Anda di halaman 1dari 29

STUDENT PROJECT

REHABILITATION OF ANTERIOR DISLOCATION


SHOULDER

OLEH : SGD 1

1. L. Ade Sintia Devi 1702541001


2. Ni Kadek Ayu Satya Dewanti 1702541007
3. Desak Risa Pertiwi 1702541014
4. Rizka Tamalia 1702541016
5. A.A. Istri Dinda Pradnyaningrum 1702541025
6. Luh Made Sintya Paramasti 1702541034
7. I Wayan Reinaisen Kertiyasa Bumi 1702541039
8. Ni Made Mahadewi Dwijayanti R. 1702541040

PROGRAM STUDI SARJANA FISIOTERAPI DAN PROFESI


FISIOTERAPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Olahraga merupakan suatu bentuk kegiatan fisik yang dapat meningkatkan
kebugaran jasmani yang melibatkan sistem musculoskeletal, sistem
kardiovaskular, sistem respirasi, sistem ekskresi, sistem saraf dan sistem lainnya
yang saling berkesinambungan untuk mencapai tujuan dalam olahraga seperti
peningkatan kekuatan otot maupun pencapaian suatu prestasi olahraga (Indonesia,
2019). Kegiatan berolahraga dapat dilakukan oleh perorangan secara mandiri
maupun bersama dengan membentuk suatu kelompok atau tim yang dapat
dilakukan didalam maupun diluar ruangan tergantung pada lapangan yang
digunakan (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2015). Kegiatan berolahraga
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip olahraga seperti kebutuhan
individu, specificity, peningkatan secara progresif dan overloads, adanya istirahat
dan penyembuhan, menggunakan perhitungan FITT (frekuensi, intensitas, time
(waktu), dan tipe latihan) serta reversibility (Arovah, 2001).
Segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh setiap individu akan
memberikan resiko pada individu tersebut. Kegiatan berolahraga yang dilakukan
oleh setiap individu dapat menimbulkan terjadinya cedera pada individu tersebut.
Cedera olahraga adalah suatu cedera yang timbul, baik pada waktu latihan
maupun pada waktu berolahraga (pertandingan) ataupun sesudah pertandingan
yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor
internal penyebab teradinya cedera seperti umur, pengalaman, tingkat latihan,
teknik, kemampuan awal (warming up), recovery period, keseimbangan nutrisi,
dan kondisi tubuh. Sedangkan faktor eksternal penyebab terjadinya cedera
olahraga seperti peralatan dan fasilitas yang tersedia (Rahayu, 2013).
Cedera olahraga umumnya menimbulkan gangguan pada sistem
musculoskeletal serta integument. Ekstremitas tubuh yang mengalami gangguan
bergantung pada jenis olahraga yang ditekuni. Salah satu olahraga yang seringkali
menimbulkan cedera pada ekstremitas atas khususnya bahu adalah olahraga voli.
Voli adalah permainan menggunakan bola besar yang dilakukan oleh individu
yang tergabung dalam suatu tim, biasanya voli dilakukan dengan 5-6 orang dalam
satu tim dengan bermain di lapangan luar ruangan (Sunaryadi, 2010).
Salah satu cedera olahraga pada ekstremitas atas yakni bahu (shoulder)
yang paling banyak terjadi pada atlet voli adalah dislokasi bahu (shoulder) dimana
71,8% laki-laki yang mengalami dislokasi bahu, 46,8% penderita berusia antara
15-29 tahun, 48,3% terjadi akibat trauma pada kegiatan olahraga salah satunya
olahraga voli dengan dislokasi shoulder anterior yang paling sering terjadi (Lubis
et al., 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan cedera dislokasi shoulder anterior?
1.2.2 Bagaimana patofisiologi dari cedera dislokasi shoulder anterior?
1.2.3 Bagaimana penatalaksanaan dari cedera dislokasi shoulder anterior post
arthroscopy surgery?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Pembaca dapat memahami tentang cedera dislokasi shoulder anterior
post arthroscopy surgery pada atlet voli.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi cedera dislokasi shoulder anterior.
2. Mengetahui definisi arthroscopy surgery.
3. Mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus cedera dislokasi
shoulder anterior post arthroscopy surgery.
BAB II
ISI
2.1 Anatomi Sendi Glenohumeral
1. Tulang Scapula
Scapula adalah sebuah tulang
yang berbetuk segitiga yang memiliki
tiga sudut: inferior, superior, dan
lateral. Scapula juga memiliki 3 buah
sisi. Saat lengan pada posisi istirahat,
sisi medial atau vertebralnya berada
sejajar dengan columna vertebra. Sisi
lateral atau axilar berjalandari sudut
inferior ke sudut lateral scapula. Sisi
superiornya memanjang dari sudut Permukaan tulang Scapula Anterior
(A), Posterior (B)
superior ke arah lateral hingga
proccesus coracoid.
Pada permukaan posterior, scapula dibagi menjadi 2 bagian yaitu fosa
supraspinatus dan fossa infraspinatus oleh spina scapula. Otot suprapinatus
melekat pada fossa supraspinatus. Ujung dari spina scapula ini, membentuk suatu
peninggian tulang yang meluas disebut dengan acromion. Selanjutnya acromion
akan memanjang ke arah lateral dan anterior, melewati atas foosa glenoid Scapula
akan membentuk persendian dengan humerus melalui permukaan fossa gleniodal
yang berbentuk concave. Permukaan fossa glenoid yang landai berada condong
keatas sekitar 4ᵒ dari axis horizontal yang melewati badan scapula. Kemiringan
(inklinasi) ini bervariasi, berkisar dari 7ᵒ miring kearah bawah hingga 16ᵒ kearah
atas.
Pada saat istirahat, normalnya scapula berada pada posisi berlawanan dengan
permukaan posterior-lateral dari thorax, dengan fossa glenoid mengahadap
anterior sekitar 35ᵒ ke bidang frontal. Posisi scapula ini disebut dengan scapular
plane. Scapula dan humerus selalu mengikuti bidang ini saat lengan elevasi
melewati kepala. Permukaan fossa glenoid berbentuk seperti buah pear, dengan
bagian yang melebar pada daerah bagian superiornya. Hanya sepertiga dari
permukaan fossa glenoid yang menyentuh caput humerus. Kedalaman (diukur
pada superior-inferior) dari glenoid sekitar 9 milimeter, dan 5 milimeter (diukur
pada anterior-posterior). Separuhnya dibentuk oleh labrum. Dasar dari fossa
glenoid ini dilapisi oleh cartilago, yang berukuran lebih tebal pada area perifer
daripada tengahnya, sehingga membuat soket sedikit lebih dalam.
Kedudukan sendi yang dibentuk oleh fossa glenoid bersifat dangkal dan
inkongruen terhadap caput humerus. Kelemahan ini, dibantu oleh adanya sebuah
jaringan ikat penghubung yang disebut labrum glenoid. Labrum glenoid
meningkatkan luas cakupan bagi caput humerus, dan membuat cavitas glenoid
lebih dalam. Hal ini meningkatkan kemampuan menerima beban pada sendi bahu.
Labrum ini melekat pada sekeliling periosteum fossa glenoid.

