Anda di halaman 1dari 15

ABU NAWAS MENGECOH RAJA

Sejak peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas yang


dilegalisir oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda ingin menangkap Abu Nawas
untuk dijebloskan ke penjara.
Sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah
Baginda, maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman. Baginda tahu
Abu Nawas amat takut kepada beruang. Suatu hari Baginda memerintahkan
prajuritnya menjemput Abu Nawas agar bergabung dengan rombongan Baginda Raja
Harun Al Rasyid berburu beruang. Abu Nawas merasa takut dan gemetar tetapi ia
tidak berani menolak perintah Baginda.
Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi
mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa hormat Abu Nawas
mendekati Baginda.
“Tahukah mengapa engkau aku panggil?” tanya Baginda tanpa sedikit pun senyum di
wajahnya.
“Ampun Tuanku, hamba belum tahu.” kata Abu Nawas.
“Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Hutan masih jauh dari sini.
Kau kuberi kuda yang lamban. Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan
menunggang kuda yang cepat. Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di
tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita
masing-masing agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar.” Baginda
menjelaskan.
Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak. Abu Nawas kini tahu Baginda
akan menjebaknya. la harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas sedang berpikir,
tiba-tiba hujan turun.
Begitu hujan turun Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk mencapai
tempat perlindungan yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para
pengawalnya basah kuyup. Ketika santap siang tiba Baginda segera menuju tempat
peristirahatan. Belum sempat baju Baginda dan para pengawalnya kering, Abu
Nawas datang dengan menunggang kuda yang lamban. Baginda dan para pengawal
terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah. Padahal dengan kuda yang paling
cepat pun tidak bisa mencapai tempat berlindung yang paling dekat.
Pada hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi
Baginda Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai kudakuda
yang lamban. Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun
turun seperti kemarin. Malah hujan hari ini lebih deras daripada kemarin. Baginda
dan pengawalnya langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa
berlari dengan kencang.
Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan lebih
dahulu dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda Raja. Selang
beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba dengan pakaian yang basah kuyup.
Melihat Abu Nawas dengan pakaian yang tetap kering Baginda jadi
penasaran. Beliau tidak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini
disembunyikan.
“Terus terang begaimana caranya menghindari hujan, wahai Abu Nawas.” tanya
Baginda.
“Mudah Tuanku yang mulia.” kata Abu Nawas sambil tersenyum.
“Sedangkan aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat berteduh
terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini.” kata Baginda.
“Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan turun hamba
secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya, lalu mendudukinya.
Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti.” Diam-diam Baginda Raja mengakui
kecerdikan Abu Nawas.
ABU NAWAS DAN KISAH BOTOL AJAIB
Suatu hari Baginda Raja Harun Ar-Rosyid memanggil Abu Nawas ke
istananya untuk diberi tugas. Setelah tiba di istana, Baginda Raja
menyambut Abu Nawas dengan senyuman.
“Akhir-akhir ini aku sering merasakan perutku sakit, kata tabib istana, aku
terkena serangan angina,” kata Raja.
Abu Nawas sedikit keheranan, lalu bertanya, “Ampun Baginda, kiranya
apa yang bisa hamba lakukan untuk Yang Mulia?”
“Tangkap dan penjarakan angin itu untukku!” Perintahnya.
Abu Nawas diam sejenak.
“Aku beri kau waktu tiga hari untuk menyelesaikan perintah ini,” tambah
sang Raja.
Abu Nawas kemudian pulang dengan membawa pekerjaan dari Raja
Harun Ar-Rosyid. Ia masih terdiam, mulutnya terkunci rapat tak
mengeluarkan sepatah katapun. Dalam kebingungan yang tidak habis-
habis, ia belum bisa memikirkan bagaimana cara menangkap dan
membuktikan bahwa itu memang benar-benar angin.
Menurutnya, hanya anginlah satu-satunya benda aneh yang tidak berwarna
dan tidak bisa dilihat seperti halnya air, yang masih bisa diindera.
