Anda di halaman 1dari 4

Sepucuk Malam untuk Satria

Berkelakar tentang malam selalu menyudutkan ingatan kepada kamu. Tentang kamu yang
menyukai gelap. Entah langit, atau mungkin ruang kamar. Kamu selalu bercerita tentang gelap,
tentang malam kelam yang menenangkan. Tentang langit senja yang mungkin menurutmu
menyilaukan, semburat cahaya kemerah-merahannya begitu mencolok. Tidak begitu suka kamu
memandangnya. Semenjak kamu selalu bercerita tentang gelap, beberapa kali aku duduk di atap
rumah ku jam tujuh malam. Memandangi langit yang kadang begitu ramai bintang gilang-
gemilang, kadang begitu sepi, sunyi tanpa apapun yang membuat langit memantulkan bias cahaya.
Hanya titik-titik hitam bersenyawa angina.Ternyata memang memesona. Hitam menjadi satu-
satunya warna yang tersedia untuk ditonton di langit sana. Aku merasakan ada hal berbeda, merasa
bahwa setiap perjalanan kadang memang tidak membutuhkan cahaya untuk dilewati. Kita
membutuhkan gelap itu agar dapat merasakan apa itu sendirian. Tidak perlu melihat sana-sini
karena memang tidak terlihat. Sampai merasakan tenang, lalu menghargai kerinduan pada cahaya.
Kamu mungkin sudah tahu, aku ini penggemar beratnya senja. Sehingga tidak terlalu kenal dengan
malam. Semenjak kamu menjadi kamu bagiku malam menjadi penting juga. Atau jangan-jangan
sebenarnya yang penting itu kamu ya?. Ha ha, aku tertawa memikirkan itu.

Aku selalu menceritakan betapa senja sangat indah, semburat mega-mega yang berwarna
keemasan lengkap dengan kilauannya yang kadang juga membuat ku memejamkan mata sebentar.
Tentang bagaimana aku selalu bersedia menghabiskan napas untuk sekedar mengantarkan senja
fatamorgana itu pulang ke balik cakrawala. Aku selalu bahagia. Kemudian kamu memberiku
pendapat lain, "Tapi langit malam gelap lebih indah" katamu singkat. Kamu harus tahu, seseorang
yang di dalam hatinya sudah tertambat perasaan yang disebut cinta, pasti akan cenderung lebih
mudah memercayai orang yang dicintainya itu. Kalimatmu tentang langit malam yang gelap lebih
indah membuatku percaya. Aku jadi menyukai gelap juga. Boleh jadi memang benar, aku ini
menyukai kamu bukan gelap.

Satria, satria yang sendu. Kalau kamu masih ingat, sekali waktu aku pernah menyangkal
juga perihal malam dan gelap, hening dan sunyi yang selalu kamu sukai. Bahwa menurutku senja
lebih menenangkan, lebih mengagumkan. Namun sekali lagi Satria, memandangi langit gelap
tanpa ada cahaya apapun untuk dinikmati menjadi lebih indah karena aku teringat kamu. Tanpa
sadar aku jadi ikutan juga sering menatap lama pada langit malam yang gelap. Sambil sesekali
tertawa dalam hati, aku sudah gila sepertinya ya Satria? Menyukai kamu begitu rupa, begitu penuh
daya sampai aku menyukai hal-hal yang sebelumnya tidak menjadi apa yang sering aku nikmati.

Pun tentang tangisan yang pernah kamu pecahkan di depanku. Tentang pujian untuk
masakanku yang mungkin saja kamu hanya ingin membuatku tidak merasa bersalah karena
rasanya tidak enak. "Masakan ini enak, boleh dihabiskan? " katamu selalu saja seperti itu setiap
kali aku berkesempatan menyajikan makan. Sekedar tumis kangkung yang suatu ketika pernah
kamu katakan membuatmu selalu teringat. Kemudian tentang kucing kecil yang tertidur pada
pangkuan tanganmu. Sepertinya itu hangat ya Satria?. Maklum sajalah satria, selama ini aku tidak
pernah tahu bagaimana rasanya sekadar bersalaman denganmu. Tapi bukan itu yang aku sesali,
malah aku merasa sangat beruntung. Bukankah itu baik bagi dua orang berbeda jenis seperti kita?.
Bukan mahrom.
Satria, sekarang aku sedang teringat bagaimana aku juga menjadi sangat bersedih ketika
tahu kamu sakit. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan. Aku mencintai sedemikian rupa namun cara
membuatmu sembuh saja aku tidak tahu. Sangat menyedihkan. Aku menghabiskan energi makan
malam ku untuk memikirkan kamu, apakah ada obat di meja samping tempat tidur mu yang bisa
diminum? Atau sekadar segelas teh tawar hangat agar kamu tidak merasa haus, atau segelas air
putih yang bagus untuk tubuh. Adakah semua itu tersedia? Aku ingin memberikan itu semua
Satria. Aku hanya bisa memutuskan untuk datang membawa satu kotak makan siang menu sehat
esok harinya. Paling tidak agar kamu tetap bisa menyantap makanan kalau kamu tidak kuat keluar
sendirian. Tidak masalah meskipun aku hanya bisa berkunjung selama tiga menit saja. Namun
Satria, hatiku pernah juga runtuh luruh menyeluruh ketika aku melihat ada satu cincin melingkar
di jari manismu. Pikiranku melayang ke mana-mana. Apakah mungkin kamu sudah memiliki
orang lain untuk kamu biarkan tinggal pada bagian hatimu?. Patah hati, marah, kecewa. Rupa-
rupanya seperti itulah keadaan ku saat melihat cincin itu Satria.

Adakalanya aku ini bersedih juga. Kamu tahu Satria? Sejak melihatmu memakai cincin di
jari manis. Aku banyak berdialog dengan diri sendiri di alam pikiran. Menerka-nerka, menebak-
nebak. Melelahkan. Sampai aku tahu jawaban yang sebenarnya bahwa itu cincin kesayangan,
bukan tanda apa-apa. Aku lega pada akhirnya. Satria, cinta ternyata bisa merubah seseorang
menjadi demikian rupa agar bisa paling tidak mendekati tipe untuk orang yang dicintai. Aku
berusaha merubah diriku, paling tidak aku tahu bahwa pasangan kita adalah cerminan, aku ingin
menjadi pantulan bias yang mencerminkan kamu. Aku yang tidak punya bakat bertutur dengan
lembut, belajar membiasakan diri supaya tidak terdengar sangar kalau bicara. Ha ha ha. Bukankah
ini terdengar lucu?. Temanku kadang merasa heran Satria. Mereka aneh melihat perubahanku.
Mereka juga aneh terhadap aku yang menyukai gelap. Lama memandang langit malam sendirian.
Juga mereka tidak mengerti tentang cinta yang aku definisikan. Katanya aku ini begitu naif karena
menyukai kamu. “Dia itu shaleh, daripada akhirnya kamu terluka karena tidak dipilih, lebih baik
pendam saja”, begitu kata temanku Satria. Kamu tahu lah Satria, aku ini tidak banyak bergaul
dengan wanita-wanita alim yang bersahaja seperti para akhwat cantik luar biasa kalau sesekali aku
ikut kajian islam. Iya, sesekali.

Aku banyak berteman dengan wanita yang sama denganku, yaa biasa saja. Kadang kami
masih suka nongkrong-nongkrong atau terlambat shalat. Begitulah aku Satria. Aku merasa malu
juga sebenarnya untuk mengagumi kamu. Tapi cinta bukan perihal itu semua bukan?.
Lihatlah Satria, si wanita yang merasa terlalu percaya diri ini. Aku masih percaya diri untuk
menjadi juara bagimu. Aku masih percaya diri bisa menjadi wanita yang baik untuk menjadi teman
menghabiskan teh hangat sambil bercakap-cakap depan teras rumah bersamamu. Aku ini memang
begitu mahir berkhayal ya Satria. Kamu boleh menertawakanku, asalkan tidak membuat patah rasa
yang sudah ku asah.

Suatu sore saat aku melihat senja sudah hampir seluruhnya pulang ke balik cakrawala, aku
masih duduk menunggu kedatangan langit malam yang indah lengkap dengan bintangnya. Benar
saja, langit menjadi gelap kemudian. Ada beberapa bintang ku lihat, juga bulan hampir satu
lingkaran penuh tentu saja. Angin menjadi lebih dingin, dan rumah-rumah hanya terlihat dengan
cahaya lampu neon pada setiap ruangan. Andai saja bisa aku mengirimkan langit gelap ini untukmu
Satria. Agar bisa selalu kamu lihat tanpa batas waktu. Akan aku lakukan semua itu.
Batas waktu, menjadi hal yang rumit untuk aku definisikan. Bagaimana aku ini begitu
menjadi tidak tahu waktu untuk mengagumi mu. Setiap waktu adalah perihal deru napas sembari
mengingatmu. Aku ingin membuktikan bahwa perasaanku tidak sebatas hanya kata-kata.
Bukankah kata-kata sekarang ini sudah sulit diberi makna? Setiap orang begitu mahir berkata-kata
tanpa tahu apa yang dimaksudkan dari kata-kata nya tersebut. Aku ingin lebih dari itu. Aku
pandangi langit yang sudah tidak kelihatan kebiru-kebiruan nya, juga awan yang sudah tidak jelas
ke mana arah geraknya. Bagaimana jadinya jika aku mengambil malam lengkap dengan kemerlap
bintang dan cahaya bulan yang tidak terlalu terang lalu ku masukan ke dalam keranjang rotan dan
ku kirimkan kepadamu?. Mungkin kamu akan bisa menikmati gelap yang selalu kamu sukai.

Begitulah aku satria. Aku selalu mengkhayalkan hal-hal paling mungkin aku lakukan
untukmu. Sekalipun aku kadang dianggap tidak seperti aku pada biasanya oleh sahabat-sahabatku.

Satria, rupa-rupa nya rasaku tak cukup kuat meyakinkan semesta untuk mendekatkan aku
kepadamu. Atau mungkin kebenarannya adalah bahwa aku tidak pernah benar-benar menjadi lebih
dari seorang teman bagimu. Seperti nya senja dan malam memang akan selalu berjauhan, tidak
pernah dalam satu irisan. Kecuali saat titik pergantian. Di mana senja sudah redup cahaya kemerah-
merahannya, menjadi hitam kebiru-biruan. Hanya sekelebat, sesaat saja. Begitulah perasaan ini
harus aku akhiri Satria. Perasaan paling luar biasa indah selama aku berperasaan. Yang membuat
aku selalu senang membayangkan banyak hal indah sembari mata terpejam malam-malam.

Aku masih percaya bahwa alam semesta semuanya berkaitan. Semesta tidak seperti garis
lurus tapi satu lingkaran dengan semua hal yang ada di dalamnya sudah saling terkoneksi. Tidak
ada hal yang kebetulan Satria. Seperti pertemuan aku dan kamu pertama kali nya dulu. Kemudian
hadirnya perasaan yang tak terbantahkan ini. Semua ini bukan sekadar kebetulan. Semesta yang
mengaturnya, bersama keajaiban sang waktu atas titah Yang Maha Kuasa. Adalah aku, satria.
Makhluk bumi yang dipenuhi perasaan tertahan di hatinya. Pura-pura menerima dengan senyum
ketika kamu mengawali pembicaraan dengan 'Maaf'. Bukankah sudah begitu sering orang hendak
meninggalkan dengan kata maaf?. Aku bahkan kesulitan berpikir. Apakah aku ini akan
ditinggalkan oleh kamu atau aku akan kehilangan perasaan yang aku bangun sendirian. Sekarang
aku benar-benar hanya mampu memandangmu lewat bayangan yang ku ciptakan sendiri. Bersama
malam kelam, yang kadang penuh bintang kadang juga begitu sepi. Demikianlah aku berakhir.
Bersama perasaan yang tidak akan pernah bisa kamu tahu sebesar apa ia tumbuh. Bersama rindu
yang selalu aku haturkan kepada angin. Bersama rasa yang masih terus membara.

Cinta pernah meluruhkan segenap harapan dalam bait-bait doa malam kelam. Sengaja
diruntuhkan meski tahu sengaja ku bangun perlahan-lahan. Dengan sayang, dengan sabar, dengan
hati. Begitulah. Rupa-rupanya cinta dalam merekahnya mega-mega cahaya kemerahan senja
beradu dengan pendaran gemerlap bintang dan bulan di langit malam. Matahari seperti lupa
ingatan. Aku pun tidak mengerti. Bunga ini, menjadi potret terakhir bagaimana cinta masih dapat
dilihat indah kemekarannya. Setelah ini, biarkan tanah mengubur dalam segalanya yang sudah
aku tumbuhkan. Aku tidak akan membencimu. Hanya saja, saat ini dan entah sampai kapan
waktunya. Aku sulit untuk sekadar berdamai dengan hati sendiri.

Bagaimana tidak, Satria. Aku telah menyerahkan diriku sendiri hanya untuk cinta yang
semu. Yaa, semu Satria. Cinta yang aku tumbuhkan untukmu itu semu. Tidak jelas apa yang akan
aku panen nanti nya. Bukan kesalahanmu memang, dan pula kamu juga pasti tidak akan terima
disalahkan. Sepenuhnya ini sebabku sendiri. Siapa suruh aku sok tahu? Menumbuhkan cinta,
padahal kamu sendiri tidak pernah meminta. Aku yang begitu bodoh Satria. Aku kehilangan
kemampuanku untuk menimbang-nimbang segala hal yang akan aku lakukan. Hanya karena aku
begitu menyerahkannya perasaan untuk ditumbuhi cinta kepadamu. Ah, sudahlah. Kata-kata kini
sudah tidak bisa lagi menggambarkan bagaimana aku menyaksikan kehancuran yang terjadi pada
diri ku sendiri. Sekali lagi, ini semua memang bukan salahmu. Aku akan menahan semua luka nya
sendiri, seperti dulu aku menahan cinta untuk tidak membludag di depan mu.

Sekarang, aku duduk termangu di bawah pendaran kilauan senja yang menyemburat
memenuhi langit bagian barat. Menelan setiap jengkal jingga di ujung langit. Lama juga aku
memejamkan mata. Akhirnya aku buka mataku, kulihat kembali foto kita berdua yang diambil
sembari memegang kucing kecil liar yang selalu ada di rumahku. Memandangnya nanar. Aku telah
berakhir sendirian dengan kisah cinta ku sendiri Satria. Rasa ku sekarang sudah menjelma menjadi
isyarat. Sehalus angin, setulus langit, seindah senja. Satria, nanti malam jika kamu lihat langit
begitu gelap. Itulah malam yang ingin aku kirimkan kepadamu. Bersama rasa yang masih selalu
sama, bersama harap yang masih selalu ada. Namun semua nya ku kubur paksa dalam-dalam.

Senja, Jatinangor 2019.

Anda mungkin juga menyukai