2. Tulang Humerus
Humerus adalah sebuah tulang panjang pada daerah lengan yang terdiri dari
dua buah pangkal tulang dan sebuah badan tulang. Terdapat sebuah permukaan
sendi pada pangkal atas tulang humerus, yang disebut caput humerus. Caput
humerus berbentuk setengah bola, dengan ujung yang berbentuk convex. Caput
humerus menghadap ke arah medial dan superior, membentuk sebuah sudut
inklinasi 135ᵒ terhadap axis panjang dari tulang humerus. Caput humerus berotasi
ke arah posterior sebesar 30ᵒ pada bidang horisontal terhadap axis mediolateral
yang melalui siku Rotasi ini disebut retroversion, yaitu kedudukan persendian
caput humeral pada fossa glenoidal.
Pada bidang corona, permukaan fossa glenoid membentuk sudut sekitar 75ᵒ,
sedangkan permukaan caput humerus bersudut 120ᵒ. Diameter permukaan glenoid
yang lebih kecil daripada caput humerus menyebabkan kontak dalam persendian
ini kecil. Gerakan yang terjadi pada persendian ini meliputi 3 tipe: rolling, gliding,
dan rotasi. Pada gerakan rolling terjadi kontak oleh beberapa titik di permukaan
yang bergerak terhadap beberapa titik pada permukaan yang diam. Pada gerakan
gliding terjadi kontak oleh satu titik pada permukaan yang bergerak terhadap
beberapa titik pada permukaan yang diam. Pada rolling dan gliding terjadi
perubahan area kontak yang signifikan. Tipe yang ketiga adalah rotasi, pada
gerakan ini yang terjadi adalah kontak antara satu titik pada permukaan yang
bergerak pada satu titik di permukaan yang diam Gerakan sendi yang efektif
dicapai oleh interaksi yang kompleks antara penyusun sendi dan jaringan lunak
yang berada di sekitar sendi. Rotasi pada humerus penting saat elevasi bahu.
Terjadi gerakan yang serentak antara rotasi eksterna bahu dengan abduksi pada
bidang corona. Beberapa peneliti mengatakan bahwa gerakan ini bertujuan agar
acromion tidak menyentuh tuberositas mayor dan ligamen coracoacromial.

3. Glenohumeral Capsule and Synovial Lining


Sendi glenohumeral diselubungi
oleh sebuah kapsul fibrous yang
memisahkan sendi dari jaringan sekitarnya.
Kapsul menempel sepanjang cincin fossa
glenoid dan memanjang ke arah
anatomical neck dari humerus. Kapsul
pada sendi glenohumeral merupakan
dinding tipis yang berongga. Terdapat
sebuah membran synovial pada dinding
kapsul sebelah dalam, berisi sekitar 30
kubik centimeter cairan. Synovial lining
Penampang anterior dari potongan
dalam kapsul menyatu dengan kartilago frontal pada sendi glenohumeral
hyalin pada caput humerus. Namun kanan
synovial lining tidak mencapai kartilago
pada fossa glenoid.

Synovial lining yang memanjang membatasi bagian intracapsular dari


tendon otot biceps caput longus. Caput longus dari tendon biceps menempel pada
bagian superior dari fossa glenoid. Membran synovial mengelilingi tendon biceps
lalu keluar dari kapsul sendi menuju celah intertubercular. Tendon biceps berlipat
ke arah kapsul namun tidak sampai memasuki rongga synovial. Sehingga tendon
biceps disebut jaringan intrakapsular namun ekstrasynovial.

Ruang dalam kapsul berukuran dua kali lebh besar daripada caput humerus.
Kapsul yang lebar dan longgar ini membuat sendi glenohumeral dapat bergerak
dalam lingkup gerak yang luas. Gerakan pada sendi glenohumeral ini dapat
menyebabkan transalsi pasif dalam sendi.caput humerus dapat terdorong dari
fossa glenoid tanpa menimbulkan nyeri. Dalam posisi anatomi atau adduksi,
terdapat kapsul yang lebih longgar disebut dengan axillary pouch. Axillary pouch
dan ligamen glenohumeral inferior menjadi taut pada abduksi 90ᵒ. Fungsinya
sebagai penyangga pada caput humeral untuk mencegah terjadinya translasi
anterior-posterior.