Sudah dua hari ini, tetapi Abu Nawas masih belum bisa mendapatkan cara
untuk menangkap angin, bahkan memenjarakannya. Abu Nawas hampir
putus asa dan tidak bisa tidur, karena waktu yang telah ditentukan tinggal
sehari lagi. mungkin kali ini ia akan menerima hukuman karena tidak bisa
melaksanakan perintah Baginda.
Ia mondar-mandir memikirkan cara, tiba-tiba ia tersadar dan berkata
kepada dirinya sendiri “Bukankah jin itu tidak terlihat?”
Ia berjingkrak dan menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan dan berjalan
menuju istana kemudian menyerahkan sebuah botol kepada Baginda.
“Mana angin itu, Abu Nawas?” Tanya Baginda.
“Ada di dalam, yang mulia,” jawab Abu Nawas.
“Benarkah? Aku tidak melihat apa-apa,” kata Sang Raja.
“Ampun Baginda, angin tidak bisa dilihat, tetapi jika Tuanku ingin tahu
angin, tutup botol tersebut harus dibuka terlebih dahulu,” jawab Abu
Nawas.
Setelah tutup botol itu dibuka, Raja mencium bau busuk. Dengan marah ia
berkata kepada Abu Nawas,”Bau apa ini, Abu Nawas?”
“Ampun Baginda, tadi hamba buang angin lalu hamba masukkan ke
dalam botol tersebut. Karena takut angin yang hamba masukkan itu keluar,
maka hamba memenjarakannya dengan menyumbat botol dan
menutupnya,” kata Abu Nawas dengan sangat ketakutan. Tapi, Raja tidak
jadi marah, karena apa yang dikatakan Abu Nawas memang masuk akal.
Dan begitulah, ia selama. Sang Raja pun memberikannya hadiah.
ABU NAWAS MENIPU TUHAN
Abu Nawas adalah seorang ulama yang mempunyai murid cukup banyak.
Diantara sekian banyak murid Abu nawas, ada satu orang yang hampir
selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu.
Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan
pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya,
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar
atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang pertama.
"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.
Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang
lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang
mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu
Nawas."Mengapa?" kata orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan
pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa
mencerna jawaban Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang
Lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang
mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang ketiga.
"Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan
besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima
alasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan
puas.
Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang
berbeda?"
"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan
tingkatan hati."
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang
melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya
menggunakan mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.
"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai
yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia
berpengetahuan." jawab Abu Nawas.
"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap
mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena
bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika
dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama
bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.
"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?"
"Mungkin." jawab Abu Nawas.
"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
"Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas
"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta mu rid Abu Nawas
"Doa itu adalah : llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahiimi,
fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi.
Arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi
penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka.
Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena
sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.
ABU NAWAS TARUHAN YANG BERBAHAYA
Pada suatu sore ketika Abu Nawas ke warung teh kawan-kawannya sudah
berada di situ. Mereka memang sengaja sedang menunggu Abu Nawas.
“Nah ini Abu Nawas datang.” kata salah seorang dari mereka.
“Ada apa?” kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.
“Kami tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap
yang dirancang Baginda Raja Harun Al Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini
engkau pasti dihukum Baginda Raja bila engkau berani melakukannya.”
kawan-kawan Abu Nawas membuka percakapan.
“Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu
ditakuti kecuali kepada Allah Swt.” kata Abu Nawas menentang.
“Selama ini belum pernah ada seorang pun di negeri ini yang berani
memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Bukankah begitu hai Abu
Nawas?” tanya kawan Abu Nawas.
“Tentu saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah
pelecehan yang amat berat hukumannya pasti dipancung.” kata Abu
Nawas memberitahu.
“Itulah yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau
melakukannya?”
“Sudah kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah Swt. saja.
Sekarang apa taruhannya bila aku bersedia melakukannya?” Abu Nawas
ganti bertanya.
“Seratus keping uang emas. Disamping itu Baginda harus tertawa tatkala
engkau pantati.” kata mereka. Abu Nawas pulang setelah menyanggupi
tawaran yang amat berbahaya itu.
