Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

CHILD ABSENCE EPILEPSY

Pembimbing :
dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp.S

Disusun oleh :
Suci Sabila (406172033)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO
PERIODE 14 OKTOBER 2019 – 17 NOVEMBER 2019
HALAMAN PENGESAHAN

Penyusun : Suci Sabila (406172033)


Perguruan Tinggi : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
Periode : 14 Oktober-17 November 2019
Judul : Child Absence Epilepsy

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Saraf.

DEWAN PENGUJI
Pembimbing dan penguji : dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp.S ( )
Ditetapkan di : Semarang
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena penulis dapat menyelesaikan
tugas referat berjudul “Child Absence Epilepsy” sebagai salah satu prasyarat
kelulusan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang.
Selama proses penyusunan tugas laporan ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung penulis dalam
penyusunan referat ini, terutama kepada dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp.S selaku
pembimbing dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak. Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga referat
ini dapat memberikan manfaat.

Semarang, 07 November 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Kejang didefinisikan sebagai kejadian mendadak berupa terganggunya
kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan otonom yang sifatnya
involunter dan berlangsung secara intermiten. Kejang disebabkan karena cetusan
listrik abnormal, berlebihan, dan hipersinkron dari sekelompok sel-sel saraf
kortikal.2
Definisi klasik dari epilepsi mengacu pada kejang terus menerus atau
berulang yang berlangsung lebih dari 30 menit tanpa pemulihan kesadaran. Selama
kejang, aliran darah otak, oksigen, konsumsi glukosa, karbon dioksida dan produksi
asam laktat meningkat. Kejang singkat jarang menghasilkan dampak pada otak.
Sedangkan pada kejang yang berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis
metabolik, hiperkalemia, hipertermia, hipoglikemia, dan kondisi ini dapat
menyebabkan kerusakan neurologis permanen.3
Salah satu bentuk kejang yang sering dijumpai pada anak adalah kejang
absans atau sering dikenal dengan istilah Child absence epilepsy atau Petit mal
seizure. Kejang absans adalah tipe kejang umum yang sering muncul pada anak-
anak dan dikarakteristikkan dengan adanya periode tatapan tidak responsif yang
berlangsung selama beberapa detik lalu langsung diikuti dengan pemulihan (sadar).
Kejang absans dapat terjadi hingga ratusan kali dalam sehari. Umumnya keluarga
datang dengan keluhan anaknya yang sering melamun dan sulit konsentrasi.
Diagnosa dini dan tatalaksana yang tepat penting untuk dilakukan sebelum kejang
absans berkembang menjadi tipe kejang lainnya.
BAB 2
LATAR BELAKANG

1. Definisi
Child Absence Epilepsy merupakan suatu sindrom epilepsi dengan tipe
absans. Kejang absans merupakan salah satu bentuk dari epilepsi umum
(generalized seizure). Ditandai dengan hilangnya kesadaran selama beberapa saat,
dan kemudian kembali seperti biasa. Kejang absans terjadi pada epilepsi general
idiopatik atau simptomatik (1). Epilepsi sendiri berarti sekelompok gangguan kronis
yang ditandai dengan kejang yang berulang dan tak terduga. Sedangkan kejang
(seizure) merupakan manifestasi dari disfungsi sementara pada otak yang
disebabkan oleh hipersinkronisasi yang abnormal pada pelepasan arus listrik di
neuron kortikal yang bisa melakukan limitasi dengan sendirinya (self limited) (2) (3).

2. Epidemiologi
3 – 4% gangguan kejang merupakan absence seizure. Di Amerika Serikat,
dari 100.000 orang, terjadi 2 – 8 kasus kejang absans. Dua pertiga dari penderita
adalah perempuan. Penderita kebanyakan merupakan anak kecil yang berusia 4 – 8
tahun, dengan onset puncak pada usia 6 -7 tahun (1).
Kejang absans tidak menimbulkan kematian secara langsung, melainkan
penyakit yang mendasari yang mengakibatkan kematian, kecuali pada seseorang
yang mengalami kejang absans saat berkendara (1).

