PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poli jiwa anak dan remaja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mencatat
pada tahun 2003, terdapat 51 anak yang didiagnosis ADHD dari 215 anak sekolah
dasar yang datang.1 Sedangkan menurut Saputro (2005) di Indonesia, populasi anak
Sekolah Dasar yang menderita ADHD adalah 16,3% dari total populasi yaitu 25,85
juta anak. Berdasarkan data tersebut diperkirakan tambahan kasus baru ADHD
sebanyak 9000 kasus. Sebagian besar orang tua ataupun guru masih menganggap
anak dengan gangguan tersebut sebagai anak nakal atau malas. Padahal anak dengan
gangguan tersebut apabila tidak mendapat pertolongan yang tepat, akan mengalami
kesulitan belajar, prestasi belajar buruk, gagal sekolah, tingkah lakunya menganggu,
sikapnya tampak sulit diterima oleh lingkungannya dan bahkan cenderung tidak
disukai oleh orang tua ataupun guru.3
Gejala ADHD biasanya telah terjadi sebelum usia anak 7 tahun. Namun, baru
terlihat setelah anak menempuh pendidikan formal. ADHD merupakan gangguan
yang memiliki manifestasi klinis beragam. Penting untuk mengetahui, mendiagnosis
dan mengatasi keadaan ini dengan segera, untuk menghindari stigmatisasi anak
sebagai anak yang nakal atau bodoh. Masalah – masalah yang dapat menimbulkan
masalah di sekolah dan tempat lain, biasanya diakibatkan tidak ada atensi,
hiperakivitas dan impulsitas, sehingga mengganggu fungsi secara sosial, akademik
dan aktivitas ekstrakulikuler yang seharusnya sesuai perkembangannya.1,2
1
Hingga saat ini, belum ada suatu jenis terapi yang diakui dapat mengatasi
ADHD secara total. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan,
penatalaksanaan ADHD yang terbaik jika dilakukan secara komprehensif atau secara
keseluruhan. Tatalaksana pasien ADHD meliputi tatalaksana secara biologi seperti
terapi farmakologi, selain itu dilakukan juga terapi psikososial seperti modifikasi
perilaku, terapi pelatihan kognitif dan perilaku, daan dapat juga dilakukan pelatihan
keterampilan sosial.1,2,4
B. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang penatalaksanaan Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) baik secara terapi biologik maupun terapi psikososial.
C. Tujuan
1. Sebagai referensi untuk menambah sumber bacaan mengenai
penatalaksanaan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
A. Definisi
Gejala ADHD timbul sebelum usia 7 tahun, biasanya gejala ini baru tampak
jika anak sudah masuk ke sekolah formal (5 - 15 tahun) yang mengharuskan anak
tersebut berinteraksi dengan teman sebayanya dan mampu mengontrol perilaku
mereka sehari- hari di sekolah. Biasanya guru memberikan stigma nakal dan bodoh
pada anak tersebut, tidak bisa diam, mengganggu teman, berbicara saat pelajaran
masih berlangsung. 1,2,3,4
B. Etiopatofisiologi
Penyebab ADHD telah banyak diteliti dan dipelajari, namun belum ada penyebab
pasti yang dapat dijadikan penyebab ADHD.1,2,5 Berbagai teori seperti, faktor
genetika, faktor kerusakan otak, faktor neurokimiawi dan faktor psikososial.