4. Ligamen
Lapisan luar dari dinding anterior dan inferior dari kapsul sendi lebih tebal
oleh adanya jaringan ikat penghubung yang disebut ligamen glenohumeral.
Sebagian besar ligamen ini menempel pada humerus. Untuk menhasilkan
kestabilan dalam sendi. Ligamen dapat memanjang atau memutar beberapa derajat,
sehingga menimbulkan tekanan pasif yang menghasilkan mechanical support
pada sendi glenohumeral dan mencegah terjadinya rotasi dan translasi yang ektrim.
Ligamen pada sendi glenohumeral berbentuk seperti kipas terdiri dari pita
serabut kolagen yang kompleks, dibagi atas ligamen superior, inferior, dan media.
Ligamen glenohumeral superior menempelkan sisi proximalnya pada
supraglenoid tubercle. Kemudian ligamen ini menempel pada anatomical neck
dari humerus dibawah tuberculum minor. Ligamen ini mengencang saat adduksi
untuk menjaga translasi caput humerus ke arah inferior dan antero-posterior.
Ligamen glenohumeral media, memiliki penempelan yang luas pada sisi
proximalnya yaitu disisi superior dan medial dari anterior cincin glenoid. Ligamen
ini menyati dengan kapsul anterior dan tendon dari otot subscapularis. Lalu
legamn ini menempel pada sisi anterior anatomical neck. Ligamen ini berfungsi
menjada sisi anterior sendi glenohumeral, terutama saat abduksi 45ᵒ hingga 60ᵒ.
Berdasarkan lokasinya, ligamen glenohumeral media ini sangat efektif untuk
membatasi rotasi eksternal yang berlebihan.
Ligamen selanjutnya merupakan ligamen yang luas. Ligamen glenohumeral
inferior pada sisi proximalnya menempel di sepanjang cincin anterior-inferior
darifossa glenoid, termasuk labrum glenoid. Pada bagian distal ligamen ini
menempel secara luas pada batas anterior-inferior dan posterior-inferior dari
anatomical neck. Ligamen glenohumeral inferior ini memiliki tiga buah
komponen yang terpisah: pita anterior, pita posterior dan lapisan axillary pouch.
Pada posisi abduksi, pita anterior dan posterior akan taut jika terjadi rotasi internal
atau eksterna yang ekstrim. Terutama pada pita anterior yang mencegah terjadinya
translasi anterior pada caput humerus. Gerakan dinamic yang bergaya besar pada
abduksi dan ekstrenal rotasikan menyebabkan stress pada pita anterior. Stress ini
dapat terjadi pada “chocking phase” pada pemain baseball saat melempar bola.
Terdapat pula celah antara ligamentum glenohumeral superior dan
ligamentum glenohumeral media pada lipatan kapsul, yang disebut foramen
weitbrecht. Foramen ini dibungkus oleh selaput tipis dari kapsul dan
menghubungkan antara isi kapsul dan celah subscapular, namun celah ini
merupakan titik lemah dalam kapsul sehingga dapat menyebabkan anterior
dislocation pada caput humerus.
Sendi glenohumeral juga diperkuat oleh adanya ligamen coracohumeral.
Ligamen ini memanjang dari sisi lateral pada processus coracoid menuju ke sisi
anterior dari tuberculum mayor humerus. Ligamn ini juga mnyetu dengan kaspul
superior dan tendon otot supraspinatus. Berfungsi sama dengan ligamen
glenohumeral superior, ligamen ini akan taut saat adduksi. Hal ini bertujuan untuk
mencegah translasi inferior dan rotasi eksterna dari caput humerus.
5. Otot Sendi Glenohumeral
Sendi glenohumeral dipengaruhi oleh beberapa otot dalam menjalankan
fungsinya. Fungsi tersebut meliputi sebagai otot penggerak (fungsi kinetic)
maupun sebagai otot yang mensupport secara pasif anggota gerak atas (fungsi
static). Terdapat lima dari sembilan buah otot yang berfungsi sebagai prime
movers pada sendi glenohumeral. Otot tersebut juga disebut sebagai otot intrinsik
pada bahu. Kelima otot ini adalah otot deltoid, suprapinatus, infraspinatus, teres
minor, dan subscapularis.
Gerakan utama bahu dihasilkan oleh empat buah otot yang sering disebut
dengan rotator cuff. Otot ini berfungsi sebagai rotator melalui insersinya pada
caput humerus. Jika rotator cuff dikombinasikan dengan deltoid maka akan
menghasilkan gerakan abduksi lengan. Pada saat rotasi, kerja otot rotator cuff ini
berhubungan dengan perputaran di titik pusat caput humerus pada bidang sagital.
Rotasi yang dimaksud berbeda dengan rotasi pada batang humerus, yaitu internal
dan eksternal rotasi.
Pada saat static otot yang paling banyak berperan adalah otot deltoid dan
otot supraspinatus. Kedua otot ini menjaga agar caput humerus tetap berada pada
fossa glenoid. Sementara itu otot rotator cuff lainnya bersifat membantu untuk
menjaga stabilitas caput humerus.
a. Otot Rotator cuff
- Otot supraspinatus
Otot yang berorigo dari fossa suraspinatus pada sisi atas spina
scapula dari bagian posterior tulang scapula. Otot ini melewati sisi lateral
ligamen coracoacromial lalu menempel pada tuberculum mayor tulang
humers. Otot ini dipersarafai oleh saraf suprascapular (C4, C5,C6). Otot
ini memiliki fungsi untuk mengendalikan caput humerus saat gerakan
rolling kearah superior, mengkompresi caput humerus terhadap fossa
glenoid, menghasilkan ruang semirigid diatas caput humerus untuk
membatasi translasi berlebihan superior yang berlebihan.
- Otot infraspinatus
Otot ini berorigo dari fossa infraspinatus pada sisi bawah spina
scapula bagian posterior tulang scapula. Otot infraspinatus menempel tepat
dibawah otot supraspinatus. Otot ini dipersarafi oleh saraf suprascapular
(C4, C5, C6). Otot infraspinatus dan teres minor
berfungsi untuk menghasilkan gerakan rotasi eksterna.
- Otot Teres Minor
Otot teres minor bermula dari sisi lateral pada tulang scapula diatas
origo dari otot teres major kemudaian berjalan melewati sisi atas dan
lateral lalu masuk ke dalam insersi dari otot infraspinatus di tuberberculum
mayor. Otot teres minor mendapat persarafan dari
cabang saraf axillary (C5, C6).
- Otot subscapularis
Otot ini berada paling anterior dan medial daripada seluruh otot
rotator cuff. Otot ini berorigo dari sisi anterior tulang scapula lalu berjalan
ke lateral menuju tuberculum minor. Otot ini melewati sendi bahu lalu
terpisah dari leher scapula oleh adanya bursa subscapularis. Otot ini
menerima persarafan dari saraf subscapularis superior dan inferior (C5,
C6). Otot Infraspinatus, teres minor, dan subscapularis berfungsi untuk
memberikan gaya depresi pada caput humerus.
b. Deltoid
Otot deltoid yang juga merupakan otot prime movers dari bahu ini
berorigo pada sisi anterior acromion dan sisi posterior spina scapula lalu
berjalan ke arah bawah depan, lateral, dan belakang sendi glenohumeral. Ia
lalu menempel pada sepertiga tengah dari humerus. Gerakan dasar dari
otot deltoid ini adalah elevasi lengan pada sepanjang garis paralel humerus
dan untuk membatasi gaya caput humerus ke atas melawan ligamen
coracoacromial. Saat bekerja sama dengan otot rotator cuff, otot deltid
media akan mengabduksikan lengan pada bidang frontal. Otot deltoid
anterior akan bekerja untuk memfleksikan lengan pada bidang sagita, dan
otot deltoid posterior akan mengekstensikan lengan. Otot deltoid
dipersarafi oleh saraf axilaris (C5, C6).
6. Glenohumeral stabilizer
Pada area sendi bahu yang tidak stabil, diperlukan adanya pembatas untuk
menjaga kestabilan sendi. Pembatas sendi bahu dibagi menjadi dua, statis dan
dinamis. Interaksi dari kedua stabilisasi ini merupakan hal yang komplek. Saat
