagulasi, dan tersedianya produk darah
harus dipastikan. Dosis obat anestesi harus dikurangi pada pasien dengan hipovolemia.

Disebabkan karena lambung penuh dengan darah, idealnya rapid sequence induction
dengan tekanan pada cricoid dan dengan posisi sedikit head down harus dilakukan untuk
melindungi trachea dan glotis dari aspirasi dari darah atau cairan lambung. Dua buah suction
harus siap dan stilet pipa endotracheal satu nomor lebih kecil dari yang diperkirakan harus
sudah tersedia. Ekstubasi paling aman setelah pasien bangun.

Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang
ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot .
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke
jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan
peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat,
murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot
yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan6,7.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
29
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang
luas.7

Persiapan Pra Anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus


dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2
hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi
pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:1,7

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.


b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang


sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir


tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi
/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.

30
Klasifikasi Mallampati

i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior


oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV: palatum durum saja

Intubasi Endotrakeal
Pengertian Intubasi Endotrakheal
Intubasi adalah memasukkan pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan
sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah
tindakan memasukkan pipa endotrakhea ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan.

Tujuan Intubasi Endotrakhea


Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten,
mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi
pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama
f. Mengatasi obstruksi laring akut

Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain :

31
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri
dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui
masker nasal
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi

Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain:


a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada
kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa
mengganggu pekerjaan ahli bedah.
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak
ada ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra
pulmonal.
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
g. Tracheostomi
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords

Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa
indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat
b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau
abcent dan sering menimbulkan aspirasi
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatori
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari
24 jam seharusnya diintubasi
f. Pada post operative respiratory insufficiency

32
Menurut Gisele, ada beberapa kontra indikasi untuk tindakan intubasi endotrakheal antara
lain:
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi


Gambaran klasik yang betul adalah posisi leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position.
Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.

Sumber : http://www.aic.cuhk.edu

Alat-alat Untuk Intubasi

Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal antara lain :

Laringoskop,

yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop yaitu :

- Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.

33
Pipa endotracheal

Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai dan
lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah
kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral
nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa
endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon
yaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan
tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat
menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih
luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa
balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah
daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena
bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan
diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm.

Pipa orofaring atau nasofaring


Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan
faring pada pasien yang tidak diintubasi.

34
Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.

Stilet atau forsep intubasi


Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu
saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal
nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

35
f. Connector
connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask
ataupun peralatan anesthesia.

g. Alat pengisap atau suction.


suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah dan cairan lainnya

Tindakan Intubasi
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan:

a. Persiapan
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan
menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1
gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam
satu garis lurus.

b. Oksigenasi

Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan
pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang
dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.

c. Laringoskop

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan
tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan
tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk huruf V.

36
d. Pemasangan pipa endotrakheal

Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa
tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk
menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

e. Mengontrol letak pipa

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan


auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada
ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan
terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-
kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat.
Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru
sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster
akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar
cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut
pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.

f. Ventilasi

Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan

Komplikasi Intubasi Endotrakheal

A. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi

 Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal


cuff.
 Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut,
cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal
 Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat,
tekanan intraocular meningkat dan spasme laring

37
 Malfungsi tuba berupa perforasi cuff

B. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal

 Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan


malposisi laringeal cuff
 Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit
hidung
 Malfungsi tuba berupa obstruksi

C. Komplikasi setelah ekstubasi

 Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara
sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring
 Gangguan refleks berupa spasme laring

Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. cara
skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete.