3. Etiologi
Absence seizure merupakan kelompok epilepsi umum idiopatik.
Penyebabnya bukan karena adanya kerusakan struktural pada otak dan sifatnya
idiopatik. Namun kini para peneliti melakukan pendekatan secara genetik. Pasien
dengan epilepsi absans anak (child absence epilepsy) dapat memiliki riwayat
keluarga yang menurun secara autosomal dominant (4). Mutasi genetik yang terjadi
dapat menimbulkan gangguan pada kanal ion, terutama kanal T-kalsium (5).
4. Patofisiologi
Salah satu mekanisme patofisiologi pada kejang general adalah interaksi
thalamokortikal yang dapat mendasari typical absence seizure. Sirkuit
thalamokortikal merupakan penghubung utama antara sistem sensoris perifer dan
korteks serebri. Sirkuit ini berperan sebagai regulator keadaan otak seperti
kesadaran dan kesiagaan serta tidur NREM tahap 3 dan 4, yang mana merupakan
tanda khas dari osilasi sirkuit thalamocortical. Sirkuit thalamokortikal memiliki
ritme osilatori dengan periode eksitasi dan penghambatan yang relatif meningkat
sehingga menghasilkan osilasi thalamokortikal yang dapat terdeteksi. Rangkaian
sirkuit terdiri atas neuron piramidal nonkorteks, neuron relay thalamus, dan neuron
dalam nukleus retikularis pada thalamus. Pada saat terjadi serangan, ritme sirkuit
thalamokortikal berubah menjadi gelombang paku atau spike-wave discharge
(SWD) (4).
Selama terjadi serangan, fungsi normal dari jalur thalamokortikal terganggu
sehingga menyebabkan munculnya spike-wave discharge. Voltage-gated calcium
channel berperan penting dalam proses timbulnya spike-wave discharge pada
manusia. Voltage-gated calcium channel adalah mediator kunci pada masuknya
kalsium ke dalam neuron sebagai respon atas terjadinya depolarisasi membran.
Sistem saraf manusia memiliki beberapa jenis kanal kalsium. Diantaranya adalah
low voltage-activated calcium channel (contohnya T-type channel), dan high
voltage-activated (HVA) calcium channel. Kanal LVA diaktifkan oleh depolarisasi
kecil dan merupakan kontributor rangsangan neuronal, sedangkan kanal HVA
membutuhkan depolarisasi membran yang lebih besar untuk membuka. (4)
T-type channel berperan penting pada osilasi pada neuron relay thalamus,
yang dapat meningkatkan aktifitas sinkronisasi pada neuron piramidal neokortikal.
Kunci dari osilasi tersebut adalah ambang batas bawah kanal kalsium yang tidak
tetap, yang dikenal juga sebagai arus T-kalsium. Percobaan pada binatang coba,
penghambatan dari nukleus retikular thalamus mengontrol aktifitas saraf-saraf relay
thalamus. Saraf-saraf nukleus retikular thalamus merupakan inhibitori dan berisi
gamma aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmiter utamanya.
Neurotransmiter itu meregulasi aktifasi dari kanal T-kalsium (4).
Kanal T-calcium memiliki 3 keadaan fungsional: terbuka, tertutup, dan
tidak aktif. Kalsium masuk ke sel ketika kanal T-kalsium terbuka. Beberapa saat
setelah tertutup, kanal itu tidak dapat terbuka lagi sampai mencapai keadaan
inaktifasi. Neuron relay thalamus memiliki reseptor GABA-B pada badan sel dan
menerima aktifasi tonus oleh keluarnya GABA dari nukleus retikularis thalamus
menuju neuron relay thalamus. Hasilnya, terjadi hiperpolarisasi yang mengubah
keadaan kanal T-kalsium menjadi aktif, sehingga menyebabkan kanal T-calcium
terbuka dan tersinkronisasi setiap 100 milidetik (6).
Pada absence seizure, terjadi mutasi genetik pada kanal kalsium tipe T,
dimana terjadi peningkatan aktifitas kanal kalsium tipe T itu. Peningkatan aktifitas
tersebut menyebabkan meningkatkan burst-mode firing pada thalamus dan
meningkatkan aktifitas osilasi pada sistem thalamokortikal. Akibatnya, terjadi fase
tidur non-REM yang sebenarnya merupakan aktifitas fisiologis dari sistem
thalamokortikal pada saat manusia sedang tidur. Namun pada kejadian ini, fase non-
REM terjadi pada saat pasien sedang sadar penuh. Hal ini mungkin bisa
menjelaskan klinis dari absence seizure dimana pasien menjadi tidak sadar atau
“bengong” pada saat sedang sadar penuh (4).
Temuan di beberapa hewan coba untuk peneitian absence seizure, telah
menunjukkan bahwa antagonis reseptor GABA-B mensupresi kejang absans,
sedangkan agonis GABA-B memperburuk kejang. Antikonvulsan yang mencegah
absence seizure, seperti valproic acid dan ethosuximide, mensupresi arus T-calcium
sehingga kanalnya tertutup (4).