kondisi patologis, dimana salah satu pembatas dalam keadaan abnormal, bisa
terjadi instabilitas.
a. Static stabilizer
 Glenohumeral index
Glenohumeral Index adalah ukuran perbandingan diameter caput
humerus terhadap fossa glenoid. Terdapat hipotesa bahwa individu dengan
perbadingan caput dan fossa yang besar, maka semakin tidak stabil
persendiannya. Semakin kecil diameter permukaan glenoid, maka semakin
kecil kontaknya terhadap caput humerus, sehingga semakin tidak stabil.
 Posisi Caput Humerus Terhadap Glenoid1
Posisi sentral dari caput humerus dijaga oleh keseimbangan gaya
otot dan jaringan sekitarnya. Jika terjadi gangguan pada keseimbangan
gaya ini, maka dapat menimbulkan ririko terjadinya subluksasi atau
dislokasi. Saat caput humerus tidak berada pada posisi sentral, maka ini
akan mengurangi gaya tekanan yang dihasilkan otot rotator cuff. Hali ini
menyebabkan berkurangnya stabilitas dinamis sebagai akibat dari
berubahnya panjang regangan pada otot rotator cuff. Kekuatan otot rotator
cuff untuk menjaga stabilisasi akan berkurang.
 Ligamen glenohumeral
Ligamen glenohumeral merupakan stabilizer static utama yang
memeberikan stabilisasi pasif pada gelang bahu. Keempat ligamen ini
memegang peran dalam stabilisasi. Ketiga ligamen berada di anterior bahu,
dan berfungsi untuk memperkuat bagian depan kapsul sendi. Kekuatan ini
dibutuhkan oleh kapsul sendi bahu bagian anterior yang kurang stabil.
Sebagai tambahan stabilisasi yaitu oleh reseptor pada kapsul sendi yang
memberikan umpan balik propioseptif.
Prinsip dari stabilizer statis ini yaitu pada daerah komplek bahu
inferior. Terdapat beberapa alasan ligamen glenohumeral inferior berperan
sebagai stabilisasi pasif yang utama. Pertama, jika dibandingkan dengan
ligamen glenohumeral lain, ligamen glenohumeral inferor menyelubungi
area permukaan yang luas. Kedua, karakteristik posisi anatomis ligamen
ini memberikan stabilisasi pada segala bidang. Ligamen ini berbentuk
seperti ayunan, sehingga ligamen ini dapat begerak ke arah anterior-
superior saat bahu rotasi eksternal. Gerakan ini menyebabkan pita anterior
mengencang dan pita posterior melebar
Ligamen glenohumeral media membantu ligamen glenohumeral
inferior untuk memberikan stabilisasi saat rotasi eksternal. Hal ini
dilakukan dengan cara membatasi rotasi eksternal bahu pada posisi di
bawah dalam lingkup gerak sendi. Saat bahu abduksi 90ᵒ, ligamen
glenohumeral media memberikan sedikit stabilisasi pada rotasi eksternal.
Ligamen glenohumeral superior merupakan penghambat utama agar tidak
terjadi subluksasi inferior saat lengan abduksi 90ᵒ. Ligamen ini
memberikan stabilisasi pada tekanananterior-superior saat lengan abduksi
0ᵒ.
Berperan sama dengan ligamen glenohumeral superior, pita sntrior-
inferior dari komplek ligamen bahu menstabilkan bahu saat ada tekanan
anterior-posterior. Bedanya, pita anteriorinferior dari komplek ligamen
bahu berfungsi saat bahu abduksi 45ᵒ atau lebih, namun ligament
glenohumeral superior memberkan stabilisasi saat lengan tidak abduksi.
Pita anterior dari ligamen glenohumeral membantu gerakan rollback dari
caput humerus pada fossa glenoid dan menjaga agar tidak terjadi gerakan
bahu yang ekstrim.
 Glenoid labrum
Labrum dibentuk oleh serat colagen padat yang mengelilingi dan
menempel pada cincin glenoid, sehingga membuat permukaan glenoid
semakin dalam dan lebar. Secara fungsional labrum meningkatkan kontak
antara glenoid dengan humerus hingga tiga kali lipat dan meningkatkan
kestabilan sendi. Jika cekungan dari fossa glenoid dan kompleks labrum
berkurang, stabilisasi bahu akan berkurang 20%. Hal ini juga disebutkan
dalam suatu penelititan, bahwa pada labrum yang utuh ditemukan kontak
area humerus terhadap fossa glenoid secara vertikal sebanyak 75% dan
horizontal 67%. Efek ini tampak lebih banyak pada arah superior-inferior
daripada anterior-posterior. Labrum juga memberikan tahanan agar tidak
terjadi rollback caput humerus yang berlebihan.
 Tekanan Negatif Intraartikular
Terdapat tekanan negative intraartikular pada sendi glenohumeral
yang dapat menjaga stabilitas sendi. Normalnya bahu berisi 1mL cairan
synovial, hal ini menjaga tekanan atmosfer tetap rendah dengan adanya
tekanan osmotik yang tinggi disekitar jaringan. Kombinasi antara
kesesuaian sendi glenohumeral dengan adanya cairan synovial
menghasilkan adhesi dan kohesi antara caput humerus dan glenoid mirip
seperti dengan gelas basah yang menempel pada alas. Adhesi dihasilkan
oleh cairan synovial, namun kohesi dihasilkan oleh kesesuaian dari sendi.
b. Dinamik Stabilizer
Stabilisasi dinamis dihasilkan oleh otot yang berada di sekitar sendi. Otot
rotator cuff memberikan stabilisasi berupa kompresi oleh gaya otot intrinsik.
Gaya otot extrinsik dihasilkan oleh otot deltoid. Kompresi dinamik adalah
kemampuan otot rotator cuff untuk memberikan efek kompresi pada caput
humeri selama sendi bahu bergerak elevasi.
Otot rotator cuff memiliki fungsi untuk mengendalikan caput humerus
yang menempel pada fossa glenoid. Peran otot-otot bahu dalam menjaga
stabilitas sendi bahu yaitu melalui mekanisme: (1) kerja otot yang
memberikan tegangan pasif pada sendi, (2) Kontraksi otot rotator cuff yang
menyebabkan kompresi pada permukaan sendi, (3) Gerakan sendi yang
menyebabkan ligament sendi tertarik, (4) otot yang berkontraksi memberikan
efek membatasi sendi, (5) pengalihan arah gaya pada sendi ke pusat
permukaan glenoid oleh kombinasi gaya otot. Otot infraspinatus dan teres
minor mengontrol rotasi eksterna humerus dan mengurangi ketegangan
capsuloligament anterior-posterior. Otot subscapularis adalah otot stabilisator
yang paling kuat diantara grup rotator cuff, diikuti otot infraspinatus dan teres
minor. Otot supraspinatus memiliki peran stabilisator yang paling kecil. Otot
ini memiliki jumlah masa otot yang besar daripada otot rotator cuff lainnya.
Kombinasi kontraksi dari otot subscapularis dan infraspinatus akan
membentuk force couple, yang memberikan stabilitas pada seluruh lingkup
gerak sendi saat elevasi 60ᵒ hingga 150ᵒ.
Deltoid memberikan stabilisasi dinamis pada posisi lengan dalam bidang
scapular dan berkurang satbilisasinya saat lengan dalam bidang corona. Otot
deltoid caput media dan posterior memberikan stabilisasi yang lebih besar
dengan menghasilkan lebih banyak gaya kompresi dan mengurangi
penyebaran gaya daripada caput anterior. Sehingga, otot deltoid caput media
dan posterior harus menguatkan ketidakstabilan sendi pada sisi anterior bahu
dengan lebih kuat. Otot deltoid dan rotator cuff menghasilkan penyebaran dan
kompresi gaya dalam sendi bahu. Gaya ini bisa bermacam-macam sesuai
alignment saat perubahan otot. Gaya kompresi yang dihasilkan oleh otot yang
bekerja paralel dengan foosa glenoid menstabilkan caput humerus. Kerja otot
yang tegak lurus terhadap glenoid menghasilkan penyebaran gaya
translasional.
Ketidakseimbangan otot sekitar bahu dapat menjadi penyebab dari pola
gerakan abnormal dan menghasilkan proses patologis. Pengetahuan pada
kemungkinan ketidakstabilan sendi yang dihasilkan oleh otot bahu dapat
membantu seorang klinisi untuk memberikan program rehabilitasi untuk
meningkatkan kestabilan sendi dan program pencegahanya.