38
Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor


1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1
 Sianosis 0

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan

BAB III

39
ANALISA KASUS

Seorang pasien laki-laki usia 12 tahun datang ke RSUD Budhi Asih dengan keluhan
nyeri tenggorokan berulang. Pasien merupakan pasien rawat jalan RSUD Budhi Asih dan
memiliki keluhan lain berupa nyeri tenggorokan berulang disertai pilek. Pasien memiliki
kebiasaan suka minum minuman es, bersoda dan diberikan bekal setiap hari untuk ke
sekolah. Keluhan yang sama sudah diderita sejak 3 bulan yang lalu, dan berulang . Pasien
kontrol ke poli RSUD Budhi Asih, dan pasien dinyatakan menderita tonsilitis berulang.
Kemudian telah direncanakan tindakan tonsilektomi kurang lebih 1 bulan yang lalu.
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien 104/77 mmHg,
nadi 97x/menit, respirasi 20x/menit, dan suhu afebris. Pada pemeriksaan status generalis
didapatkan pembesaran tonsil sebesar T3-T3.Pasien pertama kali dioperasi dan dibius.Pasien
tidak memiliki riwayat penyakit asma, hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia,
penyakit jantung maupun organ lainnya. Pasien terindikasikan dilakukan tindakan
tonsilektomi oleh karena pasien memenuhi kriteria absolut dan relatif, yaitu pasien
mengalami pembengkakan tonsil yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis dan
terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun.
Dapat disimpulkan pada pasien ini termasuk dalam kategori ASA 2 dengan riwayat
rhinitis alergi yang terkontrol. Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

Pada pasien ini dilakukan teknik General Anasthesia dengan pemasangan ETT
(Endotracheal Tube) oleh karena pasien akan menjalani tindakan operatif pada daerah
leher, mulut dan tenggorokan sehingga sukar untuk menggunakan Naso Tracheal Tube
oleh karena manipulasi posisi dari NTT akan lebih sukar dibanding ETT. Serta pasien
tidak memiliki kontraindikasi berupa trauma jalan nafas atau obstruksi dimana
Mallampati score pasien dengan derajat I, serta trauma pada daerah servikal.
Pasien tidur terlentang, dilakukan pemasangan alat monitor dan EKG untuk
mengawasi tekanan darah, nadi, pernapasan dan saturasi oksigen. Kemudian pasien
diberikan obat-obatan pre-medikasi yang terdiri dari midazolam 2,5mg,
dehydrobenzperidol(DBP) 1,25mg dan Fentanyl 50mcg. Kemudian pasien diberikan pre-
oksigenasi menggunakan sungkup muka ukuran 3 dengan kadar oksigen 4L/menit,
Setelah beberapa saat kemudian, pasien diberikan induksi propofol sebanyak 80mg.
Pasien dipasangkan oropharyngeal airway untuk membantu membuka jalan napas dan
dilanjutkan dengan pemberian oksigen dengan menggunakan sungkup muka dengan jaw
thrust menggunakan tangan kiri dan bagging menggunakan tangan kanan. Setelah

40
refleks bulu mata pasien sudah tidak ada dan leher pasien dirasakan sudah tidak kaku
lagi, oropharyngeal airway dikeluarkan dan dilakukan pemasangan endotracheal tube
(ETT) dengan ukuran 6 melalui mulut. Tangan kiri memegang laryngoscope, tangan
kanan membuka mulut pasien dan memasukkan melalui sisi kanan lalu digeser ke tengah
untuk mengangkat lidah pasien sampai terlihat trachea/pita suara. Lalu dengan tangan
kanan memegang selang ETT yang sudah dipasangkan stilet di dalamnya untuk
dijadikan sebagai penuntun, dimasukkan secara miring sampai melewati pita suara,
kemudian dengan spuit diberikan udara untuk mengisi cuff sebagai fiksasi. Setelah ETT
terfiksasi, langsung dihubungkan ke ventilator menggunakan connector sambil di
bagging. Setelah dipastikan ETT masuk tidak terlalu dalam dan suara napas pasien
simetris kiri dan kanan, proses diambil alih oleh ventilator.
 Mulai Anestesi : 08-11-2019, pukul 09:45 WIB
 Mulai Operasi : 08-11-2019, pukul 10:05 WIB
 Pre-medikasi : Midazolam 2,5mg, DBP 1,25mg, Fentanyl 50mcg
 Agen Anestesi : Propofol 80mg
 Analgetik : Ketorolac 30mg, Ketalar 5mg
 Muscle relaxant : Esmeron 20mg
 Lain-lain : Asam traneksamat 500mg, Vitamin K 2mg
 Reverse : Sulfas Atropine 0,5mg, Prostigmin 1mg
 Posisi : terlentang
 Cairan durante operasi : Ringer Fundin 500 ml
 Selesai Operasi : 11:10 WIB

