Anda di halaman 1dari 21

PROSES OBAT DALAM TUBUH

ABSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME, DAN EKSKRESI

(ADME)

Disusun oleh :

NAMA : Vira Septiya

NIM : 18.0400.F

KELAS : 2A

DOSEN PENGAMPU : Ainun Muthoharoh,M.Farm.,Apt

PRODI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

PEKAJANGAN PEKALONGAN

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 1
1. Absorpsi .................................................................................................................. 2
Rute Pemberian Obat .......................................................................................................... 2
Absorpsi Obat Oral........................................................................................................... 3
Absorbsi Obat dalam Saluran Cerna .............................................................................. 3
Pengaruh Makanan pada Absorpsi Obat dari Saluran Cerna ..................................... 3
Pengaruh Penyakit pada Absorpsi Obat ........................................................................ 3
2. Distribusi ................................................................................................................. 5
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah:................... 5
3. Metabolisme........................................................................................................... 8
Metabolisme Liver .......................................................................................................... 10
Jalur metabolisme obat .................................................................................................. 11
Sistem mono-oksigenase P-450 ...................................................................................... 11
Reaksi Fase I.................................................................................................................... 12
Reaksi Fase II .................................................................................................................. 12
FIRST-PASS EFFECTS ................................................................................................. 12
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat ................................................ 13
4. Ekskresi ................................................................................................................. 16
Ginjal................................................................................................................................ 16
Kulit.................................................................................................................................. 18
Paru-paru ........................................................................................................................ 18
Hati ................................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 20

1|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
1. Absorpsi

Absorpsi secara klasik didefinisikan sebagai suatu fenomena yang


memungkinkan suatu zat aktif melalui jalur pemberian obat melalui sistem
peredaran darah, dan penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme
perlintasan membran. Fenomena ini bukan satu-satunya faktor penentu masuknya
zat aktif kedalam tubuh, pentingnya juga memperhatikan bentuk sediaan, perlunya
zat aktif yang berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan
pentingnya kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat. Jadi kelarutan merupakan
faktor yang dapat mengubah pH ditempat penyerapan serta konsentrasi zat aktif
juga merupakan faktor penentu laju penyerapan ( Leon Sharger dan Andew B,
2005).

Rute Pemberian Obat


Terdapat 2 rute pemberian obat yang utama, enteral dan parenteral. Beberapa
rute pemberian obat lain selain parenteral dan ental ialah inhalasi, transdermal
(perkutan) atau intranasal untuk absorpsi sistemik. Ketersediaan sistemik dan
mula kerja obat dipengaruhi oleh aliran darah ke site pemakaian, karakteristik
fisiko kimia obat dan produk obat, dan kondisi patofisiologi pada site absorpsi.
Rute pemberian obat ditentukan oleh sifat dan tujuan dari penggunaan obat
sehingga dapat memberikan efek terapi yang tepat.
Beberapa obat tidak diberikan secara oral karena ketidakstabilan obat dalam
saluran cerna atau peruraian obat oleh enzim pencernaan dalam usus. Absorpsi
obat setelah injeksi subkutan lebih lambat dibanding injeksi intravena. Apabila
suatu obat diberikan melalui rute pemberian ekstravaskuler seperti oral, topikal,
intranasal, inhalasi dan rektal, maka obat pertama harus diabsorpsi ke dalam
sirkulasi sistemik dan kemudian berdifusi atau ditranspor ke site aksi sebelum
menghasilkan aktivitas biologis atau teurapetik. Prinsip umum dan kinetika
absorpsi dari site ekstravaskuler tersebut mengikuti prinsip yang sama seperti
dosis oral, walau fisiologis site pemakaian berbeda (Shargel,2012).

