Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Keluarga dan anak umumnya menjadi topik pembicaraan apabila dua orang

sahabat lama baru berjumpa. Jarang sekali dalam perjumpaan antara dua orang

sahabat membicarakan soal kekayaan. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya

nilai anak dalam kehidupan seseorang atau keluarga yang melebihi dari nilai harta

kekayaan yang dimiliki (Ihromi, 1999).

Nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari

adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat bagi orang tua untuk mencurahkan

kasih sayangnya, anak sebagai sumber kebahagiaan keluarga, anak sebagai bahan

pertimbangan pasangan suami-istri ketika ingin bercerai, anak sebagai tempat

untuk mensosialisasikan nilai–nilai dalam keluarga dan harta kekayaan keluarga

diwariskan serta anak sebagai tempat orang tua dalam menggantungkan berbagai

harapannya (Ihromi, 1999). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh ibu

Nainggolan sebagai berikut:

“...Yah penghibur nak! Kalau misalnya ibu dan bapak lagi sedih, dialah
yang menghibur kami! Kemudian dia juga tempat kita untuk mencurahkan
seluruh kasih sayang kita! Dia juga penyemangat kami untuk bekerja!
Dia juga yang menjadi penengah kalau bapak dan ibu lagi ribut kecil-
kecilan! Dan bagi kami, anak itu harapan satu-satunya di hari tua nanti”.

(Komunikasi personal, 29 September 2013)

Terlebih lagi bagi masyarakat Batak Toba yang sangat mengharapkan

kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga. Hal ini disebabkan karena

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

masyarakat Batak Toba menganggap anak sebagai harta yang paling berharga

dalam hidupnya (Harahap & Siahaan, 1987).Tidak hanya itu, masyarakat Batak

Toba juga menganggap bahwa dengan adanya anak maka tujuan hidup yang ideal

dalam budaya Batak Toba dapat tercapai yang tercakup dalam nilai 3H

(hagabeon, hamoraon dan hasangapon) (Harahap & Siahaan, 1987).

Lubis (1997) menjelaskan bahwa hagabeon sama artinya dengan bahagia

dan sejahtera. Kebahagiaan yang dimaksudkan disini adalah kebahagiaan dalam

hal keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup karena

keturunan adalah kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan

kerabat.

Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang

dimana kekayaan ini diidentikkan dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak

individu tidak akan merasa kaya meskipun banyak harta seperti yang diungkapkan

dalam ungkapan “Anakkonhi do hamoraon diahu” (anakku adalah harta yang

paling berharga bagi saya)

Hasangapon (kemuliaan & kehormatan) merupakan kedudukan seseorang

dalam lingkungan masyarakat. Untuk mencapai hasangapon seseorang harus

terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Diantara nilai

hamoraon hagabeon dan hasangapon, nilai hagabeon merupakan nilai yang

paling penting karena nilai hagabeon mengungkap makna bahwa orang Batak

Toba sangat mendambakan kehadiran anak dalam keluarga.

Dengan adanya anak juga, maka marga dari ayah ada yang meneruskan.

Marga merupakan asal mula nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

(Gultom, 1992). Masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok

suku dan suku induk yang berasal dari rahim yang sama

(Vergouwen, 1986). Keyakinan ini disebabkan oleh penetapan struktur garis

keturunan mereka yang menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang

berarti bahwa garis marga orang Batak Toba diteruskan oleh anak laki-laki.

Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga tersebut akan

punah. Adapun posisi perempuan dalam budaya Batak Toba adalah sebagai

pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari

kelompok patrilineal yang lain.

Adat Dalihan Na Tolu ada yang melengkapi. Dalihan Na Tolu merupakan

suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku

Batak Toba. Ketiga hubungan kekeluargaan itu adalah:

1.Hula-hula (keluarga dari pihak pemberi istri/wanita)

2.Dongan sabutuha (kawan semarga)

3.Boru (keluarga dari pihak penerima istri/wanita

Anak laki-laki nantinya akan beristri dan keluarga pihak pemberi istri akan

disebut dengan hula-hula sedangkan anak perempuan akan bersuami dan keluarga

pihak penerima istri akan disebut boru. Dengan demikian lengkaplah unsur

Dalihan Na Tolu yakni dongan sabutuha, hula-hula dan boru

(Siahaan & Harahap, 1987).

