“GERIATRIC SYNDROME”
Disusun Oleh :
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
1. PENGERTIAN LANSIA
Usia lanjut adalah bagian akhir dari perkembangan hidup manusia. Menurut teori
Erikson bahwa usia lanjut merupakan tahap perkembangan psikososial yang terakhir (ke
delapan). Tercapainya integritas yang utuh merupakan perkembangan psikososial lansia
(Keliat, et al, 2006 dalam Syerniah, 2010). WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan
bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit,
tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif,
merupakan proses menurunya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh.
Pada tahap ini lansia dikatakan berada pada tahap integritas ego versus keputusasaan
dan mempunyai tugas perkembangan menerima tanggung jawab diri dan kehidupan
(Videback, 2008; Lahey, 2002). Lansia dikatakan dapat mencapai integritas ego apabila si
lansia merasakan kepuasan atas keberhasilan yang telah dicapai pada seluruh tahap
kehidupan dari masa anak-anak sampai usia dewasa. Kepuasan ini dimanifestasikan dalam
bentuk konsep diri yang positif dan sikap posistif terhadap kehidupan. Perilaku lansia yang
mencapai integritas diri adalah mempunyai harga diri tinggi, menilai kehidupan berarti,
memandang ssesuatu hal secara keseluruhan (tuntutan dan makna hidup), menerima nilai
dan keunikan orang lain serta menrima datangnya kematian (Keliat, 2006). Pada lansia yang
kecewa terhadap kehidupannya akan merasakan keputusasaan sehingga muncul perilaku
dan sikap yang tidak menghargai terhadap diri sendiri atau orang lain. Perilaku yang putus
asa ditujukan dengan memandang rendah atau menghina atau mencela orang lain,
merasakan kehidupan selama ini tidak berarti, merasakan kehilangan dan masih ingin
berbuat banyak tetapi takut tidak punya waktu lagi (Keliat, 2006). Lansia yang gagal
mencapai integritas ego ini akan mempunyai resiko untuk mengalami masalah psikososial
keputusasaan yang merupakan salah satu tanda depresi.
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60+ tahun (WHO, 2010 dalam
Syerniah, 2010). Menurut UU RI no. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia juga
menyebutkan lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. Berdasarkan pengertian tersebut maka yang dimaksud lansia adalah seseorang yang
telah mencapai usia 60 tahun ke atas atau lebih.
Batasan Usia Lanjut
Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59 tahun.
Lanjut usia (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun.
Lanjut usia tua (old), yaitu kelompok usia 75-90 tahun.
Usia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia di atas 90 tahun.
(WHO, dalam Nugroho, 2000, dalam Syerniah, 2010).
2. PROSES MENUA
Proses menua merupakan suatu proses yang wajar, bersifat alami dan pasti akan
dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang (Nugroho, 2000). Proses penuaan
adalah normal, berlangsung secara terus menerus secara alamiah. Dimulai sejak manusia
lahir bahkan sebelumnya dan umunya dialami seluruh makhluk hidup. Menua merupakan
proses penurunan fungsi struktural tubuh yang diikuti penurunan daya tahan tubuh. Setiap
orang akan mengalami masa tua, akan tetapi penuaan pada tiap seseorang berbeda-beda
tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat
berupa faktor herediter, nutrisi, stress, status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006).
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho,
1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua
berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan
kulit yang mengendor, rambut memutih, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk,
gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan
kurang gairah.
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi tidak harus
menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat dalam hal ini diartikan:
a. Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
b. Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari,
c. Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo, 1996).
Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Lilik Ma’rifatul (2011) dapat
dibedakan menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial.
1. Teori Biologi
1. 1 Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan sel–
sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika sel pada lansia dari tubuh dan
dibiakkan di laboratrium, lalu diobrservasi, jumlah sel–sel yang akan membelah,
jumlah sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Pada beberapa sistem, seperti
sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ dalam
sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh
karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan
mempunyai kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan
memperbaiki diri (Azizah, 2011)
1. 2 Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia. Proses
kehilangan elastiaitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada
komponen protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen
dan kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur
yang berbeda dari protein yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada
kartilago dan elastin pada kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih
tebal, seiring dengan bertambahnya usia (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Hal ini
dapat lebih mudah dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan
elastisitanya dan cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan
kecepatan pada system musculoskeletal (Azizah, 2011).
1. 3 Keracunan Oksigen
Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh untuk
mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan kadar yang
tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan
diri dari toksink tersebut membuat struktur membran sel mengalami perubahan dari
rigid, serta terjadi kesalahan genetik (Tortora dan Anaggnostakos, 1990). Membran
sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitas sel dalam berkomunikasi dengan
lingkungannya yang juga mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses
ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel yang
sangat penting bagi proses di atas, dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut.
Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh
mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ berkurang.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah, 2011).
1. 4 Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan. Walaupun
demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem limfatik dan
khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses
penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya
sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen
permukaan sel, maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh
menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai selasing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa
autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami
penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi
menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah (Azizah, 2011).
1. 5 Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono (2004),
pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan
dan memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara
lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme.
Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang merangsang pruferasi sel misalnya
insulin dan hormon pertumbuhan.
2. Teori Psikologis
2. 1 Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah
menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai
tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah meraka yang
aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah, 2011).
2. 2 Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identity pada
lansia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan dengan
masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan
interpersonal (Azizah, 2011).
2. 3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara pelan
tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari
pergaulan sekitarnya (Azizah, 2011).
2. Klasifikasi Inkontinensia
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat
pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium
teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap
kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi
urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis
dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga
sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang
menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel
Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik,
antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab
inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini:
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
b. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai
cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek
klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi
dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi:
1) Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan
intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.
Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah
75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada
laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan
transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada
saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit
atau banyak.
3. Gangguan Otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin yang
berakibat penurunan fungsi otonom. Beberapa gangguannya adalah hipotensi ortostatik,
gangguan pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan esofagus dan usus besar. Hipotensi
ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak 20 mmHg pada saat
berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2 menit.Hal ini terjadi akibat penurunan
isi sekuncup jantung dan perpindahan darah ke posisi bawah tubuh.Biasanya tidak
menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat terjadi
adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks akibat tirah baring
lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat hipotensif, atau penyakit SSP maupun
neuropati lain (parkinson, CVD, diabetes mellitus). Gejala bisa berupa penurunan
kesadaran atau jatuh.Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu tidur.Terapi
farmakologis dapat menggunakan hormon mineralokortikoid, simpatomimetik, atau
vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison, kafein, pindolol. Gangguan regulasi suhu
juga ditemukan pada lansia sehingga mereka rentan mengalami hipertermia maupun
hipotermia.Hipertermia adalah suhu inti tubuh > 40,6 oC, disfungsi saraf pusat hebat
(psikosis, delirium, koma).Sementara itu hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di
bawah 35oC.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah
dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau
sosial. Ini bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia. Penyebab inkontinensia
berasal dari kelainan urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma
medula spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan). Inkontinensia dapat
akut di saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan akronim
DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi inflamasi impaksi
feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS : Delirium, Infection, Atrophic
vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output, Restricted
mobility, Stool impaction. Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor
berlebih (over active bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow), kegagalan
uretra (stress type), atau obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder training, pelvic
floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang digunakan dapat meliputi
antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe urgensi/stres, α-adrenergik agonis
(pseudoefedrin, fenilpropanolamin) untuk tipe stres atau urgensi, estrogen
agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), α-
arendergik antagonis (terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran
prostat. Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau menetap.
5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat yang lebih
tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya. Sebanyak 30% lansia ≥ 65 tahun
mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem
sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat,
kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti pengaruh
obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada beragam, antara lain kecelakaan, nyeri
kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik, antihipertensi,
antidepresan trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemk, alkohol), proses penyakit (aritmia,
TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack, penurunan CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur (terutama
pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal. Jatuh perlu dicegah
dengan identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola berjalan
dan keseimbangan (tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus
ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana jatuh adalah
pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi risiko terjadinya jatuh.
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit, menembus otot
sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus
menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi darah setempat.Ulkus dekubitus terjadi
terutama pada tonjolan tulang.Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan
lemak subkutan berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi kapiler pada
kulit berkurang. Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi tekanan kapiler,
sehingga timbul iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang,
gesekan, dan kelembaban.
Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus.Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya ulkus.Pencegahan
ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit, mengurangi gesekan dan regangan
dengan berpindah posisi, asupan gizi yang cukup, menjaga kelembaban kulit.Perlu diingat
komplikasi ulkus dekubitus adalah sepsis.
2. Pencegahan (Preventif)
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat, terdapat
faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan. Jenis pelayanan
pencegahan primer adalah: program imunisasi, konseling, berhenti merokok dan
minum beralkohol, dukungan nutrisi, keamanan di dalam dan sekitar rumah,
manajemen stres, penggunaan medikasi yang tepat.
b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap penderita tanpa
gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit belum tampak secara klinis
dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan pencegahan sekunder antara lain adalah
sebagai berikut: kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker, screening:
pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala penyakit dan
cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta perawatan dengan
perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien rawat jalan dan perawatan jangka
panjang.
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantsar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indonesia. hlm. 1335-1340.
Patricia Gonce Morton et.al. (2011). Keperawatan Kritis: pendekatan asuhan holistic ed.8;
alih bahasa, Nike Esty wahyuningsih. Jakarta: EGC.
Potter dan Perry. (2005). Fundamental keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta:
EGC.
Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S, Dwimartutie
N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative disease in elderly: update
in diagnostic & management. Jakarta; Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia;
2011:69-75.
Stanley, Mickey dan Patricia Gauntlett Beare. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik.
Jakarta: EGC.
Syarniah. 2010. Pengaruh Terapi Kelompok Reminiscene terhadap Depresi pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan. Tidak
diterbitkan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta
Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary, exercise-related,
and therapeutic interventions to prevent and treat sarkopenia in adult patients: an
update. Clinical Interventions in Aging. 2010(5):259-70.
Wilkinson, Judith. (2011). Buku saku diagnosa keperawatan: diagnose NANDA, intervensi
NIC, Kriteria hasil NOC, ed.9. Alih bahasa, Esty Wahyuningsih; editor edisi bahasa
Indonesia, Dwi Widiarti. Jakarta: EGC.
Pathway Proses Menua
Proses Menua
Peningkatan radikal
bebas
Kerusakan sel-seDNA
(sel-sel tubuh)
Penyakit degeneratif
(DM, osteoporosis,
hipertensi, penyakit
jantung koroner)