2|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
Absorpsi Obat Oral
Rute absorpsi obat secara oral merupakan rute paling lazim dan populer dari
pendosisan obat. Karena obat dapat absorbsi dengan mudah bila dilakukan secara
oral. Ada beberapa faktor penunjangp pada bentuk pembuatan obat oral salah
satunya bentuk sediaan obat harus di rancang untuk mempertimbangkan rentang
pH yang ekstrem, ada atau tidak adanya makanan, degradasi enzim, perbedaan
permeabilitas obat dalam darah yang berbeda dalam usus, dan motilitas saluran
cerna. Perbedaan permeabilitas obat dalam darah yang berbeda dalam usus, dan
motilitas saluran cerna.

Absorbsi Obat dalam Saluran Cerna


Obat kemungkinan diabsorbsi melalui difusi pasif dari semua bagian saluran
cerna meliputi absorpsi sublingual, bukal, GI dan rektal. Untuk sebagian besar
obat, site optimul untuk absorbsi obat setelah pemakaian oral adalah bagian atas
usus halus atau daerah duodenum. Anatomi duodenum yang khas memberi luas
permukaan yang besar dari duodenum disebabkan adanya lipatan-lipatan pada
membran mukosa yang merupakan tonjolan-tonjolan kecil yang dikenal dengan
vili. Selanjutnya bagian duodenum mengalami perfusi tinggi dengan jaringan
kapiler, yang membantu mempertahankan suatu perbedaan konsentrasi dari lumen
usus dan sirkulasi plasma (Shargel,2012).

Pengaruh Makanan pada Absorpsi Obat dari Saluran Cerna


Adanya makanan dalam saluran cerna dapat mempengaruhi bioavailabilitas
obat dari suatu produk obat oral. Makanan yang mengandung asam amino, asam
lemak dan berbagai nutrien kemungkinan mempengaruhi pH usus dan kelarutan
obat.

Pengaruh Penyakit pada Absorpsi Obat


Absorpsi obat dapat dipengaruhi oleh beberapa penyakit yang menyebabkan
perubahan pada alirah darah intestinal, waktu pengosongan lambung, motilitas
saluran cerna dan perubahan pada hal lainnya. Beberapa penyakit yang dapat
mempengaruhi absorbsi yaitu :

3|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
- Pasien akhloridria tidak mempunyai produksi asam lambung yang memadai.
Kekurangan produksi asam lambung menyebabkan obat bersifat basa lemah
tidak dapat membentuk garam larut dan tetap di dalam lambung dan tidak di
absorpsi.
- Pasien dengan penyakit parkinson mengalami kesulitan menelan dan sangan
menurunkan motilitas pencernaan.
- Pasien dengan antidepresan trisiklik dan obat antipsikotik megalami
penurunan motilitas saluran cerna atau bahkan obstruksi intestinal.
Penundaan absorpsi obat terjadi terutama pada produk lepas-lambat.
- Pasien dengan gagal jantung kongestif mengalami penurunan aliran darah dan
mengalami edema pada dinding perut. Selain itu motilitas intestinal lambat.
Penurunan aliran darah ke usus dan penurunan motilitas intestinal
mengakibatkan penurunan absorbsi obat (Shargel,2012).

4|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
2. Distribusi

Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer


senyawa obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Setelah melalui proses
absorpsi, senyawa obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi
darah. Molekul obat dibawa oleh darah ke satu target (reseptor) untuk aksi obat dan
ke jaringan lain (non-reseptor), di mana dapat terjadi efek samping yang merugikan.
Cairan tubuh total berkisar antara 50-70% dari berat badan. Cairan tubuh dapat
dibagi menjadi:
1 Cairan ekstraseluler, yang terdiri atas plasma darah (4,5% dari berat badan),
cairan interstisial (16%) dan limfe (1-2%).
2 Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan), yang merupakan jumlah
cairan dalam seluruh sel-sel tubuh.
3 Cairan transeluler (2,5%), yang meliputi cairan serebrospinalis, intraokuler,
peritoneal, pleura, sinovial dan sekresi alat cerna.

Pada umumnya molekul obat berdifusi secara cepat melalui jaringan kapiler
halus ke ruang jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan interstisial plus cairan
plasma disebut cairan ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya dari cairan
interstinal, molekul obat berdifusi melintasi membran sel ke dalam sitoplasma
(Shargel et al., 2012).

Membran sel tersusun atas protein dan dua lapis fosfolipid, yang bertindak
sebagai sawar lemak untuk ambilan obat. Obat yang mudah larut dalam lemak
akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang
tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya
terbatas, terutama di cairan ekstra sel. Obat yang tidak larut dalam lemak tersebut
bersifat polar sehingga akan terikat pada protein plasma (albumin) dan
membentuk kompleks obat-protein yang terlalu besar untuk berdifusi melintasi
membran sel (Katzung, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah:


1 Perfusi darah melalui jaringan

5|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
Obat dibawa ke seluruh jaringan tubuh oleh aliran darah sehingga semakin
cepat obat mencapai jaringan, semakin cepat pula obat terdistribusi ke dalam
jaringan. Kadar obat dalam jaringan akan meningkat sampai akhirnya terjadi
keadaan yang disebut keadaan mantap (steady state). Kecepatan distribusi
obat masuk ke jaringan sama dengan kecepatan distribusi obat keluar dari
jaringan tersebut. Pada keadaan ini, perbandingan kadar obat dalam jaringan
dengan kadar obat dalam darah menjadi konstan dan keadaan ini disebut
keseimbangan distribusi. Oleh karena itu, pada jaringan tubuh yang
mendapat suplai darah relatif paling banyak dibandingkan ukurannya akan
menyebabkan terjadinya keseimbangan distribusi yang paling cepat.
Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di
dalam tubuh, yaitu:
a. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke
organ yang perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak
(waktu distribusi kurang dari 2 menit).
b. Distribusi fase kedua jauh lebih luas lagi, yaitu mencakup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik organ pada fase pertama, misalnya pada otot,
visera, kulit dan jaringan lemak (waktu distribusi 2-4 jam) (Shargel et
al.,2012).

Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi
yang tinggi adalah yang terjadi pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung,
otak dan daerah yang perfusinya rendah adalah lemak dan tulang.
Sedangkan perfusi pada otot dan kulit merupakan perfusi sedang. Perubahan
dalam aliran kecepatan darah pada penderita sakit jantung akan mengubah
perfusi organ seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan
eliminasi obat (Shargel et al., 2012).
Distribusi total obat dalam tubuh dapat diperkirakan dengan cara
mengaitkan jumlah obat dalam tubuh dengan jumlah obat dalam darah atau
dengan kadar obat dalam darah. Parameter yang mengaitkan jumlah obat
dalam tubuh dengan kadar obat dalam darah disebut volume distribuse
(VD), dengan rumus:

6|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑡𝑢𝑏𝑢ℎ
𝑉𝐷 =
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ
Volume distribusi adalah suatu parameter yang penting dalam
farmakokinetik. Salah satu kegunaannya adalah untuk menentukan dosis
obat yang diperlukan untuk memperoleh kadar obat dalam darah yang
dikehendaki. Obat-obat dengan nilai VD yang kecil akan menghasilkan
kadar dalam darah yang lebih tinggi, sedangkan obat dengan nilai VD yang
besar akan menghasilkan kadar dalam darah yang rendah.

7|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
3. Metabolisme

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur


kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Hinz, 2005)
Metabolisme obat mempunyai dua efek penting yaitu:
a. Obat menjadi lebih hidrofilik. Hal ini dapat mempercepat ekskresinya melalui
ginjal karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi
dalam tubulus ginjal.
b. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak
selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif)
daripada obat asli (Mutschler, 1986).

Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat dibedakan


berdasarkan letaknya di dalam sel, yaitu enzim mikrosom yang tedapat dalam
retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk kromosom) dan
enzim non mikrosom. Kedua enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel
hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain, misalnya: ginjal, paru-paru, epitel
saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non
mikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi
glukoronida, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reksi reduksi dan hidrolisis.
Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa
reaksi oksidasi, reaksi reduksi dan hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).

Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara keduanya juga


sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya
ditujukan untuk perubahan-perubahan biokimiawi atau kimiawi yang dilakukan
oleh tubuh terhadap senyawa endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama
bagi senyawa eksogen (xenobiotika). Reaksi metabolisme obat tersebut sebagian
besar terjadi pada oragn hati khususnya pada sub-seluler retikulum endoplasma.
Organ-organ yang bertanggung jawab dalam metabolisme obat adalah hati, paru,
ginjal, mukosa dan darah merah. Tabel di bawah ini menjelaskan sel yang
mengandung enzim metabolisme obat pada berbagai organ:

8|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
Metabolisme obat adalah sangat komplek. Biasanya, metabolit obat adalah
lebih larut dalam air daripada obatnya karena mengandung gugus fungsional yang
dapat berkonjugasi dengan gugus hidrofilik. Meskipum metabolit biasanya larut
dalam air tetapi ada pengecualian pada p-asam klorofenaseturat (metabolit p-asam
klorofenilasetat) atau N-4-asetilsulfanilamid (metabolit sulfanilamid). Sering
terjadi bahwa metabolit obat lebih diionisasi pada pH fisiologi daripada obatnya
sehingga bentuk garam yang larut dalam air dapat menurunkan kelarutannya dalam
lipid sehingga mudah untuk diekskresikan (Gibson and Skett, 1986).

Pada proses biotransformasi atau metabolisme, konsentrasi enzim pada


metabolit obat dalam tubuh adalah konstan pada site tertentu dan konsentrasi obat
(substrat) dapat berbeda. Bila konsentrasi obat relatif rendah terhadap konsentrasi
enzim, ada enzim yang melimpah untuk mengkatalisa reaksi dan laju metabolisme
merupakan suatu proses orde ke satu. Kinetika enzim secara umum menganggap
bahwa satu molekul obat berinteraksi dengan satu molekul enzim untuk membentuk
suau molekul intermediet enzim-obat atau enzim-substrat. Enzim-substrat ini
selanjutnya bereaksi untuk menghasilkan produk yang disebut metabolit
(Shargel,2012).

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi,


distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau
mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya.
Diantaranya interaksi pada metabolisme obat (BNF 58, 2009).
Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I
(melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang
lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain
(misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) 27 untuk membuat

9|STIKESMUHAMMADIYAHPKJ,PEKALONGAN
senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim
sitokrom P450 (Stockley, 2008).

Metabolisme Liver
Liver merupakan organ yang memeiliki perananan penting dalam proses
metabolisme. Oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi merupak reaksi yang
paling umum. Metabolisme obat dalam liver bergantung aliran dan site. Beberapa
enzim hanya dicapai bila aliran darah berjalan dari arah tertentu. Jumlah enzim yang
terlibat dalam metabolisme obat tidak merata pada seluruh liver. Sebagai akibatnya,
perubahan aliran darah dapat sangat mempengaruhi fraksi obat termetabolisme.
Secara klinis, penyakit liver, seperti sirosis dapat menyebabkan fibrosis, nekrosis,
dan hepatik shunt, mengakibatkan perubahan aliran darah dan mengubah
bioavaibilitas obat (Shargel,2012).
Enzim liver yang telibat dalam metabolisme adalah MFO (Mixed Functions
Oxidase). Merupakan enzim structural yang merupakan seuatu sisterm transpor
elektron yang memerlukan NADPH tereduksi (NADPH2), oksigen molekuler,
sitokrom P450, NADPH-sitokrom, P450 reduktase, dan fospolipid (Shargel,2012).

Gambar : Jalur aliran elektron dalam sistem pengoksidasi obat mikrosomal.

10 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
Jalur metabolisme obat
Telah disampaikan bahwa tempat metabolisme obat terutama pada hati.
Enzim yang berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi mitokondrial
atau mikrosomal. Bahkan metabolisme obat dapat terjadi manakala enzim
metabolisme diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi sistemik. Obat kemungkinan
dimetabolisme dalam epitelium gastrointestinal selama absorpsi atau oleh hati
sebelum mencapai sirkulasi sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas
pertama (first-pass effect) yang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas. Reaksi
metabolisme obat atau biotransformasi dibagi menjadi 2 :
1. Metabolisme obat fase I (fase non sintetik)
2. Metabolisme obat fase II (fase sintetik)

Sistem mono-oksigenase P-450


Enzim sitokrom P-450 merupakan suatu haem protein. Enzim tersebut
mempunyai sifat redoks yang khusus dalam fungsi sebagai pemetabolisme. Enzim
P-450 juga mempunyai sifat spektral yang khusus dan bentuk tereduksi dari enzim
tersebut dapat berkombinasi dengan karbon monooksida untuk membentuk
senyawa berwarna merah muda (pink) sehingga disebut dengan " P " dengan absorsi
maksimum pada panjang gelombang 450 (berkisar 447-452). Pada perkembangan
selanjunya, observasi periakuan tikus dengan dengan 3- metil-kolantren (senyawa
penginduksi) mengakibatkan pergeseran pada enzim tersebut. Ini membuktikan
bahwa terdapat lebih dari satu bentuk enzim sitokrom P-450.
Sistem sitokrom P-450 hepatik merupakan suatu super familia yang luas yang
terdiri dari berbagai enzim yang dibedakan oleh susunan asam aminonya,
pengaturan suatu senyawa penginduksi atau pereduksi dan spesifikasi reaksi yang
dikatalisnya. Purifikasi enzim P-450 dan klonining cDNA dapat mengklasifikasi P-
450 menjadi beberapa sub-familia. Sebanyak 74 gen familia telah diketahui dan
dikelompokkan menjadi 3 sub-familia yaitu CYP 1, 2 dan 3 yang tertibat dalam
metabolisme hati pada manusia. Sebagai contoh adalah CYP1A2, CYP2A6,
CYP3A4 dan CYP2D6.
Sistem sitokrom P-450 terlibat pada reaksi metaoblisme obat oksidasi yang
membutuhkan molekul oksigen, NADPH dan flavoprotein (NADPH-P 450
reduktase). Efek dari reaksi tersebut adalah penambahan satu atom oksigen (dari

11 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
oksigen rnolekular) terhadap obat untuk membentuk gugus hidroksi (D-OH). Lebih
lanjut, senyawa hasil reaksi ini akan bersifat lebih polar sehingga mudah
diekskresikan dan mudah bereaksi dengan enzim-enzim fase metabolisme obat fase
II.

Reaksi Fase I
Reaksi metabolisme obat ini disebut juga fase non sintetik atau reaksi
fungsional. Reaksi metabolisme obat ini bukan reaksi sintesis atau pembentukan
suatu senyawa yang baru tetapi menciptakan gugus fungsional reaktif bagi senyawa
tersebut. Enzim reaksi metabolisme obat fase I biasanya terdapat pada mikrosomal
(retikulum endoplasma). Makna dari reaksi metabolisme fase I ini adalah
meningkatkan efek atau potensi bagi suatu senyawa dan memudahkan suatu
senyawa untuk bereaksi dengan enzim-enzim metabolisme obat fase II. Contoh
metabolisme obat fase I adalah reaksi oksidasi yang melibatkan sitokrom P-450,
oksidasi, reduksi, hidrolisis dan dehalogenasi. (Shargel,2012).

Reaksi Fase II
Reaksi metabolisme obat fase II disebut juga fase sintetik atau reaksi
konjugasi. Reaksi metabolisme obat fase II ini merupakan jalur detoksifikasi. Pada
reaksi ini menciptakan suatu senyawa yang baru dan biasanya metabolitnya berupa
senyawa tidak aktif yang mudah dieksresikan. Makna dari reaksi metabolisme fase
II adalah metabolit yang terbentuk umumnya bersifat polar atau mudah terionisasi
pada pH fisiologi sehingga lebih mudah diekskresikan dan mengubah molekui obat
yang aktif menjadi metabolit yang relatif kurang aktif. Contoh metabolisme obat
fase II adalah reaksi konjugasi sulfat, konjugasi glukuronat dan konjugasi
merkapturat.

FIRST-PASS EFFECTS
Untuk beberapa obat, rute pemakaian mempengaruhi kecepatan
metabolisme. Sebagai contoh, obat yang diberikan parenteral, transdermal atau
inhalasi akan mempunyai kemungkinan untuk terdistribusi dalam tubuh sebelum
dimetabolisme oleh hati. Sebaliknya bila obat diberikan per oral, maka availabilitas
sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat
menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang diabsorpsi) dan jumlah obat

12 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas pertama) di mukosa
usus dan dalam hepar (Setyawati, 2005).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui liver (hepar) sebelum masuk ke
dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru
dan jaringan lainnya). Di dalam liver terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450
yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya
menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh
melalui urin, feses, keringat dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik
mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first pass
metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga
berkurang (Hinz, 2005)

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat


Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal ini
membawa dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang bersangkutan,
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat adalah :
a. Intrinsik obat
Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan protein
plasma, dosis yang digunakan dan cara pemberian.
b. Fisiologi organisme
Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis kelamin, umur
dan kondisi kehamilan. Malation suatu jenis pestisida, pada mamalia dan
manusia diubah menjadi malation diasid dan mengalami dekarboksilasi dan
dikonjugasikan dengan enzim metabolisme fase II untuk diekskresikan,
sedangkan pada insektisida malation diubah menjadi malaokson yang bersifat
toksik. Kasus serupa juga terjadi pada heksobarbital yang disajikan pada tabel
berikut:

13 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
Tabel, Durasi, waktu paro dan aktivitas enzim metabolisme pada beberapa
makhluk hidup (Gibson dan Skett, 1986)

Proses asetilasi sulfonilamid pada tikus jantan lebih efektif dibandingkan


betina. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan faktor hormonal dari kedua jenis
kelamin tersebut. Faktor perbedaan ras juga dapat mempengaruhi reaksi
metabolisme misalnya pada asetilasi beberapa obat antara lain sulfonamida dan
isoniasid. Perbedaan ras tersebut, proses metabolisme asetilasi pada manusia
dibagi menjadi dua tipe yaitu asetilator cepat, dimana proses metabolisme
asetilasinya relatif lebih cepat dan asetilastor lambat, sebaliknya (Mike, 2005).

c. Farmakologi
Faktor ini meliputi induksi dan inhibisi enzim metabolisme. Beberapa obat
yang dapat menginduksi senyawa lain misalnya fenobarbital, progesteron dan
tolbutamid. Obat tersebut dapat menginduksi enzim metabolisme obat
sehingga keberadaan obat dalam tubuh menjadi berkurang mengakibatkan
penurunan efek klinik obat. Sedangkan inhibitor enzim misalnya aspirin,
kloramfenikol, fenilbutason yang masing-masing menghambat metabolisme
fase I klorpropamid, heksobarbital dan difenilhidantion. Adanya inhibitor
tersebut akan menghambat reaksi metabolisme obat sehingga keberadaan obat
dalam tubuh meningkat dan sebagai konsekuensi klinik adalah kenaikan efek
farmakologinya (Mike, 2005).

d. Kondisi patologi
Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat mempengaruhi
metabolisme suatu obat. Telah disampaikan bahwa hati merupakan organ
utama bagi reaksi metabolisme obat sehingga apabila terjadi kondisi patologi
pada organ tersebut misalnya nekrosis hepar atau hepatitis maka obat yang

14 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
lebih dominan dimetabolisme di hati seperti tolbutamid dapat mengalami
gangguan metabolisme sehingga efek farmakologinya dapat meningkat. Dalam
hal ini, pengetahuan mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut
adalah penting bagi pada apoteker yang akan berkerja di rumah sakit (Mike,
2005).

e. Susunan makanan
Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, unsur
runutan dan alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini terkait bahwa
unsur makanan tersebut dapat memacu kemampuan baik secara kualitas
maupun kapasitas enzim metabolisme obat khususnya P-450 untuk
mengkatalisis reaksi metabolisme obat.

f. Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi produk petroleum, logam berat dan insektisida
yang berasal dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari faktor tersebut adalah
juga terkait dengan kemampuannya menginduksi atau menghambat enzim
pemetabolisme (Mike, 2005).

15 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
4. Ekskresi

Ekskresi merupakan proses pengeluaran zat sisa metabolisme tubuh,


seperti CO2, H2O, NH3, zat warna empedu, dan asam urat. Zat hasil metabolisme
yang tidak diperlukan oleh tubuh akan dikeluarkan melalui alat ekskresi. Sistem
ekskresi merupakan salah satu hal yang penting dalam homeostatis tubuh karena
selain berperan dalam pembuangan limbah hasil metabolisme sistem ekskresi juga
dapat merespon terhadap ketidakseimbangan cairan tubuh (Shargel,2012).
Fungsi dari sistem ekskresi yaitu :
a) Membuang limbah yang tidak bergunadari dalam tubuh

b) Mengatur konsentrasi dan volume cairan tubuh (osmoregulasi)

c) Mempertahankan temperatur tubuh dalam kisaran normal (termoregulasi)

Pada sistem ekskresi manusia melibatkan beberapa alat ekskresi yang


terdiri dari ginjal, kulit, hati, dan paru-paru. Setiap alat ekskresi berfungsi untuk
mengeluarkan zat sisa metabolisme yang berbeda-beda, kecuali air yang dapat
dikeluarkan melalui semua alat ekskresi (Valerie dkk, 2007).

Berikut merupakan alat ekskresi dan zat yang diekskresikan :


Alat Ekskresi Zat yang Diekskresikan
Ginjal Urin
Kulit Keringat
Paru-paru CO2dan H2O
Hati Pigmen (bilirubin danurobilin)

Masing-masing alat ekskresi memiliki sistem atau cara kerja yang berbeda,
sistem/cara kerja dari alat-alat ekskresi adalah sebagai berikut, :
Ginjal
Pada ginjal terdapat beberapa tahapan untuk melakukan ekskresi, yaitu
terdapat proses penyaringan, reabsorpsi, dan pengumpulan hingga terbentuklah urin
yang siap untuk dikeluarkan.

16 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
- Penyaringan (Filtrasi)
Darah yang banyak mengandung zat sisa metabolisme masuk kedalam
ginjal melalui pembuluh arteri ginjal (arterirenalis). Cairan tubuh keluar dari
pembuluh arteri dan masuk kedalam badan malpighi. Membran glomerulus dan
kapsul Bowman bersifat permeabel terhadap air dan zat terlarut berukuran kecil
sehingga dapat menyaring molekul-molekul besar. Proses pembentukan urin
diawali dengan penyaringan darah yang terjadi di kapiler glomerulus. Sel-sel
kapiler glomerulus yang berpori (podosit), tekanan dan permeabilitas yang
tinggi pada glomerulus mempermudah proses penyaringan. Selain
penyaringan, di glomelurus juga terjadi penyerapan kembali sel-sel darah,
keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan bahan kecil yang
terlarut di dalam plasma darah, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium,
klorida, bikarbonat dan urea dapat melewati saringan dan menjadi bagian dari
endapan. Hasil penyaringan di glomerulus disebut filtrate glomerolus atau urin
primer, mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam
lainnya (Shargel, 2012).

- Penyerapan kembali (Reabsorbsi)


Reabsorbsi terjadi di tubulus kontortus proksimal. Bahan-bahan yang masih
diperlukan di dalam urin pimer akan diserap kembali di tubulus kontortus
proksimal, sedangkan di tubulus kontortus distal terjadi penambahan zat-zat
sisa dan urea. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam
amino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa
osmosis. Setelah terjadi reabsorbsi maka 5 tubulus akan menghasilkan urin
sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi.
Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun
bertambah, misalnya urea(Valarie dkk, 2007).

- Pengumpulan (Augmentasi)
Di tubulus kontortus distal, beberapa zat sisa seperti asam urat, ion
hidrogen, amonia, kreatin, dan beberapa obat ditambahkan kedalam urin
sekunder sehingga tubuh terbebas dari zat-zat berbahaya. Urin sekunder yang

17 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
telah ditambahkan dengan berbagai zat tersebut disebut urin. Kemudian, urin
disalurkan melalui tubulus kolektivus kerongga ginjal. Dari rongga ginjal, urin
menuju kekantung kemih melalui saluran ginjal (ureter ).

Kulit
Kelenjar–kelenjar kulit mengeluarkan zat–zat yang tidak berguna lagi atau
zat sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.
Sebum yang diproduksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan
sebum (bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang berlebihan
sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat
menyebabkan keasaman pada kulit (Shargel, 2012).

Paru-paru
Zat sisa metabolisme yang dikeluarkan dari paru-paru berupa CO2 dan
H2O yang dihasilkan dari proses pernafasan. Pengangkutan CO2 sebagai hasil zat
sisa metabolisme, diangkut oleh darah dapat melalui tiga cara:
1. CO2 larut dalam plasma, dan membentuk asam karbonat dengan enzim
anhidrase (7% dari seluruh CO2)

2. Karbondioksida terikat pada hemoglobin dalam bentuk karbomino


hemoglobin (23% dari seluruh CO2)

3. Karbondioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3-) melalui proses


berantai pertukaran klorida (70% dari seluruh CO2).

Mekanisme pertukaran klorida adalah sebagai berikut :


I. Darah pada alveolus paru-paru mengikat O2 dan mengangkutnya kesel-sel
jaringan.
II. Dalam jaringan, darah mengikat CO2 untuk dikeluarkan bersama H2O yang
dikeluarkan dalam bentuk uap air. Reaksi kimia tersebut secara ringkas
dapat kita tuliskan sebagai berikut :
- + H+
Ion H+ yang bersifat racun diikat oleh hamoglobin, sedangkan HCO3-
keluar dari sel darah merah dan masuk kedalam plasma darah. Sementara itu

18 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
pula kedudukan HCO3-digantikan oleh ion Cl- (klorida) dari plasma darah
(Shargel, 2012).

Hati
Sebagai alat ekskresi hati (hepar) mengeluarkan empedu ± 1/2 liter
setiaphari. Empedu cairan kehijauan, rasanya pahit, pH netral, dan mengandung
kolesterol, garam-garam mineral, garam empedu,dan zat warna empedu yang
disebut bilirubin dan biliverdin. Garam-garam empedu berfungsi dalam proses
pencernaan makanan. Zat warna empedu yang berwarna hijau kebiruan berasal dari
perombakan hemoglobin sel darah merah di dalam hati. Zat warna empedu diubah
oleh bakteri usus menjadi urobilin yang berwarna kuning coklat yang memberikan
warna feses dan urin. Sisa-sisa pencernaan protein yang berupa urea dibentuk juga
di dalam hati. Urea kemudian dibawa oleh darah dan selanjutnya masuk kedalam
ginjal. Akhirnya, dari ginjal dikeluarkan bersama-samadengan urin (Shargel, 2012).

19 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, N.A., dkk. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Gibson, G.G. and Skett, P., 1986, Introduction to Drug Metabolisme,
Chapman and Hall, London. Gibson, G.G. and Skett, P., 1986, Introduction to Drug
Metabolism, Chapman and Hall, London.
Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10.
Diterjemahkan oleh Aryandhito Widhi N, Leo Rendy, dan Linda Dwijayanthi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kee, Joyce L. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mike J. Neal. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
Shargel, Leon, Susanna Wu-Pong, dan Andrew B. C. 2012. Biofarmasetika
dan Farmakokinetika Terapan. Edisi 5. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

20 | S T I K E S M U H A M M A D I Y A H P K J , P E K A L O N G A N

Anda mungkin juga menyukai