Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan kelompok gangguan yang ditandai oleh perubahan fungsi


neurologik kronik, rekuren, dan paroksismal akibat abnormalitas aktivitas elektris otak.
Epilepsi diperkirakan diderita oleh antara 0,5 sampai 2 persen populasi, dan dapat terjadi pada
semua umur. Setiap episode gangguan fungsi neurologik disebut kejang ( seizure). Kejang bisa
berupa konvulsif jika disertai dengan manifestasi motorik atau dapat bermanifestasi dengan
perubahan lain pada fungsi neurologik (seperti peristiwa emosional, kognitif, sensorik).
Epilepsi dapat terjadi sebagai akibat trauma neurologik atau lesi otak struktural, dan juga dapat
terjadi sebagai bagian dari banyak penyakit medis sistemik. Epilepsi juga terjadi dalam bentuk
idiopatik atau karena penyebab genetik.1 Kejang absans merupakan salah satu bentuk dari
epilepsi umum ( generalized seizure). Ditandai dengan hilangnya kesadaran selama beberapa
saat, dan kemudian kembali seperti biasa. Kejang absans terjadi pada epilepsi general idiopatik
atau simptomatik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kejang absans merupakan salah satu bentuk dari epilepsi umum (generalized seizure).
Ditandai dengan hilangnya kesadaran selama beberapa saat, dan kemudian kembali seperti
(1)
biasa. Kejang absans terjadi pada epilepsi general idiopatik atau simptomatik . Epilepsi
sendiri berarti sekelompok gangguan kronis yang ditandai dengan kejang yang berulang dan
tak terduga. Sedangkan kejang (seizure) merupakan manifestasi dari disfungsi sementara pada
otak yang disebabkan oleh hipersinkronisasi yang abnormal pada pelepasan arus listrik di
neuron kortikal yang bisa melakukan limitasi dengan sendirinya (self limited) (2) (3).

2.2 Epidemiologi
3 – 4% gangguan kejang merupakan absence seizure. Di Amerika Serikat, dari 100.000
orang, terjadi 2 – 8 kasus kejang absans. Dua pertiga dari penderita adalah perempuan.
Penderita kebanyakan merupakan anak kecil yang berusia 4 – 8 tahun, dengan onset puncak
pada usia 6 -7 tahun (1).
Kejang absans tidak menimbulkan kematian secara langsung, melainkan penyakit yang
mendasari-nyalah yang mengakibatkan kematian, kecuali pada seseorang yang mengalami
kejang absans saat berkendara (1).

2.3. Etiologi
Absence seizure merupakan kelompok epilepsi umum idiopatik. Tentu saja
penyebabnya bukan karena adanya kerusakan struktural pada otak dan sifatnya idiopatik.
Namun kini para peneliti melakukan pendekatan secara genetik. Pasien dengan epilepsi absans
anak (childhood absence epilepsy) dapat memiliki riwayat keluarga yang menurun secara
autosomal dominant (4). Mutasi genetik yang terjadi dapat menimbulkan gangguan pada kanal
ion, terutama kanal T-kalsium (5).
Hampir setengah dari seluruh kasus epilepsi bersifat idiopatik. Beberapa penyebab
epilepsi yang dapat ditemukan adalah pengaruh genetik, trauma kepala, kelainan medis
(sebagai contoh akibat stroke maupun serangan jantung), demensia, meningitis, ensefalitis,
jejas prenatal, atau gangguan perkembangan (sindroma Down, autisme).3

2
Beberapa faktor meningkatkan risiko terjadi epilepsi, seperti retardasi mental, palsi serebral,
ayah atau ibu dengan epilepsi, maupun riwayat kejang tanpa demam atau ‘tanpa diprovokasi
sebelumnya.

2.4. Patofisiologi
Salah satu mekanisme patofisiologi pada kejang general adalah interaksi
thalamokortikal yang dapat mendasari typical absence seizure. Sirkuit thalamokortikal
merupakan penghubung utama antara sistem sensoris perifer dan korteks serebri. Sirkuit ini
berperan sebagai regulator keadaan otak seperti kesadaran dan kesiagaan serta tidur NREM
tahap 3 dan 4, yang mana merupakan tanda khas dari osilasi sirkuit thalamocortical. Sirkuit
thalamokortikal memiliki ritme osilatori dengan periode eksitasi dan penghambatan yang
relatif meningkat sehingga menghasilkan osilasi thalamokortikal dapat terdeteksi. Rangkaian
sirkuit terdiri atas neuron piramidal nonkorteks, neuron relay thalamus, dan neuron dalam
nukleus retikularis pada thalamus. Pada saat terjadi serangan, ritme sirkuit thalamokortikal
berubah menjadi gelombang paku atau spike-wave discharge (SWD) (4).
Selama terjadi serangan, fungsi normal dari jalur thalamokortikal terganggu sehingga
menyebabkan munculnya spike-wave discharge. Voltage-gated calcium channel ber peran
penting dalam proses timbulnya spike-wave discharge pada manusia. Voltage-gated calcium
channel adalah mediator kunci pada masuknya kalsium ke dalam neuron sebagai respon atas
terjadinya depolarisasi membran. Sistem saraf manusia memiliki beberapa jenis kanal kalsium.
Diantaranya adalah low voltage-activated calcium channel (contohnya T-type channel), dan
high voltage-activated (HVA) calcium channel. Kanal LVA diaktifkan oleh depolarisasi kecil
dan merupakan kontributor rangsangan neuronal, sedangkan kanal HVA membutuhkan
depolarisasi membran yang lebih besar untuk membuka. (4)
T-type channel berperan penting pada osilasi pada neuron relay thalamus, yang dapat
meningkatkan aktifitas sinkronisasi pada neuron piramidal neokortikal. Kunci dari osilasi
tersebut adalah ambang batas bawah kanal kalsium yang tidak tetap, yang dikenal juga sebagai
arus T-kalsium. Percobaan pada binatang coba, penghambatan dari nukleus retikular thalamus
mengontrol aktifitas saraf-saraf relay thalamus. Saraf-saraf nukleus retikular thalamus
merupakan inhibitori dan berisi gamma aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmiter
utamanya. Neurotransmiter itu meregulasi aktifasi dari kanal T-kalsium (4).

3
Kanal T-calcium memiliki 3 keadaan fungsional: terbuka, tertutup, dan tidak aktif.
Kalsium masuk ke sel ketika kanal T-kalsium terbuka. Beberapa saat setelah tertutup, kanal itu
tidak dapat terbuka lagi sampai mencapai keadaan inaktifasi. Neuron relay thalamus memiliki
reseptor GABA-B pada badan sel dan menerima aktifasi tonus oleh keluarnya GABA dari
nukleus retikularis thalamus menuju neuron relay thalamus. Hasilnya, terjadi hiperpolarisasi
yang mengubah keadaan kanal T-kalsium menjadi aktif, sehingga menyebabkan kanal T-
calcium terbuka dan tersinkronisasi setiap 100 milidetik (6).
Pada absence seizure, terjadi mutasi genetik pada kanal kalsium tipe T, dimana terjadi
peningkatan aktifitas kanal kalsium tipe T itu. Peningkatan aktifitas tersebut menyebabkan
meningkatkan burst-mode firing pada thalamus dan meningkatkan aktifitas osilasi pada sistem
thalamokortikal. Akibatnya, terjadi fase tidur non-REM yang sebenarnya merupakan aktifitas
fisiologis dari sistem thalamokortikal pada saat manusia sedang tidur. Namun pada kejadian
ini, fase non-REM terjadi pada saat pasien sedang sadar penuh. Hal ini mungkin bisa
menjelaskan klinis dari absence seizure dimana pasien menjadi tidak sadar atau “bengong”
pada saat sedang sadar penuh (4).
Temuan di beberapa hewan coba untuk peneitian absence seizure, telah menunjukkan
bahwa antagonis reseptor GABA-B mensupresi kejang absans, sedangkan agonis GABA-B
memperburuk kejang. Antikonvulsan yang mencegah absence seizure, seperti valproic acid
dan ethosuximide, mensupresi arus T-calcium sehingga kanalnya tertutup (4).

2.5. Klasifikasi
Prinsip klasifikasi didasarkan pada data rekaman elektroensefalogram (EEG) dan
manifestasi klinis. Klasifikasi epilepsi memudahkan pertukaran informasi tentang epilepsi dan
bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat. Klasifikasi yang sekarang dipergunakan
secara luas adalah klasifikasi oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 yang
terdiri dari 3 kategori utama yaitu kejang parsial, kejang umum dan kejang yang tak
terklasifikasi. Serangan epilepsi tidak selalu disertai dengan kejang dan sebaliknya, kejang
belum tentu dapat dikatakan epilepsi. Berikut gambaran klinis berdasarkan tipe kejangnya.9

Secara umum, kejang dapat dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu kejang fokal (parsial)
yang hanya melibatkan suatu bagian kecil dari otak pada satu hemisfer saja, dan yang kedua
adalah kejang umum (general), yang melibatkan kedua hemisfer otak. Sindrom epilepsi umum
dapat dibedakan lagi menjadi epilepsi umum simptomatik dan idiopatik.

4
Pada epilepsi umum idiopatik, dapat ditemukan jenis kejang absans. Kejang absans
terdiri dari tiga macam, yaitu typical absence seizure dan atypical absence seizures. Sedangkan
typical absence dibedakan lagi menjadi tiga, yaitu simple dan complex (5).

a. Kejang parsial (fokal/lokal)

Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik pada otak. Dalam
beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di otak. Kejang ini terkadang disebabkan
terjadinya trauma spesifik, namun dalam banyak kasus penyebabnya tidak dapat diketahui
(idiopatik).

1) Kejang parsial sederhana

Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilepsy), pasien tidak mengalami
kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami kebingungan, jerking movement, atau kelainan
mental dan emosional. Manifestasi klinis dari kejang parsial sederhana ini yaitu klonik
(repetitif, gerakan kepala dan leher menengok ke salah satu sisi). Beberapa pasien dapat pula
terjadi gejala somatosensorik berupa aura, halusinasi, atau perasaan kuat pada indra penciuman
dan perasa. Setelah kejang, pasien biasanya mengalami kelemahan pada otot tertentu.
Umumnya kejang terjadi selama 90 detik.9

2) Kejang parsial kompleks

Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak yang berdekatan
dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat mengakibatkan penurunan kesadaran
atau dapat terjadi perubahan tingkah laku misalnya automatisme. Pasien kemungkinan
mengalami kehilangan kesadaran secara singkat dan tatapan kosong. Kejang ini seringkali
diawali dengan aura. Episode serangan biasanya tidak lebih dari 2 menit. Sakit kepala yang
berdenyut kemungkinan terjadi pada kejang tipe ini.9

3) Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder

Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan kehilangan kesadaran dan
kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti periode kontraksi otot bertukar dengan relaksasi
(klonik). Seringkali sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena kejang parsial dengan

5
generalisata sekunder mempunyai onset fokal yang seringkali tak teramati. Onset fokal kejang
diidentifikasi melalui analisis riwayat kejang dan EEG secara cermat.9

b. Kejang umum

Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi pada daerah otak
yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial. Oleh karena itu, kejang ini memiliki
efek yang lebih serius pada pasien.

Kejang absence (petit mal)

Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung sangat singkat
sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan umumnya hanya terjadi pada masa anak-
anak atau awal remaja. Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe ini. Penderita tiba-
tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai. Kejang ini kemungkinan
tidak disadari oleh orang di sekitarnya. Petit mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang
parsial sederhana atau kompleks, atau bahkan dengan gangguan attention deficit. Selain itu
terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang mempunyai perbedaan dengan tipe
absence. Sebagai contoh atipikal mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih
panjang, serangan terjadi tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi diikuti dengan
tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai oleh ketidaknormalan yang menyebar
dan multifokal pada struktur otak. Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan mental.
Kejang tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan tipe kejang
absence tipikal.9

Kejang tonik-klonik (grand mal)

Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase awal dari terjadinya
kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran disusul dengan gejala motorik secara bilateral,
dapat berupa ekstensi tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otototot
yang berkontraksi, menyebabkan pasien tiba-tiba terjatuh dan terbaring kaku sekitar 10-30
detik. Beberapa pasien mengalami pertanda atau aura sebelum kejang. Kebanyakan mengalami
kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat juga terjadi sianosis, keluar air liur,
inkontinensi urin dan atau menggigit lidah. Segera sesudah kejang berhenti pasien tertidur.
Kejang ini biasanya terjadi sekitar 2-3 menit. 3) Kejang atonik Serangan tipe atonik ini jarang
terjadi. Pasien dapat tiba-tiba mengalami kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien
terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada salah satu bagian tubuh,

6
misalnya mengendurnya rahang dan kepala yang terkulai. 4) Kejang mioklonik Kejang tipe ini
ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada
bagian otot-otot tertentu. Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien mengalami
hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.9

5) Simply tonic atau clonic seizures

Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada kejang tonik, otot
berkontraksi dan gangguan kesadaran terjadi sekitar 10 detik, tetapi kejang ini tidak
berkembang menjadi klonik atau jerking phase. Kasus kejang klonik yang jarang ditemukan,
terutama terjadi pada anak-anak, yang mengalami spasme otot tetapi bukan kekakuan tonik.9

c. Kejang yang tak terklasifikasikan

Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh data yang
cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang yang sering terjadi pada neonatus. Hal
ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan fungsi dan hubungan saraf pada sistem saraf
pusat di bayi dan dewasa.9

7
Klasifikasi kejang
I. Typical Absence Seizures
A. Simple: impairment of consciousness only
B. Complex
1. With mild clonic components
2. With changes in tone
3. With automatism
4. With autonomic components
II. Atypical Absence Seizures

Klasifikasi Absence Seizure

2.6. Tanda dan Gejala Klinis


Serangan terjadi tanpa peringatan/tanda-tanda sebelumnya. Anak secara tiba-tiba
menunjukkan pandangan kosong dan berhenti berbicara. Epilepsi absans adalah kejang non-
konvulsif ketika tiba-tiba aktivitas motorik terhenti, pandangan pasien kosong, dapat disertai
sedikit automatisme terutama di daerah wajah seperti mata mengedip, dan tidak disertai aura.
Mata dapat bergetar atau berputar ke atas. Perbaikan terjadi dalam beberapa detik (umumnya
berlangsung 30 detik) dan dapat terjadi beberapa kali serangan dalam satu hari. Tidak ada
periode kebingungan atau mengantuk post-iktal sehingga pasien akan langsung melanjutkan
aktivitas sebelumnya. 2,3,4
Typical absence seizures memiliki ciri khusus seperti hilangnya fungsi mental,
khususnya hilangnya perhatian, respons terhadap lingkungan sekitar, serta hilangnya memori
saat kejang terjadi. Kejang berlangsung sangat mendadak, tanpa adanya aura, dan terjadi
beberapa detik sampai lebih dari 1 menit. Aktifitas yang sedang berlangsung tiba-tiba terhenti,
ekspresi wajah anak juga berubah dan terlihat seperti patung. Pada typical absence seizure tipe
simple, pasien seperti memandang ke tempat yang jauh tanpa ada gerakan. Saat kejang
berakhir, pasien segera melanjutkan aktifitas yang tadi sempat terhenti. Kelelahan pada fase
postictal tidak terjadi, namun pasien terkadang merasa bingung karena mereka seperti
melewatkan waktu beberapa saat (time loss). Time loss inilah yang bisa menjadi petunjuk
bahwa telah terjadi kejang absans. Pada typical absence tipe complex, automatism sering
terjadi, seperti menjilat bibir, mengunyah, menggaruk, atau meraba-raba pakaian. Semakin
panjang kejang, maka automatism akan hampir pasti terjadi.
Atypical absence seizure merupakan absans dengan onset yang munculnya perlahan
dan tidak mendadak. Namun kejang yang terjadi berlangsung lebih lama daripada typical
absence seizure dan jarang didapatkan automatism seperti pada typical absence seizure (5).

8
2.7. Diagnosis
Anamnesa
Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis
penyakit tertentu. Tujuan dari anamnesis adalah untuk menentukkan kemungkinan diagnosis
yang akan membantu langkah pemeriksaan yang akan dilakukan, dimana meliputi pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang, serta membantu dalam penatalaksanaannya. Beberapa
pertanyaan yang perlu ditanyakan meliputi identitas dari pasien, kemudian keluhan utama dari
pasien, serta sudah berapa lama keluhan utama itu terjadi. Pada pasien yang mengalami
gangguan sering bengong atau melamun perlu ditanyakan berapa lama pasien melamun, pasien
melamun ketika beraktivitas tertentu atau setiap saat, berapa kali pasien melamun dalam 1 hari,
berapa lama interval antar melamun pertama ke selanjutnya. Selain itu juga dapat ditanyakan
apakah setelah melamun, pasien sadar bahwa dirinya baru saja melamun atau tidak, dan apakah
setelah melamun pasien dapat melanjutkan aktivitasnya tersebut. Kemudian juga dapat
ditanyakan apakah sebelum datang berobat sudah minum obat, apabila sudah minum obat,
bagaimana perkembangannya. Selain itu juga dapat ditanyakan apakah sebelumnya pernah
sakit seperti ini, apakah terdapat riwayat trauma, riwayat demam, riwayat kejang. Selain itu
dapat juga ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang sakit seperti ini juga. Kemudian juga
dapat ditanyakan ada tidaknya alergi baik makanan, minuman, obat, maupun cuaca.
Untuk mengetahui apa yang terjadi pada pasien, kita harus mengetahui keadaan yang
terjadi pada saat serangan. Dokter harus mengetahui kejang apa yang paling sering terjadi pada
anak-anak. Selain itu dokter harus mewawancarai saksi mata (keluarga, kerabat) agar
mengetahui kondisi pasien ketika serangan. Hasil yang dokter peroleh dari anamnesa akan
menjadi acuan dan dasar pemeriksaan yang akan dilakukan, baik itu pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang. Selain itu, anamnesa juga bisa menjadi dasar pemberian terapi pada
pasien.

Pemeriksaan Fisik
Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka lanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Pada
pemeriksaan fisik, yang harus dinilai terlebih dahulu adalah keadaan umum dan kesadaran
pasien. Setelah itu lakukan pemeriksaan terhadap tanda-tanda vital pasien meliputi tekanan
darah, suhu tubuh, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik umum seperti melihat kondisi kulit (apakah
ada tanda trauma, bekas suntikan, berkeringat, atau kering), kondisi kepala (apakah ada tanda

9
trauma, perdarahan hidung atau telinga), serta diperiksa juga keadaan thoraks dan ekstremitas.
Mata juga penting untuk diperiksa. Maka periksa pupil dan gerakan mata. Bagaimana ukuran
pupil, apakah normal, miosis, midriasis, isokor (kanan=kiri), atau anisokor (kanan dan kiri
tidak sama). Bagaimana refleks terhadap cahaya juga perlu diperiksa. Gerakan bola mata bisa
diperiksa melalui pemeriksaan doll eye maneuver atau tes kalori. Selanjutnya bisa dilakukan
pemeriksaan saraf kranialis untuk mencari apakah ada kelainan.

Lalu lakukan pemeriksaan motorik meliputi inspeksi (sikap, bentuk, ukuran, gerak
abnormal), palpasi (tonus otot), pemeriksaan gerakan pasif (untuk mencari adakah rigidity atau
cogwheel phenomene), dan pemeriksaan gerakan aktif. Kemudian pemeriksaan sensorik seperti
rasa nyeri, raba, suhu, posisi, gerak, dan getar, untuk melihat apa tidaknya gangguan sensorik.
Periksa juga refleks (biceps, triceps, brachioradialis, lutut, dan achilles) untuk mencari apakah
refleks normal, menurun, meningkat, atau tidak ada. Serta periksa juga refleks patologis
(babinski dan klonus). Pemeriksaan koordinasi bisa dilakukan untuk mencari apakah ada
gangguan di serebelum. Salah satu pemeriksaan koordinasi yang bisa dilakukan yaitu dengan
Romberg test. Status mental diperiksa dengan Mini Mental State Examination (MMSE) untuk
skrining tes fungsi kognitif (termasuk perhatian, daya ingat, dan bahasa).

Temuan fisik dan neurologi pada anak dengan kejang absans masih dalam batas normal.
Dengan menyuruh pasien bernafas dengan pola hiperventilasi selama 3 – 5 menit dapat
menyebabkan kejang absans. Prosedur ini dapat dengan mudah dilakukan (1).
Pada pemeriksaan klinis, typical absence seizure muncul dengan terhentinya bicara
pasien secara tiba-tiba dan hamya berlangsung singkat. Pasien tidak memiliki gejala awal atau
fase postictal, dan bila mereka sedang melakukan aktifitas motorik yang besar seperti berjalan,
mereka dapat berhenti dan berdiri tanpa adanya gerakan, dan kemudian mereka dapat
melanjutkan jalannya kembali. Anak-anak tidak merespon apapun di sekitarnya selama kejang
dan tidak memiliki ingatan akan apa yang telah terjadi selama serangan. Mereka secara umum
tidak sadar bahwa kejang sudah terjadi (1).
Atypical absence seizure yang terjadi pada pasien dengan epilepsi simptomatik general
biasanya berlangsung lebih lama daripada typical absence, dan onset serta resolusinya selalu
gradual. Pada epilepsi simptomatik general, temuan fisik dan neurologi bisa abnormal, sesuai
dengan gangguan yang mendasari. Pemeriksaan fisik dapat menimbulkan dugaan penyakit
genetik, seperti gangguan neurokutaneus (misalnya tuberous sclerosis) atau gangguan
metabolisme sejak lahir. Pemeriksaan neurologis dapat menunjukkan tanda-tanda

10
keterlambatan pertumbuhan atau tanda-tanda yang lebih spesifik, seperti parese spastik pada
cerebral palsy (1).

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah biasanya dilakukan pada pasien anak untuk mencari apakah ada
gangguan metabolik atau penyakit genetik yang berhubungan dengan kejang, serta untuk
mencari penyakit yang mendasari terjadinya kejang seperti infeksi, keracunan, diabetes, atau
anemia.

Dari darah yang diperiksa antara lain darah perifer lengkap; kimia darah termasuk
glukosa, kalsium, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, urea nitrogen, kreatinin, magnesium,
dan fosfor; skrining toksinologi darah (atau bisa juga dari urin).2

Ketika mengevaluasi anak dengan tatapan kosong, tes laboratorium yang diindikasikan
adalah tes untuk mengevaluasi abnormalitas metabolit atau adanya ingesti obat atau toksik
(terutama pada anak yang lebih tua). Apabila diperoleh riwayat yang jelas tentang sifat episodik
serangan, maka EEG bisa diagnostik dan tes laboratorium tidak perlu dilakukan. Saat
mengevaluasi anak dengan keterlambatan pertumbuhan dan jika pada EEG didapatkan atypical
absence, maka pemeriksaan untuk penyebab yang mendasari sangat dibutuhkan (1).

Pemeriksaan Neuroimaging
Pemeriksaan pencitraan yang disarankan adalah MRI karena lebih superior dalam
mengidentifikasi struktur anatomi dan proses patologis di otak, namun pada setting gawat
darurat atau jika MRI tidak tersedia atau bila terdapat kontraindikasi penggunaan MRI, dapat
dilakukan CT-scan. CT-scan dapat menunjukkan perdarahan inrakranial akut dengan lebih
jelas dibandingkan MRI, namun perlu diingat bahwa beberapa keadaan mungkin tidak dapat
diidentifikasi dengan menggunakan CT-scan.2, 3

Temuan neuroimaging pada epilepsi idiopatik adalah normal, namun neuroimaging


tidak diindikasikan jika ada pola typical. Neuroimaging sering dilakukan pada anak dengan
kejang tonik klonik general untuk menyingkirkan penyebab struktural pada kejang. Hasil
normal pada temuan neuroimaging membantu diagnosa epilepsi idiopatik. Untuk epilepsi
cryptogenik general dan simptomatik general, neuroimaging dapat membantu diagnosa pada
semua gangguan struktural yang mendasari. MRI lebih sensitif untuk beberapa kelainan
anatomis tertentu dibandingkan dengan CT scan.

11
Electroencephalography (EEG)
Merupakan uji neurodiagnostik paling bermanfaat dalam membedakan kejang dari
serangan nonepileptik. Interpretasi EEG harus dilakukan dalam konteks riwayat klinis, karena
banyak anak normal yang memiliki gambaran EEG epileptiform. Anak dengan kejang dapat
menunjukkan EEG yang normal di antara serangan. Bila diagnosis masih belum jelas, EEG
yang lebih canggih dengan rekaman yang lebih panjang dengan video atau ambulatory EEG
monitoring pada pasien mungkin diperlukan dalam usaha menangkap serangan.2

Satu-satunya test diagnostik untuk kejang absans adalah EEG. Pada anak dengan kejang
absans, rekaman EEG rutin ketika anak terjaga sering patogmonis. Semburan frontal dominan,
gelombang paku 3 Hz yang tergeneralisasi nampak saat kejang. Pada sindrom dengan kejang
absans yang jarang (juvenile absence epilepsy atau juvenile myoclonic epilepsy), rekaman saat
terjaga bisa normal, rekaman saat terjaga dan tidur mungkin juga diperlukan.

EEG typical absence seizure dengan aliran gelombang paku 3 HZ

EEG pada typical absence memiliki aktifitas latar belakang yang normal. Pada typical
absence seizure dapat ditemukan gelombang paku 3Hz. Frekuensinya sering lebih cepat pada
saat onset dengan sedikit perlambatan pada fase akhirnya. Onset dan fase akhir dari kejang
ini bersifat mendadak, dan tidak ditemukan perlambatan pada EEG postictal. Hiperventilasi
juga sering memicu kejang absans dan harus menjadi bagian rutin dalam pelaksanaan EEG
pada anak.

12
Atypical absence seizure ditandai dengan gelombang paku paroksimal lambat, biasanya
2,5Hz. Onsetnya sangat sulit untuk dipahami, dan perlambatan EEG postictal dapat dijumpai.
EEG pada atypical absence seizure dapat dijumpai ketidaknormalan pada aktifitas latar
belakangnya. Korelasi klinis antara kompleks gelombang paku yang tergeneralisasi dengan
klinis kejang tidak jelas seperti yang ada pada typical absence seizure. Gelombang paku yang
lambat dapat muncul sebagai pola interictal seperti pada sindroma Lennox-Gastout

Aliran gelombang paku lambat (2,5 HZ). Ini merupakan pola interictal pada anak dengan
kejang dan keterlambatan pertumbuhan.
2.8. Diagnosis kerja

Epilepsi absans merupakan salah satu bentuk dari epilepsi umum (generalized seizure).
Ditandai dengan hilangnya kesadaran selama beberapa saat, dan kemudian kembali seperti
biasa. Kejang absans terjadi pada epilepsi general idiopatik atau simptomatik4. Epilepsi sendiri
berarti sekelompok gangguan kronis yang ditandai dengan kejang yang berulang dan tak
terduga. Sedangkan kejang (seizure) merupakan manifestasi dari disfungsi sementara pada otak
yang disebabkan oleh hipersinkronisasi yang abnormal pada pelepasan arus listrik di neuron
kortikal yang bisa melakukan limitasi dengan sendirinya (self limited)5,6.

2.9. Diagnosis Banding


Absence seizure memiliki beberapa diagnosis banding:
1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
2. Complex Partial Seizures
3. Confusional States and Acute Memory Disorders

13
4. Febrile Seizures
5. First Pediatric Seizure
6. Migraine
7. Psychogenic Nonepileptic Seizures
8. Reflex Epilepsy
9. Shuddering Attacks
10. Status Epileptikus
Kejang absans dapat rancu dengan kejang parsial kompleks, terutama pada kasus kejang
memanjang dengan automatism, tabel di bawah ini dapat membantu untuk membedakan kejang
absans dengan parsial kompleks, serta membantu membedakan antara typical absence dan
atypical absence (1).
Kejang parsial kompleks merupakan salah satu bentuk dari kejang fokal, di mana pada
kejang fokal hanya salah satu hemisfer yang terlibat atau dimulai dari cetusan epileptik di suatu
area fokal di korteks. Pada kejang parsial kompleks, terjadi penurunan kesadaran atau
kesadaran terganggu sehingga pasien tidak ingat akan kejang. Biasanya diawali dengan henti
gerak keseluruhan tubuh sementara (behavioral arrest ), dilanjutkan dengan automatisme
(mengunyah, meracau, dan lain-lain), tatapan kosong, dan kebingungan postiktal ( post-ictal
confusion). Total keadaan ini berlangsung 1-2 menit.3

Perbedaan antara typical absence seizure dengan complex partial seizure

14
Perbedaan antara typical absence seizure dan atypical absence seizure

2.10. Komplikasi
Beberapa orang yang memiliki absence seizure, selanjutnya akan mengalami kejang
tonik klonik atau grand mal. Selain itu, bisa saja pada pasien absence seizure dapat mengalami
kesulitan belajar dan mengalami absence status epileptikus (1) (7).

2.11. Tatalaksana
Sebagian besar kasus epilepsi tidak dapat disembuhkan. Meskipun begitu, penderita
epilepsi tetap perlu mengonsumsi obat – obatan guna mencegah terjadinya kejang. Penderita
epilepsi biasanya diberi obat anti epilepsi (OAE). Pemberian OAE ini dapat menurunkan
frekuensi kejang atau bahkan tidak mengalami kejang sama sekali selama bertahun – tahun
setelah menjalani terapi.10,11 Pemilihan obat antiepilepsi ini tergantung dari jenis epilepsi, usia,
gender, cara kerja obat anti epilepsi, efek samping dari obat anti epilepsi, obat – obat yang
diminum selain obat anti epilepsi.11,12 Pemberian OAE ini sendiri sebaiknya diberikan 1 jenis
macam obat sehingga tidak terjadi poliformasi. Hal ini dilakukan karena pemberian polifarmasi
akan menyebabkan efek samping yang berlebihan.13 Pemberian obat antiepilepsi juga dimulai
dengan dosis yang kecil dan perlu memonitor kadar di dalam darah. Penggunaan obat anti
epilepsi ini tidak boleh diberhentikan secara mendadak karena dapat memicu terjadinya status
epilepticus. Adapun obat – obatan antiepilepsi seperti fenitoin, fenobarbital, diazepam,
etosuksimid, asam valproat, asetazolamid, ataupun karbamazepin.12,13 Fenitoin merupakan
golongan hidantoin yang paling sering dipakai. Kerja obat ini antara lain adalah menghambat
penjalaran rangsangan dari fokus ke bagian lain di otak. Biasanya feniotin dipakai pada
penderita epilepsi umum khususnya grandmal tipe tidur, epilepsi fokal, dan epilepsi lobus
temporalis. Untuk dosis pada orang dewasa yakni sekitar 300-600 mg/hari, sedangkan anak

15
sekitar 4-8mg/hari dengan maksimal 300 mg/hari. Kemudian fenobarbital merupakan
golongan barbiturat yang bekerja lama. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas serangan
dengan menaikkan ambang rangsang. Biasanya digunakan untuk epilepsi grandmal tipe sadar,
epilepsi fokal. Dosisnya untuk orang dewasa adalah 200 mg/hari sedangkan untuk anak adalah
3-5mg/kgBB/hari. Kemudian diazepam golongan benzodiazepam yang dikenal sebagai obat
penenang, tetapi juga merupakan obat pilihan utama untuk kasus status epileptikum. Dosisnya
untuk dewasa adalah 2-10mg im/iv, dapat diulang setiap 4 jam. Sedangkan untuk anak lebih
dari 5 tahun adalah 5-10 mg im/iv, dan untuk anak 1 bulan sampai 5 tahun adalah
0,2-2mg im/iv. Kemudian etosuksimid golongan suksinimid yang diindikasikan untuk epilepsi
absans. Biasanya diberikan dengan dosis 20-30mg/kgBB/hari
Terapi terutama menggunakan sodium valproate atau ethosuximide, yang memiliki
efikasi yang sama untuk mengontrol kejang pada 75% pasien. Kemudian asam valproat yang
diberikan dengan indikasi epilepsi absans, dapat pula untuk epilepsi pada lobus temporalis
yang refrakter dengan kombinasi obat lain. Dosisnya untuk anak adalah 20-30mg/kgBB/hari,
sedangkan dewasa adalah 0,8-1,4gr/hari dimulai dengan 600 mg/hari. Monoterapi dengan
Lamotrigine kurang efektif jika dilihat dari pasien yang bebas kejang hanya kurang dari 50%.
Bila monoterapi gagal atau terjadi efek samping, penggantian dengan obat yang lain menjadi
alternatif. Menambahkan lamotrigine dosis kecil pada sodium valproat dapat menjadi
kombinasi yang bagus untuk kasus resistensi. Namun sebuah penelitian menegaskan bahwa
ethosuximide dan valproic acid merupakan obat yang paling efektif dibandingkan dengan
lamotrigine pada terapi kejang absans pada anak (8)
Ethosuximide (ESM) adalah garam kristal bewarna putih yang larut dalam air dan
alkohol. Obat ini memberikan blokade yang tergantung pada tegangan dari nilai ambang-batas
tegangan kalsium tipe T pada thalamus. Blokade itu merupakan mekanisme kerja dalam
menghentikan proses kejang absans. Obat ini juga meningkatkan GABA post-sinaps, namun
hal itu nampaknya tidak berperan dalam proses anti-epilepsi. Penggunaan obat ini sangatlah
terbatas karena hanya digunakan untuk terapi absence seizure. Ethosuximide tidak memiliki
efek samping yang serius (9).
Valproate (VPA) merupakan obat yang paling sering digunakan untuk kejang absans.
Mekanisme kerjanya masih belum jelas. VPA banyak mempengaruhi reseptor GABA-A, dan
mekanisme inilah yang diduga menjadi efek antiepilepsi utama. VPA meningkatkan
konsentrasi GABA sinaptosomal dengan aktifasi enzim sintesa GABA asam glutamat
dekarboksilase. Selain itu juga menghambat katabolisme GABA transaminase. Pada area

16
hipokampal, VPA menurunkan ambang batas konduktansi kalsium dan potassium. Obat ini
telah dilaporkan memiliki potensi teratogenik (9).
Kemudian asetazolamid yang dikenal sebagai diuretik, tetapi juga bekerja dalam
menstabilkan keluar masuknya natrium pada sel otak. Asetazolamid biasanya dipakai untuk
penderita epilepsi absans dan epilepsi grand mal yang serangannya sering datang berhubungan
dengan siklus menstruasi. Dosis yang dapat diberikan adalah 8-30mg/kgBB/hari. Kemudian
karbamazepin untuk epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi grand mal dengan dosis dewasa
800-1200mg/hari.
Selain pemberian terapi medikamentosa anti epilepsi, dapat juga diberikan terapi kausal untuk
penderita epilepsi simptomatik atau ditemukan kelainannya.11,14 Misalnya pada epilepsi yang
disebabkan karena infeksi susunan saraf pusat dan selaputnya, dapat diberikan antibiotik atau
obat – obat lain yang dapat memberantas penyebabnya. Atau pada neoplasma dan perdarahan
di dalam rongga intrakranium mungkin dapat dilakukan tindakan operatif. Dan pada gangguan
peredaran darah otak pemberian oksigen mungkin dapat membantu.
Selain tatalaksana farmakoterapi, tindakan bedah otak terkadang juga perlu dilakukan. Terapi
bedah otak dapat dijadikan alternatif apabila terapi dengan obat anti epilepsi tidak dapat
mengontrol kondisi serangan pada penderita.15 Tindakan bedah dilakukan untuk mengangkat
bagian otak yang menghasilkan kejang.11
Penderita epilepsi juga perlu diet ketogenik.12 Diet ini merupakan diet yang tinggi akan lemak
tetapi rendah karbohidrat dan protein. Hal ini disebabkan karena dapat mengurangi frekuensi
kejang dengan mengubah komposisi senyawa di dalam otak. Walaupun demikian, terapi ini
tidak dianjurkan pada orang dewasa terutama yang memiliki riwayat diabetes dan
kardiovaskular.

2.12 Pencegahan
Pencegahan terjadinya epilepsi adalah mengurangi ataupun meminimalisir faktor –
faktor risiko yang dapat dirubah yang dapat memicu terjadinya epilepsi.10 Salah satu caranya
adalah memiliki pola hidup yang sehat. Selain itu juga perlu menjaga kondisi dan kesehatan
tubuh termasuk dengan olahraga teratur. Selain itu, perlu menghindari terjadinya cedera atau
trauma kepala. Dengan melakukan beberapa hal tersebut, sedikit banyak akan membantu
mengurangi risiko terjadinya epilepsi. Sedangkan pada penderita epilepsi sendiri, untuk
mencegah terjadinya kejang yang berulang dan kerusakan pada otak karena kejang tersebut,
perlu secara rutin meminum obat – obat anti epilepsi secara tepat dengan dosis yang tepat juga.
Selain itu juga menghindari faktor – faktor yang memicu terjadinya serangan epilepsi.11

17
2.13. Prognosis
 Kebanyakan pasien berespon positif atau sembuh total pada medikasi yang tepat, dan
kira-kira dua pertiga pasien mengalami penurunan intensitas kejang pada masa
pubertas. Faktor positif untuk kesembuhan termasuk berkurangnya kejang tonus
klonus, tidak ada riwayat pada keluarga, dan tidak ada riwayat status epileptikus
nonkonvulsif general (1) (8)
 Jika kognisi dan status tidak normal, prognosisnya buruk (8)
 Pasien yang kemungkinan memiliki resiko untuk terjadinya rekurensi walaupun
pengobatan sudah dihentikan:
o Frekuensi kejang yang tinggi sebelum pengobatan
o Abnormalitas neurologis
o Retardasi mental
o Abnormalitas EEG yang terus menerus (10)
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal. Hal – hal yang mempengaruhi
prognosis epilepsi itu adalah jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan
ketaatan minum obat.10,17 Pada sekitar 50-70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah
dengan obat – obatan.14 Dan sekitar 50% penderita epilepsi, pada suatu waktu dapat berhenti
minum obat. Prognosis dari epilepsi sendiri dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan,
baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan
remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas dari serangan (kejang) dengan terapi.
Pada penderita yang telah mengalami remisi 2 tahun tersebut, perlu dipertimbangkan untuk
penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.17 Batasan lain yang dipakai untuk
menggambarkan remisi adalah bebas serangan minimal 6 bulan dalam terapi dengan obat anti
epilepsi. Setelah mencapai bebas serangan selama lebih dari 6 bulan atau lebih dari 2 tahun
dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian
obat dihentikan.10,17 Namun perlu dipertimbangkan juga risiko terjadinya relaps setelah
penghentian obat.

2.14. Algoritma
Berikut ini merupakan algoritma diagnosa penyakit epilepsi beserta pengobatannya.

18
Algoritma diagnosa penyakit epilepsi beserta pengobatannya (11)

BAB III
KESIMPULAN

Kejang absans merupakan salah satu bentuk dari epilepsi umum, dan termasuk dalam
kelompok kejang umum idiopatik. Saat serangan, pasien mengalami gangguan kesadaran
mendadak yang berlangsung selama beberapa detik. Selama itu pula, aktifitas motorik terhenti
dan pasien diam tanpa reaksi, mata pasien memandang jauh ke depan dan terkadang mengalami
automatisme. Setelah itu pasien sadar dan langsung melakukan aktifitas seperti biasa.
Bangkitan disebabkan oleh hipersinkronisasi arus listrik di neuron kortikal yang
sifatnya self-limited. Absence seizure dialami oleh 2-8 orang dari populasi yang berjumlah
100.000 orang, dan 3-4% kejadian kejang merupakan absence seizure. Kejang ini tidak
menimbulkan kematian secara langsung. Kematian terjadi sebagai akibat dari penyakit yang
mendasarinya.
Penyebab absence seizure yang sudah diketahui berasal dari masalah genetik yang
berimbas pada gangguan kanal ion yang ada di sistem saraf pusat. Gangguan kanal ion tersebut
mengakibatkan terjadinya sinkronisasi abnormal pada sistem thalamokortikal sehingga terjadi
bangkitan yang nampak jelas pada EEG dengan munculnya gelombang paku atau spike wave.

19
Ethosuximide dan valproate merupakan obat lini depan untuk mengobati kejang absans.
Kebanyakan pasien berespon positif terhadap terapi yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Segan, Scott. Absence Seizure. Medscape Reference. [Online] April 27, 2011. [Cited: June
12, 2011.] http://emedicine.medscape.com/article/1183858-overview.

2. Longmore, Murray, et al. Oxford Handbook of Clinical Medicine 8th ed. Oxford :
Oxford University Press, 2010.

3. Browne, Thomas R and Holmes, Gregory L. Handbook of Epilepsy. Philadelphia :


Lippincott Williams & Wilkins, 2008.

4. Voltage-Gated Calcium Channels and Idiopathic Generalized Epilepsies. Khosravani,


Houman and Zamponi, Gerald W. 86, Calgary : Physiological Reviews, 2006.

5. Samuels, Martin A. Manual of Neurologic Therapeutics, 7th Edition. Boston : Lippincott


Williams & Wilkins, 2004.

6. Panayiotopoulos, C P. Typical Absence Seizures. ILAE. [Online] March 31, 2005. [Cited:
June 13, 2011.] http://www.ilae-epilepsy.org/Visitors/Centre/ctf/typical_absence.cfm.

20
7. Mayo Clinic. Absence seizure (petit mal seizure). Mayo Clinic. [Online] June 23, 2009.
[Cited: June 14, 2011.] http://www.mayoclinic.com/health/petit-mal-seizure/DS00216.

8. Roth, Julie L. Status Epilepticus. Medscape Reference. [Online] May 26, 2011. [Cited:
June 13, 2011.] http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview#showall.

9. Shorvon, Simon D. Handbook of Epilepsy Treatment: Forms, Causes and Therapy in


Children and Adults, 2nd ed. Massachusetts : Blackwell Publishing, 2005.

10. Rolak, Loren A. Neurology Secrets. Philadelphia : Mosby, Inc, 2010.

11. The New Antiepileptic Drugs: Clinical Application. LaRoche, Suzette M and Helmers,
Sandra L. 5, s.l. : JAMA, 2004, Vol. 291.

12. Mazzoni, Pietro, Pearson, Toni Shih and Rowland, Lewis P. Epilepsy. [book auth.]
Pietro Mazzoni, Toni Shih Pearson and Lewis P. Rowland. Merritt's Neurology Handbook,
2nd Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins (LWW), 2006.

13. Panayiotopoulos, C P. Absence Status Epilepticus. International League Against


Epilepsy. [Online] January 18, 2005. [Cited: June 13, 2011.] http://www.ilae-
epilepsy.org/Visitors/Centre/ctf/absence_status.cfm.

21

Anda mungkin juga menyukai