Harta kekayaan juga ada yang mewarisi. Dalam budaya Batak Toba yang

menjadi pewaris seutuhnya adalah anak laki-laki sementara anak perempuan bisa

memiliki sebagian harta warisan apabila saudaranya laki-laki mau berbagi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

sebagian dari harta yang diwariskan (Vergouwen, 1986). Dahulu, apabila keluarga

tersebut tidak memiliki keturunan terlebih lagi keturunan laki-laki maka seluruh

harta warisan tersebut akan jatuh ke pihak adik kandung laki-laki/abang kandung

yang memiliki keturunan terlebih lagi keturunan laki-laki. Akan tetapi hal tersebut

saat ini sudah mulai bergeser dipengaruhi oleh perkembangan faktor ajaran agama

yang menyatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama

dihadapan Tuhan. Dimana diketahui saat ini hampir semua masyarakat Batak

Toba sudah memeluk agama sehingga hal itu menyebabkan pada sekarang ini

anak perempuan sudah bisa mewarisi harta kekayaan apabila tidak memiliki

saudara laki-laki. Hal ini didukung oleh pernyataan bapak Tamba yang

merupakan salah seorang tokoh adat di daerah Samosir:

”...Kalau dulu apabila seorang bapak hanya memiliki anak perempuan saja
dan tidak memiliki anak laki-laki maka seluruh harta kekayaannya akan
dilimpahkan kepada saudaranya laki-laki kandung yang memiliki anak laki-
laki, akan tetapi saat ini sudah mulai bergeser meskipun hanya memiliki
anak perempuan akan tetapi tidak memiliki anak laki-laki, anak
perempuannya tersebut sudah bisa mewarisi harta peninggalan dari orang
tuanya tersebut. Jadi tidak harus dilimpahkan seluruhnya lagi kepada
saudaranya laki-laki yang memiliki anak laki-laki. Hal ini diakibatkan
karena ajaran agama yang mengatakan bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan adalah sama. Dimana sekarang ini hampir semua masyarakat
Batak kita tahu sudah beragama. Nah, hal inilah yang menyebabkan
terjadinya pergeseran dalam budaya Batak Toba meskipun sebenarnya kita
ketahui bahwa pewaris harta seutuhnya adalah anak laki-laki”.

(Komunikasi personal, 21Agustus 2013)

Dan yang terakhir dengan adanya anak dalam sebuah keluarga maka dapat

menambah sahala (wibawa) kedua orang tua. Ph.L.Tobing menyatakan konsep

sahala sebagai salah satu aspek dari tondi (roh). Seseorang yang memiliki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

kewibawaan kekayaan dan keturunan adalah orang yang memiliki sahala. Sahala

seseorang bertambah bila hal-hal tersebut bertambah (Harahap & Siahaan, 1987).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami mengapa pasangan Batak

Toba begitu mengharapkan kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga

karena dipengaruhi oleh pentingnya peran anak tersebut. Akan tetapi pada

kenyataannya sekarang ini masih banyak dijumpai pasangan Batak Toba yang

sulit memiliki keturunan meskipun sudah menikah dalam kurun waktu relatif

lama/lebih dari 12 bulan lamanya tanpa menggunakan alat kontrasepsi akan tetapi

belum juga memiliki keturunan atau biasa disebut dengan infertilitas

(Papalia & Olds, 1998).

Tentunya masalah kesuburan dan ketidaksuburan ini menjadi masalah yang

cukup sensitif bagi kebanyakan pasangan terutama bagi pasangan yang sulit untuk

memiliki keturunan. Biasanya untuk kebanyakan kasus infertilitas sering sekali

yang dipersalahkan adalah pihak wanita. Jika dalam sebuah rumah tangga tidak

memiliki keturunan wanitalah yang selalu dianggap bertanggung jawab seolah-

olah masalah ketidaksuburan ini hanya urusan wanita saja. Bahkan ada yang

sampai menceraikan istrinya padahal mereka belum memeriksakan diri ke dokter

untuk mencari tahu siapa yang sebenarnya bermasalah (Junaidi, 2011).