Kawan-kawan Abu Nawas tidak yakin Abu Nawas sanggup membuat
Baginda Raja tertawa apalagi ketika dipantati. Kayaknya kali ini Abu
Nawas harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala.
Minggu depan Baginda Raja Harun Al Rasyid akan mengadakan jamuan
kenegaraan. Para menteri, pegawai istana dan orang-orang dekat Baginda
diundang, termasuk Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu
dengan cepat karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman
bagi keselamatan lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan
Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang. Karena mereka tak sabar
menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.
Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda Raja
menginginkan perjamuan nanti meriah karena Baginda juga mengundang
rajaraja dari negeri sahabat.
Ketika hari yang dijanjikan tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu
Nawas. Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa
kecewa karena Abu Nawas tidak hadir. Namun temyata mereka keliru.
Abu Nawas bukannya tidak datang tetapi terlambat sehingga Abu Nawas
duduk di tempat yang paling
belakang.
Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli
pidato. Dan tibalah giliran Baginda Raja Harun Al Rasyid menyampaikan
pidatonya. Seusai menyampaikan pidato Baginda melihat Abu Nawas
duduk sendirian di tempat yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran
Baginda bertanya, “Mengapa engkau tidak duduk di atas karpet?”
“Paduka yang mulia, hamba haturkan terima kaslh atas perhatian Baginda.
Hamba sudah merasa cukup bahagia duduk di sini.” kata Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaianmu
kotor karena duduk di atas tanah.” Baginda Raja menyarankan.
“Ampun Tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas
karpet.”
Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena Baginda
melihat sendiri Abu Nawas duduk di atas lantai. “Karpet yang mana yang
engkau maksudkan wahai Abu Nawas?” tanya Baginda masih bingung.
“Karpet hamba sendiri Tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu
membawa karpet ke manapun hamba pergi.” Kata Abu Nawas seolah-olah
menyimpan misteri.
“Tetapi sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa.” kata
Baginda Raja bertambah bingung.
“Baiklah Baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan
senang hati hamba akan menunjukkan kepada Paduka yang mulia.” kata
Abu Nawas sambil beringsut-ringsut ke depan. Setelah cukup dekat
dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian menungging menunjukkan
potongan karpet yang ditempelkan di bagian pantatnya. Abu Nawas kini
seolah-olah memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Melihat ada
sepotong karpet menempel di pantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa
membendung tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para
undangan.
Menyaksikan kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas
merasa kagum.Mereka harus rela melepas seratus keping uang emas untuk
Abu Nawas.
ABU NAWAS MEMBALAS PERBUATAN RAJA
Abu Nawas hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi
pagi beberapa pekerja kerajaan atas titan langsung Baginda Raja
membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka
tadi malam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas
terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya. Tetapi setelah
mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan.
Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas dan mengganti
kerugian. Hal inilah yang membuat Abu Nawas semakin geram dan marah
kepada Baginda.
Sekian lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan
muslihat untuk membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh
istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba,
namun Abu Nawas tetap tidak beranjak. Keesokan hari Abu Nawas
melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi.
la tiba-tiba tertawa riang.
“Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi.” Abu
Nawas berkata kepada istrinya.
“Untuk apa?” tanya istrinya heran.
“Membalas Baginda Raja.” kata Abu Nawas singkat. Dengan muka
berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu
Nawas membungkuk hormat dan berkata:
“Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk
mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka
memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan
makanan hamba.”
“Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?” sergap
Baginda kasar.
“Lalat-lalat ini, Tuanku.” kata Abu Nawas sambil membuka penutup
piringnya.
“Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba
mengadukan perlakuan yang tidak adil ini.”
“Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?”
“Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba
bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu.” Baginda Raja tidak bisa
mengelakkan diri menotak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu
para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda
membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul
lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.
Tanpa menunggu perintah Abu Nawas langsung mulai mengusir lalat-lalat
di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan
tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas
mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca.
Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian
vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian
dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas.
Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan
hinggap di tempayan Baginda Raja.
Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan
yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah
merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda
banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa
malu. Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu
Nawas. Abu Nawas yang nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu
ternyata bisa berubah menjadi garang dan ganas serta mampu membalas
dendam terhadap orang yang mengusiknya.
Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu
di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.
ABU NAWAS DEBAT KUSIR TENTANG AYAM
Melihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum. Beliau memanggil
pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan
sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah
tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang
bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat
menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa
menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.
Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang
miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat
beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila
pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat
sedikit itu adalah Abu Nawas.
Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal.
Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.
Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan
panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta
pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya,
“Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?”
“Telur.” jawab peserta pertama.
“Apa alasannya?” tanya Baginda.
“Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.”
kata peserta pertama menjelaskan.
“Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?” sanggah Baginda.
Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti
kertas. la tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam
penjara.
Kemudian peserta kedua maju. la berkata, “Paduka yang mulia,
sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan.”
“Bagaimana bisa bersamaan?” tanya Baginda.
“Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.
Bila teiur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa
menetas tanpa dierami.” kata peserta kedua dengan mantap.
“Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?” sanggah
Baginda memojokkan. Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam
penjara.
Lalu giliran peserta ketiga. la berkata; “Tuanku yang mulia, sebenarnya
ayam tercipta lebih dahulu daripada telur.”
“Sebutkan alasanmu.” kata Baginda.
“Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina.” kata peserta
ketiga meyakinkan.
“Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang.
Sedangkan ayam jantan tidak ada.” kata Baginda memancing.
“Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu
menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam
jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri.” peserta ketiga berusaha
menjelaskan.
“Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah
dewasa sempat mengawininya?”
Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun
dimasukkan ke penjara.
Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, “Yang pasti adalah telur dulu,
baru ayam.”
“Coba terangkan secara logis.” kata Baginda ingin tahu.
“Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam.” kata
Abu Nawas singkat.
Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah
alasan Abu Nawas.
ABU NAWAS MENGECOH MONYET
Abu Nawas sedang berjalan-jalan santai. Ada kerumunan masa. Abu
Nawas bertanya kepada seorang kawan yang kebetulan berjumpa di tengah
jalan.
“Ada kerumunan apa di sana?” tanya Abu Nawas.
“Pertunjukkan keliling yang melibatkan monyet ajaib.”
“Apa maksudmu dengan monyet ajaib?” kata Abu Nawas ingin tahu.
“Monyet yang bisa mengerti bahasa manusia, dan yang lebih menakjubkan
adalah monyet itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya saja.” kata kawan
Abu Nawas menambahkan.
Abu Nawas makin tertarik. la tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan
dan keajaiban binatang raksasa itu.
Kini Abu Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton.
Karena begitu banyak penonton yang menyaksikan pertunjukkan itu, sang
pemilik monyet dengan bangga menawarkan hadiah yang cukup besar bagi
siapa saja yang sanggup membuat monyet itu mengangguk-angguk.
Tidak heran bila banyak diantara para penonton mencoba maju satu
persatu. Mereka berupaya dengan beragam cara untuk membuat monyet
itu mengangguk-angguk, tetapi sia-sia. Monyet itu tetap menggeleng-
gelengkan kepala.
Melihat kegigihan monyet itu Abu Nawas semakin penasaran. Hingga ia
maju untuk mencoba. Setelah berhadapan dengan binatang itu Abu Nawas
bertanya, “Tahukah engkau siapa aku?” Monyet itu menggeleng.
“Apakah engkau tidak takut kepadaku?” tanya Abu Nawas lagi. Namun
monyet itu tetap menggeleng.
“Apakah engkau takut kepada tuanmu?” tanya Abu Nawas memancing.
Monyet itu mulai ragu.
“Bila engkau tetap diam maka akan aku laporkan kepada tuanmu.” lanjut
Abu Nawas mulai mengancam. Akhirnya monyet itu terpaksa
mengangguk-angguk.
Atas keberhasilan Abu Nawas membuat monyet itu mengangguk-angguk
maka ia mendapat hadiah berupa uang yang banyak. Bukan main marah
pemilik monyet itu hingga ia memukuli binatang yang malang itu. Pemilik
monyet itu malu bukan kepalang. Hari berikutnya ia ingin menebus
kekalahannya. Kali ini ia melatih monyetnya mengangguk-angguk.
