Anda di halaman 1dari 13

1.

Aliran pendidikan eksistensialisme

Pengertian

Eksistensialisme yaitu suatu usaha untuk menjadikan masalah menjadi konkret karena
adanya manusia dan dunia. Menurut Sartre eksistensialisme yaitu filsafat yang memberi
penekanan eksistensi yang mendahului esensi. Memandang segala gejala yang ada berpangkal
kepada eksistensi. Dengan adanya eksistensi akan penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret
dengan metode fenomenologi (cara keberadaan manusia).

Eksistensialisme, berakal dari kata “eksistensi”, dalam bahasa Inggris “existence” adalah
bentuk kata benda, dengan kata kerja ‘to exist” yang berarti “the state of being…” Ia berasal dari
bahasa latin “existo” dan exister”. Dalam bahasa Prancis: “existo”, yakni terdiri dari “ex” dan
“sisto”, yang berarti to stand. Semuanya itu dalam bahasa Indonesia berarti secara harfiah, ‘berdiri’
atau ‘menempatkan diri’. Kata “ex” berarti keluar. “To exist” di samping pengertian seperti di atas
juga secara harfiah berarti: keluar, ada, hidup, atau mengada. Akan tetapi dalam eksistensialisme,
artinya lebih kompleks, tidak cukup “ada”, “mengada” atau “berada”.

Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada
eksistensi. Secara umum eksistensi berarti keberadaan. Secara khusus eksistensi adalah cara
manusia berada di dalam di dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada
benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya. Berbeda dengan manusia. Benda-
benda menjadi lebih berarti karena manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam
filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia
“bereksistensi”. Jadi hanya manusia yang bereksistensi.

Eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya.
Manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan segala sesuatu, tapi satu hal yang pasti,
yaitu bahwa dirinya ada. Dirinya itu disebut “aku”. Segala sesuatu di sekitarnya dihubungkan
dengan dirinya contoh mejaku, kursiku, temanku,dan sebagainya. Di dalam dunia manusia
menentukan keadaanya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia
menemukan pribadinya dengan seolah-olah keluar dari diriya sendiri dan menyibukkan diri dengan
apa yang di luar dirinya. Ia menggunakan benda-benda disekitarnya. Dengan kesibukannya itulah
ia menemukan dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk
dengan dunia luarnya. Demikianlah manusia bereksistensi.
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara
berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dalam dunia; ia menyadari
dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang
dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti
bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subjek. Subjek artinya yang
menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut objek.

Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang bersifat tehnis, yang menjelma dalam bermacam-macam sistem, yang satu berbeda dengan
yang lain. Sekalipun demikian ada juga ciri-ciri yang sama, yang menjadikan sistem-sistem itu
dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada empat pemikiran yang jelas dapat
disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers
dan Gabriel Marcel. Beberapa ciri-ciri yang sama yang dimiliki di antaranya:

1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya
manusia yang bereksistensi. Eksistensi adalah khas manusia berada. Pusat perhatian ini
ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanitis.
2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya
secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencenakan. Setiap saat manusia
menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3. Di dalam filsafat eksistesialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah
realitas yang belum selesai, yanng masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia
terikat kepada dunia sekitarnya, terutama kepada sesama manusia.
4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret,
pengalaman eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi
tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada
pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam
seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.

Eksistensi merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu. Apapun yang
bereksistesi tentu nyata ada. Sesuatu dikatakan bereksistensi jika sesuatu itu bersifat publik yang
artinya objek itu sendiri harus dialami oleh banyak orang yang melakukan pengamatan.
Jadi eksistensialisme betul-betul berusaha mengungkap manusia yang utuh sebagai
eksistensi yang mendahului essensinya, sebab eksistensi manusia itu bukanlah selesaimantap, akan
tetapi sebaliknya, terus mengada. Manusia menyadari keterbatasannya serta temporalitsnya. Lewat
itulah dia membuka kemungkinan-kemungkinan sambil memproyeksikan dirinya ke depan, karena
ia adalah makhluk temporal. Eksistensi memandang makhluk manusia adalah yang paling sadar
waktu. Masa lalu, masa depan dan masa kini adalah tunggal dalam penghayatannya. Bahkan yang
lebih khas masa kini dengan segala kondisi perangkatnya dikonstitusikan sebagai potensi bagi
masa depannya yang diselipi dengan kekuatiran dan kecemasan.

