Anda di halaman 1dari 25

Referat

PENATALAKSANAAN SKAR ATROFI

dr. Eva Hariani

Dr. dr. Imam Budi Putra, SpKK, MHA

DIVISI TUMOR DAN BEDAH KULIT


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
2016

0
PENATALAKSANAAN SKAR ATROFI

1. PENDAHULUAN
Skar merupakan hasil akhir dari proses penyembuhan dan perbaikan yang alami,
sebagai akibat dari pembentukan skar fibrotik dermis setelah proses inflamasi. Skar
dikelompokkan berdasarkan gambaran klinis dan histologis menjadi beberapa kelompok
yaitu: keloid, skar hipertropik, stretched, dan skar atrofi. Atrofi mengacu pada berkurangnya
ukuran sel, jaringan, organ, atau bagian tubuh lainnya. Atrofi dari papilar dan retikular dermis
terlihat sebagai gambaran kulit yang melengkung. Atrofi panikulus menyebabkan lengkungan
kulit yang lebih dalam. Secara histologis skar atrofi menunjukkan penipisan kulit dengan
menghilangnya kolagen dan lemak kulit sehingga mengakibatkan penarikan epidermis ke
arah bawah.1,2
Setelah proses penyembuhan luka, selanjutnya dapat terbentuk skar atrofi. Secara
klinis skar atropi terlihat seperti kulit yang melengkung atau terlihat lebih rendah dari kulit
sekitarnya, skar atropi berbeda dalam bentuk dan dimensinya, skar atropi dapat melebar dan
dangkal atau menyempit dan dalam. Skar atrofi dikelompokkan menjadi skar icepick (skar
yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 60 - 70 %), skar boxcar sekitar 20 – 30 % dan
rolling scar sekitar 15 – 25 % (Gambar. 1).Skar icepick digambarkan seperti huruf “V”
dimana skar mencapai dermis, sedangkan skar boxcar dan rolling scar lebih superfisial
dengan dasar yang lebih lebar. Namun jenis boxcar dan rolling scar dapat juga menjadi lebih
dalam; dan ketiga jenis skar tersebut dapat terjadi bersama-sama sehingga secara klinis sulit
diidentifikasi.2,3,4

Gambar 1. Skema 3 tipe skar atrofi. Dikutip sesuai dengan kepustakaan no. 4

1
Skar yang terlalu banyak dapat memberikan dampak yang tidak menyenangkan secara
fisik, estetika, psikis, dan sosial. Gejala fisik dari skar dapat berupa rasa gatal, kaku,
kontraktur, lunak dan nyeri. Skar yang terlihat buruk secara estetika dapat menimbulkan efek
psikososial berupa berkurangnya rasa percaya diri, stigma, terganggunya kegiatan sehari-hari,
cemas bahkan depresi.5
Untuk terbentuknya suatu skar membutuhkan waktu beberapa bulan. Skar yang baru
terbentuk biasanya tebal dan banyak pembuluh darah, namun dalam beberapa bulan
berangsur-angsur mengecil, pembuluh darahnya berkurang dan menjadi rata. Banyak faktor
yang menjadi faktor resiko terbentuknya skar, diantaranya faktor genetik, usia dan
tertundanya pengobatan. Beberapa penyebab utama dan faktor resiko terjadnya skar atrofi
disajikan dalam tabel berikut (Tabel 1).2,3,6
Tabel.1
No. Penyebab/faktor resiko
1 Inflamasi Akne
Kista
Lupus eritematosus diskoid
2 Infeksi Post-varisela
3 Trauma Cedera
Luka bakar
Iatrogenik - pembedahan
4 Faktor pasien Kecenderungan pasien memperoleh skar
Memiliki skar atrofi sebelumnya
Sindroma Ehlers-Danlos
Anetoderma primer

*Dikutip sesuai dengan kepustakaan no. 2

2. PROSES PENYEMBUHAN LUKA


Secara umum terdapat 4 fase yang menjadi ciri proses penyembuhan luka yaitu: (1)
koagulasi, (2) fase inflamasi, (3) proliferasi dan fase migrasi (pembentukan jaringan), dan (4)
fase remodeling. Fase koagulasi dan inflamasi kadang-kadang dikelompokkan menjadi satu
oleh karena banyaknya mediator yang dilepaskan saling tumpang tindih. Fase awal koagulasi
dan inflamasi dimulai segera setelah cedera akut.6-9
Gangguan pada pembuluh darah menyebabkan pelepasan lokal elemen-elemen
pembuluh darah dan sel-sel darah sehingga terjadi pembekuan darah. Bekuan darah dalam