Terdapat beberapa hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya ADHD, secara
umum karena ketidakseimbangan kimiawi atau kekurangan zat kimia tertentu di otak
yang berfungsi untuk mengatur perhatian dan aktivitas. Beberapa penelitian
menunjukan adanya kecenderungan faktor keturunan (herediter) tetapi banyak pula
penelitian yang menyebutkan bahwa faktor-faktor sosial dan lingkunganlah yang
lebih berperan.2,5
1. Faktor Genetik
3
Gangguan ini seringkali ditemukan bersamaan dengan beberapa anggota
keluarga yang sama. Saudara kandung dari anak ADHD mempunyai resiko 5
sampai 7 kali kemungkinan menderita ADHD juga. Sedangkan orangtua yang
menderita ADHD memiliki kemungkinan 50% menurunkan kepada
anaknya.1,2,5
3. Faktor Neurokimia
4
Pada pasien ADHD diperkirakan terjadi mutasi gen, sehingga terjadi
peningkatan ambilan kembali dopamin ke dalam sel neuron di sitem limbik
dan lobus prefrontal akibat perubahan aktivitas Dopamine Transporter
Gene.1,2
4. Faktor Psikososial
C. Manifestasi Klinis
Akibat adanya perubahan dalam Dopamine Transporter Gene, maka anak dengan
ADHD akan mengalami beberapa kondisi berikut :
b. Tidak disiplin,
Gangguan dalam regulasi, motivasi dan tingkat ambang kesadaran diri yang
buruk, berupa :
5
a. Keterbatasan untuk menganalisa perilaku – perilaku dan
mengsisntesanya ke dalam bentuk yang baru,
D. Diagnosis
A I . Kurang Perhatian
Pada kriteria ini, anak ADHD paling sedikit mengalami enam atau lebih dari gejala-
gejala berikutnya, dan berlangsung selama paling sedikit 6 bulan sampai suatu tingkatan
yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
6
A2. Hiperaktivitas Impulsifitas
Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala hiperaktivitas impulsifitas berikutnya
bertahan selama paling sedikit 6 bulan sampai dengan tingkatan yang maladaptif dan
tidak dengan tingkat perkembangan.
Hiperaktivitas
a) Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan sering menggeliat di
kursi,
b) Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau dalam situasi lainnya di
mana diharapkan agar anak tetap duduk,
c) Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam situasi di mana hal ini
tidak tepat. (Pada masa remaja atau dewasa terbatas pada perasaan gelisah yang
subjektif),
Impulsivitas
D. Harus ada gangguan yang secara klinis, signifikan di dalam fungsi sosia!, akademik,
atau pekerjaan.
7
Kesulitan diagnosis biasanya dialami pada pasien dengan gejala yang muncul
sebelum usia 3 tahun. Sulit membedakan ADHD dengan gangguan perkembangan
pervasif seperti autis. Kita dapat membedakannya dengan mengetahui gejala yang
diamali pasien. Berikut adalah pedoman diagnosis autisme pada anak menurut PPDGJ
III.1,2,4
1. Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan atau
hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri
kelainan fungsi dalam 3 bidang, yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku
yang terbatas dan berulang.
2. Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal sebelumnya, tetapi
bila ada, kelainan perkembangan sudah menjadi jelas sebelum usia 3 tahun,
sehingga diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala – gejalanya dapat
didiagnosis pada semua kelompok umur.
3. Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Berbentuk
apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang tampak
sebagai kurangnya respon terhadap emosi orang lain atau kurangnya modulasi
perilaku dalam konteks sosial, yaitu buruk dalam menggunakan isyarat sosial
dan integrasi yang lemah dalam perilaku sosial, emosional dan komunikatif dan
khususnya kurangnya respon timbal balik sosio-emosional.
5. Pola perilaku minat yang terbatas, berulang dan streotipik. Kecenderungan untuk
bersikap kaku dan rutin dalam berbagai aspek kehidupan sehari – hari. Ini
biasanya berlaku untuk kegiatan baru dan kebiasaan sehari – hari serta pola
bermain. Terutama pada masa kanak – kanak dini, dapat terjadi kelekatan yang
khas terhadap benda – benda yang aneh, khususnya benda yang tidak lunak.
8
Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin dalam ritual yang sebetulnyya
tidak perlu, dapat terjadi preokupasi yang streotipik pada suatu minat seperti
tanggal atau jadwal, sering terdapat streotipi motorik, sering menunjukan minat
khusus terhadap segi – segi nonfungsional dar benda – benda ( misal bau dan
rasanya), terdapat penolakan terhadap perubahan rutinitas atau dalam detail dari
lingkungan hidup pribadi ( misal perpindahan lemari ).