5. Klasifikasi
Secara umum, kejang dapat dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu kejang
fokal (parsial) yang hanya melibatkan suatu bagian kecil dari otak pada satu
hemisfer saja, dan yang kedua adalah kejang umum (general), yang melibatkan
kedua hemisfer otak. Sindrom epilepsi umum dapat dibedakan lagi menjadi epilepsi
umum simptomatik dan idiopatik.
Pada epilepsi umum idiopatik, dapat ditemukan jenis kejang absans. Kejang
absans terdiri dari dua macam, yaitu typical absence seizure dan atypical absence
seizures. Sedangkan typical absence dibedakan lagi menjadi dua, yaitu simple dan
complex (5).

Gambar 2.1 Klasifikasi kejang

I. Typical Absence Seizures


A. Simple: impairment of consciousness only
B. Complex
1. With mild clonic components
2. With changes in tone
3. With automatism
4. With autonomic components
II. Atypical Absence Seizures

Gambar 2.2 Klasifikasi kejang absans

6. Tanda dan Gejala Klinis


Typical absence seizures memiliki ciri khusus seperti hilangnya fungsi
mental, khususnya hilangnya perhatian, respons terhadap lingkungan sekitar, serta
hilangnya memori saat kejang terjadi. Kejang berlangsung sangat mendadak, tanpa
adanya aura, dan terjadi beberapa detik sampai lebih dari 1 menit. Aktifitas yang
sedang berlangsung tiba-tiba terhenti, ekspresi wajah anak juga berubah dan terlihat
seperti patung. Pada typical absence seizure tipe simple, pasien seperti memandang
ke tempat yang jauh tanpa ada gerakan. Saat kejang berakhir, pasien segera
melanjutkan aktifitas yang tadi sempat terhenti. Kelelahan pada fase postictal tidak
terjadi, namun pasien terkadang merasa bingung karena mereka seperti melewatkan
waktu beberapa saat (time loss). Time loss inilah yang bisa menjadi petunjuk bahwa
telah terjadi kejang absans. Pada typical absence tipe complex, automatism sering
terjadi, seperti menjilat bibir, mengunyah, menggaruk, atau meraba-raba pakaian.
Semakin panjang kejang, maka automatism akan hampir pasti terjadi.
Atypical absence seizure merupakan absans dengan onset yang munculnya
perlahan dan tidak mendadak. Namun kejang yang terjadi berlangsung lebih lama
daripada typical absence seizure dan jarang didapatkan automatism seperti pada
typical absence seizure (5).
7. Diagnosis
Anamnesa
Untuk mengetahui apa yang terjadi pada pasien, kita harus mengetahui
keadaan yang terjadi pada saat serangan. Dokter harus mengetahui kejang apa yang
paling sering terjadi pada anak-anak. Selain itu dokter harus mewawancarai saksi
mata (keluarga, kerabat) agar mengetahui kondisi pasien ketika serangan. Hasil
yang dokter peroleh dari anamnesa akan menjadi acuan dan dasar pemeriksaan yang
akan dilakukan, baik itu pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Selain
itu, anamnesa juga bisa menjadi dasar pemberian terapi pada pasien.
Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik dan neurologi pada anak dengan kejang absans masih dalam
batas normal. Dengan menyuruh pasien bernafas dengan pola hiperventilasi selama
3 – 5 menit dapat menyebabkan kejang absans. Prosedur ini dapat dengan mudah
dilakukan (1).
Pada pemeriksaan klinis, typical absence seizure muncul dengan
terhentinya bicara pasien secara tiba-tiba dan hamya berlangsung singkat. Pasien
tidak memiliki gejala awal atau fase postictal, dan bila mereka sedang melakukan
aktifitas motorik yang besar seperti berjalan, mereka dapat berhenti dan berdiri
tanpa adanya gerakan, dan kemudian mereka dapat melanjutkan jalannya kembali.
Anak-anak tidak merespon apapun di sekitarnya selama kejang dan tidak memiliki
ingatan akan apa yang telah terjadi selama serangan. Mereka secara umum tidak
sadar bahwa kejang sudah terjadi (1).
Atypical absence seizure yang terjadi pada pasien dengan epilepsi
simptomatik general biasanya berlangsung lebih lama daripada typical absence, dan