Maka eksistensialisme pada umumnya menyadari betul posisi manusia dalam


kesejarahannya, yang melibatkan rentangan eksistensi antara kekuatan konservatif yang berasal
dari masa lalunya, serta kekuatan-kekuatan progresif yang berasal dari proyeksi masa depan. Pada
rentang kekuatan itu manusia tidak mungkin menghindarkan diri dari ketegangan, kecemasan,
kejenuhan hidup serta kekuatirannya. Masa lalu tidak kenal pengulangan, masa depan baru
dirancang, hanya masa kini yang pasti, dan itulah eksistensi.

Keunikan filsafat eksistensialisme yaitu memfokuskan pembahasan pada masalah-masalah


individu. Dimana, eksistensialisme memberi individu suatu jalan berpikir mengenai kehidupan,
apa maknanya bagi saya, apa yang benar untuk saya. Secara umum, eksistensialisme menekankan
pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusiadan tindakan konkret dari keberadaan manusia
atas setiap skema rasional untuk hakikat manusia atau realitas. Dari perspektif eksistensialisme,
pendidikan sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang
mengungkungnya sehingga terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang lebih humanis dan
beradab.

Cara Pandang

a. Realitas sebagai eksistensi


Eksistensi individu merupakan fokus utama pemikiran eksistensialisme terhaap realitas.
Eksistensialisme dikontraskan dnegan pernyataan kaum neo-skolastik yang menyatakan
bahwa esensi mendahului eksistensi dalam hubungannya dengan waktu. Contohnya,
beberapa kaum neo-skolastik memandang Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu termasuk
manusia. Ketika manusia diciptakan, dia erkata bahwa dia telah mempunyai ide tentang
manusia (esensi manusia) dalam pikiranNya sebelumnya mewujudknannya. Sebaliknya,
kaum eksistensialis berpegang pada pendapat bahwa eksistensi mendahului esensi.
Manusia ada dulu, baru kemudia ia berusaha untuk menentukan apa yang menjadi
esensisnya. Ia berhadapan dengan pertanyaan “siapakah saya ini?” dan “apa makna
eksistensi?” dalam dunia yang justru tidak memberikan jawaban. Tindakan sehari – hari
kehidupan manusia itu adalah proses mencari esensi tersebut. Karena melalui kehidupan
itul;ah ia membuat pilihan – pilihan dan menentukan pilihan yang disukai dan yang tidak.
Melalui aktivitas ini ia menyadari bahwa ia seorang individu. Melalui proses ia sampai
kesadaran bahwa ia telah memilih untuk berada (menjadi)
b. Kebenaran sebagai pilihan
Manusia adalah pusat otoritas epistemologis dalam eksistensialisme, artinya manusia disini
bukan manusia sebagai sati spesies, melainkan manusia sebagai individu yang konkret,
meruanng dan mewaktu. Makna dan kebenaran tidak ditentukan dari dan untuk alam
semesta, justru manusia itulah yang memberi makna terhadap sesuatu sebagaimana
kodratnya. Manusia mempunyai hasrat untuk percaya kepada makna eksternal dan hasilnya
ia menentukan sendiri untuk percaya kepada apa saja yang ingin mereka dipercayainya.
Karena eksistensi mendahului esensi, maka petama harus ada manusianya dahulu baru
kemudian ada ide – ide yang diciptakannya. Semua tergantung pada manusia individual itu
dan ia sendiri yang membuat putusan terakhir tentang apa itu kebenaran. Oleh karena itu,
kebenaran dapat dilihat sebagai pilihan eksistensial yang tergantung pada otoritas individu.
c. Nilai – nilai dari si – individu
Fokus filsafat eksistensial adalah dalam aksiologi yanfg mmbedakannya dengan filsafat
tradisional yang mementingkan metafisika. Dapat dikatakan bahwa “metafisika”
eksistensialisme diwakilkan dengan kata eksistensi dan konsep epistemologinya adalah
pilihan. Oleh karena itu kedua konsep ini membawa manusia
Ekssitensialis memfokuskan diri pada aktivitas kehidupan dan pehatian filsafatnya
aksiologi individual seagai seorang penentu ekssitensialis.
Jika manusia inigin menjadi benar – benar autentik, maka ia harus hidup secara
bertanggung jawab termasuk dalam membuat keputusan. Akibat yang tidak disenangi bagi
seseorang yang bertidndak diluar aturan etik tidak begitu dipermasalahkan dalam
pandangna eksistensialis. Adalah penting untuk berbaut tanpa memerhatikan akibat –
akibat ini, tetapi bukan berarti membenarkan yang tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Sejarah