BAB III
PEMBAHASAN
TATALAKSANA ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
9
A. Tatalaksanaa
Sampai saat ini belum ada satu penatalaksanaan yang dapat mengatasi masalah
gangguan ADHD ini secara tuntas. Beberapa referensi menyebutkan bahwa
penatalaksanaannya bersifat komprehensif atau menyeluruh. Pendekatan tatalaksana
ADHD yang digunakan bersifat Multimodal Treatmen Approach (MTA), yaitu anak
ADHD tidak hanya mendapatkan terapi obat, namun juga terapi psikososial seperti
terapi perilaku, terapi kognitif perilaku, dan latihan keterampilan sosial. Selain itu
dilakukan juga psikoedukasi kepada orangtua dan guru maupun pengasuh yang
sehari – hari banyak bertemu dengan anak yang menderita ADHD.1,4,7
Tujuan terapi ADHD meliputi perbaikan pola perilaku dan sikap anak dalam
menjalankan fungsinya sehari – hari dengan memperbaiki fungsi kontrol diri
sehingga anak mampu memenuhi tugas dan tanggung jawab seoptimal mungkin
sebagaimana anak seusianya. Selain itu, juga untuk memperbaiki pola adaptasi dan
penyesuaian sosial anak sehingga terbentuk suatu kemampuan adaptasi yang lebih
baik, matur sesuai tingkat perkembangan anak.1
1. Terapi Farmakologis
a. Golongan Psikostimultan
10
Banyak laporan dari orangtua yang mengeluhkan efek samping
dari obat ini. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah penarikan
diri dari lingkungan sosial, overfokus, letargi, agitasi, iritabel, mudah
menangis, cemas, sulit tidur, penurunan nafsu makan, sakit kepala
yang tidak ada sebelumnya. Biasanya efek samping akan timbul pada
penggunaan obat pertama kali atau dosis yang terlalu besar. Maka
efek samping dapat menjadi indikator penggunaan dosis yang terlalu
besar.1
b. Golongan Non-Psikostimultan
11
2. Terapi Psikososial
12
Banyak orangtua yang belum mengerti tentang gangguan ADHD,
sehingga membuat mereka ragu untuk mendiagnosis dan menterapi
anaknya. Untuk itu, perlu dilakukan modifikasi perilaku pada
orangtua anak dengan ADHD ini.1
c. Modifikasi perilaku
13
-
Membantu anak menemukan bakat atau talenta mereka,
temukan minat dan bakat anak – anak, misalnya musik, olahraga
dan lain – lain.9
Sampai saat ini, belum ada bukti yang menyebutkan bahwa pola makan
dapat menyebabkan ADHD, ataupun terapi nutrisi dapat mengatasi ADHD.
Namun, makanan sehat dalam keluarga seperti asupan protein yang baik
setiap harinya, jumlah kalori yang mencukupi kebutuhan anak dengan ADHD
merupakan pola gaya hidup yang umumnya disetujui oleh American
Academy of Pediatric (AAP).10,11
14
a. Terapi Megavitamin
Pada tahun 1970, dr. Allan Cott mengatakan bahwa hiperaktivitas dan
gangguan belajar merupakan salah satu hasil dari defisiensi vitamin
dan dapat diatasi dengan pemberian megavitamin dan mineral dengan
dosis besar. Terapi gejala ADHD pada anak dapat dilakukan dengan
suplemen yang setidaknya mengandung 10 kali lipat dosis harian
yang direkomendasikan, misalnya vitamin, mineral dan lain-lain.10
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah besi, seng, magnesium dan
piridoksin. Semua zat ini telah diketahui dibutuhkan untuk
perkembangan fungsi otak yang optimal. Namun, dari berbagai
penelitian, baik pada anak ADHD maupun yang tidak ADHD,
didapatkan tidak ada perbedaan kadar seng, besi, magnesium dan B6.
Tidak ditemukan penurunan gejala yang signfikan antara gangguan
perilaku pasien ADHD dengan ketersediaan suplemen – suplemen di
atas. Sama dengan semua anak yang lainnya, jika terjadi kekurangan
gizi, maka harus diperbaiki dengan suplemen standar atau diet sehari
– hari. Tetapi suplemen tetap tetap tidak boleh melebihi dosis yang
telah direkomendasikan, karena dosis yang lebih tinggi dapat
menyebabkan toksisitas.10
15
Anak – anak dengan ADHD mungkin memiliki tingkat EFA
yang rendah (termasuk EPA dan DHA). Dalam sebuah penelitian pada
hampir 100 anak laki – laki, anak yang memiliki tingkat omega – 3
yang rendah menunjukkan masalah belajar dan masalah perilaku yang
lebih banyak dibandingkan anak dengan kadar omega – 3 yang
normal. Asam lemak omega – 3 membantu memperbaiki gejala
perilaku. Walaupun penelitian lebih lanjut belum dilakukan, namun
asam lemak omega – 3 dapat digunakan.10
16
tersebut baik, karenagula dapat menyebabkan anak lebih aktif.