Hal demikian juga terjadi dalam budaya Batak Toba. Sering sekali pasangan

Batak Toba yang sulit untuk memiliki keturunan diminta berpisah dan bahkan

bercerai dengan alasan tidak adanya keturunan atau bahkan istri yang meminta

suami untuk menikah kembali dengan wanita lain agar garis keturunannya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

tersebut tidak punah (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh pernyataan bapak

Tamba yang merupakan salah seorang tokoh adat di daerah Samosir :

“...Yah! Memang sampai berpisah (cerai) demi mendapatkan anak! Bahkan


ada lagiyang menikah sampai beberapa kali biar bisa punya anak! Tapi kalau
menurut saya, ini semua kembali lagi ke keluarga tersebut! Siapa itu
keluarganya! Biasanya kalau yang seperti ini terjadi, itu karena keluarganya
masih memegang kuat akan adat istiadat Bataknya. Masih kentallah adat
Batak yang dipegangnya itu! Maka sampai ada yang diceraikan demi
mendapatkan keturunan! Bahkan ada yang sampai berkali-kali menikah!
Tapi hal seperti ini kebanyakan terjadi di kampung-kampung yang memang
adat budaya itu masih dipegang kuatlah oleh masyarakatnya! Tapi kalau
setahu saya kalau di kota, hal seperti ini sudah jaranglah yah dijumpai
meskipun mungkin ada satu dari beberapa yang bercerai dan menikah lagi
untuk mendapatkan keturunan! Pemikiran orang di kota mungkin sudah
lebih majulah dari orang-orang di kampung! Jadi intinya begitulah! Semua
tergantung kepada keluarganya itu sendiri”.

(Komunikasi personal,22 Mei 2012)

Pasangan Batak Toba yang sulit untuk memiliki keturunan juga kerap sekali

mendapatkan ejekan dari orang-orang sekitar maupun dari keluarga sendiri.

Berikut adalah kutipan hasil wawancara dengan bapak Situmorang yang telah

menikah 8 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Kalau ejekan pasti ada yah dek! Palingan mungkin dari tetanggalah!
Yang bilang seperti ini “ehe, manalah bisa lagi punya anak itu! Nikah aja
pun dah berumur! Kadangkan gak enak aja dengarnya! Kok tega aja gitu
yah! Tapi kami cuek aja! Gak openlah! Toh juga yang ngejalanin kita kok,
bukan dia kan?”

(Komunikasi personal, 28 September 2012)

Tidak hanya itu keadaan infertilitas ini juga dapat membuat pasangan

mengalami depresi, rasa bersalah, cemas, ketegangan dalam hubungan dan isolasi

selama proses fertility treatment (DeGenova, 2005). Pasangan merasa bahwa

mereka telah gagal, saling menyalahkan satu sama lain dan mereka sangat cemas

ketika berusaha untuk hamil. Banyak pasangan yang sulit untuk memiliki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

keturunan merasakan emosi seperti marah, panik, putus asa dan sedih yang dapat

berpengaruh terhadap aktivitas seksual mereka (Read, 2004). Hal ini didukung

oleh hasil wawancara dengan ibu Simbolon yang telah menikah selama 10 tahun

akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Sedih aja dirasa dek! Apalagi kalau ngeliat ibu-ibu lain ngegendong
anak! Ngeri awak rasa! Awak kapanlah yah bisa gendong bayi! Terus
kadang ada irinya juga! Yah irinya gini, kalau misalnya kita jumpa nih ama
teman-teman seperjuangan kita dulu, eh tau-taunya dah main gendong anak
aja! Udah itu kami juga jadi sering emosian dek! Gara-gara gak ada anak!
Dikit-dikit marah! Terus ngomong juga jadi seenaknya aja! Terakhir jadi
sering stress juga yah dek! Stress mungkin karena dah usaha kesana kemari
tapi gak juga punya anak yah! Itu aja mungkin dek”.

(Komunikasi personal, 27September 2012)

Biasanya pasangan Batak Toba yang mengalami keadaan demikian akan

melakukan berbagai cara untuk bisa memiliki keturunan, mulai dari melakukan

usaha medis seperti artificial Insemination, in vitro fertilization, embryo

transplant, gamette intrafallopian transfer, ovum transfer hingga kepada

melakukan kebiasaan-kebiasaan budaya yang diyakini dapat mempercepat

terjadinya kehamilan. Adapun kebiasaan budaya tersebut seperti suami dan

kerabat laki-laki mendatangi ayah dari pihak istri dan melalui upacara khusus

memohon restu kiranya mertuanya mau memanjatkan doa supaya puteri dan

menantunya diberi karunia (Vergouwen, 1986).

Kemudian melakukan kegiatan upacara besar atau yang biasa disebut

dengan istilah Sombaon. Upacara ini berupa upacara penghormatan kepada

leluhur besar yang tertinggi dalam dunia roh yang mendekati kedudukan dewata,

dia menjadi sombaon. Sombaon ini tinggal di tempat suci, di puncak gunung,

di hutan belantara atau di sebuah sungai besar. Sombaon selalu dimohonkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

dalam semua upacara religius. Upacara ini disertai dengan pemberian

persembahan berupa hewan-hewan kurban yang dipersembahkan kepada leluhur

tersebut yang dipimpin oleh datu (pemimpin acara) dan diikuti dengan tarian-

tarian persembahan. Adapun tujuan dilakukannya pesta ini adalah karena banyak

dari keturunan yang tidak mempunyai keturunan sehingga mereka ingin memohon

kepada leluhur agar melimpahkan “tabung penyimpanan anak panah yang penuh

dengan anak-anak” (Vergouwen, 1986).

Kemudian melakukan kegiatan mangupa tondi. Kegiatan mangupa ini

bertujuan untuk menguatkan tondi (roh), meningkatkan daya yang bersemayam

dalam dirinya dan untuk memperkuat ikatan antara dia dengan tempat tinggalnya.

Jika kegiatan mangupa ini dilakukan kepada wanita yang belum memiliki

keturunan maka tujuannnya adalah untuk meningkatkan daya tangkal tondinya

(rohnya) terhadap kekuatan animis dan jahat yang sudah mengincarnya dan segera

memiliki anak (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh kutipan hasil

wawancara dengan bapak Hutapea yang telah menikah selama 4,5 tahun akan

tetapi belum memiliki keturunan :

“...Saya juga udah pernah diupa tondi sama orang tua saya. Tahun yang
lewat atau dua tahun yang lalu kalau gak salah yah! Jadi kami disini itu
dikasih makan dengan ikan mas sama orang tua saya dan keluarga saya.
Tapi sebelum kami memakan nasi ikan mas yang akan diberikan kami,
terlebih dahulu orang tua kami itu mengucapkan kata-kata pengharapanlah
biar nantinya dengan diberikannya kami makan dengan ikan mas ini,
nantinya kami jadi cepatlah punya anak.”

(Komunikasi personal, 7 Oktober 2012)

Kemudian melakukan kegiatan manulangi. Kegiatan manulangi ini berupa

kegiatan menyuapi yang mana biasanya kegiatan ini ditujukan kepada mereka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

yang memang pantas mendapatkan persembahan makanan. Kegiatan ini biasanya

dilakukan oleh anak kepada orang tuanya atau mertuanya dengan tujuan

mendapatkan berkat dari orang tuanya atau mertuanya sehingga

putrinya/menantunya tersebut cepat mendapatkan keturunan (Vergouwen, 1986).

Hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan bapak Limbong yang telah

menikah selama 9 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Yah! Saya juga pernah lakuin kayak gini ke mama saya! Biasanya kalau
mau lakuin ini saudara kita tuh pada ngumpullah semua! Terus dimasaklah
semua nasi dan ikan untuk acara ini! Setelah disiapkan semua dalam satu
piring dan sudah didoakan terlebih dahulu barulah nasi sama ikan tadi saya
suapkan ke orang tua saya! Tapi sebelum saya suapkan ke orang tua saya,
terlebih dulu saya ngomonglah sepatah dua kata sama orang tua saya!
Kayak kata-kata pengharapan gitulah dek! Barulah saya kasih! Gunanya
katanya biar dapat berkat dari orang tua kita atau bisa juga biar cepat dapat
anak.”
(Komunikasi personal, 28 Juni 2012)

Kemudian melakukan kegiatan pemberian dondon tua. Dondon tua ini

diartikan sebagai dibebani nasib baik. Istilah ini diterapkan kepada benda yang

diberikan kepada seseorang. Melalui benda ini diharapkan ada keberuntungan

yang berpindah kepada orang yang menerimanya. Kegiatan ini bisa dilakukan

kepada wanita yang sudah lama tidak memiliki anak dengan tujuan segera

memiliki keturunan (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh kutipan hasil

wawancara dengan bapak Manalu yang telah menikah selama 5 tahun akan tetapi

belum memiliki keturunan :

“...Kalau kami kemaren itu, ulos tersebut dikasi bersamaan ketika kami
diupa-upa sama orangtua! Jadi pas kami sudah siap dikasi makan dan sudah
diucapkan sepatah dua kata dari orang tua kami barulah ulos tersebut
diberikan! Harapannya nanti dengan diberikannya ulos tadi, kami jadi cepat
punya anak! Gitu dek!”

(Komunikasi personal, 26 September 2012)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

Selain melakukan kegiatan di atas, banyak juga pasangan Batak Toba yang

melakukan ziarah ke makam-makam nenek moyang yang sudah lama

meningggaldan berkusuk dengan tujuan agar segera memiliki keturunan. Hal ini

didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan bapak Limbong yang telah

menikah 9 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...ziarah pernah juga! Kemaren itu kami ziarah ke kuburan opung saya
yang udah lama ninggal. Kami ditemanin sama tulang saya. Terus pas dah
sampai di kuburan, kami ngomonglah ke “sahala” opung kalau tujuan kami
datang kesitu ingin berziarah dan memohonlah supaya “sahala” opung itu
memudahkan jalan bagi kami biar kami cepat punya anak! Terus itu kusuk
juga udah sering dilakuin! Itu sih dek.”

(Komunikasi personal, 22 Agustus 2013)

Tidak jarang juga ketika melakukan usaha untuk memperoleh keturunan,

pasangan mengalami kesulitan/kendala. Adapun kendala/kesulitan yang dialami

mungkin kondisi perekonomian yang tidak mencukupi sewaktu akan melakukan

usaha untuk memperoleh keturunan. Hal ini didukung oleh hasil wawancara

dengan bapak Limbong yang telah menikah selama 9 tahun akan tetapi belum

memiliki keturunan :

“...Kadang mau berobat ke dokter biaya mahal. Ya terpaksalah karena


mahal yah berobat tradisionallah dulu. Ya itulah dulu yang bisa sanggup
kan? Kalau mau ke dokter yah tunggu adalah dulu duit.”

(Komunikasi personal, 15 Desember 2013)

Tidak hanya itu pasangan juga sering sekali mengalami kegagalan sewaktu

melakukan usaha untuk memperoleh keturunan. Sering sekali usaha yang sudah

dilakukan untuk memperoleh keturunan tidak membuahkan hasil yang

diharapkan. Hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan ibu Simbolon

yang telah menikah selama 10 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

“...Terkadangkan bosan juga yah, berobat ke dokter udah pernah, berobat


kampung udah segala macam, ziarah udah, didekkei, sampe disonggot-
songgoti pun udah tapi tetap aja juga belum ada hasil, mungkin belum
rejekilah kurasa dek.”

(Komunikasi personal, 29 Desember 2013)

Meski terdapat berbagai hambatan dan kesulitan dari diri pasangan itu

sendiri akan tetapi masih banyak juga pasangan Batak Toba yang belum memiliki

keturunan tetap bertahan dalam perkawinan dan terus berupaya mendapatkan

keturunan. Berikut merupakan hasil wawancara dengan ibu Sihombing yang telah

menikah selama 4,5 tahun :

“...Termotivasi aja untuk terus berusaha! Kenapa pasangan lainnya bisa


berhasil punya anak sementara saya gak? Terus juga karnakan dikita orang
batak anak itu sangatlah penting. Karena kalau gak ada anak garis keturunan
bakalan gak ada yang akan meneruskan! Kemudian juga karena adanya
dukungan dari orang orang terdekat yang senantiasa mendukung usaha kami
dan juga doa-doa dari orang-orang yang senantiasa mendoakan kami agar
kiranya kami dapat segera punya anak! Itu aja sih dek yang membuat kami
masih tetap bertahan untuk terus berusaha biar cepat punya anak.”

(Komunikasi personal, 7 Oktober 2012)

Dari fenomena di atas dapat dilihat bahwa pasangan-pasangan tersebut

mengalami berbagai hambatan dalam berusaha untuk memperoleh keturunan.

Akan tetapi hal ini tidak membuat pasangan-pasangan tersebut menjadi putus asa

dan berhenti untuk berusaha melainkan tetap gigih dalam melakukan berbagai

usaha untuk memperoleh keturunan karena pentingnya nilai anak dalam budaya

Batak Toba. Kegigihan didefinisikan oleh Seligman & Peterson (2004) sebagai

kelanjutan dari tindakan sukarela yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan

meskipun ada hambatan, kesulitan atau keputusasaan. Kegigihan (persistensi)

merupakan salah satu kekuatan karakter yang dikemukakan oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

Seligman & Peterson (2004). Hill (2000) mengemukakan bahwa kegigihan

(persistensi) merupakan faktor penting dalam mewujudkan keinginan (desire)

menjadi suatu kenyataan. Dasar dari persistensi adalah kekuatan kehendak

(the power of will). Hal yang menjadi penghalang bagi individu bukanlah

ketakutan melainkan kebosanan, frustasi, kesulitan dan godaan untuk melakukan

sesuatu yang lebih mudah dan menyenangkan (Seligman & Peterson, 2004).

Hill (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa komponen dalam

persistensi, yaitu memiliki tujuan yang jelas, keinginan untuk mencapai tujuan

tersebut, memiliki self-reliance, memiliki rencana yang terorganisir dan masuk

akal, mampu bekerjasama dengan orang lain serta memiliki pemikiran yang

terfokus untuk mencapai tujuan. Semua komponen yang dijabarkan tersebut harus

dapat diubah menjadi kebiasaan sehingga persistensi dapat dicapai.

Banyaknya hambatan dalam memperoleh keturunan tersebut membuat

peneliti menjadi terarik untuk melihat bagaimana persistensi pada pasangan Batak

Toba yang infertil dalam memperoleh keturunan.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana persistensi

pada pasangan infertil suku Batak Toba dalam berusaha untuk memperoleh

keturunan.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persistensi

pasangan infertil dalam memperoleh keturunan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran di bidang

Psikologi Klinis dalam melihat persistensi pasangan infertil suku Batak

Toba dalam memperoleh keturunan.

2. Manfaat Praktis

a.Bagi pasangan yang belum memiliki keturunan, hasil penelitian

diharapkan dapat memberi informasi dan dukungan untuk pasangan yang

mengalami masalah tersebut dengan memahami bagaimana persistensi

pasangan Batak Toba yang infertil dalam memperoleh keturunan.

Kemudian hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi penambah

motivasi bagi pasangan Batak Toba yang infertil dalam berusaha untuk

memperoleh keturunan.

b.Bagi masyarakat pada umumnya, hasil penelitian diharapkan dapat

memberi informasi mengenai perlunya memberikan dukungan bagi usaha

yang dilakukan oleh pasangan infertil untuk memperoleh keturunan.

c.Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan

masukan dan informasi penelitian selanjutnya yang terkait dengan topik

penelitian ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

E. SISTEMATIKA PENULISAN

BABI : Pendahuluan

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang

permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan

penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan

fokus penelitian diakhiri dengan pembuatan paradigma

penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang

menggunakan pendekatan kualitatif, responden penelitian,

metode pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan

prosedur penelitian.

BAB IV : Hasil Analisa Data

Bab ini menjabarkan hasil dari analisis data dalam bentuk

penjelasan yang lebih terperinci dan runtut disertai dengan

data yang mendukungnya.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan penelitian dan

saran metodologis dan saran praktis untuk penelitian

selanjutnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai