Anda di halaman 1dari 8

STRUKTUR TEKS POKOK PIKIRAN

Konsep kontekstualisme dalam arsitektur mempunyai arti


merancang sesuai dengan konteks yaitu merancang bangunan
Pernyataan (Tesis) dengan menyediakan visualisasi yang cukup antara bangunan
yang sudah ada dengan bangunan baru untuk menciptakan
suatu efek yang menyatu.
 Brent C. Brolin dalam bukunya Architecture in Context
(1980) menjelaskan, kontekstualisme adalah kemungkinan
perluasan bangunan dan keinginan mengaitkan bangunan
baru dengan lingkungan sekitarnya.
 Menurut Bill Raun, Kontekstual menekankan bahwa sebuah
bangunan harus mempunyai kaitan dengan lingkungan
(bangunan yang berada di sekitarnya). Keterkaitan tersebut
dapat dibentuk melalui proses menghidupkan kembali nafas
Argumentasi spesifik yang ada dalam lingkungan (bangunan lama) ke
dalam bangunan yang baru sesudahnya.
 Menurut Stuart E Cohen, Menganggap bahwa salah satu
metode untuk mengetahui keberadaan suatu bentuk dan
bahasa arsitektur adalah berdasarkan pengakuan secara
resmi oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini berarti bentuk
fisik yang telah mapan adalah bentuk yang diakui dan
terbiasa oleh pengamat sekitarnya.

 Membentuk satu kesatuan citra oleh pengamat dalam suatu


kawasan dan lingkungan, yang terbentuk dari suatu komposisi
bangunan dengan periode keberadaan yang berlainan. Kesatuan
citra oleh pengamat, terbentuk karena komposisi fisik yang
dilihatnya mempunyai kesinambungan, meskipun
Resolusi Kritis keberadaannya tidak secara bersamaan.
 Sehingga terciptanya harmonisasi antara bangunan satu dengan
bangunan sekitarnya, akan lebih indah jika unsur bangunan
sekitar yang diterapkan diolah atau disempurnakan dengan
memperhatikan efek lingkungan dan fungsi yang
mempengaruhi bentuk.
Tentang arsitektur kontekstual, pikiran saya langsung mengacu
kepada sederetan bangunan yang dibangun pada tahun yang
berbeda, namun hampir sama dari segi bentuk dan fungsinya.
Interpretasi (Penutup)
Maka, arsitektur kontekstual menurut pemahaman saya adalah
sebuah metode perancangan yang mengkaitkan dan
menyelaraskan bangunan baru dengan karakteristik lingkungan
sekitar.
Pengetrapannya pada objek arsitektur konstektual :
 Pertama, mengambil motif-motif desain setempat, seperti
bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain
yang digunakan.
 Kedua, menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi
mengaturnya kembali sehingga tampak berbeda.
 Ketiga, melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang
memiliki efek visual sama atau mendekati yang lama.
 Keempat, mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras).

1. Pokok Pikiran Tentang Arsitektur Kontekstual

2. Pernyataan (Tesis)
Konsep kontekstualisme dalam arsitektur mempunyai arti merancang sesuai dengan
konteks yaitu merancang bangunan dengan menyediakan visualisasi yang cukup antara
bangunan yang sudah ada dengan bangunan baru untuk menciptakan suatu efek yang menyatu.
Rancangan bangunan baru harus mampu memperkuat dan mengembangkan karakteristik dari
penataan lingkungan, atau setidaknya mempertahankan pola yang sudah ada. Suatu bangunan
harus mengikuti lambang dari lingkungannya agar dapat menyesuaikan diri dengan banguna
lama dan memiliki kesatuandesain dengan lbanguna lama tersebut dan memiliki karakteristik
yang sama. Desain yang kontekstual merupakan alat pengembangan yang bermanfaat karena
memungkinkan bangunan yang dimaksud untuk dapat dipertahankan dalam konteks yang baik.
Arsitektur Kontekstual dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu:
a. Contras (kontras/berbeda)
Kontras sangat berguna dalam menciptakan lingkungan urban yang hidup dan
menarik, namun yang perlu diingat bahwa kontras dapat dianalogikan sebagai bumbu
yang kuat dalam makanan yang harus dipakai dalam takaran secukupnya dan hati-hati.
Kontras menjadi salah satu strategi desain yang paling berpengaruh bagi seorang
perancang. Apabila diaplikasikan dengan baik dapat menjadi fokus dan citra aksen pada
suatu area kota. Sebaliknya jika diaplikasikan dengan cara yang salah atau sembarangan,
maka akan dapat merusak dan menimbulkan kekacauan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Brent C. Brolin, bahwasanya kontras bangunan modern dan kuno bisa merupakan sebuah
harmoni, namun ia mengingatkan bila terlalu banyak yang timbul sebagai akibat kontras,
maka efektifitas yang dikehendaki akan menurun sehingga yang muncul adalah
kekacauan.

http://mattorang.blogspot.com/2012/12/tinjauan-tentang-arsitektur-kontekstual.html

b. Harmony (harmoni/selaras)
Ada kalanya suatu lingkungan menuntut keserasian/keselarasan, hal tersebut
dilakukan dalam rangka menjaga keselarasan dengan lingkungan yang sudah ada.
Bangunan baru lebih menghargai dan memperhatikan bangunan sudah ada , kemudian
bersama-sama dengan bangunan yang baru untuk menjaga dan melestarikan “tradisi”
yang telah berlaku sejak dulu. Sehingga kehadiran satu bangunan baru lebih menunjang
dari pada menyaingi karakter bangunan yang sudah ada walaupun terlihat dominan.

3. Argumentasi

 Brent C. Brolin dalam bukunya Architecture in Context (1980) menjelaskan,


kontekstualisme adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan mengaitkan
bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya.Dengan kata lain, kontekstualisme
merupakan sebuah ide tentang perlunya tanggapan terhadap lingkungannya serta
bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter suatu tempat.

Untuk mewujudkan dan menciptakan arsitektur kontekstual, sebuah desain tidak


harus selamanya kontekstual dalam aspek form dan fisik saja, akan tetapi kontekstual
dapat pula dihadirkan melalui aspek non fisik, seperti fungsi, filosofi, maupun teknologi.
Kontekstual pada aspek fisik, dapat dilakukan dengan cara mengambil motif-motif desain
setempat: bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain, menggunakan
bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga tampak berbeda,
melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau mendekati
yang lama, dan mengabstraksi bentuk-bentuk asli.

Adapun kontekstual dalam aspek non fisik dapat dilakukan melalui pendekatan
fungsi, filosofi, maupun teknologi. Bangunan baru yang didesain ’kontras’ dengan
bangunan lama, namun mampu memperkuat nilai historis bangunan lama justru dianggap
lebih kontekstual daripada bangunan baru yang dibuat ’selaras’, sehingga menghilangkan
atau mengaburkan pandangan orang akan nilai historis bangunan lama.

Sehingga, untuk menjadikan sebuah desain kontekstual, bisa dengan


menjadikannya ’selaras’ ataupun ’kontras’ dengan lingkungan sekitar dengan tetap
mengedepankan tujuan dari kontekstual itu sendiri, yaitu menghadirkan ’kesesuaian’,
dalam arti memperkuat, memperbesar, menyelamatkan, memperbaiki atau meningkatkan
kualitas lingkungan yang ada. Kontekstualisme sering disalahtafsirkan sebagai pola
pemikiran yang hanya mempertimbangkan

http://mattorang.blogspot.com/2012/12/tinjauan-tentang-arsitektur-kontekstual.html

konteks sebagai unsur penting dalam pendekatan desain baru. Sebenarnya


kontekstualisme mempunyai arti lebih spesifik. Bangunan kontekstual tidak berdiri
sendiri dan berteriak, “Lihatlah aku!” tetapi bahkan cenderung menjadi suatu bangunan
yang menjadi latar belakang.

 Menurut Bill Raun, Kontekstual menekankan bahwa sebuah bangunan harus


mempunyai kaitan dengan lingkungan (bangunan yang berada di sekitarnya). Keterkaitan
tersebut dapat dibentuk melalui proses menghidupkan kembali nafas spesifik yang ada
dalam lingkungan (bangunan lama) ke dalam bangunan yang baru sesudahnya.
Maka, arsitektur kontekstual menurut pemahaman saya adalah sebuah metode
perancangan yang mengkaitkan dan menyelaraskan bangunan baru dengan karakteristik
lingkungan sekitar.
Gerakan pengusung paham arsitektur kontekstual sendiri muncul dari penolakan dan
perlawanan terhadap arsitektur modern sebagai ikon gaya internasional yang antihistoris,
monoton, bersifat industrialisasi, dan kurang memerhatikan kondisi bangunan lama di
sekitarnya. Sehingga, kontekstualisme selalu dihubungkan dengan kegiatan konservasi
dan preservasi karena berusaha mempertahankan bangunan lama khususnya yang bernilai
historis dan membuat koneksi dengan bangunan baru atau menciptakan hubungan yang
simpatik, yang akan menghasilkan sebuah kontinuitas visual.

4. Resolusi Kritis

Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada perancangan
arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama. Dari berbagai pendapat pada
perancangan arsitektur dengan pendekatan ekologi, pada intinya adalah, mendekati
masalah perancangan arsitektur dengan menekankan pada keselarasan bangunan dengan
perilaku alam, mulai dari tahap pendirian sampai usia bangunan habis. Bangunan sebagai
pelindung manusia yang ketiga harus nyaman bagi penghuni, selaras dengan perilaku alam,
efisien dalam memanfatkan sumber daya alam, ramah terhadap alam.
Sehingga perencanaannya perlu memprediksi kemungkinan-kemungkinan ketidak
selarasan dengan alam yang akan timbul dimasa bangunandidirikan, beroperasi sampai
tidak digunakan, terutama dari penggunaan energi, pembuangan limbah dari sistim-sistim
yang digunakan dalam bangunan.
Semua keputusan yang diambil harus melalui pertimbangan secara teknis dan ilmiah
yang holistik dan interdisipliner. Tujuan perancangan arsitektur melalui pendekatan
arsitektur adalah upaya ikut menjaga keselarasan bangunan rancangan manusia dengan
alam untuk jangka waktu yang panjang.
Keselarasan ini tercapai melalui kaitan dan kesatuan antara kondisi alam, waktu,
ruang dan kegiatanmanusia yang menuntut perkembangan teknologi yang
mempertimbangkan nilai-kilai ekologi, dan merupakan suatu upaya yang berkelanjutan.
Mendekati masalah perancangan arsitektur dengan konsep ekologi, berarti ditujukan
pada pengelolaan tanah, air dan udara untuk keberlangsungan ekosistim. Efisiensi
penggunaan sumber daya alam tak terperbarui (energi) dengan mengupayakan energi
alternatif (solar, angin, air, bio). Menggunakan sumber daya alam terperbarui dengan
konsep siklus tertutup, daur ulang dan hemat energi mulai pengambilan dari alam sampai
pada penggunaan kembali, penyesuaian terhadap lingkungan sekitar, iklim, sosialbudaya,
dan ekonomi. Keselarasan dengan perilaku alam, dapat dicapai dengan konsep
perancangan arsitektur yang kontekstual, yaitu pengolahan perancangan tapak dan
bangunan yang sesuai potensi setempat. termasuk topografi, vegetasi dan kondisi alam
lainnya.
Material yang dipilih harus dipertimbangkan hemat energi mulai dari pemanfaatan
sebagai sumber daya alam sampai pada penggunaan di bangunan dan memungkinkan daur
ulang (berkelanjutan) dan limbah yang dapat sesuai dengan siklus di alam. Konservasi
sumberdaya alam dan keberlangsungan siklus-siklus ekosistim di alam, pemilihan dan
pemanfaatan bahan bangunan dengan menekankan pada daur ulang, kesehatan penghuni
dan dampak pada alam sekitarnya, energi yang efisien, dan mempertahankan potensi
setempat.
Keselarasan rancangan arsitektur dengan alam juga harus dapat menjaga kelestarian
alam, baik vegetasi setempat maupun mahluk hidup lainnya, dengan memperluas area
hijau yang diharapkan dapat meningkatkan penyerapan CO2 yang dihasilkan kegiatan
manusia, dan melestarikan habitat mahluk hidup lain. Ukuran kenyamanan penghuni
secara fisik, sosial dan ekonomi, dicapai melalui : penggunaan sistim-sistim dalam
bangunan yang alamiah, ditekankan pada sistim-sistim pasif, pengendalian iklim dan
keselarasan dengan lingkungannya.
Bentuk dan orientasi bangunan didasarkan pada selaras dengan alam sekitarnya,
kebutuhan penghuni dan iklim, tidak mengarah pada bentuk bangunan atau style tertentu,
tetapi mencapai keselarasan dengan alam dan kenyamanan penghuni dipecahkan secara
teknis dan ilmiah.Untuk mendapatkan hasil rancangan yang mampu selaras dan sesuai
dengan perilaku alam, maka semua keputusan dari konsep perancangan harus melalui
analisis secara teknis dan ilmiah Pemikiran dan pertimbangan yang dilakukan memerlukan
pemikiran yang interdisiplin dan holistic karena sangat kompleks dan mencakup berbagai
macam keilmuan.
Gambar 3. Integrasi sistim di alam dan sistim bangunan

5. Interpretasi (Penutup)

Dalam penerapan desain terhadap gedung kampus FKG yang akan di desain,
menggunakan Arsitektur Kontekstual yang Harmoni, dimana bangunan yang didesain
selaras dengan bangunan yang ada disekitarnya. Halini di karenakan bangunan eksisting di
sekitar bangunan yang akan didesain memliki banyak ornament–ornament sehingga
untuk menghindari dan meminimalkan pendesainan bentuk ornament yang baru pada
bangunan yang akan di desain. Seperti dapat di lihat pada gambar 3.3 – 3.5 yang
menunjukkan bangunan eksisting sekitar kampus.

Adapun penerapan Arsitektur Kontekstual yang akan didesain sebagai berikut :


 Penerapan peraturan peraturan dalam perancanganan seperti GSB
lingkungan kampus Maranatha.
 Penerapan desain pada bangunan, bentuk pengulangan pada bangunan
sekitar seperti detail – detail seperti bentuk glass blockdengan bentuk belah
ketupat. Hal ini di karenakan pada bangunan – bangunan tinggi yang
terdapat di Universitas Maranatha ini memiliki bentuk pengulangan belah
ketupat. Dapat dilihat pada gambar 3.6. dan gambar 3.7.

 Agar bangunan yang akan di desain menjadi unitydengan gedung GWM


(Gedung Graha Widya Maranatha), maka bangunan yang di desain
menggunakan bentuk jendela yang sama dengan menggunakan sun
shading dan teritisan. Agar bangunan yang didesain menjadi bangunan
vocal pointdari bangunan sekitarnya,pendesainan dilakukan dengan cara
perbedahan warna yang lebih tua di bagian–bagian tertentu, dimana
perbedaan warna ini untuk penegasan pada bangunan.
 Kontekstual juga terhadap manusia sebagai pengguna, dimana
bangunannya menyesuaikan dengan pergerakkan manusia yang standar dan
nyaman.

Daftar Pustaka

Agoes Soegianto, (2005), Ilmu Lingkungan, sarana menuju masyarakat berkelanjutan,


Airlangga University Press, Surabaya

Broadbent G, Brebia CA, (ed) (2006), Eco-Architecture, harmonization between architecture


and nature, WIT Press, Southampton, UK.

Burnie D, (1999), Get a Grip on Ecology, The Ivy Press Limited, UK


Frick H, FX Bambang Suskiyanto, (1998), Dasar-dasar Eko-arsitektur,Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.

Frick H, Tri Hesti Mulyani,(2006), Arsitektur Ekologis,Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Krusche P und M, Althaus D, Gabriel I, (1982), Okologisches Bauen, herausgegeben vom


umweltbundesamt, Bauverlag GMBH, Weisbaden und Berlin.

Mackenzie LD, Masten SJ, (2004), Principles of Environmental Engineering and Science, Mc
Graw Hill, Singapor

Anda mungkin juga menyukai