Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Infeksi merupakan penyebab utama penyakit di dunia terutama di daerah


tropis seperti Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena keadaan udara yang berdebu,
temperature yang hangat dan lembab yang mendukung mikroba tumbuh dengan subur
di daerah tersebut. Selain itu hal tersebut juga disebabkan karena kebiasaan menjaga
kebersihan yang buruk sehingga memudahkan penyakit infeksi semakin berkembang.
Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh empat kelompok besar hama penyakit yaitu,
bakteri, jamur, virus, dan parasit (Silvia, 2018).

Infeksi jamur pada kulit merupakan penyakit kulit yang umumnya ditemukan
di Indonesia yangmana merupakan negara tropis beriklim panas dan lembab. Infeksi
ini mengenai semua lapisan masyarakat baik dari segi usia, ekonomi, dan lainnya.
Berbagai macam predisposisi yang mendukung pertumbuhan jamur ini, yaitu
kurangnya kesadaran masyarakat tentang kebersihan dan pemakaian antibiotika yang
terlalu lama (Salim, 2010),

Salah satu penyakit infeksi jamur ialah dermatofitosis yang disebabkan oleh
dermatofita. Dermatofita merupakan golongan jamur yang mampu mencerna keratin
pada epidermis. Jadi, dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan
oleh dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi dengan menyerang jaringan keratin seperti,
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku. Salah satu penyebab
dermatofitosis adalah Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton
Trichophyton merupakan jenis yang paling sering menyebabkan dermatofitosis
(Salim, 2010).
Trichophyton memiliki tujuh spesies yaitu Trichophyton rubrum, T.
mentagrophytes, T. soundanense, T. Schoenleinii, T. tonsurans, T. verrucosum, dan T.
violaceum (Kong et al., 2008). Trichophyton rubrum merupakan penyebab terbanyak
menyebabkan dermatofitosis (Salim, 2010). Hal ini didukung oleh penelitian oleh
Yuwita tahun 2015 yang menyatakan bahwa Trichophyton rubrum (95,8%) penyebab
dari spesies tinea kruris dan tinea korporis. Penyakit tersebut merlukan pengobatan
yang adekuat agar tidak terjadi kekambuhan yaitu dengan menggunkan obat
antifungi.

Obat – obat antifungi merupakan agen pengobatan infeksi jamur yang telah
dikembangkan secara luas di Negara berkembang maupun di Negara maju. Obat
antifungi terbuat dari bahan kimia seperti amfoterisin, nistatin, ketokonazol, dan
griseofulvin. Namun, penggunaan obat antifungi memiliki berbagai kelemahan yaitu,
aturan pakai yang menyulitkan, harga yang cukup mahal, perlu pengawasan dokter,
menimbulkan resistensi, dan memiliki efek samping serius. Sehingga, diperlukan
alternatif lain yang mempunyai daya antifungi lebih efektif dengan harga yang lebih
murah dan resiko yang lebih rendah. Salah satunya dengan menggunakan bahan
alami. Seperti, buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) (Silvia, 2010).

Semua bagian dari jeruk nipis (Citrus aurantifolia) memiliki khasiat yang
dapat dimanfaatkan untuk obat, penambah nafsu makan, penurun panas (antipiretik),
menguruskan badan, antiinflamasi, antibakteri, dan antifungi. Salah satu bagian dari
jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang bermafaat namun hanya menjadi limbah yaitu
kulit jeruk nipis. Kulit jeruk nipis (Citrus aurantifolia) mengandung berbagai
senyawa kimia salah satunya senyawa flavonoid yaitu naringin, hesperidin,
naringenin, hesperitin, rutin, nobiletin, dan tangeretin. Flavonoid merupakan
golongan terbesar dari senyawa polifenol yang dapat bekerja sebagai antioksidan,
antibakteri, dan antifungi dengan mendenaturasi protein dan merusak sel bakteri
maupun jamur (Silvia, 2010).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai aktivitas antifungi dengan cara ekstraksi kulit buah jeruk nipis
(Citrus aurantifolia) untuk menghambat pertumbuhan jamur.

I.2 Rumusan Masalah

a. Apakah terdapat efek antifungi dari kulit jeruk nipis (Citrus aurantifoli)
terhadap jamur Trichophyton rubrum ?
b. Apakah terdapat perbedaan daya hambat dari variasi konsentrasi (5% , 10%,
15% , 20%) pada ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurantifoli ) terhadap
jamur Trichophyton rubrum ?
c. Berapa konsentrasi optimal yang dapat menghambat pertumbuhan jamur
Trichophyton rubrum dari ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurantifoli ) ?

I.3. Tujuan Penelitian

I.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui uji efektivitas ekstrak kulit buah jeruk nipis (citrus aurantifoli)
terhadap pertumbuhan jamur trichophyton rubrum.
I.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui efek antifungi dari kulit jeruk nipis (Citrus aurantifoli)
terhadap jamur Trichophyton rubrum.
b. Untuk mengetahui perbedaan daya hambat dari variasi konsentrasi (5% ,
10%, 15% , 20%) pada ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurantifoli ) terhadap
jamur Trichophyton rubrum .
c. Untuk mengetahui berapa konsentrasi optimal yang dapat menghambat
pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum dari ekstrak kulit jeruk nipis
(Citrus aurantifoli ).
I.4 Manfaat Penelitian

I.4.1 Manfaat Teoritis

Untuk mengetahui efek antifungi dari kulit jeruk nipis (Citrus aurantifoli)
terhadap jamur Trichophyton rubrum dengan konsentrasi yang optimal.

I.4.2 Manfaat Praktis

a. Peneliti

Menjadi pembelajaran bagi peneliti mengenai efek antifungi dari kulit jeruk
nipis (Citrus aurantifoli) terhadap jamur Trichophyton rubrum dengan
konsentrasi yang optimal, sehingga dapat lebih efektif dalam mengobati
dermatofitosis dikemudian hari.

b. Institusi Pendidikan
Menambah wawasan serta bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut terhadap
fitofarmaka tentang kulit jeruk nipis yang dapat digunakan sebagai antifungi.
c. Masyarakat Umum
Sebagai sumber informasi dan bahan ilmu pengetahuan tentang khasiat ekstrak
kulit jeruk nipis sebagai antifungi.

Anda mungkin juga menyukai