onset serta resolusinya selalu gradual. Pada epilepsi simptomatik general, temuan
fisik dan neurologi bisa abnormal, sesuai dengan gangguan yang mendasari.
Pemeriksaan fisik dapat menimbulkan dugaan penyakit genetik, seperti gangguan
neurokutaneus (misalnya tuberous sclerosis) atau gangguan metabolisme sejak
lahir. Pemeriksaan neurologis dapat menunjukkan tanda-tanda keterlambatan
pertumbuhan atau tanda-tanda yang lebih spesifik, seperti parese spastik pada
cerebral palsy (1).
Pemeriksaan laboratorium
Ketika mengevaluasi anak dengan tatapan kosong, tes laboratorium yang
diindikasikan adalah tes untuk mengevaluasi abnormalitas metabolit atau adanya
ingesti obat atau toksik (terutama pada anak yang lebih tua). Apabila diperoleh
riwayat yang jelas tentang sifat episodik serangan, maka EEG bisa diagnostik dan
tes laboratorium tidak perlu dilakukan. Saat mengevaluasi anak dengan
keterlambatan pertumbuhan dan jika pada EEG didapatkan atypical absence, maka
pemeriksaan untuk penyebab yang mendasari sangat dibutuhkan (1).
Pemeriksaan Neuroimaging
Temuan neuroimaging pada epilepsi idiopatik adalah normal, namun
neuroimaging tidak diindikasikan jika ada pola typical. Neuroimaging sering
dilakukan pada anak dengan kejang tonik klonik general untuk menyingkirkan
penyebab struktural pada kejang. Hasil normal pada temuan neuroimaging
membantu diagnosa epilepsi idiopatik. Untuk epilepsi cryptogenik general dan
simptomatik general, neuroimaging dapat membantu diagnosa pada semua
gangguan struktural yang mendasari. MRI lebih sensitif untuk beberapa kelainan
anatomis tertentu dibandingkan dengan CT scan.
Electroencephalography (EEG)
Satu-satunya test diagnostik untuk kejang absans adalah EEG. Pada anak
dengan kejang absans, rekaman EEG rutin ketika anak terjaga sering patogmonis.
Semburan frontal dominan, gelombang paku 3 Hz yang tergeneralisasi nampak saat
kejang. Pada sindrom dengan kejang absans yang jarang (juvenile absence epilepsy
atau juvenile myoclonic epilepsy), rekaman saat terjaga bisa normal, rekaman saat
terjaga dan tidur mungkin juga diperlukan.
Gambar 2.3 EEG typical absence seizure dengan aliran gelombang paku 3 HZ

EEG pada typical absence memiliki aktifitas latar belakang yang normal.
Pada typical absence seizure dapat ditemukan gelombang paku 3Hz. Frekuensinya
sering lebih cepat pada saat onset dengan sedikit perlambatan pada fase akhirnya.
Onset dan fase akhir dari kejang ini bersifat mendadak, dan tidak ditemukan
perlambatan pada EEG postictal. Hiperventilasi juga sering memicu kejang absans
dan harus menjadi bagian rutin dalam pelaksanaan EEG pada anak.
Atypical absence seizure ditandai dengan gelombang paku paroksimal
lambat, biasanya 2,5Hz. Onsetnya sangat sulit untuk dipahami, dan perlambatan
EEG postictal dapat dijumpai.
EEG pada atypical absence seizure dapat dijumpai ketidaknormalan pada
aktifitas latar belakangnya. Korelasi klinis antara kompleks gelombang paku yang
tergeneralisasi dengan klinis kejang tidak jelas seperti yang ada pada typical
absence seizure.
Gambar 2.4 Aliran gelombang paku lambat 2,5 HZ (pola interictal pada anak dengan kejang dan
keterlambatan pertumbuhan).
8. Diagnosis Banding
Absence seizure memiliki beberapa diagnosis banding:
1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
2. Complex Partial Seizures
3. Confusional States and Acute Memory Disorders
4. Febrile Seizures
5. First Pediatric Seizure
6. Migraine
7. Psychogenic Nonepileptic Seizures
8. Reflex Epilepsy
9. Shuddering Attacks
10. Status Epileptikus
Kejang absans dapat rancu dengan kejang parsial kompleks, terutama pada
kasus kejang memanjang dengan automatism, tabel di bawah ini dapat membantu
untuk membedakan kejang absans dengan parsial kompleks, serta membantu
membedakan antara typical absence dan atypical absence (1).
Gambar 2.5 Perbedaan antara typical absence seizure dengan complex partial seizure