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Dalam filsafat eksistensi, manusia dijadikan tema
sentral, hal ini menunjukkah bahwa di Barat sedang berjangkit suatu krisis yang luar biasa
hebatnya. Bagaimana keadaan krisis itu?

1. Materialisme
Sifat materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme. Yang
dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak
sama dengan beradanya pohon atau batu. Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia,
aliran eksistensialisme mula-mula menghantam materialisme.
Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia pada
akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Orang materialis memang tidak
mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan batu. Namun, materialisme
mengatakan bahwa pada akhirnya, pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang
terakhir, manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain betul-betul materi.
Berdasarkan bentuknya, manusia lebih unggul dari batu, kayu dan sebagainya, tetapi pada
eksistensinya manusia sama saja dengan kayu dan batu. Dilihat dari keberadaannya juga sama.
Inilah ajaran materialisme yang menjadi yang ditolak sekaligus menjadi penyebab munculnya
eksistensialisme.
2. Idealisme

Idealisme juga menjadi penyebab munculnya eksistensialisme. Kalau materialisme


memandang jasmani manusia sebagai keseluruhan manusia, sebagai sesuatu yang ada,
padahal ia hanyalah aspek manusia dan menjadi subjek. Manusia berpikir, berkesadaran dan
ini yang tidak disadari oleh materialisme. Maka idealisme sebaliknya, manusia berpikir dan
berkesadaran sangat dilebih-lebihkan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan sampai tidak
ada barang lain selain pikiran. Ahmad Tafsir mengatakan letak kesalahan idealisme adalah
karena memandang manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran. Sebaliknya
materialisme melihat manusia hanya sebagai objek. Materialisme dan idealisme sama-sama
salah, tetapi dapat tersebar luas, memperoleh banyak penganut, memikat hati banyak orang.
Ini memperlihatkan bahwa sulit bagi manusia untuk mengerti dirinya sendiri. Rupanya
manusia iu semacam rahasia bagi dirinya. Eksistesialisme lahir atas reaksi terhadap idealisme.
3. Situasi dunia

Eksistensialisme muncul didorong oleh situasi dunia saat itu. Keadaan dunia khususnya
Eropa Barat tidak menentu. Rasa takut berkecamuk, terutama terhadap ancaman perang.
Tingkah laku manusia telah menimbulkan krisis. Kebencian merajalela. Agama di Eropa
dianggap tidak mampu memberikan makna dalam kehidupan. Manusia menjadi orang yang
gelisah, mereka eksistensinya terancam oleh ulahnya sendiri. Pokoknya, manusia benar-benar
mengalami krisis. Dalam keadaan seperti itu, filosof melihat pada dirinya sendiri. Ia
mengharap pegangan yang dapat menyelamatkan, keluar dari krisis itu. Maka dari itu
tampillah eksistensialisme yang menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus objek.

Jadi eksistensialisme lahir, karena ingin menempatkan kembali diri manusia pada
tempat yang sebenarnya. Manusia sebagai subjek sekaligus sebagai objek. Manusia tidak sama
dengan materi, manusia tidak hanya akal dan manusia memerlukan kebahagiaan, ketenangan
dan kedamaian.

Beberapa pemikiran eksistensialisme dapat menjadi landasan atau semacam bahan renungan
bagi para pendidik agar proses pendidikan yang dilakukan semakin mengarah pada keotentikan dan
pembebasan manusia yang sesungguhnya. Untuk itu, marilah kita pelajari bagaimana pendapat para
tokoh filsafat eksistensialisme:

a. Soren Aabye Kierkegaard


Ia dianggap sebagai bapak eksistensialisme. Bagi Kierkegaard eksistensi berarti:
kepenuhan ada, dalam mana individu karena persetujuannya dan kemauannya yang merdeka,
yaitu karena sikapnya terhadap manusia dan barang lain, menjadikan dirinya subjek yang konkrit
yang ada pada tiap-tiap saat. Ia berpendapat demikian, karena menurut dia kebenaran itu tidaklah
terdapat pada suatu system yang umum melainkan ada yang konkrit, dalam eksistensi yang
individual. Maka menurut Kierkegaard dalam eksistensi kita (manusia) itu ternyatalah, bahwa kita
itu merasa bersalah (berdosa) terhadap Tuhan. Eksistensi manusia ialah berdosa (ada yang
mempunyai dosa).
Menurut Kierkegaard, kepercayaan terhadap Tuhan adalah suatu tindakan transendental
yang dimungkinkan karena Tuhan memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengatasi
dirinya dan menghadap kepada-Nya; menghadap dengan kesejatiannya, … sebab: “God is the one
who does not grow tired of listening to men.” (Tuhan adalah satu-satunya yang tidak pernah lelah
mendengarkan manusia).
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa
menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk
mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan
b. Karl Jaspers

Pokok persoalan filsafat yang paling peting baginya adalah bagaimana dapat menangkap
“ada” atau “berada” (das Sein) dalam eksistensi sendiri. Menurut Jasper “ada” bukanlah hal yang
objektif, yang dapat diketahui semua orang. Orang harus mencarinya dengan susah payah dengan
melalui beberapa tahap. Sebuah benda yang konkrit bukanlah “ada” dalam arti umum. Benda
tertentu yang konkrit itu (meja, kursi, dan sebagainya) adalah suatu “ada” tertentu, yang terbatas.
Maka benda bukanlah seluruh “ada”. “Ada” dalam arti yang sebenarnya, “ada” yang umum,
meliputi, merangkumkan segala yang berada secara terbatas dan tertentu. “Ada” ini dapat diraih,
tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori. “Ada” yang demikian ini disebut das Ungreifende
(yang merangkumi).

Agar kita mengerti apa yang disebut eksistensi oleh Jaspers, kita harus mulai dengan
menganalisa situasi dengan menganalisa apa yang olehnya disebut situasi. Di dalam situasi ini
secara eksistensial kita menemukan diri kita sendiri. Situasi ini satu dari diri kita, yang sebagai
oknum hidup di dalamnya. Eksistensi diungkapkan sebagai perbuatan, sebagai pemilihan, sebagai
kebebasan. Bagaimana kita dapat tahu akan eksistensi kita dalam mengalami secara khusus
kebebasan sebagai kekbebasan dan pemilihan? Hanya jikalau kita sadar, bahwa perbuatan yang
kita lakukan itu kita lakukan sendiri, keluar dari kekuatan dan kehendak kita, serta dari putusan
kita sendiri.

c. Martin Heidegger

kehadiran manusia dalam pentas kehidupan sudah menjadikan dirinya sebagai care ata
concern, keprihatinan atau keterlibatan dengan segala yang berada di sekelilingnya.21 Dasein,
baginya sebagai being ini the world. Sebagai ada dalam dunia sudah melibatkan dirinya terhadap
sesuatu, menggunakan sesuatu, memproduksi, menelitit, mempertanyakan, mengerjakan,
memanipulasi, memakai, menyelesaikan, mempertimbangkan, menentukan, mendiskusikan, dan
lain sebagianya. Keberadaan manusia adalah berhubungan dengan manifestasi potensi mereka
sebagai kemungkinan-kemungkinan eksistensi yang tidak pernah selesai potensi mereka sebagai
kemungkinan-kemungkinan eksistensi yang tidak pernah selesai, sekaligus menyatu atau terikat
dengan keberadaan benda-benda lain yang mengitarinya. Namun, fakta yang menggelisahkan
adalah mayoritas manusia era abad ke-21 terkerangkeng dalam siklus kecepatan, konsumeristik,
dan kedangkakalan hidup yang hanya berpijak pada hasrat semata, sehingga banyak yang merasa
hampa dan kehilangan makna. Atas dasar kenyataan itulah, Heidegger ingin menyibak makna
“ada” melalui ontologi fundamental. Ia berusaha menyelidiki makna “ada” yang mengada di situ
(dasein), yang tidak lain adalah eksistensi manusia sendiri. Persoalan eksistensi manusialah yang
kemudian menjadi perhatian dan unit analisis filsafat Heidegger, sehingga filsafatnya sering
disebut juga “Analisis Eksistensial”.

d. Jean Paul Sartre


Jean Paul Sartre23 ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.24 Sartre
adalah seorang sastrawan dan filosof Perancis terkenal yang memperkenalkan eksistensialisme
dari sudut pandang atau perspektif estetika. Sartre sangat terkesan dengan nasib manusia,
termasuk nasib dirinya, khususnya terkesan dengan pengalaman buruknya ketika perang dunia II
di Eropa. Setelah kejatuhan Prancis oleh Nazi Jerman tahun 1940, ia bergabung dengan tentara
Prancis untuk mempertahankan negaranya. Pengalamannya selama perang dunia II ini
mengilhami pandangan-pandangannya tentang manusia dan kebebasan.
Menurut Sartre titik tolak filsafat adalah kesadaran (cogito), yaitu kesadaran yang saya
miliki tentang diri saya sendiri. Dalam hal ini Sartre mengikuti jalan pikiran Descartes. Tetapi
kesadaran diri itu tidaklah tertutup, melainkan terarah pada dunia sebagaimana dikatakan Husserl.
Selanjutnya, jalan pikiran Sartre adalah sebagai berikut: Kesadaran akan diri berbeda dengan
kesadaran akan sesuatu. Suatu kesadaran yang tidak sadar atau suatu aktivitas psikis yang tidak
sadar sama sekali mustahil menurut Sartre. Kalau saya sadar sesuatu berarti saya bukan sesuatu
itu.Saya melihat lukisan di dinding sana atau gelas the di meja sini, itu berarti saya sadar bahwa
saya bukanlah lukisan atau gelas.
e. Friedrich Nietzshe
Menurutnya, manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super yang
mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai
dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan
dirinya sendiri. Pemikiran filsafat Nietzsche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi
jalan keluar untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia
unggul”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.

Aliran pendidikan progresifisme


Pengertian
Menurut bahasa istilah progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya bergerak maju.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif diartikan sebagai ke arah kemajuan;
berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan bertingkat-tingkat naik. Dengan demikian, secara singkat
progresif dapat dimaknai sebagai suatu gerakan perubahan menuju perbaikan. Sering pula istilah
progresivisme dikaitkan dengan kata progres, yaitu kemajuan. Artinya progesivisme merupakan salah satu
aliran yang menghendaki suatu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan membawa sebuah perubahan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa progresivisme sebuah aliran yang mengingikan kemajuan-kemajuan
secara cepat.
Menurut Gutek (1974) progresivisme modern menekankan pada konsep ‘progress’; yang
menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan menyempurnakan
lingkungannya dengan menerapkan kecerdasan yang dimilikinya dan metode ilmiah untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul baik dalam kehidupan personal manusia itu sendiri maupun kehidupan sosial.
Dalam konteks ini, pendidikan akan dapat berhasil manakala mampu melibatkan secara aktif peserta didik
dalam pembelajaran, sehingga mereka mendapatkan banyak pengalaman untuk bekal kehidupannya.
Senada dengan itu, Muhmidayeli (2001) menjelaskan bahwa progresivisme merupakan suatu aliran
yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya pemberian sekumpulan pengetahuan
kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi beragam aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan
berpikir mereka secara menyeluruh, sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara
ilmiah, seperti penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis, pertimbangan,
dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan
masalah yang tengah dihadapi.
Artinya, kedua aliran ini sama-sama menekankan pada pemaksimalan potensi manusia dalam
upaya menghadapi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Di samping itu, kesamaan ini di dasarkan
pada keyakinan pragmatisme bahwa akal manusia sangat aktif dan ingin selalu meneliti, tidak pasif dan
tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannnya secara empiris.
Berbagai spekulasi untuk mengidentifikasi pangkal permasalahan ini pun kemudian muncul, dan
bagi penulis, faktor pendidikan menjadi faktor yang memiliki peran besar dalam persoalan ini. Seperti yang
diketahui bersama, pendidikan Pancasila sudah diberikan mulai dari pendidikan dasar, hingga pendidikan
tinggi, namun kenyataannya internalisasi dari nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan individu tidak juga
berhasil. Fenomena yang menunjukkan tendensi itu bisa dilihat dengan jelas dari kejadian-kejadian di
tengah-tengah masyarakat. Melunturnya spiritualitas, hilangnya rasa kemanusian, tendensi chauvinistik,
terlupakannya kerakyatan, dan keadilan yang seakan menjadi sangat utopis, adalah contoh nyata dari
belum berhasilnya upaya implementasi Pancasila. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah ada
yang salah dengan pendidikan Pancasila yang selama ini diajarkan? Pertanyaan ini tentu sangat relevan
dalam kajian pendidikan, khususnya filsafat pendidikan, karena salah satu kajian filsafat pendidikanadalah
mengkaji asumsi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari berbagai macam filsafat dan aliran
pendidikan. Kajian filsafat pendidikan oleh karenanyaakan sangat berguna di dalam mencari format
pendidikan seperti apa yang akan bisa diterapkan di dalam pelaksanaan pendidikan Pancasila di Indonesia.
Hal ini kiranya penting karena sebagaimana dikemukakan oleh Dardiri, pendidikan juga perlu menaruh
perhatian pada persoalan nilai a berkaitan dengan nilai-nilai. Tujuan pembahasan ini oleh karenanya
menjadi jelas, yaitu untuk mengketengahkan salah satu aliran di dalam filsafat pendidikan yang bisa
digunakan di dalam upaya pengembangan pendidikan Pancasila yang semakin lama semakin
memperlihatkan kegagalannya.

Cara Pandang
a. Pendidikan
Aliran progresivisme ini pernah berjaya di Amerika. Dalam pendidikan, progresivisme merupakan bagian
dari gerakan reformis umum bidang sosialpolitik yang menandai kehidupan orang Amerika.
Progresivisme merupakan teori yang mucul dalam reaksi terhadap pendidikan tradisional yang selalu
menekankan kepada metode formal pengajaran. Pada dasarnya teori ini menekankan beberapa prinsip,
antara lain; 1) Proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik; 2) Peserta didik adalah sesuatu
yang aktif, bukan pasif; 3) Peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah; 4) Sekolah
harus menciptakan iklim yang bersifat kooperatif dan demokratif; 5) Aktifitas pembelajaran lebih focus
pada pemecahan masalah bukan untuk mengajarkan materi kajian.
Menurut pandangan progresivisme, proses pendidikan memiliki dua bidang garapan, yaitu
psikologis dan sosiologis. Dilihat dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui potensi dan daya
yang ada pada peserta didik untuk dikembangkan. Dengan mengenal hal tersebut, pendidik dapat memilih
cara yang tepat dan landasan apa yang akan digunakan. Jika memperhatikan peran pandangan
progresivisme di beberapa negara maju, psikologi yang banyak digunakan adalah aliran behaviorisme dan
pragmatisme. Hal ini sejalan dengan teori bahwa aliran progresivisme disebut juga instrumentalisme,
eksperimental, atau environmentalisme yang erat kaitannya dengan alat, pengalaman, lingkungan, serta
kemajuan dan manfaat dari suatu aktivitas yang dilakukan, termasuk aktivitas pendidikan.
Dilihat dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana potensi dan daya itu harus
dibimbing agar potensi yang dimiliki peserta didik dapat dirubah menjadi sesuatu yang berguna bagi anak
tersebut
b. Kurikulum
Dalam pendidikan, terutama jalur pendidikan formal, kurikulum memegang peranan penting.
Kurikulum sebagai jantung pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat mata pelajaran yang
dirancang untuk disajikan dalam sebuah program sekolah, melainkan memiliki arti yang lebih luas. Oleh
sebab itu, para pakar memaknai kurikulum dengan titik berat yang berbeda. Bahkan ada yang melihat dari
arti sempit dan arti luas, ada juga yang melihat dari segi fungsi atau kegunaannya, ada juga yang melihat
dari segi ruang lingkupnya.
Musgave menekankan pengertian kurikulum pada ruang lingkup, terutama yang berkenaan dengan
pengalaman belajar, baik pengalaman di luar maupun di dalam lingkungan sekolah. Aktifitas dan
pengalaman peserta didik seyogyanya selalu berada dalam pengawasan lembaga pendidikan (sekolah).
Kemudian, Hirts dan Petters mengemukakan pengertian kurikulum dengan menekankan pada aspek
fungsional. Dalam hal ini, kurikulum diposisikan sebagai rambu-rambu yang menjadi acuan dalam proses
pendidikan, khususnya dalam pembelajaran.
Progresivisme memiliki pandangan bahwa kurikulum merupakan pengalaman mendidik, bersifat
eksperimental, dan adanya rencana serta susunan langkah yang teratur. Pengalaman belajar berupa
pengalaman apa saja yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang telah digariskan dalam
pendidikan, di mana setiap proses pembelajaran yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik.
Dalam prakteknya, progresivisme merupakan aliran pendidikan yang berpusat pada siswa. Secara
lebih spesifik, proses pembelajaran penekanan lebih besar diarahkan pada kreativitas, aktivitas, belajar
naturalistik, hasil belajar dunia nyata (empiris), dan pengalaman teman sebaya. Menurut Dewey, dalam
konteks sekolah progresivisme lebih menekankan pada peserta didik dan minatnya dibanding pada mata
pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, muncul istilah child centered curriculum dan child centered school.
Progresivisme mempersiapkan peserta didik masa kini dibanding masa depan yang belum jelas. Hal ini
diungkapkan juga oleh Dewey, bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa
yang akan datang. Implikasinya, pandangan Dewey tentang pendidikan yang berlandaskan aliran
progresivisme menyatakan bahwa aktifitas peserta didik perbanyak terlebih dahulu dalam berpartisipasi
pada kegiatan fisik, baru kemudian diarahkan pada peminatan.
Khusus ilmu, dalam ajaran Islam merupakan hal yang sangat penting, sehingga menuntut ilmu
hukumnya wajib. Dibandingkan dengan hal lain, ilmu memiliki keunggulan luar biasa, bahkan ibadahpun
tidak akan diterima tanpa didasari ilmu. Demikian pula apabila dikaitkan dengan strata sosial. Tinggi
rendahnya derajat seseorang, di samping iman dan takwa juga di tentukan oleh kualitas keilmuannya. Oleh
karena ilmu dapat menentukan kualitas seseorang, maka keberadaan pendidikan sebagai sebuah proses
perolehan ilmu menjadi sangat penting. Karena itu, proses pencarian ilmu harus terus menerus dilakukan,
dimana pun kdan apanpun, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Essensi pendidikan dalam ajaran Islam dipahami sebagai sebuah proses transformasi dan
internalisasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap peserta didik, melalui pengembangan potensi sesuai fitrahnya
agar memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya, terutama keseimbangan antara dunia dan
akhirat. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses pewarisan nilai-nilai Islami
untuk menggembangkan potensi manusia, dan sekaligus proses produksi nilai-nilai budaya Islam baru
sebagai hasil interaksi potensi dengan lingkungan dan konteks zamannya sesuai ruang lingkup filsafat
pendidikan Islam di atas mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin ilmu.
Sejarah
Awal mula lahirnya aliran progresivisme ialah dilatar belakangi ketidak puasan terhadap
pelaksanaan pendidikan yang sangat tradisional, cenderung otoriter dan peserta didik hanya dijadikan
sebagai objek pembelajaran.
Aliran ini berakar dari semangat pembaharuan sosial pada awal abad ke 20 yakni gerakan
pembaharuan politik Amerika. Adapun aliran progresif pendidikan Amerika mengacu pada pembaharuan
pendidikan di Eropa barat.
Pendapat lain menyebutkan bahwa aliran progresivisme secara historis telah muncul pada abad
ke-19, namun perkembangannya secara pesat baru terlihat pada awal abad ke-20, khususnya di negara
Amerika Serikat.
Kedua pendapat tersebut meskipun sedikit berbeda pandangan, namun dapat ditarik benang merahnya
yaitu perkembangan aliran progresivisme ini secara pesat terjadi pada abad ke-20.
Menurut sejarah munculnya aliran progresivisme ini sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat
pragmatisme sebagaima telah disebutkan di atas, seperti Charles S. Peirce, William James dan John Dewey,
serta aliran ekspereimentalisme Francis Bacom. Selain itu, adalah John Locke yang merupakan tokoh filsafat
kebebasan politik dan J.J. Rousseu dengan ajarannya tentang kebaikan manusia telah dibawa sejak lahir.
Adapun pemikiran-pemikiran yang berpengaruh terhadap perkembangan aliran progresivisme
adalah pemikiran Johan Heinrich Pestalozzi, Sigmund Freud, dan John Dewey. Pemikiran ketiga tokoh
tersebut merupakan inspirasi bagi aliran progresivisme.
Johann Heinrich Pestalozzi, seorang pembaharu pendidikan Swiss pada abad 19, menyatakan
bahwa pendidikan seharusnya lebih dari pembelajaran buku, dimana merangkul kesuluruhan bagian pada
anakemosi, kecerdasan, dan tubuh anak. Pendidikan lama, menurut Pestalozzi, seharusnya dilakukan di
sebuah lingkungan yang terikat secara emosional dengan anak dan memberi keamanan pada anak.
Pendidikan tersebut seharusnya juga dimulai di lingkungan anak sejak dini dan melibatkan indera anak pada
benda-benda di sekililingnya.
Pengaruh pemikiran Sigmund Freud terhadap pendidik progresif ialah melalui kajian kasus Histeria
(gangguan pada syaraf), Freud mengusut pada asal usul penyakit mental ini dari masa kanak-kanak. Orang
tua yang otoriter dan lingkungan tempat tinggal anak sangat memengaruhi kasus tersebut.
Kekerasan/penindasan, khususnya pada masalah seksual dapat menjadi penyebab penyakit syaraf yang
dapat menganggu perkembangan anak bahkan sampai mereka dewassa.
Adapun pengaruh pemikiran John Dewey dan para pengikutnya ialah didasarkan pada
penjelasannya yang menyatakan bahwa pendidikan progresif merupakan sebuah gerakan yang tepat
sebagai perkumpulan para penentang paham tradisionalisme. Kebanyakan dari mereka terinspirasi pada
paham naturalis Eropa seperti Rousseau dan Pestalozzi, dari teori psikoanalisis Freudian dan
neoFreudian,serta penganut aliran sosial politik Amerika dan juga paham John Dewey instrumentalisme
pragmatik.
Aliran pendidikan esensialisme

Anda mungkin juga menyukai