Bahkan ia mengancam akan menghukum berat monyetnya bila sampai
bisa dipancing penonton mengangguk-angguk terutama oleh Abu Nawas.
Tak peduli apapun pertanyaan yang diajukan.
Saat-saat yang dinantikan tiba. Kini para penonton yang ingin mencoba,
harus sanggup membuat monyet itu menggeleng-gelengkan kepala. Maka
seperti hari sebelumnya, banyak para penonton tidak sanggup memaksa
monyet itu menggeleng-gelengkan kepala. Setelah tidak ada lagi yang
ingin mencobanya,
Abu Nawas maju. la mengulang pertanyaan yang sama.
“Tahukah engkau siapa daku?” Monyet itu mengangguk.
“Apakah engkau tidak takut kepadaku?” Monyet itu tetap mengangguk.
“Apakah engkau tidak takut kepada tuanmu?” pancing Abu Nawas.
Monyet itu tetap mengangguk karena binatang itu lebih takut terhadap
ancaman tuannya daripada Abu Nawas.
Akhirnya Abu Nawas mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam panas.
“Tahukah engkau apa guna balsam ini?” Monyet itu tetap mengangguk.
“Baiklah, bolehkah kugosokselangkangmu dengan balsam?” Monyet itu
mengangguk.
Lalu Abu Nawas menggosok selangkang binatang itu. Tentu saja monyet
itu merasa agak kepanasan dan mulai-panik.
Kemudian Abu Nawas mengeluarkan bungkusan yang cukup besar.
Bungkusan itu juga berisi balsam.
“Maukah engkau bila balsam ini kuhabiskan untuk menggosok
selangkangmu?”
Abu Nawas mulai mengancam. Monyet itu mulai ketakutan. Dan rupanya
ia lupa ancaman tuannya sehingga ia terpaksa menggeleng-gelengkan
kepala sambil mundur beberapa langkah.
Abu Nawas dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu
memenangkan sayembara meruntuhkan kegigihan monyet yang dianggap
cerdik.
Ah, jangankan seekor monyet, manusia paling pandai saja bisa dikecoh
Abu Nawas!
ABU NAWAS PEKERJAAN YANG MUSTAHIL
Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang
mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di
dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik
untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya
dipindahkan ke atas
gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan
bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas
yang amat cerdik di negerinya.
Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al
Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda, “Sanggupkah
engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih
leluasa melihat negeriku?” tanya Baginda.
Abu Nawas tidak langsung menjawab. la berpikir sejenak hingga
keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali
kalau memang ingin dihukum.
Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu
lagi permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam
waktu sebulan.
Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman
dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan
kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas
kecuali hari-hari ini.Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa
gundah gulana.
Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. la menghadap Baginda
untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan
mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas. “Ampun Tuariku, hamba
datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar
pekerjaan hamba nanti.” kata Abu Nawas.
“Apa usul itu?”
“Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari
Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi.”
“Kalau hanya usulmu, baiklah.” kata Baginda.
“Satu lagi Baginda….. ” Abu Nawas menambahkan.
“Apa lagi?” tanya Baginda.
“Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk
untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin.” kata Abu Nawas.
“Usulmu kuterima.” kata Baginda menyetujui.Abu Nawas pulang dengan
perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh
nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan
istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung,
ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.
Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua
orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas
kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pernah
gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya.
Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali
ini.
Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju
lapangan untuk melakukan salat Hari Raya Idul Qurban. Dan seusai salat,
sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian
segera dibagikan kepada fakir miskin.
Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu
Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan
istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, “Ampun Tuanku yang
mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?”
“Tidak ada.” jawab Baginda Raja singkat.
Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. la
berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-
olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar. “Abu
Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?” tanya
Baginda Raja.
“Hamba sudah siap sejak tadi Baginda.” kata Abu Nawas.
“Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap.
Lalu apa yang engkau tunggu?” tanya Baginda masih diliputi perasaan
heran.
“Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat
yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu
akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai
dengan titah Paduka.”
Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu
Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.

Anda mungkin juga menyukai