Gambar 2.6 Perbedaan antara typical absence seizure dan atypical absence seizure
9. Komplikasi
Beberapa orang yang memiliki absence seizure, selanjutnya akan
mengalami kejang tonik klonik atau grand mal. Selain itu, bisa saja pada pasien
absence seizure dapat mengalami kesulitan belajar dan mengalami absence status
epileptikus (1) (7).
10. Terapi
Terapi terutama menggunakan sodium valproate atau ethosuximide, yang
memiliki efikasi yang sama untuk mengontrol kejang pada 75% pasien. Monoterapi
dengan Lamotrigine kurang efektif jika dilihat dari pasien yang bebas kejang hanya
kurang dari 50%. Bila monoterapi gagal atau terjadi efek samping, penggantian
dengan obat yang lain menjadi alternatif. Menambahkan lamotrigine dosis kecil
pada sodium valproat dapat menjadi kombinasi yang bagus untuk kasus resistensi.
Namun sebuah penelitian menegaskan bahwa ethosuximide dan valproic acid
merupakan obat yang paling efektif dibandingkan dengan lamotrigine pada terapi
kejang absans pada anak (8)
Ethosuximide (ESM) adalah garam kristal bewarna putih yang larut dalam
air dan alkohol. Obat ini memberikan blokade yang tergantung pada tegangan dari
nilai ambang-batas tegangan kalsium tipe T pada thalamus. Blokade itu merupakan
mekanisme kerja dalam menghentikan proses kejang absans. Obat ini juga
meningkatkan GABA post-sinaps, namun hal itu nampaknya tidak berperan dalam
proses anti-epilepsi. Penggunaan obat ini sangatlah terbatas karena hanya
digunakan untuk terapi absence seizure. Ethosuximide tidak memiliki efek samping
yang serius (9).
Valproate (VPA) merupakan obat yang paling sering digunakan untuk
kejang absans. Mekanisme kerjanya masih belum jelas. VPA banyak
mempengaruhi reseptor GABA-A, dan mekanisme inilah yang diduga menjadi efek
antiepilepsi utama. VPA meningkatkan konsentrasi GABA sinaptosomal dengan
aktifasi enzim sintesa GABA asam glutamat dekarboksilase. Selain itu juga
menghambat katabolisme GABA transaminase. Pada area hipokampal, VPA
menurunkan ambang batas konduktansi kalsium dan potassium. Obat ini telah
dilaporkan memiliki potensi teratogenik (9).
Berikut adalah rangkuman dari terapi medikamentosa pada Child Absence Epilepsy

Gambar 2.7 Terapi medikamentosa pada Child Absence Epilepsy


11. Prognosis
 Kebanyakan pasien berespon positif atau sembuh total pada medikasi yang
tepat, dan kira-kira dua pertiga pasien mengalami penurunan intensitas
kejang pada masa pubertas. Faktor positif untuk kesembuhan termasuk
berkurangnya kejang tonus klonus, tidak ada riwayat pada keluarga, dan
tidak ada riwayat status epileptikus nonkonvulsif general (1) (8)
 Jika kognisi dan status tidak normal, prognosisnya buruk (8)
 Pasien yang kemungkinan memiliki resiko untuk terjadinya rekurensi
walaupun pengobatan sudah dihentikan:
o Frekuensi kejang yang tinggi sebelum pengobatan
o Abnormalitas neurologis
o Retardasi mental
o Abnormalitas EEG yang terus menerus (10)
12. Algoritma
Berikut ini merupakan algoritma diagnosa penyakit epilepsi beserta
pengobatannya.