2
lumen pembuluh darah menyebabkan hemostasis sementara pada tempat terjadinya cedera,
berperan sebagai matriks sementara untuk migrasi sel. 6-9 Komponen awal pada fase ini
didominasi oleh platelet, yang mengarahkan pembekuan dari luka yang baru melalui jalur
intrinsik dan ekstrinsik. Platelet menempel dengan platelet lainnya dimediasi oleh protein
fibrinogen dan faktor von Willebrand. Agregasi platelet bersama dengan eritrosit akan
menutup kapiler untuk menghentikan pendarahan. 6,8 Saat platelet teraktivasi, membran
fosfolipid berikatan dengan faktor pembekuan V, dan berinteraksi dengan faktor pembekuan
X. Aktivitas protrombinase dimulai, memproduksi trombin secara eksponensial. Trombin
kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi pembentukan fibrinogen menjadi
fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah merah membentuk bekuan darah dan menutup luka.
Fibrin menjadi rangka untuk sel endotel, sel inflamasi dan fibroblas.10
Hal penting lainnya ialah produksi faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF) oleh sel-
sel inflamasi dan diekspresikan pada luka. Setelah beberapa hari, netrofil di singkirkan oleh
makrofag. Pada saat komponen inflamasi pada fase awal ini berlanjut, dalam waktu 24 jam
sampai 48 jam setelah cedera, monosit akan menggantikan netrofil dan menjadi lekosit yang
predominan. Monosit ditarik ke tempat terjadinya cedera oleh kemoatraktan yang sama yang
menarik netrofl, misalnya kalikrein, fibrinopeptida, dan produk degradasi fibrin.
Kemoatraktan spesifik lainnya yang kemudian mengambil alih untuk menarik netrofil yaitu
kolagen, fibronektin, elastin, dan TGF-β1. Monosit akan mengalami perubahan fenotipik
menjadi makrofag jaringan, dan tidak seperti netrofil, mereka berperan penting pada progresi
penyembuhan luka. Makrofag berperan sebagai fagosit, membunuh bakteri, dan
membersihkan debris jaringan. Makrofag juga melepaskan beberapa faktor pertumbuhan
termasuk PDGF, FGF, dan TGF-β1 oleh karena itu menstimulasi migrasi dan proliferasi
fibroblast juga produksi dan modulasi matriks ekstraselular (ECM). Makrofag umumnya
dianggap sebagai sel utama dalam penyembuhan luka.8,10,11
Pada fase proliferasi (yang terjadi 3 – 10 hari setelah cedera) fokus utama dari proses
penyembuhan terletak pada penutupan permukaan luka, pembentukan jaringan granulasi dan
pemulihan jaringan pembuluh darah. Oleh karena itu, capillary sprouting mengaktifkan
proses pergerakan fibroblas lokal sepanjang fibrin network dan proses awal reepitelisasi dari
tepi luka, neovaskularisasi dan angiogenesis. Di bawah kendali regulasi sitokin seperti IFN-ɣ
dan TGF-β, sintesis kolagen, fibronektin dan substansi dasar lainnya yang dibutuhkan untuk
penyembuhan luka, fibroblas berperan sebagai dasar untuk matriks jaringan ikat yang baru,
menyebabkan tertutupnya celah jaringan dan pulihnya kekuatan mekanik luka. Diikuti
dengan peningkatan sintesis kolagen di sepanjang luka, sementara proliferasi fibroblas akan
3
menurun secara bertahap, menyesuaikan keseimbangan antara sintesis dan penghancuran
matriks ekstraselular (ECM).8,12
Proses reepitelisasi ditentukan oleh sel-sel keratinosit pada tepi luka dan epitel sel
punca dari folikel rambut dan kelenjar keringat. Reepitelisasi ini berjalan sampai sel-sel yang
bermigrasi saling bertemu. Pemulihan sistem pembuluh darah pada kulit merupakan suatu
peristiwa kaskade kompleks pada tingkat seluler, humoral dan molekuler pada dasar luka
untuk menyambungkan kembali aliran nutrisi.12 Dan langkah terakhir dalam fase proliferasi
adalah pembentukan granulasi jaringan pada fase akut. Pada waktu yang sama fase
remodeling telah dimulai. Saat jaringan transisional menggantikan fibrin/fibronektin. Proses
ini ditandai dengan banyaknya jumlah fibroblas, granulosit, makrofag, kapiler pembuluh
darah dan longgarnya susunan ikatan kolagen. Fibroblas sebagai prekursor matriks
provisional luka dan sebagai tempat dimana migrasi dan pengaturan sel berlangsung. Pada
akhir fase ini jumlah fibroblas yang matur berkurang oleh diferensiasi miofibroblas dan
dibatasi oleh apoptosis yang terjadi berturut-turut.8,12,13
Fase remodeling merupakan tahap paling akhir dari proses penyembuhan luka dan
dimulai pada hari ke 21 sampai 1 tahun setelah terjadinya cedera. Pembentukan jaringan
granulasi berhenti melalui apoptosis sel. Selama proses pematangan luka, komponen ECM
luka mengalami perubahan tertentu. Kolagen tipe III yang dihasilkan pada saat fase
proliferasi, digantikan oleh kolagen tipe I yang lebih kuat. Kemudian miofibroblas
menyebabkan kontraksi luka melalui beberapa perlekatan terhadap kolagen dan membantu
mengurangi ukuran permukaan skar yang terbentuk. Selanjutnya proses angiogenesis
berkurang, aliran darah menuju luka menurun, dan aktivitas metabolik pada luka akut
melambat dan akhirnya berhenti.8,9,12,14

4
Gambar 2. Tahapan penyembuhan luka *Dikutip sesuai dengan kepustakaan no. 13

3. PATOFISIOLOGI SKAR ATROFI


Proses penyembuhan luka dan pembentukan skar tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, salah satu dari keduanya dapat saling mendahului pada tingkatan ataupun waktu tertentu.
Kapan suatu luka dapat menjadi skar, bergantung peristiwa molekular pada awal terjadinya
cedera dan penanganan luka itu sendiri. Terbentuknya skar tidak dapat dielakkan karena skar
merupakan konsekuensi permanen dari perlukaan dan risiko dari proses regenerasi dan
perbaikan kulit. Klinis dari skar sendiri sangat tergantung keluhan pasien dan sangat
subjektif. Skar dapat menyebabkan gangguan estetika, fungsi dan struktur tubuh. 11,15,16
Walaupun skar yang matur terbentuk melalui proses penyembuhan luka yang normal
namun bukan berarti sama dengan kulit yang normal; proses pembentukan skar melengkapi
proses pemulihan kontinuitas lapisan atas kulit. Faktanya, skar normotropik menggambarkan
titik tengah dari spektrum proses penyembuhan luka. Terbentuknya keloid dan skar hipertrofi
menggambarkan respon “penyembuhan yang berlebihan”, demikian juga dengan skar
atrofi.9,11

5
Kebanyakan pasien merasa bahwa luka merupakan suatu skar dari luka yang sudah
tertutup, tidak lagi mengeluarkan eksudat atau sudah tidak memerlukan perawatan dengan
dressing. Secara klinis, seluruh skar, bahkan skar normotrofi, akan melewati proses
pematangan. Pada usia muda proses ini sangat aktif, sehingga sering terbentuk skar hipertofi.
Kebanyakan skar kemudian melewati suatu periode tenang dimana sangat sedikit terjadi
perubahan klinis (tanpa pengobatan). Kebanyakan luka dapat juga melalui suatu periode
regresi dari gejala dan tanda inflamasi, dan akhirnya menetap pada kondisi matur. Setelah
beberapa bulan atau tahun, atau akibat dari pengobatan; sebagian skar menjadi sangat tipis,
pucat dan atrofi. 15
Semua proses penyembuhan luka harus melalui fase-fase penyembuhan termasuk
inflamasi, pembentukan jaringan granulasi dengan neovaskularisasi fibroplasia, kontraksi
luka dan remodeling jaringan. Contohnya pada lesi akne, inflamasi terjadi dibawah epidermis
pada regio infrainfundibular dari struktur pilosebaseus. Sehingga skar yang muncul
melibatkan struktur yang lebih dalam. Saat skar menjadi matur dan terjadi kontraksi tarikan
pada lapisan permukaan, mengarah kepada terjadinya penampilan yang melekuk atau atrofi.
Aktifitas enzimatik dan mediator inflamasi juga menghancurkan struktur kulit yang lebih
dalam, akibat dari kehilangan struktur yang dihancurkan tersebut memperberat pembentukan
skar atropi. 17
Walaupun patogenesis over and under healing belum sepenuhnya dimengerti, namun
akibat morbiditas dan beban sosioekonomi dari penyembuhan yang abnormal, dibutuhkan
pemahaman lebih dalam.11

4. MODALITAS TERAPI SKAR ATROPI

4.1 TERAPI LASER


Pasien-pasien dengan skar boxcar (superfisial maupun dalam) atau rolling scar
dapat dindikasikan untuk dilakukan terapi laser. Laser ablatif menghilangkan jaringan
skar dengan cara mencairkan, evaporasi atau vaporasi. Laser karbondioksida dan laser
erbium YAG adalah laser yang paling sering digunakan dalam penanganan skar atrofi
akibat akne. Kedua laser ini mengikis permukaan kulit dan juga membantu merapatkan
serat kolagen dibawahnya. Laser non ablatif tidak menghilangkan jaringan, namun
menstimulasi pembentukan kolagen yang baru dan menyebabkan merapatnya kulit
sehingga mengakibatkan skar terangkat ke permukaan. Diantara laser non ablatif yang
paling sering digunakan adalah laser NdYAG dan laser dioda. 9,17,18
6
Laser ablatif menggunakan teknik dengan selektifitas yang tinggi terhadap air.
Oleh karena itu alat ini terutama bekerja pada permukaan namun kedalaman kerjanya
tentu saja berhubungan dengan intensitas energi yang dipancarkan dan diameter area
yang digunakan. Diantara laser-laser ablatif, teknologi erbium sangat selektif terhadap
air karenanya alat ini mengablasi hampir secara eksklusif. Laser CO 2 yang memiliki
selektifitas lebih rendah terhadap air, disamping mengakibatkan ablasi, juga mampu
menentukan denaturasi dalam jaringan disekitar area yang diablasi dan stimulus
panasnya tidak menyebabkan koagulasi protein dermal. Laser CO 2 memiliki efek ganda
yaitu mendukung proses penyembuhan luka dan meningkatkan produksi miofibroblas
dan protein matriks seperti asam hialuronat.2,9,17
Penelitian-penelitian klinis dan histopatologis sebelumnya menunjukkan efikasi
laser CO2 dalam penanganan skar atrofi akne pada wajah, hasilnya terlihat 50-80% lebih
baik. Perbedaan-perbedaan hasil penelitian yang telah dilaporkan, dengan teknik laser
yang mirip, mungkin diakibatkan oleh perbedaan jenis skar yang diterapi.9
Semua laser ablatif memiliki risiko terjadinya komplikasi dan efek samping. Efek
samping dari laser ablatif generasi pertama dibedakan menjadi, efek samping jangka
pendek (infeksi bakteri, jamur dan virus) dan efek samping jangka panjang (eritema
persisten, hiperpigmentasi, skar).9,17 Dengan pertimbangan efek samping dan
efektifitasnya penggunaan laser ablatif mulai digantikan oleh laser non ablatif. Sebuah
penelitian yang membandingkan efektivitas laser ablatif CO 2 dengan fraksional CO2
untuk pengobatan skar atrofi akibat Leismaniasis di provinsi Isfahan, Iran; menunjukkan
bahwa laser fraksional CO 2 lebih baik dibandingkan laser ablatif CO 2 .19
Laser non ablatif menggunakan teknologi sinar inframerah long-pulse (1.450 nm
diode, 1320 dan 1064 nm neodymium-doped yttrium aluminium garnet (Nd:YAG), dan
1540 nm erbium glass), laser ini dikembangkan sebagai alternatif yang lebih aman
dibandingkan dengan laser ablatif, untuk menginduksi cedera termal yang terkontrol
terhadap dermis sehingga merangsang neokolagenesis dan remodeling pada kulit yang
mengalami skar. Laser non ablatif semakin popular karena efek sampingnya lebih ringan
dan perawatan sesudah prosedur laser lebih mudah.2,9
Laser fraksional CO2 merupakan prosedur dermatologi yang terdepan untuk skar
atrofi. Dibandingkan proses penguapan yang menjangkau seluruh permukaan atas kulit,
laser fraksional CO2 hanya membentuk suatu area microthermal treatment yang disebut
MTZs. Alat ini mengulang pada area yang rusak akibat panas sehingga terjadi penetrasi
di epidermis, termasuk stratum korneum dan bagian atas dermis. Besar, diameter dan
7
kedalaman MTZs dapat bervariasi tergantung pengaturan laser. Setiap zona yang
mengalami ablasi dikelilingi oleh zona yang normal. Keratinosit yang viable pada daerah
normal ini dapat bermigrasi ke MTZs, dan mempercepat proses pembentukan kolagen
dan reepitelisasi.2,17,20
Hedelund et al dalam sebuah penelitian acak terkontrol memperlihatkan adanya
perbaikan pada skar atrofi akibat akne dan efek samping yang ringan, dengan laser
fraksional CO2 yang di follow up selama 6 bulan.21 Banyak penelitian yang telah
membuktikan efektivitas laser fraksional CO 2 dalam penanganan skar atrofi, namun
sampel penelitian-penelitian tersebut berbeda etnis dan tipe kulitnya serta menggunakan
metode dan pengaturan laser yang berbeda pula.18
Efek samping yang paling sering terjadi setelah prosedur ini adalah Post
Inflammatory Hyperpigmentation (PIH). Pasien dengan warna kulit gelap memiliki
resiko yang lebih besar terhadap PIH. Pada kebanyakan kasus PIH akan memudar
setelah 6 minggu sampai 6 bulan, dan belum ada laporan yang mengenai PIH yang
permanen.17,18,20
Walaupun telah terbukti bahwa laser fraksional CO 2 sangat efektif untuk
menangani skar atrofi, penting juga dipertimbangkan efikasi jangka panjangnya. Suatu
penelitian melaporkan tingkat perbaikan klinis pasien rata-rata 74% setelah 1 sampai 2
tahun pengobatan. Namun dibutuhkan penelitian retrospektif dengan waktu yang lebih
panjang untuk mendukung laporan tersebut. 17,20

4.2 PENGELUPASAN KIMIA


Pengelupasan kimia kita artikan sebagai proses pengaplikasian bahan kimia ke
kulit untuk membuang lapisan terluar kulit yang rusak dan mempercepat proses
perbaikan. Pengelupasan kimia digunakan untuk mengembalikan beberapa tanda
penuaan kulit dan untuk pengobatan lesi kulit termasuk skar, terutama skar akne.
Diskromia, kerutan, dan skar akne merupakan indikasi klinis yang utama untuk
pengelupasan kimia.3,9,22
Untuk skar icepick dan rolling scar tidak dapat dihilangkan sempurna dengan
pengelupasan kimia dan membutuhkan pengelupasan lebih lanjut ditambah perawatan
sendiri dirumah dengan pengaplikasian retinoid topikal dan asam alfa hidroksi. Tingkat
perbaikan yang diperoleh sangat bervariasi terhadap berbagai kelainan dan pasien. Selain
itu ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efek dari pengelupasan kimia
misalnya cara priming dan pembersihan kulit, jenis kulit, lokasi anatomi, cara
8
pengaplikasian, waktu terpapar, dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi penetrasi
agen pengelupas. Sebagai contoh, skar icepick pada pasien dengan kulit hiperkeratosis
hanya sedikit mengalami perbaikan jika dilakukan perbaikan tekstur kulit. Disisi lain,
pasien dengan box scars akan memperoleh perbaikan yang signifikan dengan aplikasi
TCA 50 sampai 90% pada skar tunggal.9,17,22
Berikut merupakan beberapa agen pengelupas yang digunakan untuk
penatalaksanaan skar atrofi:

4.2.1 Asam glikolat


Asam glikolat merupakan asam alfa hidroksi, larut dalam alkohol, diperoleh
dari buah-buahan dan gula susu. Asam glikolat yang digunakan sebagai agen
pengelupas kimiawi yaitu dengan konsentrasi 30 – 70%, sedangkan asam glikolat
dengan konsentrasi lebih rendah (5 – 15%) digunakan dalam produk perawatan kulit
sehari-hari.22,23
Asam glikolat bekerja dengan menipiskan stratum korneum, menimbulkan
epidermolisis dan mendispersi lapisan basal melanin. Hal ini meningkatkan asam
hialuronat dermal dan ekspresi gen kolagen melalui peningkatan sekresi IL-6.
Prosedur ini ditoleransi dengan baik oleh pasien dan tingkat kepatuhan pasien juga
cukup baik, namun pengelupasan dengan asam glikolat dikontraindikasikan pada
pasien dengan dermatitis kontak, kehamilan dan pasien yang sensitif terhadap
glikolat. Efek sampingnya, seperti hiperpigmentasi sementara atau iritasi, namun
tidak terlalu signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerusakan
kulit akibat pengelupasan dengan asam glikolat meningkat sejalan peningkatan
dosis dan lama penggunaannya. Asam pada konsentrasi yang tinggi (70%)
menyebabkan lebih banyak kerusakan jaringan daripada asam pada konsentrasi
yang lebih rendah (50%) dan dibandingkan dengan larutan yang tidak mengandung
asam. Dari pengamatan, terjadi peningkatan koefisien permeabilitas transmembran
dengan penurunan pH.9,23
Pada sebuah penelitian retrospektif oleh Chandrashekar et al. yang
menggunakan asam glikolat 12% dikombinasi dengan asam retinoid 0,025%
terhadap 35 pasien selama 12 minggu menunjukkan bahwa kombinasi tersebut
efektif untuk skar atrofi akne yang baru.24

9
4.2.2 Larutan Jessner
Larutan Jessner diformulasikan oleh Max Jessner, terdiri dari kombinasi asam
salisilat, resorsinol dan asam laktat dalam etanol 95% yang merupakan agen
pengelupasan superfisial yang baik. Resorsinol secara struktural dan kimia mirip
dengan fenol. Resorsinol memecah ikatan lemah hidrogen keratin dan
meningkatkan penetrasi agen lain. Asam laktat adalah asam alfa hidroksi yang
menyebabkan pelepasan korneosit dan deskuamasi stratum korneum. Pengelupasan
kulit biasanya terjadi dalam beberapa hari setelah prosedur dan mungkin akan
menetap selama 8 sampai 10 hari.9,22
Setiap pasien mungkin membutuhkan jumlah pengolesan yang berbeda untuk
mendapatkan level pengelupasan yang sama karena penetrasi larutan ini bergantung
pada beberapa faktor seperti kondisi kulit, ketebalan stratum korneum dan
sensitivitas kulit. Pengelupasan dengan larutan Jessner sangat superfisial dan aman.
Seperti agen pengelupas superfisial lainnya, larutan Jessner ditoleransi dengan baik.
Kontraindikasi umum termasuk inflamasi aktif, dermatitis atau infeksi pada daerah
yang diobati, penundaan terapi isotretinoin 6 bulan sesudah pengelupasan dan
penyembuhan luka yang lambat atau tidak normal. Dermatitis kontak alergi dan
reaksi alergi sistemik terhadap resorsinol jarang terjadi dan perlu dipertimbangkan
sebagai kontraindikasi absolut.9,22,23

4.2.3 Asam piruvat


Asam piruvat adalah asam keto alfa dan agen pengelupasan yang efektif.
Asam piruvat memiliki sifat keratolitik, antimikroba dan sebostatik serta mampu
menstimulasi produksi kolagen baru dan pembentukan serabut elastik pada papilla
dermis bagian atas. Untuk menghasilkan pengelupasan dengan kedalaman sedang
(medium-depth peeling) biasanya digunakan asam piruvat dengan konsentrasi 40%
sampai 70% dalam larutan air atau etanol.9,22,23
Kelebihan penggunaan asam piruvat antara lain penetrasinya yang homogeny
dengan eritema yang rata, deskuamasi yang ringan, masa pemulihannya pendek dan
dapat digunakan pada hamper semua tipe kulit. Efek sampingnya termasuk
deskuamasi, terbentuk krusta di daerah yang menipis, rasa menyengat, dan sensasi
terbakar selama pengobatan. Pasien dapat mengalami deskuamasi ringan setelah
prosedur, dan penyembuhan terjadi dalam 5 – 7 hari. Asam piruvat memiliki uap
menyengat dan mengiritasi untuk mukosa saluran pernafasan atas, dan sebaiknya
10
dianjurkan untuk memastikan ventilasi yang memadai selama proses
aplikasinya.9,22,23

4.2.4 Asam salisilat


Asam salisilat adalah asam karboksil organik atau asam hidroksi beta. Asam
salisilat memiliki struktur lipofilik yang membantu penetrasinya kedalam glandula
sebasea dan sel korneosit dan mengakibatkan kerusakan dan pengelupasan
epidermis bagian atas. Konsentrasi yang digunakan untuk tujuan pengelupasan
kimiawi yaitu 20 – 30% dalam hidroetanolat atau poli etilen glikol (PEG), atau 50%
dalam ointment. Konsentrasi yang paling baik untuk skar atrofi akne yaitu 30%
dalam beberapa sesi, 3-5 kali, setiap 3-4 minggu. Dan dianjurkan tetap
menggunakan pelembab dan tabir surya selama 7 – 15 hari.22,23
Keunggulan dari asam salisilat yaitu aman digunakan untuk semua tipe kulit,
pembentukan lapisan endapan putih membantu memastikan bahwa aplikasinya
sudah merata dan efek anastesinya berguna untuk pengelupasan kombinasi. Efek
samping dari asam salisilat bersifat ringan dan sementara. Termasuk eritema dan
kulit kering. Hiperpimentasi pasca inflamasi yang menetap atau terbentuknya skar
sangat jarang dan oleh karena itu asam salisilat aman digunakan untuk kulit yang
gelap. Pernafasan yang cepat, tinnitus, kehilangan pendengaran, pusing, kram perut,
dan gejala-gejala sistem saraf pusat, merupakan karakteristik salisilisme atau
toksisitas asam salisilat.9,23

4.2.5 Asam trikloroasetat


Penggunaan asam trikloroasetat (TCA) sebagai agen pengelupas pertama kali
diperkenalkan oleh P.G. Unna, seorang dermatolog asal Jerman pada tahun 1882.
Aplikasi TCA pada kulit menyebabkan denaturasi protein, sehingga disebut
keratokoagulasi, yang menimbulkan lapisan berwarna putih pada area
pengolesan.9,25
Untuk tujuan pengelupasan kimia, TCA digabungkan dengan 100 mL air
suling untuk memperoleh konsentrasi yang diinginkan. Derajat penetrasi jaringan
dan kerusakan jaringan akibat TCA tergantung beberapa faktor, misalnya
persentase TCA yang digunakan, lokasi anatomi dan persiapan kulit. Pemilihan
konsentrasi larutan TCA yang sesuai, penting saat melakukan pengelupasan.
Persentase TCA sebesar 10-20% mengakibatkan pengelupasan yang sangat
11
superfisial tanpa adanya penetrasi dibawah stratum granulosum; konsentrasi 25-
35% mengakibatkan pengelupasan superfisial ringan dengan difusi mencapai
seluruh lapisan epidermis, pada konsentrasi 40-50% dapat menyebabkan kerusakan
sampai papilla dermis, dan pada konsentrasi lebih dari 50% menyebabkan
kerusakan lebih dalam sampai dengan retikular dermis. Untuk skar atrofi yang
dalam, lebih efektif bila digunakan pengelupasan kimia medium atau yang deep.
Namun, penggunaan TCA dengan konsentrasi diatas 35% dapat menyebabkan hasil
yang tidak dapat diprediksi, misalnya skar. Penggunaan TCA dengan konsentrasi
lebih dari 35% sebaiknya dihindari.3,22,25
Umumnya TCA dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, namun pada
beberapa kasus kadang-kadang dibutuhkan anastesi topikal atau sedasi sistemik.
Komplikasi yang dapat muncul akibat penggunaan TCA antara lain
hiperpigmentasi, fotosensitif, pembentukan skar hipertrofi, milia dan infeksi
sekunder. Kemungkinan terjadinya absorbsi sistemik atau toksisitas sangatlah kecil
karena penetrasinya pada kulit sangat terbatas. Harus dihindari kontak TCA dengan
mata karena dapat mengakibatkan keratitis dan kerusakan kornea. 3,9,22,23,25

4.2.6 TCA CROSS


Teknik TCA CROSS (Chemical Reconstructive Of Skin Scars) pertama kali
diperkenalkan oleh Lee et al. yang mengaplikasikan TCA secara lokal langsung
pada skar icepick dan skar rolling akibat akne. Penelitian yang dilakukan oleh Lee
et al. membandingkan teknik CROSS TCA 65% dengan TCA 100% dan diperoleh
perbaikan 50 – 70% pada 90% dari 65 pasien setelah 3 - 6 kali pengobatan. Dengan
konsentrasi TCA yang lebih besar diperoleh efikasi pengobatan yang lebih baik dan
peningkatan kepuasan pasien. Dengan pengaplikasian TCA 65 – 100% ke dasar skar
icepick akan menyebabkan kerusakan epitel pada bidang skar sehingga akan diikuti
terjadinya kolagenisasi pada fase penyembuhannya dan mengisi skar yang atrofi.
Tidak seperti laporan yang ditemukan pada literatur-literatur sebelumnya yang
menggunakan TCA 90%, penelitian oleh Fabbrocini et al. menunjukkan bahwa
TCA dengan konsentrasi yang lebih rendah (50%) juga efektif digunakan dengan
teknik CROSS.23,26,27
Pada teknik ini, TCA diaplikasikan selama beberapa detik sampai skar
menunjukkan bekuan berwarna putih. Pada saat pengaplikasian akan muncul rasa
terbakar yang ringan dan bersifat sementara saja sehingga tidak membutuhkan
12
anastesi. Sesudah prosedur dibutuhkan penggunaan emolien selama 7 hari dan harus
dilindungi dari sinar matahari. Prosedur harus diulang 4 minggu kemudian, dan tiap
pasien masing-masing mendapatkan tiga kali pengobatan.9,27

4.3 DERMABRASI
Dermabrasi digunakan sejak tahun 1950an, menggunakan roda bergigi, butiran
berlian, amplas steril atau sikat kawat yang terpasang pada gagang yang berputar dengan
kecepatan tinggi yang mengikis kulit sampai papila dermis. Reepitelisasi dan
repigmentasi berasal dari sel-sel pada struktur adneksa. Prosedur dermabrasi
membutuhkan tindakan anastesi lokal bahkan kadang-kadang general, oleh karena nyeri
yang ditimbulkan. Dermabrasi biasanya memberikan hasil yang baik untuk
penatalaksanaan skar atrofi yang superfisial, seperti skar rolling atau boxcar. Namun
untuk lesi yang lebih dalam, prosedur ini kurang efektif. 23,29
Teknik dermabrasi juga memiliki beberapa kelemahan yaitu sangat bergantung
pada keahlian operator dan teknik yang digunakan, dan bila terjadi kesalahan dapat
terjadi skar. Kerugian lainnya termasuk nyeri, eritema bisa terjadi sampai beberapa
minggu sampai beberapa bulan pasca tindakan, dapat terjadi hipopigmentasi dan waktu
penyembuhannya bisa sampai 1 bulan, dengan kecenderungan terbentuknya milia.
Setelah prosedur pasien dianjurkan menggunakan tabir surya selama proses
reepitelisasi.28,29
Pada sebuah penelitian prospektif oleh Christophel et al. yang membandingkan
dermabrasi diamond-fraise dengan laser fraksional CO2; diperoleh hasil yang hampir
sama pada kedua kelompok setelah pengobatan selama tiga bulan, dengan efek samping
yang lebih sedikit pada kelompok laser. Dengan berbagai kekurangan dermabrasi,
prosedur ini sudah banyak digantikan oleh laser resurfacing.28

4.4 SUBSISI
Subsisi adalah suatu prosedur dimana jarum dimasukkan sampai kebawah kulit
dengan berbagai arah. Pembedahan subkutan dengan insisi minimal (subsisi) pertama
kali diperkenalkan pada tahun 1995 sebagai terapi yang efektif untuk skar atrofi tipe
rolling scar. Dalam prosedur ini, sebuah jarum dimasukkan ke permukaan datar
subkutan untuk melonggarkan skar melalui serangkaian gerakan maju dan mundur,
diikuti putaran horizontal jarum seperti gerakan kipas. Gerakan ini melonggarkan
perlekatan fibrosis yang menyebabkan tampilan bound-down dari rolling scar dan
13
membuat lingkungan sekitar luka memungkinkan untuk deposisi kolagen. Perdarahan
dan pembekuan yang terjadi sesudah subsisi dimaksudkan untuk mengangkat kulit ke
atas dari jaringan skar dibawahnya, dan membuat ruang yang potensial untuk proses
neokolagenesis.2,17,28
Pada sebuah penelitian oleh Murad et al. dimana 40 pasien dengan rolling scar
dilakukan subsisi, setelah enam bulan diperoleh derajat perbaikan keseluruhan sebesar
51% menurut pasien dan sebesar 50-60% menurut pemeriksa. Walaupun tidak dijumpai
efek samping yang berarti pada penelitian ini, 5 sampai 10% pasien pada penelitian yang
lain, mengalami skar hipertrofi yang membutuhkan pengobatan steroid intralesi.
Dibandingkan dengan modalitas terapi yang lain, subsisi secara statistik memiliki
peringkat yang cukup tinggi dibandingkan dengan dengan dermal filler pada sebuah
penelitian acak, prospektif, perbandingan split-face selama 3 bulan (p=0,03) dan tingkat
kepuasan pasien cenderung meningkat pada bulan keenam (p=0,12). Walaupun prosedur
subsisi sudah cukup untuk penatalaksanaan tunggal, hasil yang lebih baik diperoleh bila
subsisi digabungkan dengan modalitas terapi yang lain. Ramadan et al menyatakan
bahwa teknik subsisi lebih baik untuk skar rolling pada pasien dengan tipe kulit
Fitzpatricks III dan IV dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
teknik TCA CROSS 100%.28,30,31
Keunggulan prosedur ini antara lain, aplikasinya mudah, tidak mahal, down-time
nya singkat, cocok untuk beragam tipe kulit (tipe I-IV), tidak menimbulkan komplikasi
yang berat dan diperoleh perbaikan dalam waktu singkat tanpa melukai permukaan kulit.
Namun prosedur subsisi ini menyebabkan nyeri pada beberapa pasien, timbulnya memar,
perubahan warna kulit sementara, papul dan pustula hemoragik, skar hipertrofi,
23
membutuhkan pengulangan dan dapat terjadi rekurensi.

Gambar 3. Teknik Subsisi *Dikutip sesuai dengan kepustakaan no. 17

14
4.5 TEKNIK PUNCH
Banyak modalitas pengobatan yang tidak efektif untuk mengoreksi skar tipe
icepick dengan kedalaman yang mencapai 2 mm. Untuk skar seperti ini, lebih cocok
digunakan teknik punch, termasuk eksisi punch, elevasi dan grafting. Pada eksisi punch,
skar dibuang dengan alat biopsi punch dan sisinya dijahit atau dibiarkan menyembuh
secara sekunder. Pada elevasi punch, skar punched-out meningkat sampai sejajar dengan
kulit sekitarnya dan menyembuh secara sekunder seperti pada graft. Pada grafting
punch, skar awalnya dipotong dan dibuang dengan eksisi punch, pada tempat tersebut
graft kulit yang full thickness diposisikan, diambil dari tempat yang tidak terlihat,
misalnya kulit postaurikular.9,17,23,28
Penelitian-penelitian mengenai efektifitas teknik punch masih terbatas sampai
saat ini, beberapa laporan kasus hanya melibatkan sedikit pasien. Pada laporan-laporan
kasus ini, graft diletakkan sedikit lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya, dan
dilanjutkan dengan dermabrasi pada minggu keempat sampai keenam sesudahnya untuk
mengoreksi kelainan yang masih ada pada permukaan kulit. Kelemahan dari prosedur ini
yaitu kerapkali sulit dilakukan dan prosesnya memakan waktu yang lama. Komplikasi
yang dapat terjadi, termasuk depresi dari graft, kegagalan mengambil graft dan
pembentukan saluran sinus. Bila teknik ini dikombinasikan dengan modalitas terapi yang
lain, teknik punch memungkinkan untuk mengobati skar icepick yang dalam sehingga
untuk selanjutnya dapat dilakukan resurfacing yang kurang agresif untuk memperoleh
hasil yang optimal dari segi kosmetik. Sebagai contoh, Grevelink et al menunjukkan
hasil yang sangat baik saat menggabungkan eksisi punch bersamaan dengan resurfacing
laser CO2.17,28

Gambar 4. Teknik punch (A) punch eksisi, (B) punch elevasi, (C) punch grafting

15
4.6 AUGMENTASI JARINGAN
Penambahan jaringan lunak ditujukan untuk mengisi volume jaringan sekaligus
merangsang produksi kolagen oleh native fibroblast. Teknik penambahan jaringan lunak
(soft tissue augmentation) paling efektif untuk mengobati skar atrofi yang superfisial
seperti rolling scars. Banyak agen augmentasi jaringan yang telah digunakan
sebelumnya untuk skar atrofi baik autologous baru atau lama, nonautologous biologik
maupun non biologik, misalnya kolagen autologous, kolagen bovine, isolagen, alloderm,
asam hialuronat, fibrel, artecoll, dan silicon, namun oleh karena makin banyaknya
kejadian efek samping, bahan yang direkomendasikan untuk skar atrofi adalah asam
hialuronat (HA). Secara khusus filler dermal, digunakan untuk skar yang besar, rolling
scar yang memiliki ruang bagi molekul untuk diinjeksikan dan membutuhkan ketelitian
tertentu untuk penghantarannya.9,28,29,32
Walaupun filler HA umum digunakan untuk skar atrofi akibat akne, namun
sedikit data dari literatur yang mengamati penggunaan filler HA secara khusus untuk
skar akne. Bahkan untuk skar yang atrofi secara umum, laporan-laporan dari literatur
sangat terbatas pada laporan kasus yang kecil, walaupun diperoleh hasil yang sangat
baik. Menurut pengalaman penulis, HA merupakan pilihan yang baik untuk pengobatan
rolling scars. Belotero (Merz Aesthetics, Greenborough, North Carolina), merupakan
filler HA yang relatif baru di pasaran, merupakan pilihan yang baik untuk skar akne
seperti filler HA lainnya. Baru-baru ini diketahui teknik baru yang disebut pembedahan
minimal subdermal (Airgent, PerfAction, Inc., Rehovot, Israel) telah dikembangkan
dimana HA dihantarkan melalui sebuah inokulator hipodermis dengan pancaran
bertekanan tinggi, sehingga memungkinkan dispersi yang lebih tepat bahkan radial
terhadap permukaan kulit. Dalam sebuah penelitian terhadap 10 pasien, delapan
diantaranya mengalami perbaikan setidaknya 50% terhadap tampilan skar akne. 28,29,33
PLLA (Sculptra, Galderma, Fort Worth, Texas) merupakan sebuah filler dermal
sintetik orisinil yang direkomendasikan untuk pengobatan lipoatrofi pada pasien Human
Immunodeficiency Virus (HIV), namun juga berhasil digunakan untuk pengobatan skar
atrofi. Suatu penelitian menemukan perbaikan pada skar atrofi akne setelah tujuh kali
pengobatan, kecenderungan meningkatnya kepuasan pasien sejalan waktu tidak terlalu
signifikan. Adapun kelemahan PLLA yaitu pengobatan harus dilakukan beberapa kali
dan sulitnya menentukan akurasi dengan resiko over koreksi.23,28,34
Kalsium hydroxyapatite (Radesse, Merz Aesthetics) merupakan filler semi
permanen yang telah terbukti bermanfaat untuk rolling scars; perbaikan sudah terlihat
16
pada satu kali pengobatan dan perbaikan bisa menetap sampai dengan 12 bulan. Pilihan
lain dibandingkan filler temporer, yang membutuhkan pengobatan berulang dengan
biaya yang cukup signifikan, yaitu filler permanen yang terdiri atas butiran mikro
polimetilmetakrilat dalam gel berbahan dasar air dengan kolagen bovine 35% (Artefill).
Dalam sebuah penelitian 14 pasien dengan skar atrofi akne diobati dengan satu sampai
dua kali Artefill yang langsung diikuti dengan tindakan subsisi, 2 dari 14 pasien
dilaporkan menunjukkan perbaikan yang cukup baik (70-100%) dan 8 dari 16 pasien
dilaporkan menunjukkan perbaikan yang moderat (51-75%).17,28,33

Tabel 2. Agen augmentasi jaringan yang berguna atau mungkin sekali berguna untuk koreksi
skar atrofi
Autologous Kolagen autologous (Autologen)
Isolagen
Lipocytic dermal augmentation
Transplantasi kulit
Microlipoinjection
Nonautologous biologis Human
Dermalogen
Alloderm
NonHuman
Asam Hialuronat
Kolagen Bovin
Mikrosfer polymethylmethacrolate dengan kolagen
(Artecoll)
Fibrel
Non biologis Silikon
Bioplastique
Artecoll
e-PTFE (Gore-tex, Softform)

*Dikutip sesuai dengan kepustakaan no. 17

17
4.7 NEEDLING.
Skin needling atau kadang-kadang disebut juga dengan CIT (Collagen Induction
Therapy), merupakan teknik yang baru-baru ini diperkenalkan, teknik ini menggunakan
roller steril yang terdiri dari serangkaian jarum, dimana jarum ini akan menusuk kulit
dan menyebabkan trauma mekanik untuk tujuan modifikasi jaringan.32,35
Adapun prosedur pelaksanaan skin needling yaitu, pertama-tama kulit wajah
harus didesinfeksikan, baru kemudian dioleskan anastesi topikal dan dibiarkan selama
60 menit. Prosedur skin needling dilakukan dengan menggulirkan alat pada area yang
dijumpai skar kearah depan dan belakang dengan beberapa tekanan diberbagai arah.
Jarum masuk kearah dermis sekitar 1,5 sampai 2 mm. Seperti yang diperkirakan, kulit
berdarah untuk waktu yang singkat, namun segera berhenti. Pada kulit timbul beberapa
luka memar mikro pada dermis yang akan memulai kaskade kompleks faktor
pertumbuhan yang pada akhirnya mengakibatkan produksi kolagen. Gambaran
histologis menunjukkan penebalan kulit dan peningkatan kolagen baru dan serat elastin
yang cukup dramatis. Efeknya secara umum mulai terlihat pada minggu keenam namun
efek keseluruhan diperoleh setidaknya tiga bulan dan karena deposisi kolagen yang baru
berjalan lambat, tekstur kulit akan terus membaik sampai lebih 12 bulan
berikutnya.9,28,35
Perubahan klinis yang terjadi berbeda-beda pada tiap pasien. Namun seluruh
pasien biasanya mengalami perbaikan. Berapa kali prosedur yang dibutuhkan untuk tiap
pasien berbeda-beda, tergantung pada respon kolagen individu, kondisi jaringan dan
hasil yang diharapkan. Kebanyakan pasien membutuhkan sekitar tiga kali pengobatan
dengan jarak sekitar empat minggu. Sebuah penelitian RCT oleh Alam et al.
memperlihatkan adanya perbaikan yang signifikan pada skar atrofi akibat akne setelah
tiga kali pengobatan (dengan interval 2 minggu untuk setiap pengobatan). 35,36
Skin needling dapat dilakukan dengan aman pada semua jenis dan warna kulit,
resiko terjadinya hiperpigmentasi pasca inflamasi rendah dibandingkan prosedur lain,
seperti dermabrasi, pengelupasan kimia dan laser resurfacing. Skin needling
dikontraindikasikan pada pasien yang mendapatkan pengobatan antikoagulan, infeksi
kulit yang aktif, injeksi kolagen, dan injeksi filler lain dalam enam bulan sebelumnya,
riwayat pasien dan riwayat keluarga mengalami skar hipertrofi atau keloid. 9,35

18
A

Gambar 5. (A) skema prosedur skin needling, (B) gambaran intra operatif prosedur skin
needling pada dahi. Dikutip sesuai dengan kepustakaan no. 26

5. PENCEGAHAN SKAR
Langkah yang paling penting untuk mencegah terjadinya skar yaitu mengidentifikasi
faktor risiko pada pasien. Meminimalisasi tekanan kulit dan respon inflamasi dan menekan
respon inflamasi setelah pembedahan dengan menggunakan bahan-bahan yang tepat dan
melakukan prosedur bedah yang bersih diikuti perawatan luka yang baik merupakan langkah
pencegahan yang sederhana.37,38
Melakukan pemijatan pada luka dengan gel khusus skar, emolien atau bahkan
antibiotik bentuk ointment berguna dalam pencegahan skar. Mencegah luka dari terpapar
sinar matahari berlebihan atau dengan menggunakan tabir surya yang tepat juga penting.38
Terapi pencegahan skar termasuk dressing silikon, ekstrak bawang, obat-obatan yang
mengandung vitamin E, namun belum satupun didukung oleh bukti klinis yang cukup. Dan
ada sedikit bukti klinis terhadap penggunaan kortikosteroid intralesi, 5-fluorourasil, dan
bleomisin sebagai agen pencegah skar.16,37

19
6. KESIMPULAN
Skar merupakan hasil akhir dari proses perbaikan dan penyembuhan alami, sebagai
hasil dari pembentukan skar fibrotik setelah inflamasi. Sedangkan skar atrofi secara umum
digambarkan sebagai atrofi kulit yang terlihat luas diakibatkan kehilangan sel-sel pada
epidermis walaupun secara klinis tampak seperti kehilangan dermis yang normal, skar atrofi
tampak seperti cekungan pada kulit. Terjadinya skar atrofi dapat sebagai akibat dari proses
inflamasi (terutama akne), infeksi (terutama varisela), trauma dan faktor-faktor lain yang ada
pada pasien.
Ada berbagai pilihan terapi untuk penatalaksanaan skar atrofi, seperti terapi laser,
dermabrasi, pengelupasan kimia, subsisi, filler dan lain sebagainya. Pemilihan terapi biasanya
berdasarkan jenis skar atrofi, kondisi pasien, pilihan terapi yang ada serta tujuan pengobatan;
misalnya untuk skar icepick sering digunakan teknik eksisi punch dengan penutupan oleh
jahitan kecil. Namun modalitas terapi untuk skar atrofi masih memerlukan bukti klinis yang
lebih kuat dan penelitian lebih lanjut pada tingkat molekular sehingga diperoleh pemahaman
yang lebih baik mengenai skar atrofi dan memungkinkan untuk menerapkan pengobatan yang
lebih optimal.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Gerg A, Levin NA, Bernhard D. Structure of skin lesion and fundamental of clinical
diagnosis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrist BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K,
editor-editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th edition. New York:
Mc Graw Hill Companies: 2012.p.26-42.
2. Patel L, McGrouther D, Chakrabarty K. Evaluating evidence for atrophic scarring
treatment modalities. Journal of the Royal Society of Medicine 2014; 5(9):1-13.
3. Rusciani A, Ricci F, Curinga G. Acne scar treatment. In: A.D Katsambas et al.
editors, European Handbook of Dermatological Treatments. Italy. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg: 2015. p. 1073-78.
4. Jacob CI, Dover JS, Kaminer MS. Acne scarring: a classification system and review
of treatment options. J Am Acad Dermatol 2001; 45: 109-117.
5. Monstrey S, Middlekoop E, Vranckx JJ, Bassetto F, Ziegler UE, Meaume S, Teot L.
Review updated scar management practical guidelines: non-invasive and invasive
measures. Journal of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgery 2014; 67: 1017-
25.
6. Habif PT. Wound Healing. In: Habif PT. author, Clinical dermatology: a color guide
to diagnosis and therapy. Sixth edition. China: Elsevier Inc.; 2016.p.e4-7.
7. Busse B. Introduction to wound healing. In: Busse B. editor, Wound management in
urgent care. USA: Springer International Publishing; 2016.p.1-5.
8. Falanga V, Imamoto S. In: Mechanisms of wound repair, wound healing, and wound
dressing. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrist BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K,
editor-editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 8th edition. New York:
Mc Graw Hill Companies: 2012.p.2984-96.
9. Fabbrocini G, Annunziata MC, D’Arco, De Vita V, Lodi G, Mauriello MC, Pastore F,
Monfrecola G. Review article: Acne scar: pathogenesis, classification and treatment.
Dermatology Research and Practice 2010; 1-13.
10. Leong M, Philip LG. Wound healing. In: Sabiston Textbook of Surgery. 19 th edition.
Amsterdam: Elsevier Saunders: 2012.p.984-92.
11. Zielin ER, Atashroo DA, Duscher D et al. Wound healing: an update. Regenerative
Medicine 2014; 9(6): 817-30.
12. Reinke MJ, Sorg H. Wound repair and regeneration. European Surgical Reasearch
2012; 49:35-43.
21
13. Beanes RS, Dang C, Soo C, Ting K. Skin repair and scar formation: the central role of
TGF-β. Expert reviews in molecular medicine 2003; 5:1-19.
14. O’Toole AE. Cutaneous response to injury and wound healing. In: Griffiths C, Barker
J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer D, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 9 th
edition. London: John Wiley and Sons Ltd: 2016.p.10.1-13.
15. Myers RS, Ghanem MA. Wound healing and scar formation. In: Farhadieh DR,
Bulstrode WN, Cugno S editors. Plastic and Reconstructive Surgery: Approaches and
Techniques. 1st edition. London: John Wiley and Sons Ltd: 2015.p.3-11.
16. Kerwin YL, ElTal KA, Stiff AM, Fakhouri MT. Scar prevention and remodeling: a
review of the medical, surgical, topical and light treatment approaches. International
Journal of Dermatology. 2014; 53: 922-36.
17. Goodman JG. Review article: Postacne scarring: a review of its pathophysiology and
treatment. American society for dermatologic surgery. 2000; 26:857-71.
18. Magnani RL, Schweigner SE. Fractional CO 2 lasers for the treatment of atrophic acne
scars: a review of the literature. Journal of Cosmetic and Laser Therapy 2014;16:48-
56.
19. Nilforoushzadeh MA, Minaravesh S, Jaffary F, Siadat AH, Haftbaradan E.
Comparison the efficacy of ablative CO2 and fractional CO2 laser on the healing og
cutaneous leismaniasis scars. Adv Biomed Res. 2014;3:1-4.
20. Rkein A, Ozog D, Waibel JS. Treatment of atrophic scars with fractionated CO 2 laser
facilitating delivery of topically applied poly-l-lactic acid. American Society for
Dermatologic Surgery. 2014;40:624-31.
21. Hedelund L, Haak CS, Togsverd-Bo K, Bogh MK, Bjerring P, Haedersdal M.
Fractional CO2 laser resurfacing for atrophic acne scars: a randomized controlled trial
with blinded response evaluation. Laser Surg Med. 2012;44:447-52.
22. Tedeschi A, Massimino D, Fabbrocini, Micali G. Chemical peel. In: Scuderi N, Toth
AB, editors. International Textbook of Aesthetic Surgery. Berlin: Springer
International Publishing: 2016.p.1095-104.
23. Gozali VM, Zhou B, Lou D. Effective Treatments of Atrophic Acne Scars. The
Journal of Aesthetic Dermatology. 2015; 8(5):33-9.
24. Chandrashekar BS, Ashwini KR, Vasanth V, Navale S. Retinoid acid and glycolic
acid combination in treatment of acne scars. Indian Dermatology Online Journal.
2015;6(2):84-8.

22
25. Lee JC, Daniels AM, Roth ZM. Mesotherapy. Microneedling, and chemical peels.
Clinical Plastic Surgery. 2016:1-13.
26. Lee JB, Chung WG, Kwahck H, Lee KH. Focal treatment of acne scars with
trichloroacetic acid: chemical reconstruction of skin scars method. Dermatol Surg.
2002;28:1017-21.
27. LaTowsky B, MacGregor JL, Dover JS, Arndt KA. Prevention and treatment of scars.
In: Alam M, editor. Evidence-based procedural dermatology. Hanover: Springer:
2012.p.149-73.
28. Hession TM, Graber ME. Atrophic acne scarring: a review of treatment options. The
Journal of Aesthetic Dermatology. 2015;8(11):507-9.
29. Levy LL, Zeichmer JA. Management of acne scarring part ii, a comparative review
of non-laser-based. minimally invasive approaches. American Journal of Clinical
Dermatology. 2012; 13(5):331-40.
30. Mohammad LM, Elgarhy LH, Saad DG, Mostafa WA. Fractional ablative CO 2 laser
treatment versus scar subcision and autologous fat transfer in the treatment of atrophic
acne scars: new technique. J Surg Dermatol. 2016;1(1):29-16.
31. Ramadan SAER, El-Komy MHM, Bassiouny SA, El-Tobshy AE. Subcision versus
100% trichloroacetic acid in the treatment of rolling acne scars. Dermatol Surg
2011;37:626-33
32. Donofrio LM. Soft tissue augmentation. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrist BA,
Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, editor-editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th edition. New York: Mc Graw Hill Companies: 2012.p.3044-52.
33. Dayan SH, Bassichis BA. Facial dermal fillers: selection of appropriate products and
techniques. Aesthetic Surgical Journal. 2008;28:335-47.
34. Beer K. A single-centre open-label study on the use of injectable poly-l-lactic acid for
the treatment of moderate to severe scarring from acne or varicella. American Society
for Dermatologic Surgery. 2007;33:S159-67.
35. Aust MC, Fernandes D, Kolokythas P, Kaplan HM, Vogt PM. Percutaneous collagen
induction therapy: an alternative treatment for scars, wrinkles, and skin laxity.
American Society of Plastic Surgeon. 2008;1421-9.
36. Alam M, Han S, Pongprutthipan M, Disphanurat W, Kakar R, Nodzenski M et al.
Efficacy of a needling device for the treatment of acne scars: a randomized clinical
trial. JAMA dermatol. 2014;150(8):844-9.

23
37. Tziotzios C, Profyris C, Sterling J. Cutaneous scarring: pathophysiology, molecular,
mechanisms, and scar reduction therapeutics. part II. strategies to reduce scar
formation after dermatologic procedures. Journal of American Academy
Dermatology. 2012; 66:13-24.
38. Gold MH, McGuire M, Mustor TA et al. Updated international clinical
recommendations on scar management: part II – algorithms for scar prevention and
treatment. American Society for Dermatologic Surgery. 2014;40:825-31. -5.

24

Anda mungkin juga menyukai