Takaran karbohidrat untuk anak sarapan misalnya, 30 - 40%
karbohidrat, sdangkan sisanya protein, atau dapat juga karbohidrat
sebanding dengan protein yaitu sama-sama 50%.10
Diet untuk anak ADHD harus kaya protein. Diet semacam ini baik
untuk otak dan menjadi pilihan yang baik untuk anak ADHD. Sumber
protein yang dapat diberikan seperti telur, daging, keju dan kacang –
kacangan.10
c. Diet Feingold
Pada tahun 1970, telah dikemukakan mengenai efek dari zat – zat
pewarna buatan, perasa buatan, dan pengawet makanan. Makanan
tambahan ini, serta zat yang disebut salisilat dapat menyebabkan
hiperaktifdan ketidakmampuan belajar pada anak.10
17
Gluten merupakan protein tepung terigu dan kasein merupakan
protein susu. Anak dengan autisme atau hiperaktif sering mengalami
gangguan dalam mencerna gluten dan kasein. Anak dengan hiperaktif
dan autis banyak mengalami kebocoran usus (leaky guts). Secara
normal sebenarnya sejumlah kecil peptida memang dapat merembes
ke aliran darah, namun dapat langsung diatasi oleh sistem imun.
Peptida yang berasal dari gluten (glutemorphin) dan peptida kasein
(caseomorphin) yang tidak tercerna sempurna masuk ke aliran darah
sampai ke otak, lalu ke reseptor opiod. Akibatnya mengganggu
susunan distem saraf pusat yang berpengaruh terhadap persepsi,
emosi, perilaku dan sensitivitas. Opioid adalah zat yang bekerja mirip
morphin yang secara alami dikenal sebagai beta endorphin yang
bertanggung jawab dalam penekanan rasa sakit yang secara alami
diproduksi tubuh. Jika berlebihan maka akan menyebabkan ketahanan
terhadap rasa sakit yang berlebihan.10
18
minyak zaitun
Protein telur, daging dan kacang – kacangan
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
19
1. Tatalaksana ADHD bersifat Multimodal Treatmen Approach (MTA), tidak
hanya mendapatkan terapi obat, namun juga terapi psikososial seperti terapi
perilaku, terapi kognitif perilaku, dan latihan keterampilan sosial.
2. Pilihan utama terapi farmakologis adalah golongan psikostimultan, yaitu
metilfenidat. Selain itu, dapat pula diberikan golongan obat nonstimultan,
seperti Atomoxetine.
3. Terapi psikososial yang dapat dilakukan berupa :
a. Pelatihan keterampilan sosial bagi anak ADHD
c. Modifikasi perilaku
B. Saran
Perlu adanya integrasi antara terapi biologis, terapi psikososial, terapi nutrisi secara
cermat demi perbaikan, penurunan gejala dan peningkatan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Utama H. 2010. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2. Kaplan & Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri klinis Edisi 2. Jakarta: EGC.
20
3. Rusmawati D, Dewi EK. 2011. Pengaruh Terapi Musik dan Gerak terhadap
Penurunan Kesulitan Perilaku Siswa Sekolah Dasar dengan Gangguan ADHD.
Semarang: Universitas Diponegoro
4. Mohammadi MR, et al.2014. A Comparison of Effectiveness of Regulation of Working
Memory Fuction and Methylphenidate in Remediation of Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD). Iran : Irania Juornal Psychiatry
5. Sugiarmin M. 2007. Bahan Ajar Anak dengan ADHD. Bandung: UPI
6. Maslim R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ – III. Jakarta:
FK Unika Atma Jaya
7. Cruz LF, et al. 2015. Treatment of children with Attention Deficit/ Hyperactivity
Disorder (ADHD) and Irritability: Result from the Multimodal Treatment Study of
Children with ADHD (MTA). Journal of the American Academy of Child and
Adolencest Phychiatry
8. Maria FR, Javier CL. 2014. Treatment Guidelines for Attention Deficit and
Hyperactivity Disorder: A Critical Review. Actas Esp Psiquiatr
9. Akses internet pada tanggal 20 Februari 2015, dapat diakses di :
http://www.cdc.gov/ncbddd/adhd/treatment.html
10. Akses internet pada tanggal 20 Februari 2015, dapat diakses di :
http://www.healthychildren.org/English/health-issues/conditions/adhd/pages/Your-
Childs-Diet-A-Cause-and-a-Cure-of-ADHD.aspx
11. Akses internet pada tanggal 20 Februari 2015, dapat diakses di :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/adhd/expert-answers/adhd/FAQ-
20058203?p=1
21