Setelah pasien sadar di bawa ke ruang pemulihan, selama berada diruang pemulihan di

berikan   oksigen   dengan   menggunakan   nasal   kanul   dan   di   berikan   sebanyak  2L/menit,   di

pasang   saturasi   oksigen   dan   juga   tensimeter.   Selama   di   ruang   pemulihan   dilakukan

pemantauan kesadaran, pernapasan, sirkulasi, saturasi, dan aktivitas yang dilakukan setiap 10

menit. 

Berdasarkan Aldrete score sebelum operasi didapatkan kesadaran composmentis score 2,

pernafasan 18x/menit dengan score 2, saturasi 99% score 2, tekanan darah 120/75 dengan

score 2, aktifitas dapat menggerakkan kedua ekstremitas ekstremitas dengan score 1 sehingga

total Aldrete score sebelum operasi adalah 9. Kemudian score setelah operasi dalam 9 menit

pertama   kesadaran   belum   sadar   penuh,   pasien   membuka   mata   saat   namanya   di   panggil,

motorik dapat mengikuti perintah dengan baik, namun berbicara masih seperti kebingungan,

sehingga Aldrete score untuk kesadaran 1, pernafasan spontan dan 20x/menit dengan score 2,

saturasi   98%   score   2,   tekanan   darah   115/70   mmHg   dengan   score   2,   aktifitas   bisa

41
menggerakkan kedua extremitas dengan score 1, sehingga total score Aldrete untuk 10 menit

pertama   adalah   9.  Selain   itu   perhatikan   kesan   nyeri   dan   mual,   bila   diperlukan   berikan

analgetik tambahan maupun anti mual tambahan.

Dilakukan pemantaun di 10 menit kedua didapatkan hasil kesadaran mata terbuka saat

adanya rangsangan suara, motorik dapat mengikuti perintah, verbal sudah berorientasi baik

score 1, tekanan darah 120/80 dengan score 2, pernafasan 18x/menit score 2, saturasi 99%

dengan score 2, aktifitas dapat menggerakkan kedua extremitas maka total Aldrete score 10

menit ke dua adalah 9. 

Pasien dilakukan pemantauan selama 10 menit ketiga, didapatkan hasil mata sudah mulai

membuka spontan, sudah dapat diajak komunikasi dengan mengetahui nama dan lokasi saat

ini   sedang   di   rumah   sakit,   kemudian   sudah   bisa   menggerakan   extremitasnya   sehingga

didapatkan   score  2,  pernafasan   20x/menit  score  2,  saturasi   100%  score  2,  tekanan  darah

127/80 score 2, extremitas dapat digerakkan score 2, sehingga total score Aldrete 10. 

Tetap   dilakukan   pemantauan   kembali   selama   10   menit   didapatkan   hasil   kesadaran

compos mentis score 2, pernafasan 20x/menit score 2, saturasi 99% score 2, tekanan darah

120/80 score 2, dan dapat menggerakkan kedua extremitasnya score 1, total score 10 menit

keempat 9. Namun tetap dilakukan pemantauan 10 menit selanjutnya dan didapatkan hasil

kesadaran compos mentis score 2, pernafasan 20x/menit score 2, saturasi 100%% score 2,

tekanan darah 130/82 score 2, dan dapat menggerakkan kedua extremitasnya score 1, total

score 10 menit kelima 9. Kemudian pasien dipindahkan ke ruangan biasa/bangsal dikarekan

kondisi hemodinamik dan kesadaran pasien sudah mulai membaik.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Amarudin, T., & Christanto, A. (2007). Kajian Manfaat Tonsilektomi. Dalam:Riyanto


W.B., 2007. Cermin Dunia Kedokteran No. 155 (THT). Jakarta.

2. American Academy of Otolaryngology. (2009). Head and Neck Surgery.


Tonsillectomy procedures, Tonsillectomy. Emedicine from WebMD. Diambil dari
http://emedicine.medscape.com/article/872119-overview (diakses pada 30 Maret
2016).

3. Agren, K., & Anderson U. (1995). Upregulated Local Cytokin Productoin in


Reccurent Tonsillitis Compared with Tonsil Hypertrophy. Department otorinhology.
Soder Hospital. Stockhlom.

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, (2007),


Riset Kesehtan Dasar (Rikesdas 2007), Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.Jakarta.

5. Brodsky L, Poje C. (2006). Tonsillitis, Tonsilectomy and Adenoid, In : Bailey BJ,


Jhonson JT, Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2, 4th Ed, Lippincott
Williams & Wilkins Philadelpia.

6. Campisi, P. & Tewfik, T.L., 2003. Tonsillitis and its complications. The Canadian

7. Journal of Diagnosis. Diambil dari:


http://www.stacommunications.com/journals/diagnosis/2003/02february/tonsilitis.pdf
(diaskes pada 28 Maret 2016).

8. Chan, KH. & Ramakrisnan, VR. (2009). Disease of the Oral Cavity, Oropharynx
and Nasopharynx In Ballenger. Philadelphia : Orthorhinolaryngology Head and
Neck Surgery.

9. Cody D., Thane R., Kem E.B., & Pearson B.W. Editor : Petrus Andrianto, (1993).

10. Penyakit Hidung, Telinga dan Tenggorok. Jakarta: EGC

43
11. Colman, BH. (2001). Adenoid and Tonsil Desease of the Nose, Thorat and Ear and
Head. Oxfort : Oxfort Press University.
12. Farokah, Suprihati, Suyitno S., (2007). Hubungan Tonsilitis Kronis dengan
Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Dalam:
Riyanto W.B., 2007. Cermin Dunia Kedokteran No. 155 (THT), Jakarta.

13. Hammouda, & Mostafa. (2009). Chronic Tonsillitis Bacteriology in Egyptian


Children Including Antimicrobial Susceptibility. Department of ENT, Department
of Medical Microbiology and Immunology,Faculty of Medicine. Cairo University
and Department of Pediatrics. Research Institute of Ophthalmology, Giza, Egypt,
Australian Journal of Basic and Applied Sciences.

14. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2013). Dampak Penyakit Kronis Terhadap
Remaja. Jakarta

15. Hermani, B., Fachrudin, D., et al. (2004). Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa.

16. Health Technology Assessment (HTA) Indonesia.

17. Kartika, H. (2008). Tonsilektomi. Welcome & Joining otolaryngology. Diambil dari
: www.hennykartika.wordpress.com (diakses 29 Maret 2016).

18. Kvestad, Ellen, et al. (2005). Heritability of Recurrent Tonsilitis. Otolaryngology


Head and Neck Surgery, Vol. 131.

19. Mansjoer, Arif, et al. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 .Jakarta: Media
Aesculapius.

20. Notoadmodjo, Soekiijo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:Rineka


Cipta

21. Novitri, N.F.M. 2009. Gambaran Kualitas Hidup Penduduk Dewasa pada Lima
Wilayah di Jakarta. Skripsi. Fakultas Psikologi Univeristas Indonesia. Depok .

22. Nurchayati, S. (2010), Analisa faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas


hidup pasien penyakit ginjal kronik yamg menjalani hemodialisis di Rumah Sakit
Islam Fatmawati Cilacap dan Rumah Sakit Umum Daerah Banyuma. Tesis,
Universitas Indonesia, Jakarta.

44
45

Anda mungkin juga menyukai