Anda di halaman 1dari 26

1

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH


PETERNAKAN
PENGOLAHAN FESES SAPI PERAH DAN JERAMI PADI SECARA
TERPADU MENJADI POC, FEED ADITIF, BIOGAS, DAN POP

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktikum


Pengelolaan Limbah Peternakan

Oleh :
Kelompok 2
Kelas E

SYAMIL SYABIMA RACHMAT 200110140296

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI DAN PENANGANAN LIMBAH


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016
2

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur mari kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan nikmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Pengolahan Feses Sapi Perah dan Jerami Padi Secara
Terpadu Menjadi POC, Feed Aditif, Biogas, dan Pupuk Organik Cair”. Kemudian
shalawat beserta salam mari kita curah limpahkan kepada Nabi besar kita
Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan
sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Pengelolaan
Limbah Peternakan di program studi Ilmu Peternakan Fakultas Peternakan pada
Universitas Padjadjaran. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing mata kuliah pengelolaan Limbah, dan
kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama
penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan laporan ini, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan Makalah
ini.

Jatinangor, November 2016

Penulis
1

I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limbah secara definisi merupakan bahan buangan yang dihasilkan dari suatu
proses atau aktifitas yang sudah tidak digunakan lagi pada proses tertentu yang
memiliki nilai ekonomis yang relatif kecil atau bahkan sulit untuk dimanfaatkan
dan cenderung merugikan. Pengelolaan adalah suatu proses pengendalian suatu hal.
Pengolahan adalah mengusahakan sesuatu agar menghasilkan hasil yang lebih.
Peternakan adalah suatu kegiatan mengembang biakan dan membudidayakan
hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari hewan ternak tersebut.
Dalam usaha peternakan pasti memiliki hasil buangan dari proses usaha
tersebut. Sepertihalnya feses dan yang lainnya yang mana bila limbah tersebut tidak
diolah atau dimanfaatkan lebih lanjut maka akan merugikan baik bagi lingkungan
maupun ekonomis. Seperti halnya feses sapi perah, dalam feses sapi perah
mengandung bahan organik penting yang terdiri dari unsur C, N, S, dan P. Tidak
hanya bahan organik tetapi juga terdapat mikroorganisme yang berperan penting
dalam membantu proses penguraian
Oleh karena itu perlu dipelajari dan dipraktekan cara pengolahan secara
terpadu mengenai limbah ternak tersebut, karena dengan mempelajari hal tersebut
diharapkan kerugian ekonomis maupun lingkungan yang diakibatkan oleh limbah
dapat dikurangi atau bahkan kerugian dapat menjadi keuntungan bila dapat dikelola
dan diatur dengan baik.
1.2 Tujuan Praktikum
1. Mengetahui pengolahan feses sapi perah dan jerami padi menjadi POC &
POP
2. Mengetahui pengolahan feses sapi perah dan jerami padi menjadi
dekomposan.
3. Mengetahui pengolahan feses sapi perah dan jerami padi menjadi Biogas.
4. Mengetahui cara pengolahan vermicompos
2

1.3 Waktu dan Tempat


1. Hari, Tanggal : Selasa, 4, 11, 18 & 25 Oktober 1, 8, 15,& 22 November
2016
2. Waktu : Pukul 12:30-14:30
3. Tempat : Laboratorium Mikrobiologi dan Penanganan Limbah
Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran.
3

II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jerami Padi
Jerami padi merupakan limbah pertanian yang tersedia dalam jumlah cukup
banyak dibanding dengan limbah pertanian lainnya, serta mudah diperoleh untuk
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan sebagian menjadi kompos (Agustinus,
2011).
Manfaat jerami perlu digali dan dikembangkan menjadi barang berharga
mengingat potensinya yang sangat besar dan tidak akan habis-habisnya. Jerami padi
merupakan sumber bahan organik yang potensial, relatif murah dan mudah didapat.
Tingginya kadar selulosa dan lignin merupakan kendala utama dalam pemanfaatan
jerami padi sebagai pupuk organik, karena lamanya waktu pelapukan secara
alamiah. Penggunaan jerami segar secara langsung akan mengganggu terhadap
awal pertumbuhan tanaman dan menyulitkan pengolahan tanah (Pagi dan
Kartaadmadja, 2003).
Jerami segar memiliki nisbah C/N lebih besar dari 30. Menurut Tisdale dan
Nelson (1975), bila nisbah C/N lebih besar dari 30 akan terjadi proses immobilisasi
N oleh jasad renik untuk memenuhi kebutuhan akan unsur N. Sumbangan hara dari
jerami padi ke tanah bergantung pada bobot komposisi hara jerami, pengelolaan
dan rejim air tanah (Ponnamperuna, 1985). Bobot biomas juga tergantung pada
rejim air,musim, varietas, kesuburan tanah, dan nisbah gabah /jerami.
Jerami padi dapat digunakan sebagai sumber hara K, karena sekitar 80% K
yang diserap tanaman berada dalam jerami. Oleh karena itu, jerami berpotensi
sebagai pengganti pupuk K anorganik (Odjak, 1992). Jerami selain dapat
menggantikan pupuk K pada tanaman tertentu, juga berperan penting dalam
memperbaiki produktivitas tanah sawah yang dapat meningkatkan efesiensi pupuk
dan menjamin kemantapan produksi (Rochayati dkk. 1990; Wihardjaka dkk. 2002).
Pemberian jerami dapat meningkatkan kadar C-organik, K-dd, dan KTK
tanah berturut-turut sebesar 13,2%, 28,6%, dan 153% (Widati dkk, 2000). Menurut
4

Adiningsih (1992), aplikasi jerami 5 ton tiap hektar dapat meningkatkan N,P,dan K
tanah.
Kandungan hara jerami padi saat panen bergantung pada kesuburan tanah,
kualitas dan kuantitas air irigasi, jumlah pupuk yang diberikan, kultivar dan
musim/iklim. Ponnamperuna (1985) melaporkan kandungan hara jerami dari
berbagai negara berkisar antara 0,38-1,01% N; 0,01-0,12% P; 1,0-3,0% K; dan 2,5-
7,0% Si dengan rata-rata 0,57% N; 0,07% P; 1,5% K, dan 3,09 Si.
Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0,4% N; 0,02% P; 1,4%
K, dan 5,6% Si. Untuk setiap 1 ton gabah (GKG) dari pertanaman padi dihasilkan
pula 1,5 ton jerami yang mengandung 9 kg N, 2 kg P, 25 kg K, 2 kg S, 70 kg Si, 5
kg Ca dan 2 kg Mg. Apabila konsentrasi hara tersebut mewakili nilai rata-arata
jerami, maka produksi jerami di Indonesia sebesar 29 juta ton/bulan setara dengan
468.000 ton N (setara 1,04 juta ton urea), 78.000 ton P (setara 0,5 juta ton SP-36),
1,17 juta ton K (setara 1,95 juta ton KCl), 78.000 ton S, dan 3,9 juta ton Si. Jumlah
hara potensial yang berasal dari jerami sisa panen tersebut sangat besar, namun
pemrosesannya sulit, petani belum memiliki metode yang sederhana dan
menguntungkan.
2.2 Feses Sapi Perah
Menurut Ihat (2001) bahwa sapi laktasi dengan berat 450 kg menghasilkan
kurang lebih 25 kg urin dan feses per hari.. Limbah cair peternakan sapi perah
berwarna hijau pekat mengeluarkan bau dan mengandung pH 7-8, BOD 435
mg/liter, COD 4635 mg/liter, dan nitrogen yang merupakan zat hara utama yang
merangsang pertumbuhan alga di perairan (Hidayatullah, dkk., 2005).
Feses sapi mengandung hemisellulosa sebesar 18,6%, sellulosa 25,2%, lignin
20,2%, nitrogen 1,67%, fosfat 1,11% dan kalium sebesar 0,56% (Sihotang, 2010).
Feses sapi mempunyai C/N ratio sebesar 16,6-25% (Siallagan, 2010).
2.3 Dekomposisi
Merkel (1981) bahwa faktor yang mempengaruhi proses biologis dalam
pengomposan adalah nisbah C/N, kadar air, ketersediaan oksigen, mikroorganisme,
temperatur, dan pH. Nilai C/N yang baik untuk dekomposan adalah 25-30. Menurut
5

SNI 19-7030-2004 kompos yang baik dan siap digunakan harus memenuhi standar
warna kehitaman dan berbau tanah. Hal tersebut pun sesuai dengan pernyataan
Djuarnani, N (2005) bahwa kompos yang telah matang ditandai oleh warna yang
gelap, tidak berbau busuk, struktur remah dan tidak dihinggapi lalat.
Penyusutan berat juga merupakan parameter untuk menentukan tingkat
kematangan proses pengomposan. Menurut Yuliarti, N (2009) bahwa selama proses
pengomposan akan terjadi penyusutan berat. Penyusutan berat dapat mencapai 30-
40 % dari berat awal bahan.
Hadisuwito, S (2007), penyusutan dapat terjadi karena adanya proses
dekomposisi. Proses dekomposisi merupakan akibat dari aktifitas mikroba dengan
proses secara aerobik dan anaerobik melalui beberapa tahap. Pada tahap pertama
terjadi proses secara aerob, pada tahap kedua terjadi proses secara anaerobik, karena
O2 telah habis. Pada tahap ketiga, mikroorganisme pembentuk gas methana akan
memakan CO2, hidrogen, dan asam organik untuk membentuk gas methana dan
produk lain. Pada tahap ini mikroorganisme bekerja lambat tapi efisien
menggunakan semua material yang ada
2.4 Pupuk Organik Cair
Berdasarkan bentuknya, pupuk organik dibedakan menjadi dua, yakni pupuk
cair dan padat. Pupuk cair adalah larutan yang berisi satu atau lebih pembawa unsur
yang dibutuhkan tanaman yang mudah larut. Kelebihan pupuk cair adalah mampu
memberikan hara sesuai kebutuhan tanaman. Selain itu, pemberiannya dapat lebih
merata dan kepekatannya dapat diatur sesuai kebutuhan tanaman.
(Hadisuwito,2012).
Kebutuhan pupuk cair terutama yang bersifat organik cukup tinggi untuk
menyediakan sebagian unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman, dan merupakan
suatu peluang usaha yang potensial karena tata laksana pembuatan pupuk organic
cair tergolong mudah (Hadisuwito, 2012). Pupuk organik cair dapat dibuat dari
bahan organik cair (limbah organik cair), dengan cara mengomposkan dan memberi
aktivator pengomposan sehingga dapat dihasilkan pupuk organik cair yang stabil
dan mengandung unsur hara lengkap (Oman,2003).
6

Penggunaan pupuk organik cair memiliki keunggulan yakni walaupun sering


digunakan tidak merusak tanah dan tanaman, pemanfaatan limbah organik sebagai
pupuk dapat membantu memperbaiki struktur dan kualitas tanah, karena memiliki
kandungan unsur hara (NPK) dan bahan organik lainnya (Hadisuwito, 2012).
Bahan-bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair dapat berasal
dari limbah cair dari bahan organik, limbah agroindustri, kotoran kandang ternak
dan limbah rumah tangga (Oman, 2003).
2.5 Biogas
Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan
organik oleh mikroorganisme pada kondisi tanpa oksigen (anaerob). Komponen
biogas antara lain sebagai berikut : ± 60 % CH4 (metana), ± 38 % CO2 (karbon
dioksida) dan ± 2 % N2, O2, H2, & H2S. Gas yang dihasilkan memiliki komposisi
yang berbeda tergantung dari jenis hewan yang menghasilkannya (Firdaus, U.I,
2009 dalam Harsono, 2013).
Biogas merupakan gas campuran metana (CH4) karbondioksida (CO2) dan
gas lainnya yang didapat dari hasil penguraian bahan organik (seperti kotoran
hewan, kotoran manusia, dan tumbuhan) oleh bakteri metanogen. Untuk
menghasilkan biogas, bahan organik yang dibutuhkan, ditampung dalam
biodigester. Proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerob (tanpa
oksigen). Biogas terbentuk pada hari ke-4~5 sesudah biodigester terisi penuh dan
mencapai puncak pada hari ke-20~25. Biogas yang dihasilkan sebagian besar terdiri
dari 50-70% metana (CH4), 30-40% karbondioksida (CO2) dan gas lainnya dalam
jumlah kecil (Fitria B, 2009).
Biogas dihasilkan apabila bahan-bahan organik terurai menjadi senyawa-
senyawa pembentuknya dalam keadaan tanpa oksigen (anaerob). Fermentasi
anaerob ini biasa terjadi secara alami di tanah yang basah, seperti dasar danau dan
di dalam tanah pada kedalaman tertentu. Proses fermentasi adalah penguraian
bahan-bahan organik dengan bantuan mikroorganisme. Fermentasi anaerob dapat
menghasilkan gas yang mengandung sedikitnya 50% metana. Gas inilah yang biasa
disebut dengan biogas. Biogas dapat dihasilkan dari fermentasi sampah organik
7

seperti sampah pasar, daun daunan, dan kotoran hewan, bahkan kotoran manusia
sekalipun. Gas yang dihasilkan memiliki komposisi yang berbeda tergantung dari
jenis hewan yang menghasilkannya (Firdaus, U.I, 2009).
Bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul
rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh bakteri ini
menggunakan hidrogen, CO2 dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO2.
Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri
penghasil asam membentuk keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil
metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang
dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan
menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam (Kharistya
Amaru, 2004). Bakteri asam dan bakteri metan ini perlu eksis dalam jumlah yang
berimbang. Kegagalan reaktor biogas dapat dikarenakan tidak seimbangnya
populasi bakteri metan terhadap bakteri asam yang menyebabkan lingkungan
menjadi sangat asam. Keasaman substrat biogas dianjurkan untuk berada pada
rentang pH 6,5-8. Temperatur 35˚C diyakini sebagai termperatur optimum (
Junus,1987)
2.6 Vermikompos
Karena kualitas dan kuantitas bahan makanan mempengaruhi pertumbuhan
dan reproduksi cacing tanah dalam proses vermicomposting (Edwards dkk. 1988:
211-220). Sehingga berikut adalah Syarat-syarat biologi cacing tanah yang
digunakan dalam proses vermicomposting terdiri atas: tingkat produksi kokon yang
tinggi, waktu perkembangan kokon yang pendek, keberhasilan penetasan kokon
yang tinggi dan memiliki laju reproduksi yang tinggi (Bhattacharjee & Chaudhuri
2002: 147-150).
Dominguez dkk (1997) mendefinisikan vermicompos sebagai proses
dekomposisi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan
mikroorganisme. Mikroorganisme yang berperan dalam proses vermicomposting
terutama bakteri, fungi, dan actinomycetes.
8

Vermicomposting menghasilkan dua yaitu biomassa cacing tanah dan


vermikompos (Sharma dkk, 2005). Vermikompos merupakan bahan organik seperti
tanah yang memiliki struktur, porositas, aerasi, drainase, dan kapasitas menahan
kelembaban yangsangat baik (Dominguez dkk, 1997). Vermikompos mengandung
banyak aktivitas, populasi, dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos
juga mengandung beberapa enzim seperti protease, amilase, lipase, selulase,
dankitinase (Subler dkk, 1998), serta zat pengatur tumbuh seperti giberelin,
sitokinin,dan auksin (Tomatti dkk, 1988).
Selama proses vermicomposting, nutrisi pada tumbuhan yang penting seperti
nitrogen, kalium, dan fosfor yang terdapat di dalam bahan makanan diubah melalui
aktivitas mikroorganisme menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan
(Ndegwa & Thompson, 2000). Pada proses ini cacing tanah mengubah aktivitas
mikroorganisme, sehingga laju mineralisasi bahan-bahan organik bertambah cepat
(Albanell dkk, 1988).
9

III
ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA
3.1 Perhitungan Nisbah C/N dan Kadar Air
3.1.1 Alat dan bahan
1. Data analisis feses dan jerami
2. Alat tulis
3.1.2 Prosedur Kerja
1. Menghitung data yang telah diberikan
2. Menghitung nisbah c/n
3. Menghitung kadang air
3.2 Dekomposisi Awal
3.2.1 Alat
1. Timbangan
2. Wadah besar/ember
3. Karung
4. Terpal
5. Tongkat kayu aerasi
6. Jarum
7. Tali pengikat
8. Kardus berbentuk lingkaran
3.2.2 Bahan
1. Jerami 10 Kg
2. Jerami 2 kg untuk dasar dan penutup
3. Feses sapi perah 20 Kg
3.2.3 Prosedur Kerja
1. Menyiapkan jerami padi yang telah dicacah dan feses sapi perah.
2. Menimbang jerami dan feses dengan perbandingan 2:1.
3. Mencampurkan jerami (20 kg) dan feses (10 kg) sampai homogen.
10

4. Memasukan jerami kering sebanyak 1 kg ke dalam karung (karung telah


dijahit antar ujungnya dan dibalik sehingga karung dapat diberdirikan)
sebagai lapisan awal.
5. Jerami dan feses yang telah dihomogenkan dimasukan ke dalam karung dan
dipadatkan sedikit demi sedikit.
6. Setelah tingginya mencapai seperempat bagian karung, pemadatan dilakukan
dengan bantuan tusuk bambu, guna untuk memerangkap oksigen.
7. Setelah semua campuran bahan masuk, memasukan jerami kering lagi
sebanyak 1 kg dan karton tebal sebagai penutup.
8. Mengikat karung dengan kuat
9. Karung yang telah terisi penuh disimpan dan dilakukan pengecekan suhu
setiap hari selama satu minggu.
10. Setelah proses fermentasi selesai, dekomposan yang telah stabil suhunya,
dikeringkan dengan cara dihamparkan di atas baki kayu kemudian diangin-
anginkan selama dua minggu.
3.3 Ekstraksi dan pembuatan POC
3.3.1 Alat
1. Ember
2. 4 buah bak saringan berukuran 40x30x10cm
3. Gayung
4. Kompor gas
5. Gelas ukur
6. Batang pengaduk
3.3.2 Bahan
1. Substrat 3 Kg
2. Air panas 10 Kg
3.3.3 Prosedur Kerja
1. Menimbang substrat dekomposan sebanyak 3 kg dan memasukan kedalam
wadah.
2. Dekomposan direndam dengan air panas sebanyak 11 liter selama 30 menit.
11

3. Menyaring dengan saringan bertingkat sampai diperoleh 4 liter filtrat pekat.


4. Menyimpan filtrat pekat dalam wadah dan ditutup menggunakan plastik yang
telah dilubangi oleh jarum.
5. Menyisihkan padatan sisa filtrasi untuk dibuat POP.
3.4 Pembuatan Biogas
3.4.1 Alat
1. Digester /tong plastik
2. Penampung gas/ban karet
3. Kran/katup gas
4. Selang plastik
5. Vaselin
3.4.2 Bahan
1. Ampas dari POC yang tidak tersaring
3.4.3 Prosedur Kerja
1. Menyiapkan instalasi biogas dari digester dan ban penampung gas.
2. Merangkai instalasi biogas, digester, ban, selang dan dilengkapi kran gas
dibagian penutupnya.
3. Memastikan tidak ada kebocoran pada setiap sambungannya.
4. Menimbang substrat dekomposan sebanyak 15 kg.
5. Mencampur substrat dengan tepung tapioca sebanyak 2%.
6. Memasukan substrat ke dalam tong digester kemudian ditutup rapat dengan
menyisipkan sealer antara tong dengan penutupnya.
7. Menutup rapat tong dan menguncinya dengan klem.
8. Menginkubasi selama waktu yang diperlukan
3.5 Pembuatan Vermikomposting
3.5.1 Alat dan bahan
1. Substrat dekomposan/padatan sisa filtrasi
2. Cacing tanah
3. Timbangan
4. Wadah
12

5. Triplek
3.5.3 Prosedur Kerja
1. Memanen cacing dari vermicultur.
2. Membagi hasil panen cacing menjadi 250 gram per kelompok
3. Menimbang substrat sebanyak 3,5 kg.
4. Menyimpan padatan, media dan cacing dalam wadah. Penyimpanan tidak
dicampur tetapi dibagi ¾ bagian wadah adalah padatan dan ¼ bagian lain
adalah media dan cacing.
5. Menutup wadah dengan triplek, pada wadah ada lubang untuk sirkulasi udara.
6. Proses berlangsung selama pertumbuhan cacing ±2 minggu. Setiap satu
minggu dilakukan aerasi dengan membolak-balikan bahan tersebut.
7. Hasil dari sisa pencernaan cacing (kascing) merupakan pupuk organik padat
yang siap digunakan pada tanaman
13

IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Perhitungan Nisbah N/C dan Kadar air
Tabel 1. N/C dan Kadar air bahan yang dicari
No Bahan C/N Ratio %Kelembapan C N
1 Chiken Litter 10 30 25 2,5
2 Sawdust 450 15 34 0,08

 Bagian Chiken litter dan sawdust dengan C/N 25


(𝑥.25)+(𝑦.36) 20𝑥+36𝑦
25 = (𝑥.2,5)+(𝑦.0,4) = 1,7𝑥+0,4𝑦

62,5x + 2y = 25x +34y


62,5x – 25x = 34y – 2y
37,5x = 32y
Misalkan Chiken litter1 kg
37,5(1) = 32y
37,5
y= = 1,171 kg
32

Agar nisbah C/N menjadi 25 maka setiap 1 kg chiken litter di tambahkan 1,171 kg
saw dust
 Kadar air dekomposan
Chiken litter= 30% x 1 kg = 0,3 kg air
sawdust = 15% x 1,171 kg = 0,176 kg air
0,3+0,176 0,476
Kadar air = x100% = 2.171x100% = 21,9%
1+1,171

Jumlah air yang ditambahkan supaya kadar air 50%


0,476+.𝑥
Kadar air = = 50%
2,171+𝑥
0,476+𝑥
= 0,5
2,171+𝑥

0,476 + x = 1,085 + 0,5x


0,5x = 1,609 kg
14

x = 0,8045 kg
maka jumlah air yang harus ditambahkan agar kadar air menjadi 50% sebanyak
1,218 liter karena masa jenis air = 1 sehingga total berat menjadi 2,171+0,8045=
2,9755 Kg
4.1.2 Dekomposisi Awal
Berat awal = 30 kg + 2 kg jerami
Feses = 10 kg
Jerami = 22 kg
Jerami tambahan = lapisan bawah 1 kg dan bawah 1 kg
Pengamatan Suhu dekomposan selama 1 minggu
Tabel 2. Pengamatan suhu dekomposan
Hari ke- (T) 0 1 2 3 4 5 6 7
Atas 28 51 51 43 42 40 40 38
Suhu (oC)

Tengah 28 50 51 45 44 44 42 42
Bawah 28 46 48 43 46 43 42 44
Berat akhir = 22,7 kg
Penyusutan = Berat awal – berat akhir
= 32 – 22,7= 9,3 kg
Lalu dilakukan penjemuran selama 1 minggu sebanyak 10kg
4.1.3 Pupuk Organik Cair
Dekomposan = 3 Kg
Air = 10 liter
POC pekat dalam wadah = 5, 35 liter
4.1.4 Biogas
Substrat = 15 Kg
Tepung Tapioka = 2%  0,3 Kg
Pengamatan:
1 minggu = Ban terlihat sedikit kempes
2 minggu = Ban tidak mengembang dan gas tidak bisa dimenyalakan api
15

4.1.5 Vermikompos
Pengamatan awal
Cacing = 0.25 kg
Berat padatan = 3,5kg
Berat media = 0,3 kg
Tanggal tanam 22 November 2016
Pengamatan akhir
Cacing = 0.35 kg
Berat padatan = 4,8 kg (sesekali ditambahkan padatan oleh pihak laboran
sehinga berat padatan naik)

4.2 Pembahasan
4.2.1 Perhitungan Nisbah C/N dan Kadar Air
Dalam pembuatan dekomposan salah satu hal yang harus diperhatikan adalah
nisbah C/N yaitu merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan kadar carbon
dan nitrogen dalam suatu bahan. Nisbah C/N perlu diketahui sebelum melakukan
proses dekomposisi karena nilai nisbah C/N akan mempengaruhi kualitas hasil
dekomposisi untuk kompos. Feses sapi perah memiliki nisbah C/N yang rendah
oleh karena itu ditambahkan jerami padi yang memiliki nisbah C/N tinggi sehingga
nisbah C/N untuk dekomposan dapat tercapai.
Agar praktikan dapat mengetahui kadar C/N yang baik dan sesuai dengan
yang harus dilakukan maka dibuatlah soal simulasi mengenai perbandingan C/N.
simulasi tersebut membandingkan 2 bahan yaitu chiken litter dan Sawdust, atau bisa
disebut juga kotoran ayam dan serbuk gergaji
Dari hasil simulasi dan perhitungan didapatkan hasil. Untuk memperoleh
nisbah C/N sebesar 25 maka dibutuhkan dengan perbandingan 1 kg Chiken litter
dan 0,865 kg Sawdust. Sehingga didapatkan kesimpulan Agar nisbah C/N menjadi
25 maka setiap 1 kg chiken litter di tambahkan 1,171 kg saw dust. Lalu dalam
simulasi tersebut dibahas mengenai kadar air , kadar air sangat penting dihitung dan
16

diketahui agar proses dekomposisi berjalan dengan sebagai mana mestinya. Oleh
karena itu ditambahkanlah simulasi dengan jumlah air yang harus ditambahkan bila
kadar air dalam bahan harus mencapai 50% kadar air. Dari hasil penggabungan
didapatkan bahwa kadar air Chiken litter dan Sawdust dengan nisbah C/N 25
didapatkan kadar air 21,9%. maka untuk mencapai kadar air yang disimulasikan
yaitu 50% maka ditambahkan air sebanyak 0,8045 kg maka jumlah air yang harus
ditambahkan agar kadar air menjadi 50% sebanyak 1,218 liter karena masa jenis air
= 1 sehingga total berat menjadi 2,171+0,8045= 2,9755 Kg
4.2.2 Dekomposisi Awal
Pada konsepnya praktikum limbah dimulai dari awal hingga akhir merupakan
suatu rangkaian tak terputus dan dilanjutkan dari awal hingga selesai sehingga
sukses tidaknya praktikum bisa dikatakan ditentukan dari pengerjaan awal yaitu
dekomposisi awal itu sendiri. Dekomposisi merupakan tahapan dimana bahan
organic kompleks dirubah menjadi lebih sederhada dengan bantuan
mikroorganisme. Banyak faktor yang menjadikan indikator keberhasilan
dekomposisi pada suatu praktikum kali ini, salah satu indikator yang diamati adalah
indikator suhu dengan adanya perubahan suhu menjadi panas menandakan proses
dekomposisi sedang berlangsung dan pada saat suhu menjadi turun, itu merupakan
indikator yang menandakan proses dekomposisi telah selesai
Pengukuran suhu pada proses dekomposisi awal dengan bahan dasar feses
sapi perah dan jerami padi dilakukan selama 1 minggu. Suhu pengukuran
didapatkan dengan cara mengukur suhu dari karung dekomposisi dibagian atas,
tengah dan bawah. Hal ini berguna untuk membedakan suhu yang didapat dengan
letak yang berbeda-beda sehingga data bisa lebih akurat.
Dari hasil pengukuran didapatkan puncak suhu terjadi pada T-1 atau sehari
setelah praktikum berlangsung. Suhu rata-rata pada hari itu adalah 49 derajat C hal
ini menandakan proses dekomposisi sedang berlangsung maksimal. lalu secara
perlahan lahan suhu turun hal ini menandakan bahwa proses dekomposisi juga telah
menurun dan tidak sebanyak puncak suhu. Suhu merupakan indicator yang bisa
menunjukan bahwa proses dekomposisi masih berlangsung atau sudah selesai, bila
17

suhu tinggi maka proses masih berlangsung dan bila suhu rendah maka proses
dekomposisi telah selesai
Setelah dekomposisi dilakukan selama 7 hari maka suhu turun menjadi
berkisar 42 derajat C. karena sempitnya waktu maka dekomposisi dicukupkan dan
karung dekomposisi dibongkar, setelah dibongkar bau yang tercium berbeda
dengan bau saat feses dan jerami ditaman, bau cenderung seperti bau lembab dan
bau basah atau apeuk. Lalu terdapat kutu yang jumlahnya banyak yang sedikit
mengganggu saat dilakukan pembongkaran, Tekstur dari hasil pengomposan
terutama pada bagian jerami menjadi rapuh. Hal tersebut sudah menunjukan ciri-
ciri dari proses pengomposan yang telah stabil atau matang.
Salah satu indikator proses dekomposisi berhasil adalah penyusutan berat,
karena masa dari feses sebagian digunakan oleh mikroorganisme untuk melakukan
proses metabolismenya yang ditandai dengan indikator suhu pula. Saat pertama di
timbang berat awal 32 kg dan saat berat akhir ditimbang karung mengalami
penyusustan menjadi 22,7 kg, terjadi penyusutan sebanyak 9,3kg atau terjadi
penyusutan dikisaran 30%. Jika disimpulkan maka dekomposisi berjalan cukup
baik dan seperti yang seharusnya namun tidak sempurna karena pengomposan
hanya menggunakan 1 minggu.
4.2.3 Pupuk Organik Cair
Setelah dekomposisi awal berhasil dilakukan tahapan selanjutnya yaitu
membuat POC atau pupuk organic cair, dimana dekomposisi yang telah matang lalu
dijemur diatas papan dan dibiarkan terangin angin, agar substrat menjadi kering,
pengeringan cukup dengan panas sinar matahari dan suhu ruangan tidak
menggunakan oven karena bila menggunakan oven komposisi kimia dari substrat
akan rusak dan biaya akan menjadi lebih mahal.
Setelah substrat dijemur selama 2 minggu lalu maka substrat telah siap, lalu
dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan banyaknya air panas adalah 10
liter dan banyaknya dekomposan adalah 3kg. dari hasil penyaringan didapatkan
bahan pupuk organic cair sebanyak 5,35 liter. Warna dari hasil filtrasi dekomposan
18

adalah hitam, warna ini menandakan bahwa dalam air hasil filtrasi tersebut terdapat
banyak bahan organik didalamnya.
Pupuk organik cair memiliki manfaat bagi tanaman yaitu nntuk
menyuburkan tanaman, Untuk menjaga stabilitas unsur hara dalam tanah, untuk
mengurangi dampak sampah organik di lingkungan sekitar, untuk membantu
revitalisasi produktivitas tanah, untuk meningkatkan kualitas produk (Suriadikarta,
2006). Pupuk organik cair ini sangat baik digunakan karena berbahan dasar buah-
buahan yang berasal dari alams ehingga tidak meninggalkan residu yang akan
merusak lingkungan serta harga dan proses pembuatannya yang tidak sulit. Hal ini
sesuai dengan pendapat Pranata (2004) yang menyatakan bahwa pupuk organik
merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki
kesuburan tanah, dalam arti produk pertanian yang dihasilkan terbebas dari bahan-
bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia sehingga aman di konsumsi.
4.2.4 Biogas
Pada praktikum biogas bahan dari substrat hasil proses pembuatan POC
dimasukan kedalam digester pada dasarnya bila tidak terdapat kebocoran elemen
biogas dapat diketahui bahwa gas methan (CH4), mulai terbentuk pada minggu
mingu awal. Hal itu ditandai dengan mulai mengembangnya ban penambung gas.
Namun pada praktikum yang melibatkan satu kelas tersebut terdapat kesalahan
dalam pembuatan wadah penampung biogas, disinyalir terdapat kebocoran dalam
wadah penampung biogas tersebut sehingga ban penampung gas biogas tersebut
tidak menunjukan penggelembungan atau tetap kempes.
Banyak hal yang dapat menjadi factor penyebab gagalnya pembentukan
biogas dalam praktikum kali ini penyebabnya antara lain karena kebocoran pada
ban penampung gas, atau kebocoran pada klep dan kran. Sehingga praktikan tidak
menguji nyala dari biogas tersebut karena gas methan yang dibentuk telah habis hal
tersebut ditunjukan dengan kempes nya ban penampung gas CH4.
4.2.5 Vermikompos
Teknik vermicomposting merupakan teknik pengomposan dengan bantuan
cacing tanah untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organic. Pada
19

praktikum vermicomposting, penanaman cacing dilakukan pada media hasil


dekomposisi awal yang tidak diikutkan pada pembuatan POC. Praktikum ini
dilakukan dengan metode migrasi secara alami, ini bertujuan agar cacing dapat
berpindah dengan sendirinya menuju ke zona yang dianggapnya nyaman untuk
tumbuh dan berkembang.
Setelah disimpan dalam wadah tanah kembali di gemburkan hal ini
bertujuan agar kadar oksigen dalam tanah tetap tinggi dan cacing dapat
mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Selanjutnya setelah di simpan dalam
jangka waktu seminggu ditambahkan sejumlah bahan organik yang berfungsi
sebagai bahan makanan tambahan untuk cacing tersebut makan.
Media tumbuh cacing harus sangat diperhatikan unutk mengdapatkan
biomassa dan vermicompos yang maksimum. Lalu ditutup dengan triplek yang
dilubangi agar tetap dalam keadaan aerob namun dapat mencegah hama seperti
tikus yang dapat mengganggu atau merusak bahan vermicomposting. Gunanya juga
agar cacing tidak pergi meninggalkan media yang telah disiapkan
Setelah penyimpanan dalam jangan waktu seminggu terlihat bahwa cacing
telah mengalami migrasi secara merata di seluruh permukaan substrat karena tidak
terlihat lagi penumpukan cacing disatu tempat. Dan dapat dilihat pula kondisi dari
media yang diuraikan oleh mikroorganisme dan dibantu dengan cacing. Selain itu
media tersebut diamati pula apakah sudah terdapat kotoran cacing pada permukaan
media.
Dari hasil pengamatan, terjadi peningkatan massa dari cacing itu sendiri
berasal dari 250gr menjadi 350gr hal ini menunjukan bahwa proses
vermikomposting berjalan dengan sebagai mana mestinya, selain terdapat
penigkatan biomassa terdapat juga cocon atau telur telur dari cacing itu sendiri, dan
juga substrat media untuk cacing menjadi lebih gembur dari sebelumnya. k
20

V
KESIMPULAN
1. Pembuatan POC (pupuk organik cair) dan POP (pupuk organik padat) bisa
didapatkan melalui proses dekomposisi bahan jerami padi dan feses ternak
sapi perah setelah dihitung terlebih dahulu perbandingannya
2. Proses dekomposisi pada jerami padi dan feses sapi perah berlangsung cukup
lama, cara mengetahui prosesnya selesai adalah dengan melihat indikator
suhu yang menurun
3. Biogas yang didapatkan dari hasil praktikum adalah biogas yang terbuat dari
hasil dari proses dekomposisi, yang ditampung didalam tong kemudian
dirapatkan sehingga anaerob
4. Cara pembuatan vermikomposting adalah menanam induk cacing di dalam
media yang dapat memenuhi kebutuhan cacing tersebut, kemudia media
diatur sedemikian rupa agar cocok dengan kebutuhan cacing
21

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, J.S, 1992. Peranan Efisiensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan


Swasembada Pangan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Agustinus, 2011.Jerami Padi Fermentasi Sebagai Pakan Ternak Sapi.


http://epetani.deptan.go.id/budidaya/jerami-padi-fermentasi-sebagai pakan-
ternak-sapi-1779.

Albanell E, Plaixats J, Cabrero T (1988). Chemical changes during


vermicomposting (Eisenia fetida) of sheep manure mixed with cotton industrial
wastes. Biol. Fertil. Soils, 6: 266–269.

Bhattacharjee, G., Chaudhuri, P.S. 2002. Capacity of various experimental diets to


support biomass and reproduction Perionyx excavatus. Bioresour. Technol. 82:
147-150

Dominguez J, Edwards CA, Subler S. 1997. A comparison of vermicomposting and


composting. Bio Cycle. 38: 57-59.

Firdaus, I.U. 2009. Energi Alternatif Biogas. [online] tersedia di laman


http://www.migasindonesia.com/index.php diakses pada tanggal 23 November
2015.

Fitria, B. 2009. Biogas. [online] tersedia di laman


http://biobakteri.wordpress.com/2009/06/07/8-biogas diakses pada tanggal 23
November 2015.

Hadisuwito, S. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair. PT Agromedia Pustaka.


Jakarta

Hidayatullah, Gunawan, K. Mudikdjo dan N. Erliza. 2005. Pengelolaan Limbah


Cair Usaha Peternakan Sapi Perah Melalui Penerapan Konsep Produksi
Bersih. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 8 No
1, Maret 2005: 124-136

Ihat.S. 2001. Penanganan Limbah Ternak Sapi Perah di Tiga Lokasi di Daerah
Bogor. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor.

Ndegwa PM, Thompson SA. 2000. Effect of C and N ratio on vermicomposting in


the treatment and bioconversion of biosolids. Biores Technol. 76:7-12.

Odjak, M. 1992. Effect of Potassium Fertilizer in Increasing Quality and Quantity


of Crop yield. Dalam Peranan Kalium dalam Pemupukan Berimbang untuk
22

Mempercepat Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium.


Jakarta.

Oman. 2003. Kandungan Nitrogen (N) Pupuk Organik Cair Dari Hasil
Penambahan Urine Pada Limbah (Sludge) Keluaran Instalasi Biogas Dengan
Masukan Feces Sapi. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Pagi, A. M. dan S. Kartaadmadja, 2003. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan


dan Peluang. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Ponnamperuna, F. A. 1985. Straw as source of plant nutrient for wetland rice. In


Organic Matter and Rice. Inter, Rice Res, inst. Los Banos Philippines

Rochayati, S, Mulyadi dan Sri Adiningsih.1990. Penelitian efisiensi penggunaan


pupuk di lahan sawah. Prosiding lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan
Pupuk V. Puslitbangtanak, Bogor.

Sharma, S., Pradham, K., Satya S., Vasudevan, P. 2005. Potentiality of earthworm
for waste management and in other Use-A Review. Journal American Science.
1:4-16.

Siallagan, R. 2010. Pengaruh Waktu Tinggal Dan Komposisi Bahan Baku Pada
Proses Fermentasi Limbah Cair Industri Tahu Terhadap Produksi Biogas.
Fakultas Teknik Program Magister Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Subler S, Edward CA, Metzger J. 1998. Comparing vermicompost and compost.


Biocycle 39:63-66.

Tisdale, S. and Nelson, 1975. Soil Fertility and Fertilizer. Third Edition, Collier
Mac Millam Publisher London.

Tomati U, Grappelli A, Galli E (1988). The hormone-like effect of earthworm casts


on plant growth. Biol. Fertil. Soils, 5:288–294.

Widati, S. E., Santoso dan T. Prihatini, 2000. Pengaruh Inokulan pada Berbagai
Cara Pemberian Jerami Terhadap Sifat Kimia Tanah dan Hasil Padi Sawah.
Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah.
Cipayung 31 Oktober – 2 November 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
23

LAMPIRAN

Dekomposisi Awal

Pembuatan Pupuk Organik Cair


24

Pembuatan Biogas

Pembuatan Pupuk Organik Padat (Vermicomposting)

Anda mungkin juga menyukai