2.2 Dislokasi Sendi Bahu


1. Definisi
Secara umum ketidakstabilan sendi adalah suatu istilah gangguan sendi yang
meliputi dislokasi, subluksasi, dan laxity yang patologi. Untuk memahami arti
dislokasi bahu sendi ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu istilah yang
berkaitan dengan ketidakstabilan sendi ini. Translasi adalah gerakan dari tulang
humerus terhadap fossa glenoid. Laxity adalah besarangerakan translasi yang
dapat terjadi dalam sendi bahu. Laxity glenohumeral dapat bersifat normal sebagai
variasi dari bahu. Selama translasi terjadi dalam kinematik glenohumeral yang
normal. Laxity sering diukur berdasarkan peningkatan translasi pasif dari caput
humeral pada glenoid dan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan faktor
kongenital.
Instabilitas merupakan kondisi patologis yang dipengaruhi translasi aktif
caput humerus pada glenoid. Berbeda dengan laxity, instabilitas biasanya
menimbulkan gejala. Gejala tersebut timbul sebagai gambaran kegagalan
stabilisasi statis dan dinamik untuk menjaga caput humeri tetap berada dalam
cavitas glenoidal. Hal yang dapat menggangu fungsi normal bahu berupa interaksi
komplek dari otot, saraf, dan jaringan struktural sekitar sendi. Pada keadaan
ketidakstabilan sendi, translasi berlebihan pada sendi bahu terjadi pada pasien.
Dislokasi diartikan sebagai pergeseran tulang pada berbagai bagian. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan, dislokasi sendi bahu terlepasnya caput humerus dengan
fossa glenoid secara komplit. Hal ini dapat dibedakan dengan subluksasi yang
artinya terlepasnya caput humerus dari fossaglenoid secara parsial, namun gejala
yang diakibatkan oleh instabilitas sendi muncul pada fase ini.
2. Patogenesis Dislokasi Sendi Bahu Anterior
a. Faktor intrinsik
Secara teori faktor anatomi dapat mempengaruhi instabilitas sendi.
Misalnya kapsul sendi yang terlalu lebar, longgarnya kapsul glenohumeral inferior,
variasi penempelan kapsul dan ligament pada glenoid, dan laxity pada rotator. Hal
ini dinilai menjadi faktor risiko terjadinya dislokasi bahu. Kerusakan pada labrum
glenoid juga dapat mengganggu stabilitas sendi sekitar 10% ke segala arah.
Hipermobilitas sendi meningkatkan 2.5 kali lipat risiko dislokasi bahu.

Hilangnya integritas tulang karena perubahan inklinasi atau versi, dan


patah tulang pada humerus atau glenoid dapat mempengaruhi stabilitas anterior
atau inferior sendi Kestablian dinamis pada bahu bergantung oleh adanya
kompresi dalam ruang sendi. Fenomena ini berhubungan dengan gaya kompresi
yang dihasilkan oleh kontraksi otot rotator cuff berkombinasi dengan posisi dan
stabilisasi scapula. Kurangnya kontrol sekunder neuromuscular untuk
menghalangi input saraf descending, atau diskinesia scapula dapat menimbulkan
terjadinya ketidakstabilan bahu

Selain itu tingginya kejadian rekurensi dislokasi bahu juga banyak terjadi
pada usia lebih dari 40 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh profil kolagen pada kapsul
bahu. Kolagen adalah merupaka material penting penyususn ligamen dan sendi.
Saat usia dewasa kolagen yang diproduksi merupakan kolagen yang tidak mudah
larut. Kolagen tipe ini memliki sulfur yang memiliki kecenderungan untuk saling
berikatan diantara filamen kolagen. Hal ini mnyebabkan serabut kolagen menjadi
kuat dan tidak elastis. Sekali saja orang tua mengalami streching yang berlebihan,
ligamen dan kapsulnya akan menjadi longgar

b. Faktor ekstrinsik
Kejadian dislokasi bahu banyak terjadi pada orang yang sering melakukan
aktivitas olahraga atau rekreasi daripada orang yang santai. Frekuensi terjadinya
dislokasi berulang juga lebih banyak pada atlit (>80%). Hal yang paling sering
sering menyebabkan dislokasi yaitu adanya kontak bahu yang kuat terhadap
pemain lain, dan juga kontak dengan peralatan olahraga di sekitarnya.
Selain itu chronis stress berhubungan dengan olahraga yang banyak
melakukan gerakan lengan melampaui kepala seperti melempar, voli, dan tenis.
Gerakan yang terjadi yaitu rotasi eksterna yang ekstrim dengan posisi humerus
abduksi dan ekstensi dalam bidang horisontal. Terdapat hipotesis bahwa posisi
lingkup gerak sendi yang berlebihan secara repetitif dapat menyebabkan kelebihan
beban pada kapsul glenohumeral. Hal ini mengakibatkan melemahnya pembatas
static
c. Faktor kecelakaan
Mekanisme dislokasi anterior bahu yang disebabkan oleh kecelakaan yaitu
jatuh pada posisi lengan elevasi dan ekstensi. Sehingga menyebabkan aplikasi
gaya yang langsung ke arah posterior dari caput humerus Pada posisi jatuh
terlentang, Bankart menjelaskan gaya yang melewati humerus saat ekstensi
menjadi besar sehingga menghasilkan dislokasi anterior-inferior. Baru – baru ini
ditemukan, jatuh pada saat lengan abduksi dan rotasi eksternal, gaya ke arah
eksternal distal pada anggota gerak atas mendorong bahu hingga batas dari normal
lingkup gerak sendi.

3. Terapi Dislokasi Bahu


1. Closed reduction Technique
Closed reduction kasus dislokasi sendi bahu akut merupakan kondisi yang
harus segera ditangani. Sendi yang mengalami dislokasi harus secepatnya
direduksi. Pada pasien yang sebelumnya pernah mengalami dislokasi, dapat
dilakukan traksi sederhana. Biasanya metode ini membutuhkan sedasi atau
anestesi umum.
Dengan teknik Stimson pasien diposisikan terlungkup dengan lengan
menggantung di samping tempat tidur. Setelah 15 – 20 menit sendi bahu kembali
tereduksi. Pada metode Hippocractic, traksi diberikan di lengan pada posisi bahu
sedikit abduksi, pada saat yang sama juga diberikan countertraction pada tubuh
dengan cara melilitkan handuk pada dada dan bawah ketiak. Cara ini tidak lagi
dilakukan karena dapat menyebabkan cedera neurovascular.
Metode Kocher. Pasien dalam posisi supine, bahu yang cedera diletakkan di
pinggir tempat tidur. Kemudian bahu ditekuk 90ᵒ lalu posisikan bahu menempel
pada samping tubuh, tidak diperlukan traksi pada metode ini. Secara perlahan (5
menit) dengan diberikan dorongan secara simultan bahu akan mengalami rotasi
eksternal. Setelah lengan mencapai rotasi 120ᵒ, lengan diposisikan kembali pada
rotasi internal, sehingga terjadi reduksi sendi.
Teknik lain yaitu dengan pasien pada posisi duduk di kursi, lalu diberikan
traksi pada lengan melalui bagian belakang bantalan kursi. Cara ini dapat
mereduksi dislokasi. Pada pasien yang berusia di bawah 30 tahun dapat diberikan
resting splint selama sekitar tiga minggu. Dalam kurun waktu tersebut pasien
diminta menghindari gerakan abduksi dan lateral rotasi. Selama periode ini bahu
dan jari masih tetap digerakkan. Cara ini akan memberikan posisi yang baik bagi
penyembuhan pad Bankart lession.
2. Tindakan operatif
Stabilisasi bagi dislokasi bahu anterior secara umum direkomendasikan atas
dasar petimbangan : (a) gagal pada terapi non operatif, (b) dislokasi berulang pada
usia muda, (c) dislokasi yang tidak dapat direduksi, (d) dislokasi terbuka, (e)
reduksi yang tidak stabil. Pasien muda yang aktif yang membutuhkan aktivitas
tinggi juga dapat dipertimbangkan untuk dilakukan tatalaksana operatif.
Beberapda teknik operasi yang dapat digunakan yaitu arthroscopic procedures,
open techniques with soft tissue repair or augmentation, open techniques with
bony augmentation.

