Anda di halaman 1dari 11

A.

Tinjauan Tentang Sosial Budaya

1. Defenisi

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah,

yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-

hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya ialah segala hal yang

dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta,

rasa dan karsa. Dapat berupa kesenian, moral, pengetahuan, hukum, kepercayaan,

adat istiadat, & ilmu (Koentjaraningrat, 2002).

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata

Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai

mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai

"kultur" dalam bahasa Indonesia

Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau

kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum

(kata sifat)

Sosial Budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran

dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat

2. Sosial budaya yang berpengaruh pada gaya hidup

Salah satu budaya yang secara turun-temurun dan secara tidak sadar bertahan di

Indonesia adalah budaya konsumtif. Memang budaya ini tidak bisa dikatakan

dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia, tetapi setidaknya mayoritas masyarakat

yang tergolong madani dan bermukim di kawasan perkotaan berperilaku demikian.

Dari segi peningkatan pelakunya, golongan usia remaja dan dewasa muda (siswa-

siswi SMA / sederajat, mahasiswa-masasiswi, dan pria/wanita berusia hingga 40


tahun) merupakan golongan usia yang paling cepat menyerap budaya konsumtif.

Pola konsumsi seperti ini terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat, meskipun

dengan kadar yang berbeda-beda. Remaja merupakan salah satu contoh yang paling

mudah terpengaruh dengan pola konsumsi yang berlebihan (Loudon & Bitta, 1993).

Budaya konsumtif yang mendarah daging khususnya di Indonesia pada saat ini bisa

jadi merupakan dampak jangka panjang dari kebiasaan-kebiasaan hedonistik yang

dimiliki oleh generasi sebelum kita, atau mungkin juga terjadi akibat kurangnya rasa

peduli sebagian besar masyarakat terhadap akibat negatif yang ditimbulkan dari

budaya tersebut. Dampak negatif dari mendarah dagingnya budaya konsumtif bisa

dikatakan bercabang dan ikut mempengaruhi aspek-aspek lain dalam kehidupan

masyarakat. Sebagai gambaran, jika seorang remaja telah memiliki tabiat konsumtif,

maka ia akan terus menerus berkeinginan untuk membeli barang-barang yang ia

inginkan. Untuk memenuhi keinginannya, orang tua harus mengeluarkan biaya

ekstra yang tidak sedikit. Biaya ekstra ini berdampak pada kalkulasi pengeluaran

bulanan sang ibu yang sebenarnya telah diperhitungkan sejak jauh hari. Bisa jadi,

kebutuhan pokok mereka malah tidak terpenuhi. Akibatnya sang ayah pun harus

bekerja lebih keras dalam mencari nafkah. Bahkan tak jarang ibu terpaksa ikut

bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan pokok. Karena pekerjaan ibu yang

menyita waktu, urusan rumah pun jadi tidak terpegang sehingga ayah dan anak-

anaknya sering kali pulang dengan disambut oleh keadaan rumah yang tidak

nyaman. Kehadiran ibu yang biasanya selalu siap mendengarkan cerita keseharian

suami dan anak-anaknya pun dirindukan karena sang ibu terlalu lelah setelah

seharian bekerja. Keharmonisan rumah tangga berkurang, dan pada akhirnya

masalah-masalah lain bermunculan. Akar dari semua permasalahan tersebut hanya

satu : sifat konsumtif. Hubungan antara perilaku konsumtif yang membudaya dan
dampaknya terhadap perekonomian merupakan hubungan yang saling

mempengaruhi. Budaya konsumtif dalam suatu masyarakat dapat menjadi

penyebab perekonomian masyarakat tersebut memburuk, dan sebaliknya,

perekonomian yang baik (atau bahkan sangat baik) di kalangan menengah ke atas

dapat memicu perilaku konsumtif dalam kelompok masyarakat tersebut.

3. Sosial budaya yang berpengaruh pada status kesehatan

C. PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

Dalam teori HL blum tentang status ksehatan,maka dijelaskan tentang

beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan, antara lain:

1. Lingkungan yang terdiri dari lingkungan fisik, sosial

budaya,ekonomi,prilaku,keturunan,dan pelayanan kesehatan.


2. Blum juga menjelaskan,bahwa lingkungan sosial budaya tersebut tidak saja

mempengaruhi status kesehatan,tetapi juga mempengaruhi perilaku kesehatan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari banyak

suku bangsa yang mempunyai latar budaya yang beraneka ragam.lingkungan budaya

tersebut sangat mepegaruhi tingkah laku manusia yang memiliki budaya

tersebut,sehingga dengan beranekaragam budaya,menimbulkan variasi dalam

perilaku manusia dalam segala hal, termasuk dalam perilaku kesehatan.

Dengan masalah tersebut,maka petugas kesehatan yang memberikan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat dangan latar budaya yang beraneka ragam,

perlu sekali mengetahui budaya dan masyarakat yang dilayaninya,agar pelayanan

kesehatan yang diberikan kepada masyarakat akan memberikan hasil yang

optimal,yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat.

Taylor memberikan definisi kebudayaan sebagai keseluruhan yang komleks

yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan,kepercayaan dan kemampuan


kesenian.moral hukam adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan

yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.sedangkan menurut

Koentjaraningrat mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan

hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang haus didapatkannya

dengan belajar dan yang semuanya tesusun dalam kehidupan masyarakat.

D. ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KESEHATAN DAN


STATUS KESEHATAN

Selanjutnya dijelaskan beberapa aspek sosial budaya yang mempengaruhi

perilaku kesehatan dan status kesehatan.yang pertama yaitu:

1).Umur

2).Jenis kelamin

3).Pekerjaan.

4).Sosial ekonomi

jika dilihat dari aspek umur,maka ada perbedaan golongan penyakit

berdasarkan golongan umur.misalnya dikalangan balita banyak yang menderita

penyakit infeksi, sedangkanpada golongan dewasa atau usia lanjut lebih banyak

menderita penyakit kronis.demikian juga dengan aspek golongan menurut jenis

kelamin,dikalangan wanita lebih banyak menderit kanker payudara,sedangkan pada

pria,lebih banyak menderita kanker prosat.begitu juga dengan jenis

pekerjaan,dikalangan petani lebih banyak menderita penyakit cacingan,karena

aktifiasnya banyak dilakukan disawah,sedangkan pada buruh tekstil lebih banyak

menderita penyakit salura pernafasan kaena banyak terpapar debu. keadaan sosial

ekonomi juga mempengaruhi pada pola penyakit,bahkan juga berpengaruh pada

kematian, misalnya angka kematian lebih tinggi pada golonga yang status
ekonominya rendah dibandingkan dengan status ekonominya tinggi. demikian juga

obesitas lenih ditemukan pada kalangan masyarakat dengan status ekonoinya tinggi.

Menurut G.M foster(1973)Aspek budaya yang dapat mempengaruhi

kesehatan seseorang antaa lain adalah:

1. Tradisi

2. Sikap fatalism

3. Nilai

4. Ethnocentrisme

5. Unsur budaya dipelajari pada tingkat awal dalam proses sosialisasi.

A. Pengaruh tradisi terhadap perilau kesehatan dan status kesehatan.

Ada beberapa tradisi dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif

terhadap kesehatan masyarakat, misalnya di New Guinea, pernah terjadi wabah

penyakit kuru.penyakit ini menyerang susunan saraf otak dan penyebabnya adalah

virus.penderita hamya terbatas pada anak-anak dan wanita.setelah dilakukan

penelitaian ternyata penyakit ini menyebar karena adanya tadisi kanibalisme.

B. Pengaruh sikap fatalism terhadap perilaku dan status kesehatan.

Hal ini adalah sikap fatalism yang juga mempengaruhi perilaku

kesehatan,beberapa anggota masyarakat di kalangan kelompok yang beragama

Islam percaya bahwa anak adalah ttipan Tuhan,dan sakit atau mati itu adalah

takdir,sehingga masyarakat kurang berusaha untuk mencari pertolongan

pengobatan bagi anaknya yang sakit,atau menyelamatkan seseorang dari kematian.

C. Pengaruh sikap Ethnosentris terhadap perilaku dan status kesehatan

Sikap ethnosentrime adalah sikap yang memandang bahwa kebudayaan

sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain.misalnya

orang-orang barat merasa bangga terhadap kemajuan ilmu dan teknologi yang
dimilikinya,dan selalu beranggapan bahwa kebudayaannya paling maju,sehingga

merasa superior terhadap budaya dari masyarakat yang sedang berkembang.

Oleh karena itu,sebagai petugas kesehatan kita harus menghindari sikap

yang menganggap bahwa petugas adalah orang yang paling pandai,paling

mengetahui tentang masalah kesehatan karena pendidikan petugas lebih tinggi dari

pendidikan masyarakat setempat sehingga tidak perlu mengikut sertakan

masyarakat tersebut dalam masalah kesehatan masyarakat.dalam hal ini memang

petugas lebih menguasai tentang masalah kesehatan,tetapi masyarakat dimana

mereka bekerja lebih mengetahui keadaan di masyarakatnya sendiri.

D. Pengaruh perasaan bangga pada statusya,terhadap perilaku kesehatan.

Suatu perasaan bangga terhadap budayannya berlaku bagi setiap orang.hal

tersebut berkaitan dengan sikap ethnosentrisme.

E. Pengaruh norma terhadap perilaku kesehatan.

Seperti halnya dengan rasa bangga terhadap statusnya,norma dimasyarakat

sangat mempengaruhi perilaku kesehatan dari anggota masyarakatnya yang

mendukung norma tersebut. sebagai contoh,untuk menurunkan angka kematian ibu

dan bayi banyak mengalami hambatan karena adanya norma yang melarang

hubungan antara dokter sebagai pemberi layanan dengan ibu hamil sebagai

pengguna layanan

F. Pengaruh nilai terhadap perilaku kesehatan

Nilai yang berlaku dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku

kesehatan.nilai-nilai tersebut ada yang menunjang dan ada yang merugikan

kesehata.beberapa nilai yang merugikan kesehatan misalnya adalah penilaian yang

tinggi terhadap beras putih meskipun masyarakat mengetahiu bahwa beras merah

lebih banyak mengandung vitamin B1 jika dibandingkan dengan beras


putih,masyarakat ini memberikan nilai bahwa beras putih lebih enak dan lebih

bersih.

Contoh lain adalah masih banyak petugas kesehatan yang merokok meskipun

mereka mengetahui bagaimana bahaya merokok terhadap kesehatan.

G. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi

terhadap perilaku kesehatan

Pada tingkat awal proses sosialisasi,seorang anak diajakan antara lain

bagaimana cara makan,bahan makanan apa yang dimakan,cara buang air kecil dan

besar,dan lain-lain. kebiasaan tersebut terus dilakukan sampai anak tersebut

dewasa dan bahkan menjadi tua.kebiasaan tersebut sangat mempngaruhi perilaku

kesehatan yang sangat sulit untuk diubah.

H. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan

Tidak ada perubahan yang terjadi dalam isolasi,atau dengan perkataan

lain,suatu perubahan akan menghasilkan perubahan yang kedua dan perubahan

yang ketiga.apabila seorang pendidik kesehatan ingin melakukan perubahan

perilaku kesehatan masyarakat,maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa

yang akan terjadi jika melakukan perubahan,menganalisis faktor-faktor yang

terlibat/berpengaruh terhadap perubahan,dan berusaha untuk memprediksi

tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebutapabila ia tahu budaya

masyarakat setempat dan apabila ia tahu tentang proses perubahan

kebudayaan,maka ia harus dapat mengantisipasi reaksi yang muncul yang

mempengaruhi outcome dari perubahan yang telah direncanakan.

E. PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

Karena perilaku dipengaruhi budaya, maka untuk merubah perilaku juga harus

dirubah budayanya. Bentuk perubahan sosial budaya:


1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat

2. Perubahan yang pengaruhnya kecil dan yang pengaruhnya besar

3. Perubahan yang direncanakan dan yang tidak direncanakan

Perubahan kebudayaan yang terjadi dalam jangka waktu pendek disebut inovasi

 Syarat inovasi:

1. Masyarakat merasa membutuhkan perubahan

2. Perubahan harus dipahami dan dikuasi masyarakat

3. Perubahan dapat diajarkan

4. Perubahan memberikan keuntungan di masa yang akan datang

5. Perubahan tidak merusak prestise pribadi dan kelompok

Penyebab perubahan tidak meluas:

1. Pengguna perubahan baru mendapat suatu hukuman

2. Penemuan baru sulit diintegrasikan ke dalam pola kebudayaan yang

ada

3. Disiplin sosial

Secara sederhana disiplin sosial adalah sikap mental untuk mematuhi berbagai
peraturan yang ditransformasikan melalui perilaku baik dalam masyarakat. Mematuhi
rambu-rambu dan lampu lalu lintas merupakan contoh sederhana dari disiplin sosial
tersebut.
Disiplin sosial berawal dari kesadaran individual yang bergerak secara matang dan
bermuara pada kesadaran kolektif. Hal ini muncul karena adanya kehendak bersama
(collective will) untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tentu saja disiplin jenis ini
menuntut kesiapan bahkan kematangan mental. Disiplin sosial berkonsekuensi logis pada
terwujudnya sistem sosial yang rapi dan teratur. Banyak contoh lain yang dapat kita
kemukakan untuk menunjukkan disiplin sosial ini, misalnya: menjaga kebersihan dengan
cara tidak membuang sampah sembarangan, tepat waktu dalam berbagai aktivitas, jujur
dalam mengelola birokrasi dan lain-lain.
Namun jika kita telisik secara mendalam dan berani, sikap mental masyarakat kita
(umat Islam) belum siap untuk secara bersama mewujudkan disiplin sosial ini. Justru
yang menjadi pemandangan kita sehari-hari adalah kesemerawutan sosial (social chaos).
Dalam hal berlalu lintas misalnya, para pengguna jalan kerap tidak memperhatikan
fungsi rambu-rambu dan lampu lalu lintas. Belum lagi dalam masalah kebersihan,
masyarakat membuang sampah sembarangan. Apa akibat yang ditimbulkan? Kecelakaan
sering terjadi dan kemacetan lalu lintas tak terhindarkan. Banjir pun telah menjadi
rutinitas alam yang kita maklumi terjadi. Inilah sederetan fakta pahit yang tersaji di
kehidupan kita.
Sungguh ironis, disiplin sosial sepertinya menjadi barang mewah yang sulit sekali
diwujudkan. Tentu yang lebih ironis hal ini terjadi di tengah masyarakat yang menjadikan
agama (baca: Islam) sebagai panduan dalam hidup. Padahal spirit disiplin sosial begitu
kental terkandung di dalam Diinul Islaam itu. Lihat misalnya Q.S. Al-Ashr/ 103: 1-3
tentang kedisiplinan dan hadis Nabi tentang kebersihan bagian dari iman. Di sini ada
mata rantai yang terputus antara normativitas disiplin sosial dengan perilaku umat Islam
itu sendiri. Spirit disiplin sosial dibekukan dan diletakkan sebagai doktrin langit yang
kering kontekstualisasi. Umat Islam terpenjara pada logo-logo agama dan meletakkan
Islam dalam lingkup gerakan yang sempit.
Dalam konteks ini, Diinul Islaam dilihat sebatas hanya pada ritus-ritus keagamaan
yang sempit. Umat Islam sudah merasa puas dan merasa sudah menjadi Muslim sejati
manakala shalat dilaksanakan secara konsisten, puasa Ramadhan dikerjakan dan haji
ditunaikan. Namun mereka tidak sensitif terhadap ajaran-ajaran Islam dalam ranah sosial.
Akhirnya, ada seorang Muslim yang rajin shalat dan puasa namun tidak tepat waktu
dalam aktivitas dan sering membuang sampah sembarangan. Atau ada seorang Muslim
yang sudah menunaikan haji dan umroh namun melakukan praktik korupsi dan tidak
mematuhi rambu-rambu berlalu lintas. Fenomena ini selain merusak kesucian ajaran
Islam juga akan melahirkan pandangan yang peyoratif (merendahkan) terhadap umat
Islam itu sendiri. Inilah paras Islam yang kumuh dan menyedihkan.
Jika kita melukis piramida, bagian dasar diumpamakan sebagai ibadah-ibadah ritual
sementara puncaknya adalah disiplin sosial. Disiplin sosial hakikatnya merupakan muara
dari semua ibadah ritual itu. Tidak ada ritualisme yang terpisah dari disiplin sosial.
Dengan kata lain, seorang Muslim yang sudah mapan secara ritual harus
menyempurnakan keislamannya melalui berbagai aktivitas, seperti: mematuhi peraturan
lalu lintas, menjaga kebersihan lingkungan, menghindari praktik suap, menjauhkan diri
dari perilaku korup, menghargai waktu dan lain-lain.

4.Disiplin politik, ekonomi yang berkaitan dengan kesehatan

Disiplin sosial, adalah pernyataan sikap mental masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan
bersama yang didukung oleh kesadaran kolektif untuk menunaikan tugas dan kewajiban
bersama sebagai kesatuan sosial untuk mencapai tujuan bersama.

5.ekonomi

6. iptek
ILMU KEPERAWATAN DAN KEMAJUAN IPTEK

Perubahan sosial ekonomi dan politik,kedudukan, dan IPTEK akan berdampak


terhadap perubahan penetapan perawat, yang meliputi bentuk praktik keperawatan,
pendidikan keperawatan dan perkembangan IPTEK keperawatan, perawat pada abad
mendatang akan menghadapi suatu kesepakatan dan tantangan yang sangat luas sekaligus
suatu ancaman.
Penguasaan dan keterlibatan dalam perkembangan IPTEK dalam praktik
keperawatan bagi perawat Indonesia merupakan suatu keharusan. Penguasaan IPTEK
juga akan berperan dalam menapis dan menseleksi IPTEK yang sesuai dengan
kebutuhan dan social budaya masyarakat Indonesia yang akan diadopsi.
Saat ini berbagai sistem teknologi untuk merawat pasien dilapangan mulai
berkembang, dan perawat mulsi memikirkan bagaimana teknologi dapat mempengaruhi
praktek keperawatan, meningkatkan praktek keperawatan serta mutu asuhan
keperawatan.Dalam hal ini perawat mampu sebagai pendidik, analis sistem, seorang
analis web, koordinator keamanan dan administrator sistem yang fokus adalah untuk
meningkatkan praktek keperawatan melalui penggunaan kreatif teknologi,
memaksimalkan produktivitas perawatan, perbaikan infrastruktur dan lingkungan kerja
lebih mendukung dunia kelas Clinic keunggulan dalam perawatan pasien.Perawat
diharapkan dapat member inovasi bersama untuk memperbaiki cara perawat
berkomunikasi dengan satu sama lain, dengan profesi lain dan dengan pasien.perawat
harus melihat teknologi sebagai alat untuk mendukung, bukan menghambat, serta
memberi dampak positif bagi praktek keperawatan di masa depan (Briggs,2006).
Berkaitan dengan penguasaan teknologi oleh perawat dilakukan Analis Klinis
di Departemen Informatika Keperawatan Cleveland klinik Amerika bahwa Perawat
memiliki peluang untuk melakukan teknologi inovatif dalam rangka meningkatkan
praktek klinis dengan terlebih dahulu menganalisis alur kerja praktek klinis pada saat ini.
Berdasarkan pengamatan ini, mereka memfasilitasi desain dan pengembangan,
pengujian, implementasi, pelatihan dan evaluasi sistem klinis otomatis. Informatika klinis
analis memfasilitasi kelompok kerja dari staf perawat untuk memvalidasi desain aplikasi
dan untuk mempelajari dan mengukur dampak teknologi pada peningkatan praktek
keperawatan tertentu dan proses (Boodman, 2005).
Pendekatan kolaboratif Keperawatan, Kualitas Pendidikan dan Penelitian
Instruktur Klinis di Departemen Keperawatan Informatika juga perawat menyediakan
pelatihan aplikasi terpusat untuk tenaga perawat untuk mendukung aplikasi klinis baru
atau revisi diimplementasikan pada unit keperawatan. Bekerja bersama-sama dengan para
manajer perawat, staf keperawatan, dan Departemen Pendidikan Keperawatan &
Professional Development - NI Klinis Instruktur memberikan dukungan instruksi dan
pengguna untuk mempermudah pengenalan teknologi baru ke dalam keperawatan
(Bluementhal,2006).
Sistem teknologi dalam keperawatan akan menyebabkan biaya yang
dikeluarkan menjadi lebih besar atau berkurang, apakah membantu mencapai tujuan yang
diharapkan, apakah jumlah SDM keperawatan dapat dikurangi serta apakah akan
berkesinambungan dan secara terus-menerus akan dipergunakan.

7.

Anda mungkin juga menyukai