PENDAHULUAN
Indonesia termasuk dalam lima besar negara di dunia untuk jumlah stunting
pada anak-anak. Kurang lebih satu dari tiga orang anak atau 37,2% anak di
Indonesia menderita stunting. Hal itu berarti 9,5 juta anak-anak di bawah umur lima
tahun menderita kurang gizi (WFP, 2014).
Status gizi dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal yaitu faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan gizi
seseorang meliputi asupan zat gizi dan penyakit infeksi (Almatsier, 2004).
Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi yaitu pola pengasuhan anak
berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan
anak, memberikan makan, merawat, memberi kasih sayang, menyediakan waktu
dan sebagainya (Soekirman, 2000). Mengutip pendapat Nurlianti dalam Arnisam
(2006), menyatakan bahwa anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan
tubuhnya, sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Hasil penelitian Kusriadi (2010),
diperoleh hasil anak balita yang terinfeksi suatu penyakit tertentu mempunyai
peluang risiko kejadian stunting 1,31 lebih besar.
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah belum diketahui faktor apa saja yang
mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Gandusari Kabupaten Talun
Untuk mengetahui pengaruh factor resiko terhadap kejadian stunting pada anak
balita di wilayah kerja Puskesmas Gandusari Kabupaten Talun
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh factor resiko terhadap kejadian stunting pada anak balita di
wilayah kerja Puskesmas Gandusari Kabupaten Talun.
1.5. Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stunting
Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk lain dari
kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi
sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Anak yang mengalami stunting sering
terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun sebenarnya tinggi
badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya.
Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan zat-zat gizi yang
tidak cukup atau penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya. Stunting dapat
juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi yang sangat kurang
saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang, rendahnya kualitas
makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat menghambat
pertumbuhan (UNICEF, 2009). Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan
perkembangan anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalah berat
bayi lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai,
diare berulang, dan infeksi pernafasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar
anak-anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang berada dibawah
ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah
keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas
pedesaan (Gibson, RS, 2005).
Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronik sebagai
akibat dari keadaan berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat
dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek. Angka tinggi badan setiap anak balita
dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Z-score) menggunakan baku antropometri
anak balita WHO 2005. Kategori dan ambang batas indikator tinggi badan menurut
umur (TB/U) menurut nilai standar Zscore menggunakan baku antropometri WHO
2005 adalah :
Dalam penelitian Rosha et.al (2007), menyatakan usia adalah faktor internal
anak yang memengaruhi kejadian stunting. Hasil analisis regresi logistik
menunjukkan, anak berusia 0-12 bulan memiliki efek protektif atau risiko lebih
rendah 41 persen terhadap stunting dibandingkan dengan anak berusia 13-23 bulan.
Hal ini diduga karena pada usia 0-6 bulan ibu memberikan ASI eksklusif yang dapat
membentuk daya imun anak sehingga anak dapat terhindar dari penyakit infeksi,
setelah usia 6 bulan anak diberikan makanan pendamping ASI dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga anak terpenuhi kebutuhan gizinya yang
menghindarkannya dari stunting.
Salah satu faktor yang memengaruhi kurang gizi pada balita adalah tingkat
pendapatan atau sosial ekonomi keluarga. Data yang di peroleh WHO (2005-2012),
prevalensi stunting antara laki-laki dan perempuan lebih tinggi di negara miskin
daripada negara berkembang. Di negara miskin, prevalensi pada jenis kelamin
perempuan sebesar 30,0% dan di negara berkembang sebesar 21,1%. Prevalensi
pada jenis kelamin laki-laki di negara miskin sebesar 41,7% dan di negara
berkembang sebesar 24,1%.
Pada beberapa bagian negara di dunia terjadi masalah gizi kurang atau
masalah gizi lebih secara epidemis. Negara-negara berkembang seperti sebagian
besar Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan pada umumnya
mempunyai masalah gizi kurang. Sebaliknya, negara-negara maju, seperti Eropa
Barat dan Amerika Serikat pada umumnya mengalami gizi lebih (Almatsier, 2004).
Masih seperti yang dinyatakan oleh Almatsier (2004), pola pangan di daerah
empat musim disamping makanan pokok, mengandung lebih banyak unsur
makanan berasal dari hewan, seperti daging, telur, dan susu daripada pola pangan
di daerah tropis. Akibatnya, penduduk di daerah tropis seperti di Afrika, Amerika
Selatan, dan Asia lebih banyak menderita akibat kekurangan protein (salah satu
alasan mengapa penduduk di negara-negara tropis umumnya lebih pendek daripada
penduduk di daerah empat musim). Data yang di peroleh WHO (2014), negara di
Asia dengan prevalensi gizi kurang tertinggi adalah India (43,3%), negara di Afrika
dengan prevalensi tertinggi adalah Niger (37,9%).
2.2.4. Determinan
Berat badan lahir adalah berat badan bayi ketika lahir atau paling lambat
sampai bayi berumur 1 hari dilihat dari KMS (Kartu Menuju Sehat) dimana bila berat
badan lahir kurang dari 2500 gram berarti berat badan lahir rendah dan bila lebih
dari atau sama dengan 2500 gram berarti normal. Berat badan lahir rendah banyak
dihubungkan dengan tinggi badan yang kurang atau stunting pada balita
(Kusharisupeni, 2002). BBLR dapat juga terjadi akibat kelahiran sebelum usia
kehamilan yang sempurna, yaitu 37 minggu. Bayi yang lahir dengan berat badan
rendah mempunyai risiko lebih tinggi terhadap gangguan pertumbuhan, penyakit
infeksi, perkembangan yang lambat dan kematian pada saat bayi dan anak-anak
(WHO, 2011).
Asupan makanan yang tepat bagi bayi dan anak usia dini (0-24 bulan) adalah
Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. ASI Eksklusif yaitu pemberian ASI saja segera setelah
lahir sampai usia 6 bulan yang diberikan sesering mungkin. Pemberian ASI Eksklusif
selama 6 bulan pertama dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi badan yang
optimal (Gibney et.al 2009). Setelah usia 6 bulan selain ASI bayi diberi Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) harus
diberikan kepada anak sejak usia 6 bulan karena dengan ASI saja (jumlah dan
komposisi ASI mulai berkurang) tidak mampu mencukupi kebutuhan anak. Pada
anak umur 1-2 tahun, ASI hanya berfungsi sebagai pendamping makanan utama.
Namun, ASI tidak harus digantikan oleh makanan utama. Pemberian ASI dan
MP-ASI yang terlalu dini juga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak
(Adair & Guilky, 1997). Rendahnya pemberian ASI merupakan ancaman bagi
tumbuh kembang anak yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan kualitas sumber daya manusia secara umum. Masalah gizi kurang
juga berkaitan dengan faktor umur dan jenis kelamin. Umur anak 6 bulan merupakan
titik awal timbulnya masalah gizi kurang, hal ini disebabkan karena pada usia enam
bulan kandungan zat gizi ASI sudah mulai berkurang, sedangkan pemberian MP-ASI
tidak mencukupi (Tarigan 2003 dalam Arnisam 2006). Pertumbuhan setelah usia 6
bulan lebih dipengaruhi oleh pola asuh makan ibu yang baik dalam pemberian ASI
Eksklusif, MP-ASI maupun perawatan kesehatan (Whitney & Rolfes, 2008).
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan prilaku ibu dalam hal kedekatannya
dengan anak, memberi makan, merawat, memberi kasih sayang dan sebagainya
(Depkes RI, 2001). Pengasuhan anak adalah praktek yang dijalankan oleh orang
yang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan
pangan/gizi. Perawatan dasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah
atau tempat tinggal yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang,
kesegaran jasmani. Pola pengasuhan anak sangat memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak karena anak yang mendapat perhatian lebih baik secara fisik
maupun emosional keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman
sebayanya yang kurang mendapat perhatian (Soetjiningsih, 2008).
Pola pengasuhan turut berkontribusi terhadap status gizi anak, salah satu
pola pengasuhan yang berhubungan dengan status gizi anak adalah pola asuh
makan. Hasil penelitian Kadir (1998), bahwa terdapat bayi dan balita mengalami
status gizi rendah karena tidak menerima perawatan yang cukup dari ibu mereka,
terutama yang berkenaan dengan makanan, sebagai akibat rendahnya tingkat
pendidikan para istri, atau karena adanya kecenderungan pada para ibu untuk
bersikap mengabaikan masalah kurang gizi.
Kerangka Konsep