a. Atrthoscopic procedure
Prosedur ini didahului oleh pemeriksaan artroskopi untuk melihat
cedera pada sendi bahu. Menurut beberapa penelitian, kecacatan pada area
permukaan glenoid lebih dari 21% hingga 30% atau Hill-Sac defect dapat
menyebabkan dislokasi berulang. Pemeriksan harus melihat secara teliti
kondisi labrum glenoid dan kapsul yang longgar. Untuk memastikan,
operator biasanya memeriksa sekeliling sendi bila terdapat tanda
kelonggaran sendi. Tanda ini menunjukkan positif bila artroskop dapat
dengan mudah melewati portal posterior, menuju kuadran anteroinferior.
Jika tampak lesi capsulolabral, atau yang dikenal sebagai bankart lession,
maka segera dilakukan repair. Teknik repair ini menggunakan jahitan
sebagai jangkar, kemudian labrum ditempelkan kembali pada cincin
glenoid,dimulai dari daerah yang paling inferior. Proses ini terus
dilanjutkan hingga labrum selesai diperbaiki sesuai posisi semula yaitu
pada cincin glenoid.
b. Open soft tissue procedure
Terdapat beberapa teknik operasi pada pasien dengan dislokasi sendi bahu
anterior, open bankart procedure adalah yang paling banyak digunakan.
Pada prosedur ini didapatkan defek pada labrum dan labrum digerakkan
lalu ditempelkan posisi semula yaitu cincin glenoid anteroinferior. Teknik
penempelannya ada berbagai cara. Pada open bankart, digunakan alat drill
untuk mengebor glenoid. Beberapa penelitian melaporkan,pada 27 pasien
yang dilakukan operasi dengan teknik ini, tidak didapatkan dislokasi
berulang. Kemudian, dalam glenoid yang sudah di bor, dilakukan operator
melakukan jangkar penjahitan untuk menempelkan labrum.
c. Open bony procedures
Sebagai tambahan pada tindakan open soft tisuue technique, beberapa
metode open bony procedures juga dilakukan pada pasien untuk mencegah
dislokasi sendi bahu anterior. Pada metode ini, sedikit tulang ditempelkan
pada leher glenoid dengan tujuan sebgai penambahan permukaan glenoid.
Graf pada tulang ini digunakan untuk menambah area kontak dari fossa
glenoid untuk caput humerus dan juga sebagai penyangga untuk mencegah
terjadinya dislokasi anterior.

2.3 Protokol Guideline Cedera Dislokasi Shoulder Anterior Post Operastif


Arthroscopy
1. Fase 1
Maximal Protection atau Immediate Post-operative phase
Fase 1 dimulai sejak minggu ke-1 hingga minggu ke-7 setelah
dilakukannya operasi. Pada fase ini pasien akan diberikan sling untuk membantu
stabilisasi pergerakan sehingga mengurangi terjadinya resiko re-injuury lebih
besar.
Tujuan :

 Memaksimalkan proteksi setelah dilakukannya operasi (kapsul,


ligament, labrum dan suture)
 Mencapai tujuan ROM secara bertahap yang tidak melebihi :
- PFE (passive forward elevation) : POW (post-operatif week) 3,
900 ; POW 6, 350-550
- PER
 Memberikan edukasi pada pasien mengenai keterbatasannya pasca
operasi
 Meminimalisisr nyeri bahu dan respon peradangan
 Memastikan fungsi scapular yang memadai
Intervensi yang dihindari :

 Jangan izinkan atau lakukan ROM maupun peregangan secara


signifikan yang melampaui ROM yang dianjurkan terutama rotasi
eksternal pada kedua sisi dan juga abduksi
 Jangan izinkan pasien menggunakan lengan untuk mengangkat
beban atau setiap penggunaan lengan yang membutuhkan ROM
lebih besar dari ROM yang dianjurkan
Latihan spesifik :

1. Aktivitas primer yang penting

a. Edukasi pasien tentang pembatasan penggunaan lengan meskipun


tidak ada rasa sakit atau gejala lainnya
b. Menjaga daerah yang mengalami arthroscopy
c. Mencapai peningkatan ROM secara gentle
d. Meminimalkan inflamasi

2. Aktivitas tambahan

a. Menormalisasikan posisi scapula, mobilitas, dan stabilitas


dinamis
b. ROM sendi yang tidak terlibat
c. Mulai restorasi kekuatan bahu melalui latihan isometric

3. Immobilisasi

a. Melalui sling yang standar


b. Imobilisasi absolut (tanpa ROM glenohumeral dalam latihan dan
penggunaan sling yang konstan) selama 0-4minggu berdasarkan
factor spesifik pasien dan rekomendasi dari ahli bedah
c. Imobilisasi relative (dari sling untuklatihan ROM, duduk dengan
tangan yang ditopang, dan berdiri secara singkat) dimulai setelah
periode immobilisasi dan berlanjut untuk sisa fase 1, diikuti oleh
penggunaan sling untuk kenyamanan

4. Edukasi pasien

a. Menjelaskan proses operasi


b. Diskusikan tindakan pencegahan untuk memulihkan kondisi
pasca operasi
c. Pencapaian ROM secara bertahap
d. Penyembuhan jaringan
e. Pengetahuan dan pendidikan postural yang benar
f. Penggunaan sling yang tepat, pastikan sling memberikan
dukungan untuk sendi glenohumeral
g. Membatasi penggunaan lengan untuk kegiatan sehari-hari

5. ROM

a. Latihan pendulum (tidak berbobot)

b. Latihan pasif/aktif untuk pencapaian tujuan ROM yang diberikan


bertahap

c. Latihan eksternal rotasi yang tidak dipaksakan

d. Latihan secara bertahap yakni elevasi, depresi, retraksi, protraksi

e. Latihan isometrik pada Rotator Cuff


6. Manajemen Nyeri

a. Pembatasan aktivitas

b. Pemasangan sling yang tepat untuk menopang lengan

c. Menggunakan electrophysical agents

d. Diberikan resep obat oleh dokter

e. Untuk melanjutkan ke fase 2, minimal saat latihan ROM tanpa rasa


sakit

2. Fase 2

Fase ini dimulai dari minggu ke 6-12 dan setelah peningkatan klinis yang
diidentifikasi pada fase 1 sudah tercapai.

Tujuan :

1. Mencapai target normal Pasif ROM dan Aktif ROM. Tidak signifikan jika
melebihi :

PFE PER at 20 PER at 90 AFE


Abd Abd
POW 9 155 50-65 75 145
POW 12 WNL WNL WNL WNL
2. Mengurangi nyeri pada shoulder.
3. Meningkatkan kekuatan dan daya tahan.
4. Meningkatkan aktivitas fungsional.

Intervensi yang dihindari :

1. Jangan melakukan stretching secara signifikan melewati dari batas tujuan


ROM.
2. Jangan melakukan stretching apapun untuk mendapatkan jangkauan
eksternal rotasi atau eksternal rotasi saat 90 dari abduksi kecuali
kekakuan yang muncul secara langsung.
3. Jangan membiarkan pasien menggunakan lengan untuk mengangkat beban
berat atau beberapa aktivitas apapun yang membutuhkan gerakan ROM
yang melebihi dari batas tujuan ROM.
4. Jangan melakukan latihan strengthening apapun pada daerah shoulder
pada posisi horizontal abduksi atau kombinasi posisi dari abduksi dengan
eksternal rotasi (contoh : no push-up, bench press, pectoralis flys).
5. Jangan melakukan scapular plane abduction dengan internal rotasi pada
setiap tahap rehabilitasi karena akan menyebabkan impingement
(penjepitan).

Intervensi Spesifik :

1. Aktivitas primer yang terpenting


a. Melanjutkan edukasi kepada pasien.
b. Pasif/aktif-assitedROM diperlukan untuk mencapai tujuan tetapi tidak
signifikan bila melebihi batas tujuan ROM.
c. Membentuk basic rotator cuff dan scapular neuromuscular control
dalam batas ROM yang diizinkan.
2. Aktivitas Tambahan
a. Mengenalkan gerakan pola fungsional kepada pasien.
b. Latihan daya tahan secara bertahap.
3. Edukasi Pasien
a. Memberikan nasihat pasien tentang penggunaan ekstremitas atas untuk
aktivitas fungsional sehari-hari (Activity Daily Living) dalam keadaan
bebas nyeri saat melakukan ROM (dimulai dari waist-level activities
dan secara bertahap menuju shoulder-level dan terakhir menuju
overhead actvities setiap waktu).
b. Mengedukasikan pasien mengenai hindari mengangkat berat dengan
gerakan cepat atau secara tiba-tiba.
c. Mengedukasikan pasien untuk menghindari posisi yang memberikan
tekanan pada anterior inferior kapsul selama Activity Daily Living.
4. ROM
a. Pasif/aktif-assisted ROM diperlukan untuk mencapai tahapan tujuan
ROM secara keseluruhan. Beberapa waktu membutuhkan stretching
ringan atau tidak.
b. Jika ROM secara signifikan kurang dari tahapan tujuan ROM, gentle
joint mobilizations dapat dilakukan. Namun hanya dapat dilakukan bila
terdapat keterbatasan dan hanya sampai dicapainya tujuan ROM.
c. Mengatasi scapulothoracic dan keterbatasan gerak dari trunk. Pastikan
ROM cervical spine dalam keadaan normal dan ekstensi thoracic spine
untuk memfasilitasi ROM total ekstremitas atas.
5. Neuromuscular re-education
a. Mengatasi tidak normalnya scapular alignment dan pergerakan dari
PRN
1) Strengthening bagian scapular retractors dan upward rotators.
2) Meningkatkan fleksibilitas pectoralis minor jika mengalami
keterbatasan.
3) Adanya timbal balik oleh pendengaran, visualisasi atau sentuhan.
4) Weight-bearing exercise dengan bagian distal terfiksasi. Contoh :
posisi quadruped ketika mempertahankan posisi dari scapula,
quadruped dengan protraksi scapula, lalu meningkat dari quadruped
menjadi posisi tripod, tanpa push-up.
b. Mengatasi penurunan stabilitas core pada PRN.
c. Melakukan aktivitas untuk meningkatkan kontrol neuromuskuloar dari
rotator cuff dan shoulder girdle seperti dalam menggunakan
permukaan yang tidak stabil, bodyblade, latihan tahanan manual.
6. Strength/ Daya tahan
a. Scapula dan core strengthening
b. Menyeimbangkan rotator cuff strengthening untuk mempertahankan
kepala humerus berpusat didalam fossa glenoid selama kegiatan atau
aktivitas.
1) Pada posisi awal harus dilakukan secara nyaman dengan tekanan
ringan pada glenohumeral joint yaitu kurang dari 45 elevasi pada
bidang scapula (contoh : elastic band atau dumbbell eksternal
rotasi, internal rotasi dan forward flexion).
2) Latihan harus dilakukan secara bertahap pada elevasi shoulder
(contoh : dimulai dengan latihan yang dilakukan dari pinggang lalu
meningkat ke bahu dan terakhir aktivitas kepala).
3) Latihan harus dilakukan secara bertahap pada otot. Disarankan
untuk mengunakan aktivitas yang dapat mendokumentasikan
aktivitas tingkatan otot dengan EMG (Electromyography).
4) Aktivitas elevasi kemungkinan bertahap dari assistive exercise
(contoh : rope and pulley, wall walks) ke aktif, resistive upright
exercise kemudian terakhir prone exercise.
5) Elevasi aktif hampir sebagian total bidang scapula harus dicapai
sebelum berlanjut ke elevasi dari bidang yang lain.
6) Latihan harus berkelanjutan dalam menambah beban tekanan pada
kapsul anterior, secara berthap bekerja meuju posisi elevasi
eksternal rotasi ada bidang coronal “90-90” posisi PRN.
7) Rehabilitasi haru dalam keadaan bebas nyeri dan dilakukan tanpa
penggantian atau pola gerakan yang berubah-ubah.
8) Rehabilitasi dapat mencakup aktivitas weight-bearing dan non
weight-bearing.
9) Rehabilitasi dapat mencakup isolated dan pola pergerakan yang
kompleks.
10) Tergantung pada tujuan dari latihan (control versus strengthening),
aktivitas rehabilitasi juga dapat berkeanjutan dalam hal kecepatan
setelah pasien menunjukkan kemampuan pada kecepatan yang
lambat.
11) Rotator cuff dan stabilizer strengthening program harus menekan
repetisi yang tinggi (biasanya 30-50 repetisi) dan tahanan ringan
yang relatif (biasanya 1-2 kg).
12) Tidak ada beban berat atau plyometrics selama fase ini.
13) Strengthening pada fleksi atau ekstensi elbow dimulai dari kedua
sisi pada fase ini.
7. Manajemen Nyeri
a. Pastikan penggunaan lengan yang tepat selama Activity Daily Living.
b. Pastikan tingkat intervensi terapeutik yang tepat.
c. Electrophysical agent sesuai kebutuhan.

Kriteria Menuju ke Fase 3 :

1. Tahap aktif ROM sudah dicapai dengan minimal atau tanpa nyeri. (NPRS,
0-2/10) dan tanpa perubahan pola.
2. Postur scapula yang tepat saat istirahat dan kontrol scapula dinamik
selama ROM dan latihan strengthening.
3. Kegiatan strengthening selesai dengan minimal atau tanpa nyeri (NPRS 0-
2/10).

3. Fase 3

Fase ini dimulai dari minggu ke-12 hingga minggu ke-24.

Tujuan
a. Mengembalikan strength, endurance, neuromuscular control, dan power.
b. Meningkatkan tekanan secara bertahap pada jaringan anterior
capsulolabral.
c. Mengembalikan ADL secara bertahap, pekerjaan dan aktivitas rekreasi.
Intervensi yang dihindari
a. Tidak meningkatkan tekanan pada shoulder pada periode pendek atau
dalam sikap yang tidak terkendali.
b. Tidak melakukan latihan rehabilitasi lanjutan seperti plyometrics atau
latihan ROM maksimal selama ADL, bekerjan, dan rekreasi.
c. Tidak melanjutkan latihan aktivitas spesifik hingga pasien dalam keadaan
mendekati full ROM dan strength.
d. Tidak melakukan aktivitas angkat beban yang memberikan tekana pada
anterior capsule. Misalnya latissimus pull-downs dan tekanan spontan
dengan tangan dibelakang kepala menekan anterior capsule dengan tanpa
manfaat tambahan dalam otot. Begitu pula dengan aktivitas yang
mendorong shoulder ekstensi secara full ROM harus dihindari.
Spesifik Intervensi
1. Aktivitas primer yang penting untuk dilakukan
a. Latihan strengthening dan endurance secara progresif.
b. Latihan neuromuscular control secara progresif.
c. Aktivitas spesifik secara progresif seperti sport, bekerja, melakukan
kegiatan hobi.
2. Aktivitas tambahan
a. Mengembalikan core dan stabilitas scapula.
3. Edukasi Pasien
a. Berikan saran kepada pasien tentang pentingnya meningkatkan
tekanan pada shoulder selama ADL,bekerja, dan aktivitas rekreasi,
termasuk mengangkat beban, aktivitas berulang, dan overhead
sports.
4. ROM
a. Pasif ROM, stretching dan joint mobilization diperlukan dalam
mengatasi penurunan.
5. Neuronmuscular re-education
a. Mengatasi penurunan dari rotator cuff, scapula musculature dan
trunk musculature.
6. Strength/endurance/power
a. Melanjutkan program strengthening shoulder pada fase 2, dengan
meningkatkan penekanan pada aktivitas high-speed multiplanar
dengan menggabungkan seluruh kinetik chain.
b. Meningkatkan aktivitas rehabilitasi secara bertahap untuk
peningkatan ADL dan bekerja.
c. Melakukan program angkat beban secara secara progresif dengan
melakukan penekanan pada otot primary mover ekstremitas atas
seperti deltoid, latissimus dorsi, dan pectoralis major.
1) Dimulai dengan beban yang ringan dan tinggi repetisi setiap
set 15-25 repetisi, lalu repetisi diturunkan secara bertahap
dengan peningkatan beban setelah beberapa bulan.
2) Latihan ekstremitas atas yang disarankan pada awal fase 3 :
a. Biceps curl, adduksi shoulder seperti fase 2
b. Triceps press-downs atau kick-backs, dan adduksi
shoulder seperti fase 2
c. Shoulder shrugs atau angkat bahu
d. Retraksi Scapula dan adduksi shoulder
e. Latissimus bar pull-downs dengan tangan berada di
kepala
f. Latihan dumbbell diatas kepala dengan penekanan
kepada shoulder. Posisi awal tangan ditempatkan
didepan shoulder namun jangan di abduksikan atau
eksternal rotasi.
g. Melakukan push-up selama tidak memfleksikan siku
melewati 90°.
3) Latihan ekstremitas atas yang disarankan untuk ditambahkan
di fase 3 intermediate :
a. Isotonic pressing activities menggunakan mesin
pressing, barbell atau dumbbell namun jangan sampai
melakukan abduksi atau eksternal rotasi full ROM.
b. Shoulder raises hingga 90°.
c. Retraksi scapula dan elevasi shoulder.
4) Latihan ekstremitas atas yang disarankan untuk ditambahkan
di fase 3 akhir :
a. Abduksi dan eksternal rotasi shoulder dengan
overhead pressing (military press)
b. Pectoralis major flys
c. Dead lift
d. Power cleans
4. Fase 4
Return to sport
Kriteria untuk kembali bermain:
1. Izin dari dokter.
2. Tidak ada keluhan nyeri pada istirahat dan minimal sampai tidak nyeri saat
beraktifitas.
3. Tidak ada atau minimal instability saat beraktivitas.
4. Pengembalian ROM untuk melakukan beberapa aktivitas.
5. Kekuatan dan daya tahan yang kuat dari rotator cuff dan otot scapula
untuk melakukan aktivitas dengan minimal/ tidaknyeri/ kesulitan.
Jika pasien merasakan tidak nyaman pada stabilitas shoulder, pasien dapat
disarankan untuk menggunakan stability brace untuk beraktivitas, tetapi biasanya
digunakan pada olahra gadengan kemungkinan terjadinya benturan.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

Dislokasi merupakan kejadian dimana terdapat pergeseran antar permukaan sendi


secara menyeluruh. Pada sendi bahu, dislokasi ditandai dengan terlepasnya caput
humerus dengan fossa glenoid secara komplit. Patogenesis kejadian ini bisa secara
intrisik yaitu melibatkan disfungsi struktur anatomis sendi bahu, secara ekstrinsik yaitu
karena aktivitas fungsional maupun olahraga, terutama akibat dari gerakan yang repetitif,
dan bisa terjadi secara traumatis, biasanya akibat dari benturan. Berdasarkan data statistik,
kejadian dislokasi bahu sering terjadi cenderung kearah anterior.

Penanganan fisioterapi dari cedera ini pada umumnya dilakukan dengan


pendekatan rehabilitasi post-operative, terutama pada penanganan dengan metode
arthroscopy. Proses rehabilitasi dibagi menjadi 4 fase, dimana tiap fase terdapat
pemberian intervensi sesuai tujuan-tujuan dari tiap fase, kemudian terdapat kriteria
keadaan pasien atau atlet yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memasuki fase
selanjutnya.

3.2 Saran

Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada student project ini.
Oleh karena itu, kami mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi student project
ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga student project
ini dapat bermanfaat bagi kami pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai