Chapter I PDF
Chapter I PDF
PENDAHULUAN
Keluarga dan anak umumnya menjadi topik pembicaraan apabila dua orang
sahabat lama baru berjumpa. Jarang sekali dalam perjumpaan antara dua orang
nilai anak dalam kehidupan seseorang atau keluarga yang melebihi dari nilai harta
Nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari
adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat bagi orang tua untuk mencurahkan
kasih sayangnya, anak sebagai sumber kebahagiaan keluarga, anak sebagai bahan
diwariskan serta anak sebagai tempat orang tua dalam menggantungkan berbagai
harapannya (Ihromi, 1999). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh ibu
“...Yah penghibur nak! Kalau misalnya ibu dan bapak lagi sedih, dialah
yang menghibur kami! Kemudian dia juga tempat kita untuk mencurahkan
seluruh kasih sayang kita! Dia juga penyemangat kami untuk bekerja!
Dia juga yang menjadi penengah kalau bapak dan ibu lagi ribut kecil-
kecilan! Dan bagi kami, anak itu harapan satu-satunya di hari tua nanti”.
masyarakat Batak Toba menganggap anak sebagai harta yang paling berharga
dalam hidupnya (Harahap & Siahaan, 1987).Tidak hanya itu, masyarakat Batak
Toba juga menganggap bahwa dengan adanya anak maka tujuan hidup yang ideal
dalam budaya Batak Toba dapat tercapai yang tercakup dalam nilai 3H
keturunan adalah kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan
kerabat.
dimana kekayaan ini diidentikkan dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak
individu tidak akan merasa kaya meskipun banyak harta seperti yang diungkapkan
terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Diantara nilai
paling penting karena nilai hagabeon mengungkap makna bahwa orang Batak
Dengan adanya anak juga, maka marga dari ayah ada yang meneruskan.
Marga merupakan asal mula nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama
suku dan suku induk yang berasal dari rahim yang sama
berarti bahwa garis marga orang Batak Toba diteruskan oleh anak laki-laki.
Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga tersebut akan
punah. Adapun posisi perempuan dalam budaya Batak Toba adalah sebagai
pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari
Anak laki-laki nantinya akan beristri dan keluarga pihak pemberi istri akan
disebut dengan hula-hula sedangkan anak perempuan akan bersuami dan keluarga
pihak penerima istri akan disebut boru. Dengan demikian lengkaplah unsur
Harta kekayaan juga ada yang mewarisi. Dalam budaya Batak Toba yang
menjadi pewaris seutuhnya adalah anak laki-laki sementara anak perempuan bisa
sebagian dari harta yang diwariskan (Vergouwen, 1986). Dahulu, apabila keluarga
tersebut tidak memiliki keturunan terlebih lagi keturunan laki-laki maka seluruh
harta warisan tersebut akan jatuh ke pihak adik kandung laki-laki/abang kandung
yang memiliki keturunan terlebih lagi keturunan laki-laki. Akan tetapi hal tersebut
saat ini sudah mulai bergeser dipengaruhi oleh perkembangan faktor ajaran agama
dihadapan Tuhan. Dimana diketahui saat ini hampir semua masyarakat Batak
Toba sudah memeluk agama sehingga hal itu menyebabkan pada sekarang ini
anak perempuan sudah bisa mewarisi harta kekayaan apabila tidak memiliki
saudara laki-laki. Hal ini didukung oleh pernyataan bapak Tamba yang
”...Kalau dulu apabila seorang bapak hanya memiliki anak perempuan saja
dan tidak memiliki anak laki-laki maka seluruh harta kekayaannya akan
dilimpahkan kepada saudaranya laki-laki kandung yang memiliki anak laki-
laki, akan tetapi saat ini sudah mulai bergeser meskipun hanya memiliki
anak perempuan akan tetapi tidak memiliki anak laki-laki, anak
perempuannya tersebut sudah bisa mewarisi harta peninggalan dari orang
tuanya tersebut. Jadi tidak harus dilimpahkan seluruhnya lagi kepada
saudaranya laki-laki yang memiliki anak laki-laki. Hal ini diakibatkan
karena ajaran agama yang mengatakan bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan adalah sama. Dimana sekarang ini hampir semua masyarakat
Batak kita tahu sudah beragama. Nah, hal inilah yang menyebabkan
terjadinya pergeseran dalam budaya Batak Toba meskipun sebenarnya kita
ketahui bahwa pewaris harta seutuhnya adalah anak laki-laki”.
Dan yang terakhir dengan adanya anak dalam sebuah keluarga maka dapat
sahala sebagai salah satu aspek dari tondi (roh). Seseorang yang memiliki
kewibawaan kekayaan dan keturunan adalah orang yang memiliki sahala. Sahala
seseorang bertambah bila hal-hal tersebut bertambah (Harahap & Siahaan, 1987).
karena dipengaruhi oleh pentingnya peran anak tersebut. Akan tetapi pada
kenyataannya sekarang ini masih banyak dijumpai pasangan Batak Toba yang
sulit memiliki keturunan meskipun sudah menikah dalam kurun waktu relatif
lama/lebih dari 12 bulan lamanya tanpa menggunakan alat kontrasepsi akan tetapi
cukup sensitif bagi kebanyakan pasangan terutama bagi pasangan yang sulit untuk
yang dipersalahkan adalah pihak wanita. Jika dalam sebuah rumah tangga tidak
olah masalah ketidaksuburan ini hanya urusan wanita saja. Bahkan ada yang
Hal demikian juga terjadi dalam budaya Batak Toba. Sering sekali pasangan
Batak Toba yang sulit untuk memiliki keturunan diminta berpisah dan bahkan
bercerai dengan alasan tidak adanya keturunan atau bahkan istri yang meminta
suami untuk menikah kembali dengan wanita lain agar garis keturunannya
tersebut tidak punah (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh pernyataan bapak
Pasangan Batak Toba yang sulit untuk memiliki keturunan juga kerap sekali
Berikut adalah kutipan hasil wawancara dengan bapak Situmorang yang telah
“...Kalau ejekan pasti ada yah dek! Palingan mungkin dari tetanggalah!
Yang bilang seperti ini “ehe, manalah bisa lagi punya anak itu! Nikah aja
pun dah berumur! Kadangkan gak enak aja dengarnya! Kok tega aja gitu
yah! Tapi kami cuek aja! Gak openlah! Toh juga yang ngejalanin kita kok,
bukan dia kan?”
Tidak hanya itu keadaan infertilitas ini juga dapat membuat pasangan
mengalami depresi, rasa bersalah, cemas, ketegangan dalam hubungan dan isolasi
mereka telah gagal, saling menyalahkan satu sama lain dan mereka sangat cemas
ketika berusaha untuk hamil. Banyak pasangan yang sulit untuk memiliki
keturunan merasakan emosi seperti marah, panik, putus asa dan sedih yang dapat
berpengaruh terhadap aktivitas seksual mereka (Read, 2004). Hal ini didukung
oleh hasil wawancara dengan ibu Simbolon yang telah menikah selama 10 tahun
“...Sedih aja dirasa dek! Apalagi kalau ngeliat ibu-ibu lain ngegendong
anak! Ngeri awak rasa! Awak kapanlah yah bisa gendong bayi! Terus
kadang ada irinya juga! Yah irinya gini, kalau misalnya kita jumpa nih ama
teman-teman seperjuangan kita dulu, eh tau-taunya dah main gendong anak
aja! Udah itu kami juga jadi sering emosian dek! Gara-gara gak ada anak!
Dikit-dikit marah! Terus ngomong juga jadi seenaknya aja! Terakhir jadi
sering stress juga yah dek! Stress mungkin karena dah usaha kesana kemari
tapi gak juga punya anak yah! Itu aja mungkin dek”.
melakukan berbagai cara untuk bisa memiliki keturunan, mulai dari melakukan
kerabat laki-laki mendatangi ayah dari pihak istri dan melalui upacara khusus
memohon restu kiranya mertuanya mau memanjatkan doa supaya puteri dan
leluhur besar yang tertinggi dalam dunia roh yang mendekati kedudukan dewata,
dia menjadi sombaon. Sombaon ini tinggal di tempat suci, di puncak gunung,
tersebut yang dipimpin oleh datu (pemimpin acara) dan diikuti dengan tarian-
tarian persembahan. Adapun tujuan dilakukannya pesta ini adalah karena banyak
dari keturunan yang tidak mempunyai keturunan sehingga mereka ingin memohon
kepada leluhur agar melimpahkan “tabung penyimpanan anak panah yang penuh
dalam dirinya dan untuk memperkuat ikatan antara dia dengan tempat tinggalnya.
Jika kegiatan mangupa ini dilakukan kepada wanita yang belum memiliki
(rohnya) terhadap kekuatan animis dan jahat yang sudah mengincarnya dan segera
memiliki anak (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh kutipan hasil
wawancara dengan bapak Hutapea yang telah menikah selama 4,5 tahun akan
“...Saya juga udah pernah diupa tondi sama orang tua saya. Tahun yang
lewat atau dua tahun yang lalu kalau gak salah yah! Jadi kami disini itu
dikasih makan dengan ikan mas sama orang tua saya dan keluarga saya.
Tapi sebelum kami memakan nasi ikan mas yang akan diberikan kami,
terlebih dahulu orang tua kami itu mengucapkan kata-kata pengharapanlah
biar nantinya dengan diberikannya kami makan dengan ikan mas ini,
nantinya kami jadi cepatlah punya anak.”
kegiatan menyuapi yang mana biasanya kegiatan ini ditujukan kepada mereka
dilakukan oleh anak kepada orang tuanya atau mertuanya dengan tujuan
Hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan bapak Limbong yang telah
“...Yah! Saya juga pernah lakuin kayak gini ke mama saya! Biasanya kalau
mau lakuin ini saudara kita tuh pada ngumpullah semua! Terus dimasaklah
semua nasi dan ikan untuk acara ini! Setelah disiapkan semua dalam satu
piring dan sudah didoakan terlebih dahulu barulah nasi sama ikan tadi saya
suapkan ke orang tua saya! Tapi sebelum saya suapkan ke orang tua saya,
terlebih dulu saya ngomonglah sepatah dua kata sama orang tua saya!
Kayak kata-kata pengharapan gitulah dek! Barulah saya kasih! Gunanya
katanya biar dapat berkat dari orang tua kita atau bisa juga biar cepat dapat
anak.”
(Komunikasi personal, 28 Juni 2012)
diartikan sebagai dibebani nasib baik. Istilah ini diterapkan kepada benda yang
yang berpindah kepada orang yang menerimanya. Kegiatan ini bisa dilakukan
kepada wanita yang sudah lama tidak memiliki anak dengan tujuan segera
memiliki keturunan (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh kutipan hasil
wawancara dengan bapak Manalu yang telah menikah selama 5 tahun akan tetapi
“...Kalau kami kemaren itu, ulos tersebut dikasi bersamaan ketika kami
diupa-upa sama orangtua! Jadi pas kami sudah siap dikasi makan dan sudah
diucapkan sepatah dua kata dari orang tua kami barulah ulos tersebut
diberikan! Harapannya nanti dengan diberikannya ulos tadi, kami jadi cepat
punya anak! Gitu dek!”
Selain melakukan kegiatan di atas, banyak juga pasangan Batak Toba yang
meningggaldan berkusuk dengan tujuan agar segera memiliki keturunan. Hal ini
didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan bapak Limbong yang telah
“...ziarah pernah juga! Kemaren itu kami ziarah ke kuburan opung saya
yang udah lama ninggal. Kami ditemanin sama tulang saya. Terus pas dah
sampai di kuburan, kami ngomonglah ke “sahala” opung kalau tujuan kami
datang kesitu ingin berziarah dan memohonlah supaya “sahala” opung itu
memudahkan jalan bagi kami biar kami cepat punya anak! Terus itu kusuk
juga udah sering dilakuin! Itu sih dek.”
usaha untuk memperoleh keturunan. Hal ini didukung oleh hasil wawancara
dengan bapak Limbong yang telah menikah selama 9 tahun akan tetapi belum
memiliki keturunan :
Tidak hanya itu pasangan juga sering sekali mengalami kegagalan sewaktu
melakukan usaha untuk memperoleh keturunan. Sering sekali usaha yang sudah
diharapkan. Hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan ibu Simbolon
yang telah menikah selama 10 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :
Meski terdapat berbagai hambatan dan kesulitan dari diri pasangan itu
sendiri akan tetapi masih banyak juga pasangan Batak Toba yang belum memiliki
keturunan. Berikut merupakan hasil wawancara dengan ibu Sihombing yang telah
Akan tetapi hal ini tidak membuat pasangan-pasangan tersebut menjadi putus asa
dan berhenti untuk berusaha melainkan tetap gigih dalam melakukan berbagai
usaha untuk memperoleh keturunan karena pentingnya nilai anak dalam budaya
Batak Toba. Kegigihan didefinisikan oleh Seligman & Peterson (2004) sebagai
kelanjutan dari tindakan sukarela yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
(the power of will). Hal yang menjadi penghalang bagi individu bukanlah
sesuatu yang lebih mudah dan menyenangkan (Seligman & Peterson, 2004).
persistensi, yaitu memiliki tujuan yang jelas, keinginan untuk mencapai tujuan
akal, mampu bekerjasama dengan orang lain serta memiliki pemikiran yang
terfokus untuk mencapai tujuan. Semua komponen yang dijabarkan tersebut harus
peneliti menjadi terarik untuk melihat bagaimana persistensi pada pasangan Batak
B. RUMUSAN MASALAH
pada pasangan infertil suku Batak Toba dalam berusaha untuk memperoleh
keturunan.
C. TUJUAN PENELITIAN
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
motivasi bagi pasangan Batak Toba yang infertil dalam berusaha untuk
memperoleh keturunan.
c.Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan
penelitian ini.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
BABI : Pendahuluan
penelitian.
prosedur penelitian.
selanjutnya.