Gambar 2.8 Algoritma diagnosa penyakit epilepsi beserta pengobatannya (11)


KESIMPULAN
Kejang absans merupakan salah satu bentuk dari epilepsi umum, dan
termasuk dalam kelompok kejang umum idiopatik. Saat serangan, pasien
mengalami gangguan kesadaran mendadak yang berlangsung selama beberapa
detik. Selama itu pula, aktifitas motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi, mata
pasien memandang jauh ke depan dan terkadang mengalami automatisme. Setelah
itu pasien sadar dan langsung melakukan aktifitas seperti biasa.
Bangkitan disebabkan oleh hipersinkronisasi arus listrik di neuron kortikal
yang sifatnya self-limited. Absence seizure dialami oleh 2-8 orang dari populasi
yang berjumlah 100.000 orang, dan 3-4% kejadian kejang merupakan absence
seizure. Kejang ini tidak menimbulkan kematian secara langsung. Kematian terjadi
sebagai akibat dari penyakit yang mendasarinya.
Penyebab absence seizure yang sudah diketahui berasal dari masalah
genetik yang berimbas pada gangguan kanal ion yang ada di sistem saraf pusat.
Gangguan kanal ion tersebut mengakibatkan terjadinya sinkronisasi abnormal pada
sistem thalamokortikal sehingga terjadi bangkitan yang nampak jelas pada EEG
dengan munculnya gelombang paku atau spike wave.
Ethosuximide dan valproate merupakan obat lini depan untuk mengobati
kejang absans. Kebanyakan pasien berespon positif terhadap terapi yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Segan, Scott. Absence Seizure. Medscape Reference. [Online] April 27, 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/1183858-overview.
2. Longmore, Murray, et al. Oxford Handbook of Clinical Medicine 8th ed. Oxford :
Oxford University Press, 2010.
3. Browne, Thomas R and Holmes, Gregory L. Handbook of Epilepsy.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2008.
4. Voltage-Gated Calcium Channels and Idiopathic Generalized Epilepsies.
Khosravani, Houman and Zamponi, Gerald W. 86, Calgary : Physiological
Reviews, 2006.
5. Samuels, Martin A. Manual of Neurologic Therapeutics, 7th Edition. Boston :
Lippincott Williams & Wilkins, 2004.
6. Panayiotopoulos, C P. Typical Absence Seizures. ILAE. [Online] March 31, 2005.
http://www.ilae-epilepsy.org/Visitors/Centre/ctf/typical_absence.cfm.
7. Mayo Clinic. Absence seizure (petit mal seizure). Mayo Clinic. [Online] June 23,
2009. http://www.mayoclinic.com/health/petit-mal-seizure/DS00216.
8. Roth, Julie L. Status Epilepticus. Medscape Reference. [Online] May 26, 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview#showall.
9. Shorvon, Simon D. Handbook of Epilepsy Treatment: Forms, Causes and
Therapy in Children and Adults, 2nd ed. Massachusetts : Blackwell Publishing,
2005.
10. Rolak, Loren A. Neurology Secrets. Philadelphia : Mosby, Inc, 2010.
11. The New Antiepileptic Drugs: Clinical Application. LaRoche, Suzette M and
Helmers, Sandra L. 5, s.l. : JAMA, 2004, Vol. 291.
12. Mazzoni, Pietro, Pearson, Toni Shih and Rowland, Lewis P. Epilepsy. [book
auth.] Pietro Mazzoni, Toni Shih Pearson and Lewis P. Rowland. Merritt's
Neurology Handbook, 2nd Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins
(LWW), 2006.
13. Panayiotopoulos, C P. Absence Status Epilepticus. International League
Against Epilepsy. [Online] January 18, 2005. http://www.ilae-
epilepsy.org/Visitors/Centre/ctf/absence_status.cfm.
14. Kessler SD, McGinnis E. A Practical Guide to Treatment of Childhood Absence
Epilepsy. Perelman School of Medicine, Children’s Hospital of Philadelphia,
University of Pennsylvania, Philadelphia, PA, USA. Pediatric Drugs (2019) 21:15–
24. 2019
15. Drislane F, Hovaguimian A, Tarulli A, Boegle A, McIIduff C, Caplan L.
Blueprints neurology. 3rd ed. Philadelphia: Wolters kluwer lippincot & wilkins;
2009.

Anda mungkin juga menyukai